Monday, October 19, 2015

Memahami Syiah Dengan Perspektif Persia. Siapakah Yang Dimaksud Dengan Orang-Orang Majusi?

syiah syiah
Syiah, fenomena agama yang tumbuh besar di Iran, selama ini kita kenal dalam perspektif sejarah versi Islam, bahwasanya ia lahir tak terlepas dari kontribusi Abdullah bin Saba. Perspektif Saba yang diidentifikasi sebagai Yahudi yang menyamar sebagai muslim kemudian membuat kekacauan dari dalam, umum kita dengar dalam ceramah-artikel tentang sejarah lahirnya Syiah.
Sementara hampir semua kita terlupakan atau tidak memahami keterkaitan Persia yang begitu intensif terlibat dalam lahirnya beragam pemikiran dan doktrin di dalam syiah itu sendiri. Sebelum memperbincangkan syiah, marilah kita kenal lebih dulu tentang Persia, sebuah imperium digdaya yang telah berusia 1000 tahun namun runtuh dan lenyap dari muka bumi hanya dalam 10 tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw.
Semasa hidup Nabi Saw, telah disampaikan surat seruan pada tiga raja untuk masuk Islam. Pertama raja Mesir merespon dengan mengirim hadiah pada Nabi. Kedua raja Romawi Timur, Bizantium yang beribukota Konstantinopel, merespon sekedarnya. Adapun surat ketiga pada kaisar Persia, ia merobok-robek surat Nabi karena merasa terhina, Islam-Arab yang baru lahir dengan wilayah kecil namun lancang memaksa pemimpin negara adidaya Persia untuk masuk Islam. Mendengar surat tercabik, Nabi Saw lantas berujar, kerajaan Persia juga akan tercabik-cabik sebagaimana ia merobek suratku.
Sepeninggal Nabi Saw, Abu Bakar ashShidiq ra memimpin selama 2 tahun, Persia mulai mengganggu wilayah perbatasan kedaulatan muslimin. Abu Bakar lantas mengirimkan Khalid bin Walid ra (salah satu sahabat korban caci maki Syiah) menjawab tantangan Persia. Panglima perang Khalid yang mendapat gelar syaifullah (pedang Allah) oleh Nabi Saw ini berhasil mengalahkan setiap pertempuran dengan pasukan kekaisaran Persia yang jumlahnya selalu lebih banyak dari muslim. Lebih 100.000 tentara Persia tewas akibat bentrok dengan pasukan Khalid. Artinya lebih 50.000 istri dan anak dari tentara Persia yang tewas, bersedih, marah dan dendam pada Khalid.
Belum selesai Persia tumbang, Khalid dipindah ke medan Syiria menghadapi pasukan besar bizantium yang juga takluk di bawah kilatan pedang Khalid bin Walid. Khalifah Abu Bakar wafat digantikan Umar bin Khathab ra selaku khalifah. Umar menunjuk Saad bin Abi Waqqash ra dalam perang penentuan yang menghancurkan Persia selama-lamanya. Umar wafat ditusuk belati beracun saat memimpin sholat oleh Abu Lulu. Abu Lulu, MAJUSI yang berpura-pura masuk Islam, menyimpan DENDAM pada Umar yang pada masa kepemimpinannya membuat IMPERIUM PERSIA BERUSIA 1000 TAHUN lenyap dari muka bumi. Abu Lulu kini menjadi pahlawan umat Syiah (harusnya pahlawan Persia), dan makamnya sangat dihormati. Inilah salah satu koneksinya Syiah-Persia.
Jadi sebab utama Umar dicaci maki Syiah adalah karena dosa Umar menghancurkan Persia. Adapun kesalahan-kesalahan Umar terhadap Nabi dan Ali ra. yang dikemukakan Syiah hanya rekayasa untuk memperkuat doktrin dosa besar atau kafirnya Umar versi Syiah.
Persia dengan agama Majusi dan kitab Zoroaster telah melekat ratusan tahun pada jutaan penduduknya. Tentu saja menyisakan pengikut fanatik yang menyimpan dendam teradap Islam, Arab dan tokoh-tokohnya. Salah satu kultur agama Persia yakni memposisikan kaisar dan keturunannya sebagai dewa atau tuhan. Hal serupa yang kita temukan pada agama Syiah, bukanlah suatu kebetulan, namun hasil kristalisasi antara pendukung Ali (syiah) dan pembenci Arab (Persia).
Mari kita simak bagaimana proses penyatuan Syiah dan Persia. Kaisar terakhir Persia, Yazdajir, yang terbunuh saat melarikan diri ke arah Afghanistan, menyisakan putri bernama Syahrbanu (versli lain Ghazalah) yang ditawan pasukan muslimin. Putri Kaisar ini lalu diberikan kepada Husain bin Ali ra, cucu Rasulullah Saw. Putri turunan dari dewanya Persia ini kemudian dinikahi Husain. Pasangan ini kemudian melahirkan Ali bin Husain yang sangat terkenal sebagai Zainal Abidin, ahli ibadah si ahli sujud. Dari Zainal Abidin dan keturunan inilah kemudian dimulai sejarah imam-imam besar Syiah yang sangat diagungkan bahkan melebihi Nabi, sebagaimana mereka dahulu mendewakan kaisar mereka.
Kita bisa melihat kesamaan model kultur pada sebagian masyarakat Jawa Muslim dimana sebagian masih mempertahankan adat istiadat kejawen dan sejenisnya. Apalagi kerajaan mendunia sekelas Persia yang memiliki kultur fanatik dan mitos-mitos yang melekat di hati. Hal ini berbeda dengan Bizantium yang materialistis sehingga takluknya Konstantinopel tidak menyisakan sisa-sisa kultur fanatik keagamaan seperti Persia.
Syiah pada awalnya sangat sedikit dan lemah. Paska pembantaian Karbala yang melahirkan dramatisasi emosional pembantaian Husain bin Ali suami dari putri dewa, melahirkan ratapan dan kesedihan mendalam seluruh umat Islam. Peristiwa Karbala terjadi karena pengkhianatan syiah sendiri, mereka mengundang Husain, saat Husain ditengah jalan lalu mereka batalkan sendiri undangan tersebut karena takut mati. Dimana pembelaan syiah terhadap panutannya ? Seluruh tabiin berusaha mencegah Husain ke Kufah hingga berita wafatnya Husain datang membawa kesedihan pada seluruh umat Islam. Sisa-sisa syiah dalam jumlah kecil yang membenci kekhalifahan Umayah bertemu dengan sisa-sisa Persia yang membenci Arab / Islam kemudian mengkristal dalam pemahaman dan kultur dalam satu simbol, Syiah.
Pada abad 11 Masehi, masa-masa Perang Salib dan sebelumnya, Dinasti Fatimiyah di Mesir menetapkan Syiah sebagai agama resmi, dan secara formal telah menetapkan kewajiban mencaci-maki para sahabat dan istri Nabi dalam setiap khutbah Jumat dan ceramah. Bersyukur, Shalahuddin alAyyubi menaklukkan Mesir di abad ke-12, mengembalikan Islam sebagai agama negara dan menghapus doktrin caci maki sahabat pada khutbah dan ceramah Syiah.
Pada abad ke 15 Masehi berdirilah dinasti Safawi di Persia yang kuat dengan Syiah sebagai agama negara. Setidaknya Kekhalifahan Utsmaniyah berhasil membendung Safawi dari upaya menguasai Timur Tengah. Era Safawi inilah yang menjadi landasan kokoh terbentuknya Iran modern dengan Syiah sebagai agamanya. Kultur ibadah terwariskan turun-temurun mendewakan keturunan Husain-Syahrbanu, sehingga beriman kepada imam-imamnya menjadi salah satu rukun syahadat wajib. Memposisikan imamnya sebagai sosok yang ma’shum (tidak pernah berdosa atau bersalah). Dan menetapkan kafir bagi yang tidak beriman kepada imam-imam Syiah Persia.
Kini Iran dengan jutaan umat Syiah telah memiliki tempat suci sendiri di Karbala yang mereka tetapkan sebagai tandingan Ka’bah versi Syiah. Dalam setiap khutbah dan cerama di Iran sebagaimana biasa, wajib untuk mencaci maki sahabat dan istri tercinta Nabi, Siti Aisyah ra yang pernah berkonflik dengan Ali bin Abi Thalib ra. dalam Peristiwa Jamal karena fitnah dan kesalahpahaman. Selain punya Ka’bah sendiri, Syiah pun memiliki ‘Qur’an’ sendiri versi mereka.
Inilah warisan dari sisa-sisa Persia yang masih memiliki kebanggaan sebagai penduduk dari kerajaan imperium besar yang pernah berjaya di seluruh dunia. Sisa-sisa Persia yang menggunakan Syiah sebagai topeng dan doktrin ajaran Islam yang dileburkan dengan Majusi-Zoroaster, lahirlah Syiah.
Nugra Fatah
Penulis buku Panglima Surga
Twitter @nugrazee

Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang Majusi?

Kata “majusi” yang disebut dalam bahasa Arab yaitu orang-orang Zoroaster diadaptasi dari kata “ma-gu-sy” atau “magu” Persia kuno yang kemudian menjadi Magus setelah kata ini masuk dalam peristilahan bahasa Yunani. Kata magic dalam bahasa Inggris juga diadopsi dari kata ini. Dengan masuknya kata ini ke dalam bahasa Arab, kata ini kemudian menjadi Majusi.
Agama Zoroaster yang merupakan agama orang-orang Majusi memiliki hubungan dengan kitab-kitab suci (Taurat dan Injil). Meski dalam Alkitab tidak disebutkan nama agama ini, namun disebutkan tentang kisra-kisra Iran sebanyak delapan halaman dari halaman-halaman kitab Taurat.
Sebelum kedatangan Zoroaster yaitu sebelum masa kekuasaan Media, orang-orang pribumi non-Aria Iran, memiliki agama yang bernama ajaran Mage. Frase Magh (Magusy) dalam bahasa kuno Iran bermakna pelayan.[1]
Dalam bahasa Arab “majusi” yang disebut dalam bahasa Arab adalah orang-orang Zoroaster. Namun sejatinya, Majus” tidak dapat disebut sebagai pengikut Zoroaster. Dewasa ini telah ditetapkan bahwa Majus disebut untuk para pengikut Media yang hidup sebelum masa Zoroaster.  
Dalam Avesta, frase “Majus” digunakan untuk orang-orang yang menentang Zoroaster. Namun karena pada wilayah-wilayah Arab dan negeri Syam (Suriah), para pengikut ajaran Media lebih dikenal sebagai “Magusy” kemudian melekatlah pengikut Zoroaster sebagai Majus.”[2]
Frase “Majus” tidak hanya disebutkan dalam al-Quran[3] dan dengan memperhatikan bahwa mereka berhadap-hadapan dengan orang-orang Musyrik dan berada dalam barisan agam-agama samawi, dapat disimpulkan bahwa  mereka memiliki agama, kitab dan nabi. Sebagian riwayat kita juga menyokong masalah ini.
Suatu hari Asy’ats bin Qais bertanya kepada Imam Ali As, “Bagaimana Anda dapat mengambil pajak dari orang-orang Majusi (sementara mengambil jizyah hanya diperbolehkan dari Ahlulkitab) dan orang-orang Majusi tidak memiliki kitab samawi?” Imam Ali As menjawab, “Tidaklah demikian seperti yang engkau sangka! Mereka memiliki kitab samawi dan Tuhan mengutus seorang rasul kepada mereka…”[4]
Tidak diragukan lagi bahwa dewasa ini, Majus disebut sebagai para pengikut Zoroaster[5] atau paling tidak yang membentuk bagian terpenting dari pengikut agama Zoroaster. Namun sejarah Zoroaster sendiri tidak begitu jelas. Para pengikut Zoroster disebut dengan beberapa nama seperti Majusi, Parthia, Gheber.[6]
Berdasarkan pendapat yang populer, Zarasustra (nabi ajaran Zoroaster) lahir pada tahun 660 SM dan diangkat sebagai nabi pada tahun 630 SM (pada usia 30 tahun). Disebutkan bahwa Zarasustra pada tahun 583 SM, ketika ia berusia 77 tahun dibunuh oleh orang-orang dari Turan;  sebuah tempat pemujaan api di daerah Balkh (Afganistan).
Agama Zoroaster adalah agama orang-orang Majusi dan memiliki hubungan dengan Alkitab (Taurat dan Injil). Meski dalam Alkitab tidak disebutkan nama agama ini, namun disebutkan tentang kisra-kisra Iran sebanyak delapan halaman dari halaman-halaman kitab Taurat.
Dalam Kitab Pertama Injil (Injil Matius) kita membaca, “Orang yang pertama datang tatkala Isa baru lahir adalah beberapa orang bijak dari Timur yang disebut sebagai, “Magus.”[7]
“Beginilah firman TUHAN: "Inilah firman-Ku kepada orang yang Kuurapi, kepada Koresh yang tangan kanannya Kupegang supaya Aku menundukkan bangsa-bangsa di depannya dan melucuti raja-raja, supaya Aku membuka pintu-pintu di depannya dan supaya pintu-pintu gerbang tidak tinggal tertutup.”(Yesaya 45:1)[8]
Sepanjang beberapa ratus tahun yang lalu, para penganut ajaran Zoroaster menjaga agama di antara agama-agama yang ada di dunia lebih banyak yang sifatnya warisan. Pada hakikatnya dewasa ini pengikut agama Zoroaster sangat sedikit jumlahnya dan merupakan komunitas agama yang paling kecil di antara agama-agama hidup di dunia.[9] Pada masa kini, di antara mereka terdapat serataus lima puluh ribu dari mereka yang tinggal di India dan kurang lebih sebanyak lima puluh ribu orang yang bermukim di Yazd, Kerman dan Teheran.[10]
Kitab Pengikut Zoroaster
Avesta adalah kitab para pengikut agama Zoroaster yang bermakna asas, fondasi dan teks. Kitab ini ditulis dengan huruf dan bahasa Avesta yang mengacu pada masa Iran kuno dan memiliki akar persamaan dengan bahasa-bahasa Pahlevi dan Sanskerta. Pengikut agama Zoroaster di samping Avesta, juga memiliki sebuah kitab tafsir yang bernama Zand-i Avesta dan kitab suci lainnya dalam bahasa Pahlevi.[11] [iQuest]

[1]. Husain Taufiqi, Âsynâi ba Adyân-e Buzurgh, hal. 56, Nasyr Samt, Teheran, 1386.  
[2]. Syaikh Mufid, Tashih al-I’tiqâdât, hal. 134, Catatan Kaki.  
[3]. “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shâbi’în (para penyembah bintang), orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (Qs. Al-Hajj [22]:17)
[4].  Abduali bin Jum’ah ‘Arusi Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 3, hal. 457, Ismaliyyan, Qum, 1415 H.
[5]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 44, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S.  
[6].  Âsynâi ba Adyân-e Buzurgh, hal. 62.
[7]. Robert Hume, Adyân Zendeh Jahân (The World’s Living Religions), terjemahan Persia oleh Abdurrahim Gawahi, hal. 268, Daftar Nasyr Farhang Islami, 1369 S.
[8]. Sesuai dengan nukilan dari buku Adyân-e Zendeh Jahân.  
[9]. Adyân-e Zendeh Jahân, hal. 269.   
[10]. Âsynâi ba Adyân-e Buzurgh, hal. 62.  
[11]. Âsynâi ba Adyân-e Buzurgh, hal. 58 dan 59.