Friday, October 16, 2015

“Syam Jadi Magnet Besar Kumpulnya Orang-orang Kafir Untuk Mengalirkan Darah Kaum Muslimin”

Oemar Mita-2-jpeg.image
Kamis, 1 Muharram 1437 H / 15 Oktober 2015 14:35
Ada empat kewajiban yang harus dilakukan setiap Muslim kepada Rabb-nya, kata Ustadz Oemar Mita.
“Pertama, ia harus mengerti perkara apa yang Allah cintai, kedua ia harus mengerti perkara apa yang dibenci oleh Allah, ketiga ia harus mengerti siapa orang-orang yang Allah cintai, keempat ia harus mengerti siapa orang-orang yang dibenci oleh Allah,“ ujar relawan kemanusiaan untuk Suriah Ustadz Oermar Mita saat menyampaikan orasinya pada acara Munashoroh Suriah yang bertajuk ‘Negeri Syam Digempur, Umat Islam ke Mana’ di Masjid Al-Furqon DDII, Jakarta, Rabu (14/10).
Ketika membicarakan Syam, lanjutnya, ini termasuk dalam semua yang dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayyim terkait empat perkara tersebut.
“Ketika kita membicarakan tentang yang Allah cintai bukankah Syam adalah tanah yang Allah cintai di atas tanah Madinah. Ketika kita berbicara tentang perkara apa yang Allah benci, bukankah kita membicarakan kezaliman dan tentang darah kaum Mukminin yang tertumpah, dan Allah membenci darah kaum Mukninin yang tertumpah tanpa hak,“ terang Wakil Ketua Majelis Dakwah Islam Indonesia (MADINA) itu.
Menurutnya, ketika kita berbicara tentang apa yang Allah cintai, bukankah kita mengerti bahwa orang terbaik yang hidup di atas muka bumi di akhir zaman adalah orang-orang Syam. Ketika kita berbicara siapa orang yang paling Allah benci, bukankah kita melihat Syam menjadi magnet yang besar tempat kumpulnya orang-orang kafir untuk mengalirkan darah kaum Muslimin.
“Ini merupakan 4 perkara yang korelasinya sangat kuat, berkaitan tentang rasa cinta kita kepada Allah. Inilah yang menjadikan kita untuk bersatu, bukan hanya memikirkan ibadah sunnah yang kita lakukan. Ini membuktikan sebuah kewajiban yang lebih besar, karena dzikir kita hanya balik kepada diri kita sendiri, tetapi ketika membicarakan tubuh kaum Muslimin adalah membicarakan hal yang sangat besar dan manfaatnya akan kembali kepada orang banyak,“ jelasnya lagi.
Berbicara soal Syam, kata Oemar, tak akan pernah berhenti dan tiada batasnya. Dia bermula tapi tidak ada akhirnya. Pembicaraan Syam adalah pembicaraan nubuwah akhir zaman.
“Sungguh siapkanlah tenaga kita melawan kaum kuffar, inilah yang menjadi kewajiban kita membela umat Islam di Suriah,“ tegas Oemar Mita. (EZ/salam-online)

Terimakasih, Tuan Putin

Seperti badai yang datang tanpa disangka sebelumnya, Rusia benar-benar turun berlaga ke Suriah. Seolah menegaskan berita yang sebelumnya hanya kabar burung, ratusan alat-alat perang Rusia turut menghiasi langit-langit Suriah, menebarkan aroma kematian yang mencekam. Korban sipil pun jatuh, meski Putin berdalih memerangi kelompok militan. Rumah sakit, instalasi yang harusnya dihormati dalam perang sekalipun, tak luput dari hajaran rudal Rusia.
Amarah umat Islam sedunia pun kembali menggelegak. Puluhan ulama Saudi mengingatkan Rusia akan nasib pilu yang mereka alami saat berperang melawan Islam di Afghanistan dan Chechnya. Meski di Indonesia media mainstream seperti menganggap angin lalu peristiwa ini, di media sosial umat menunjukkan jati dirinya. Membagi berita, menabur doa dan merajut bantuan seadanya, semampunya.
Kita memang wajib marah. Namun kita juga perlu “berterimakasih” kepada Rusia. Invasinya ke bumi Syam seperti mengingatkan kembali kaum Muslimin akan nasib saudara mereka di Suriah yang dilindas rezim tiran Bashar Asad. Penderitaan yang dialami umat Islam di Suriah sempat menjadi perhatian publik Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu dan bertebarnya syubhat, tragedi kemanusiaan terburuk menurut UNHCR itu, pelan namun pasti, terlupakan. Tabligh dan penggalangan dana untuk rakyat Suriah tak sebingar sebelumnya.
Terimakasih juga “wajib” kita haturkan kepada Rusia. Pilihannya untuk bertempur melawan mujahidin demi mempertahankan singgasana Bashar Asad semakin menegaskan bendera dua kelompok yang sedang berhadapan. Sebelumnya kelompok pendukung Iran dan aliran Syiah getol menebar syubuhat. Mengatakan tragedi Suriah sebagai konflik politik semata, tak ada tendensi ideologi karena—menurut mereka Syiah bagian dari Islam. Kini raungan Mig dan Sukhoi Rusia semakin menegaskan bahwa Syiah dan Komunis memang sekondan melawan Islam.
“Terimakasih” serupa juga pantas kita haturkan ke Tel Aviv. Sebab, ketika Israel merasa mantap turut ambil bagian membantu Rusia memerangi mujahidin di Suriah, jelaslah sudah kini, perang apa yang terjadi di Suriah. Dengan sendirinya, luruh sudah fitnah-fitnah keji yang mengatakan barisan mujahidin yang melawan Asad sebagai proyek bayaran Israel atau Amerika.
Invasi Rusia juga membawa harapan baru akan pemandangan jihad yang menyejukkan hati dan mata kaum Muslimin. Bila sebelumnya jihad Suriah berkalang asap fitnah; saling caci dan bunuh antar kelompok Mujahidin, setidaknya kita patut berharap korps Spetsnaz dan pasukan regular Beruang Merah akan membuat jihad Suriah kembali melawan musuh yang fokus. Jihad yang benar-benar mengobati sakit umat Islam sebelumnya.
Selain itu, ratusan tank, ribuan senapan dan jutaan amunisi yang dibawa Rusia, bisa dimakna sebagai hadiah yang Allah berikan kepada para mujahidin. Hari ini alat-alat tersebut berada di tangan tentara Rusia dan Bashar Asad. Namun, dengan sepenuh keyakinan akan pertolongan Allah, tak lama lagi akan berpindah ke tangan para mujahidin.
Bara perang yang disulut Rusia di Suriah adalah bahan bakar bagi obor jihad bumi Syam agar tetap berkobar tanpa kenal padam. Jihad yang kelak akan memanggil para rijalul ummah yang siap menunaikan janji setia kepada Allah, janji untuk siap berkorban dan terkorban. Sebab, hanya dengan jihadlah akan muncul  sebuah kelompok terbaik pilihan umat yang dikenal sebagai Thaifah Mansurah.
Kita tidak akan pernah rela ada satu nyawa pun dari kaum Muslimin yang terenggut. Rasa “terimakasih” kepada Rusia di atas jelas bukan untuk maksud bersorai di atas suasana mencekam yang hari ini dilalui rakyat Suriah. Tetapi, ketika rengekan kepada PBB sudah pasti sia-sia, saat mengemis kasih kepada Rusia hanya akan melacurkan diri, bukankah saat paling tepat untuk kembali meyakini bahwa setiap takdir Allah itu pasti berakibat baik bagi hamba-Nya?