Friday, April 3, 2015

Tragedi Hari Kamis

Syubhat: Bid’ah yang sesungguhnya itu ialah mengkreasi imam tandingan untuk mendiskualifikasi Imam pilihan Allah. Tragedi kamis sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat itulah sebenarnya bibit ingkar sunnah dan bid’ah.
Jawaban: meskipun saya pernah menjawab syubhat tragedi kamis, saya kembali mengulasnya tetapi secara lebih komprehensif, dengan harapan semoga Allah membuka nalar Anda semua. Pertanyaan di atas cukup singkat, tetapi saya dapat membaca maksud penanya. Barangkali pembaca belum memahami latar belakang syubhat tersebut. Oleh karena itu, berikut saya muat salah satu riwayat terkait peristiwa tersebut.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab al-Maghaziy, bab Maradhu an-Nabi wa wafatuhu (sakit dan wafat Nabi) no. 4168, dari Sa’id bin Jubair, dia berkata,
يَوْمُ الخَمِيسِ، وَمَا يَوْمُ الخَمِيسِ؟ اشْتَدَّ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعُهُ، فَقَالَ: «ائْتُونِي أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا»، فَتَنَازَعُوا وَلاَ يَنْبَغِي عِنْدَ نَبِيٍّ تَنَازُعٌ، فَقَالُوا: مَا شَأْنُهُ، أَهَجَرَ اسْتَفْهِمُوهُ؟ فَذَهَبُوا يَرُدُّونَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «دَعُونِي، فَالَّذِي أَنَا فِيهِ خَيْرٌ مِمَّا تَدْعُونِي إِلَيْهِ» وَأَوْصَاهُمْ بِثَلاَثٍ، قَالَ: «أَخْرِجُوا المُشْرِكِينَ مِنْ جَزِيرَةِ العَرَبِ، وَأَجِيزُوا الوَفْدَ بِنَحْوِ مَا كُنْتُ أُجِيزُهُمْ» وَسَكَتَ عَنِ الثَّالِثَةِ أَوْ قَالَ فَنَسِيتُهَا "
Ibnu Abbas berkata, “Hari Kamis, apakah hari Kamis itu? Sakit Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam semakin keras. Beliau bersabda, ‘Hadirkan (para penulis) kepadaku, saya akan menulis pesan tertulis untuk kalian. Kalian tidak akan tersesat selamanya setelah itu.’ Maka mereka pun berselisih paham, padahal tidak selayaknya bedebat di sisi nabi. Mereka berkata, ‘Bagaimana kondisi beliau, apakah beliau mengigau? Tanyakanlah kepada beliau.’ Maka mereka pun mendatangi untuk menanggapi beliau. Maka beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Tinggalkanlah saya, karena situasi saya lebih baik daripada apa yang kalian serukan kepadaku.’ Lalu beliau mewasiatkan tiga pesan. Beliau bersabda, ‘Keluarkanlah orang-orang musyrik dari Jazirah Arab. Berikanlah hadiah kepada para delegasi yang datang seperti yang saya lakukan. ‘Lalu perawi tidak menyebutkan yang ketiga, atau dia berkata, ‘Aku lupa (yang ketiga).”
Berikut ringkasan kejadian –yang memiliki jalur-jalur sanad yang lain- tersebut.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam meminta kepada para sahabat yang berada di sekitar beliau, -sementara sakitnya- supaya mereka menghadirkan para penulis, untuk beliau perintahkan menuliskan pesan-pesan berisi petunjuk bagi umat sepeninggal beliau, yang belum pernah beliau sampaikan. Melihat dan iba dengan kondisi Rasulullah yang sangat keletihan dan kepayahan, sebagian sahabat yang hadir berpandangan untuk tidak menghadirkan para penulis. Menurut mereka petunjuk tertulis yang ada dalam Al-Qur’an yang agung, telah mencukupi daripada membuat Rasulullah semakin kelelahan dengan mendiktekan kepada para juru tulis. Tetapi orang-orang Syi’ah dalam hal ini berkeyakinan bahwa Umar menghalang-halangi Nabi menuliskan wasiat Imamah (perihal kepemimpinan setelah Rasulullah) untuk Ali.
Bersama ini, saya minta kepada setiap penganut Syi’ah untuk membaca jawaban syubhan yang batil ini dengan tenang.
Anda semua mengakui kemaksuman Nabi shallallahu alaihi wa sallam (seperti yang diyakini ahlu sunnah). Tidak diragukan ini adalah sebuah kebaikan. Akan tetapi, melalui syubhat ini –tanpa Anda sadari- Anda telah menciderai kemaksuman Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ini karena anggapan Anda sekalian bahwa ada perintah dan tugas Ilahi kepada Nabi, yaitu menyampaikan keimamahan ‘Ali kepada kaum muslimin, yang tidak mampu Beliau laksanakan, berdasarkan syubhat yang Anda pelihara. Dengan demikian gugurlah kemaksuman Nabi, karena Beliau telah gagal –wal’iaadzu billaah- menjelaskan dan menyampaikan perihal imamah Ali bin Abi Thalib kepada kaum muslimin, sebagaimana yang Anda sangkakan. Padahal Rasulullah sama sekali besih dari hal yang demikian…!
Selain itu, bagaimana Anda dapat berdalil dengan syubhat peristiwa Kamis yang batil versi Anda itu, jika dikonfrontasikan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 67)
Syubhat tragedi kamis, versi syi’ah yang tampak kacau tersebut, bertolak belakang dengan perintah Allah dalam ayat ini. bagaimana mungkin Allah mencabut roh kekasih dan nabi-Nya padahal masih ada satu perintah agung yang belum Beliau sampaikan. Yang berakibat banyak orang menjadi kafir, dan berhak untuk dicampakkan ke dalam neraka jahannam, kemudian kekal di dalamnya?!!
Mari kita minta kepada penganut Syi’ah, yang mempercayai syubhat konspirasi Kamis –yang sebenarnya hanyalah permainan dan rekaan ulama mereka semata- untuk memperhatikan firman Allah kepada Nabi-Nya:
“……Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia…” (QS. Al-Maidah: 67)
Masuk akalkah Allah tidak kuasa melindungi Rasul-Nya dari seorang Umar bin Khattab?! Sesungguhnya celaka jika ada akal yang tidak mampu atau tidak mau memahami perkara ini dengan jernih.
Mari kita kembali kepada riwayat semula. Ada beberapa catatan ringkas hendak saya sampaikan:
  1.Orang-orang syi’ah menuduh Umar berkata tentang Nabi, “Beliau mengigau” Pertanyaannya pada bagian manakah nama Umar disebut dalam riwayat tersebut? Ternyata tidak satu pun riwayat yang menerangkan bahwa yang berkata demikian ialah Umar bin Khattab.
  2.Masuk akalkah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mewasiatkan tiga perkara, tetapi tidak menyampaikan wasiat tentang keimamahan Ali padahal itu –menurut orang Syi’ah- merupakan mandat langsung dari Allah?
    3.Sesungguhnya teguran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam disebabkan oleh perdebatan mereka, bukan karena ucapan Umar. Oleh karena itu beliau menyuruh mereka semua keluar, tidak terkecuali para juru tulis, seperti yang Beliau katakan, “Berdirilah kalian (tinggalkanlah aku), apa yang aku di dalamnya lebih baik daripada yang kalian berada di dalamnya.”
    4.Perhatikanlah dalam sebuah riwayat terdapat kalimat:
“Maka mereka berkata, ‘Ada apa dengan Beliau? Apakah beliau mengigau?’ Yang berkata demikian ialah sekelompok orang (mereka), bukan Umar. Saya mempersilahkan penganut Syi’ah manapun untuk menyebutkan satu dalil saja, meskipun lemah atau dhaif, yang menyebutkan bahwa Umar lah yang berkata, “Beliau mengigau” Yang beliau ucapkan ialah:
“Rasa sakit telah menguasai beliau”
Perkataan ini, tidak menyimpang karena Allah berfirman tentang Ayyub alaihissalam:
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku) sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang.” (QS. Al-Anbiya: 83)
Dan rasa sakit yang diderita Nabi dua kali lipat penderitaan kita manusia biasa. Jadi perkataan Umar adalah benar berdasarkan dalil tersebut.
Saya tahu, bahwa terdapat riwayat-riwayat yang memuat nama Umar. Tetapi tidak sebagai yang berkata, “Hajara (beliau mengigau).” Melainkan yang dia katakan ialah:
“Rasa sakit telah menguasai beliau, sementara bersama kita telah ada kitabullah yang telah cukup bagi kita.
Jadi, yang maksud perkataan Umar, dan orang yang sependapat dengannya ialah ungkapan rasa iba dan keinginan untuk meringankan beban derita Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan ini merupakan ijtihad mereka. tetapi sebaliknya, di sebahagian lain sahabat yang hadir berpendapat melaksanakan perintah Rasulullah apa adanya yakni tetap menghadirkan juru tulis. Perbedaan pandangan ini kemudian menyebabkan perselisihan yang menimbulkan sedikit kegaduhan antara dua kelompok. Ketika nabi melihat yang demikian, maka beliau membatalkan permintaan beliau menghadirkan juru tulis, dan memilih memberikan wasiat kepada mereka secara lisan seperti termaktub dan terhimpun dalam riwayat-riwayat tersebut.
Inilah hasil telaah riwayat tersebut. Dan kisahnya dengan mudah dapat dipahami karena redaksinya yang sederhana dan tidak rumit. Kecuali kelompok yang menyimpang yang tidak menerima, bahkan –entah sadar atau tidak- membangun asumsi bahwa kedudukan seorang sahabat (Umar bin khattab) lebih tinggi daripada Nabi sehingga dengan begitu mudah dapat melarang Beliau untuk menunaikan risalah yang seharusnya Beliau sampaikan yakni perihal imamah Ali bin Abi Thalib. Interpretasi ini tidak lebih dari memancing di air keruh; komentar liar yang tidak bertanggung jawab mengikuti hawa nafsu dan bisikan setan, dan mendistorsikan makna kata-kata dan fakta.
Motif mereka sebuah masalah sederhana, yaitu nabi tidak marah kepada mereka atas apa yang terjadi, dan tidak mengingkari mereka yang tidak segera memanggil juru tulis, karena Allah tidak mencela mereka dengan menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana lazimnya. Bahkan beliau mendiamkan, dan mengakui mereka, serta tidak mengulangi permintaan beliau untuk menghadirkan juru tulis.
Taqriir Allah dan Rasulullah itu menunjukkan bahwa perkara tersebut tidak tempat untuk asumsi-asumsi batil yang dihembuskan oleh sebagian musuh-musuh islam yang dengki. Jadi yang terjadi sesungguhnya ialah sebuah perselisihan ringan yang sebelumnya juga kerap terjadi di kalangan sahabat. Seperti pada peristiwa Hudaibiyah, saat Nabi memerintahkan mereka untuk bertahallul. Para sahabat tidak segera melakukannya dengan harapan diturunkan wahyu berisi perintah untuk menyempurnakan umrah. Demikian juga perbedaan pendapat mereka tentang tawanan perang Badar, dan perkara-perkara lain yang dihadiri nabi tetapi Beliau mendiamkannya (sunnah taqriiriyah).
Seandainya apa yang tadinya hendak Beliau tulis termasuk perkara yang wajib dijelaskan dan dituliskan, pasti nabi diwajibkan menjelaskan dan menuliskannya, dan tidak seorang pun yang dapat mempengaruhi beliau untuk mengurungkannya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ketika beliau memutuskan untuk tidak menulis, penulisan tersebut bukan merupakan kewajiban. Sebab meninggalkan sesuatu yang wajib hukumnya haram. Apakah Rasulullah telah melakukan perbuatan yang haram?
Tampaknya nalar syiah tidak dapat memahami bahwa perselisihan para sahabat lahir dari ijtihad mereka dalam memahami dan menginterpretasikan ucapan Nabi, atau sesuatu di dalam hati mereka membuat mereka sengaja mengabaikan hal tersebut. Jika para ulama umat ini berbeda pendapat secara kontras dalam memahami dan menafsirkan nas-nas yang diriwayatkan dari nabi dalam berbagai permasalahan sehingga melahirkan beragam mazhab, namun mereka tidak dikecam karena itu, bahkan mereka berhak mendapatkan pahala atas ijtihad tersebut, terlepas hasil ijtihad mereka benar atau salah. Nah mengapa para sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum ajma’iin dikecam karena perbedaan pendapat mereka dalam masalah sangat parsial, bahkan setelah Rasulullah memaklumi perbedaan pendapat mereka tersebut, dan tidak bersikap keras kepada seorang pun dari mereka?! bahkan lebih dari itu, Rasulullah mengambil pendapat kelompok yang tidak menyetujui menghadirkan juru tulis. Sesungguhnya jika Beliau tetap ingin menuliskan wasiat tersebut, tidak akan ada seorang pun yang mampu menghalangi.
Selain itu, Beliau shallallahu alaihi wa sallam  masih hidup beberapa hari setelah kejadian tersebut. Ini disepakati oleh Ahlussunnah dan pengikut syi’ah. Nah mengapa dalam rentang waktu itu RAsulullah tidak menulis sesuatu pun? Kemudian, andai kata tidak menghadirkan juru tulis itu merupakan sebuah kelalaian, mengapa ahlul bait tidak memperbaiki situasi ini dengan menghadirkannya setelah pertemuan tersebut?!
Adapun pemahaman keliru lain yang dilontarkan Syi’ah, bahwa sebagian sahabat telah menuduh nabi mendistorsi wahyu –sekali-kali Nabi tidaklah demikian- berdasarkan apa yang disebutkan dalam riwayat tersebut, “Mereka berkata, أهجر؟  (apakah beliau mengigau)?” ini merupakan kedustaan lain dan rekaan semata. Karena sangat jelas terlihat frasa (أهجر؟) menunjukkan keragu-raguan mereka akan terjadinya hajr (yaitu ucapan yang tidak jelas, igauan, karena tidak sadarkan diri) dari Nabi, bukan vonis bahwa hal itu telah terjadi.
Selain itu riwayat-riwayat dengan redaksi pertanyaan lebih kuat daripada riwayat-riwayat dengan redaksi kalimat berita. Inilah kesepakatan ahli hadits, seperti Al-Qadhi ‘Iyadh dalam as-Syafa’ (II/886), Al-Qurthuby dalam Al-Mufham (IV/559), An-Nawawiy dalam Syarah Muslim (XI/93), serta Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (VIII/133). Kalimat tanya (istifham) menunjukkan adanya keraguan, dan bukan kepastian.
Faktor keraguan sahabat sungguh signifikan, tidak muncul begitu saja. Situasinya, sakit Rasulullah sangat keras. Hal itu karena kesakitan yang beliau derita dua kali lipat yang dirasakan oleh orang biasa, dan beliaupun jatuh pingsan berkali-kali. Ini semua diriwayatkan secara pasti dalam shahihain (Al-Bukhari Muslim). Oleh karena itu, orang yang mengatakan ucapan tersebut –dan dia tidak dikenal; riwayat-riwayat yang shahih tidak pernah menyebut namanya- menyangka bahwa sakit tersebut telah mempengaruhi beliau sedemikian rupa sehingga menimbulkan hajr (igauan). Tidak diragukan lagi prasangka ini adalah salah, namun dari situasi yang diriwayatkan timbulnya prasangka salah tersebut dapat dimaklumi.
Oleh karena itu, kita tidak menemukan satu riwayat pun tentang kecaman hadirin yang lain terhadap orang yang mengatakan ungkapan tesebut. Bahkan adlah Ibnu Abbas, -putra paman nabi- meriwayatkan lafaz tersebut tanpa menginventarisasi orang tersebut karena para sahabat memaklumi situasi yang melatar belakangi keluarnya ungkapan tersebut. Suasana yang menegangkan, orang yang paling mereka cintai, Rasulullah dalam kesusahan dan diuji sedemikian beratnya.
Dengan berhusnu azh-zhan (berbaik sangka), saya katakan, “Sama saja, apakah pelakunya salah seorang ahlul bait maupun selain mereka, makan ucapan tersebut lahir dari keterguncangan situasi krisis dan kritis karena sakit Nabi yang begitu keras. Sehingga tanpa sadar keluarlah ucapan tersebut, sebagaimana yang terjadi pada Umar bin Khattab saat Rasulullah wafat. Saking terguncangnya, beliau tidak menyangka bahwa Rasulullah telah meninggal, dan berang, kemudian mengklaim bahwa beliau hanya pergi sesaat dan akan kembali.
Selanjutnya ucapan Umar حسبنا كتاب الله  (cukuplah bagi kita kitabullah)” tentunya atas dsar pengetahuan beliau bahwa Allah telah menyempurnakan agama ini, berdasarkan firman Allah:
“…..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah: 3)
Dan karena pengetahuannya tentang sabda Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam:
“Demi Allah, saya tidak membiarkan sesuatupun yang mendekatkan kalian kepada Allah dan sorga melainkan saya telah memberitahukannya kepada kalian, dan yang diperintahkan Allah kepada kalian melainkan saya telah perintahkan pula kepada kalian. Tidaklah aku meninggalkan sesuatupun dari perkara yang dilarang Allah daripadanya, melainkan aku pun telah melarang kalian daripadanya.” (HR. An-Nasa’I (2719))
Maka tidak satu pu yang tersisa dari urusan agama ini yang tidak pernah disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Dan saat mencari tentang penulisan yang Rasulullah ingin menulisnya, maka kita menemukan dalam sunnah nabi apa yang memberikan jawaban akan permasalahan ini.
Dari Ali bin Abi Thalib, dia berkata:
“Adalah kami berada di sisi Rasulullah, maka beliau memerintahkanku untuk membawa nampan sebagai landasan menulis pesan yang akan memelihara umat beliau dari kesesatan (dengan berpegang teguh dengan pesan tersebut) sepeninggal beliau. Maka Ali berkata, ‘Maka akupun khawatir beliau meninggal sebelum juru tulis datang. Maka saya pun berkata, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku bisa menghafal dan memahami (apa yang hendak anda sampaikan).’ Maka Nabi bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian untuk menjaga shalat, zakat, dan budak yang kalian miliki.” (HR. Baihaqi (V/17), Ahmad (I/90).
Berdasarkan keterangan ini jika syi’ah menuduh para sahabat telah tidak menaati perintah nabi karena tidak menghadirkan juru tulis, maka dapat dikatakan bahwa Ali dalam hal ini, termasuk orang yang paling pertama tidak menaati Rasulullah. Karena sesungguhnya Beliau secara individual diperintah langsung oleh Nabi. Namun beliau tidak memanggil juru tulis tersebut. Oleh karena itu kita menyalahkan para sahabat tersebut, tentunya kita juga harus menyalahkan Ali bin Abi Thalib. Maka yang benar ialah tidak mencela mereka semua, baik Ali maupun sahabat yang lainnya. Paling tidak karena beberapa alasan berikut:
Pertama, sesungguhnya Ali dalam riwayat Beliau sendiri berkata, “Maka aku pun khawatir beliau meninggal, maka akupun berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mampu menghafal dan memahami apa yang hendak Beliau katakan. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian untuk menjaga shalat, zakat dan budak yang kalian miliki.’”
Dengan demikian nabi pun telah mengucapkan apa yang ingin beliau tulis.
Kedua, yang ingin ditulis oleh nabi shallallahu alaihi wa sallam bisa jadi sesuatu yang wajib, bisa jadi sunnah. Jika syiah berpendapat bahwa isi pesan itu ialah perkara yang wajib, atau termasuk perkara-perkara syari’at yang wajib disampaikan, maka ini –berdasarkan pemahaman mereka- menunjukkan bahwa nabi belum menyampaikan syari’at secara utuh. Ini tentunya menciderai kredibilitas Nabi, dan serangan kepada Allah yang telah berfirman, “pada hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian.” Namun jika mereka mengatakan bahwa isi pesan yang tidak jadi ditulis tersebut ialah sesuatu yang hukumnya sunnah, maka kami katakan, “Pendapat kami juga seperti itu.”
Ketiga, sesungguhnya para sahabat menolak menghadirkan juru tulis karena prihatin dengan kondisi nabi shallallahu alaihi wa sallam, bukan karena maksiat.
Jika orang-orang syi’ah –entah karena apa- tidak menerima jawaban kami terhadap syubhat mereka yang tidak kuat ini, dan tetap bersikukuh bahwa pesan tertulis yang hendak disampaikan Nabi ialah penyebutan nama sosok yang akan menggantikan beliau, maka kami tegaskan bahwa sampai saat beliau meminta kehadiran juru tulis tersebut, tidak seorang pun yang tahu bahwa Ali lah sosok yang dimaksud. Dengan demikian gugurlah dalil-dalil kalian tentang keimamahan Ali. Kemudian jika Anda semua tetap memaksakan bahwa Nabi ingin menuliskan Nama sosok yang akan menggantikan beliau, maka kami katakan berdasarkan fakta Beliau pasti akan menyebut nama Abu Bakar, sebagaimana yang diriwayatkan dalah Ash-shahihain dari Aisyah, beliau berkata, “Rasulullah bersabda dalam sakit beliau,
“Panggilkanlah Abu bakar; ayahmu, dan saudaramu, supaya aku meninggalkan pesan tertulis. Karena sesungguhnya aku khawatir ada orang yang berharap, dan orang yang berkata, Aku lebih berhak. Dan Allah serta orang-orang mukmin menolak selain Abu Bakar.”
Sehingga ucapan Ibnu Abbas,
“sesungguhnya musibah yang sebenarnya ialah apa yang menghalangi antara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam daripada menuliskan pesan tertulis untuk mereka.”
Mengandung makna bahwa musibah tersebut ialah beradaan orang-orang yang meragukan kekhalifahan Abu Bakar Ash-shiddiq, atau tidak memahami permasalahan ini dengan baik. Karena seumpama terdapat satu wasiat tertulis tentu keraguan itu akan sirna. Adapun orang yang mengetahui bahwa kekhalifahan Abu Bakar merupakan suatu yang hak, maka tidak ada rencana yang menimpanya, walillahi al-hamdu.
Siapa yang menduga pesan yang hendak ditulis tersebut ialah wasiat tentang kekhalifahan Ali, dapat disimpulkan bahwa dugaannya itu sesat menurut ulama Ahlussunnah maupun Syi’ah. Adapun Ahlussunnah, mereka sepakat tentang keutamaan Abu Bakar keterdepanan beliau. Adapun ulama Syi’ah mereka mengatakan bahwa Ali sebagai yang berhak akan keimamahan setelah Nabi. Kata mereka, “sesungguhnya perihal imamah Ali telah ditetapkan secara jelas dan tegas dengan nas sebelum itu. Oleh karena itu tidak kebutuhan terhadap pesan tertulis.” Jika mereka mengatakan bahwa umat ini telah mengingkari nash yang telah diketahui lagi dikenal, maka kami katakan bahwa sebuah pesan tertulis (bahkan tidak jadi ditulis) yang disaksikan hanya oleh sekelompok kecil orang, tentu lebih berpeluang dan lebih pantas untuk diingkar.
Satu pertanyaan patut diajukan kepada penganut Syi’ah, apakah seluruh sahabat saat itu mengetahui bahwa sakit Nabi tersebut ialah sakit yang membawa beliau kepada kematian?! Jika anda semua mengiakan, maka kami tidak salah mengatakan bahwa kalian telah berdusta. Andai kata mereka tahu, tentu mereka tidak akan terguncang dengan kematian beliau. Bahkan Umar pun tidak percaya bahwa beliau telah wafat. Kejadia tersebut (wafatnya Rasulullah) adalah pukulan berat yang menghantam para sahabat, hingga Abu Bakar berkhutbah di tengah-tengah mereka seraya berkata, “Barangsiapa menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat, dan barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah, Maha Hidup dan tidak akan mati!”
Mereka tidak tahu bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam akan segera meninggal, karena mereka tidak mengetahui perkara ghaib. Maka dapat dimengerti jika mereka radhiyallahu ‘anhum berpikir menangguhkan menuliskan pesan tersebut hingga kondisi Nabi menjadi lebih baik?! Perlu diketahui bahwa Nabi tidak mengatakan kepada mereka, “Kalian dengarkanlah perintahku, karena aku akan pergi, dan kalian tidak akan mendengar apa-apa lagi dariku setelah itu!”
Dapat dipastikan bahwa sebab perintah beliau supaya mereka keluar dari ruangan beliau karena perdebatan mereka. jika tidak, mengapa Rasulullah meminta kedua kelompok itu untuk keluar semua, dan tidak seorang pun disuruh tinggal untuk menulis? Sesungguhnya Rasulullah mengetahui bahwa mereka menaati beliau seandainya Beliau mengulangi permintaan beliau untuk menuliskan pesan Beliau, sebagaimana mereka mematuhi perintah Beliau ketika mereka semua disuruh keluar.
Jika kita telaah secara kritis, dan kita perhatikan dengan seksama, kesannya –wallahu a’lam- bahwa yang menggelisahkan Rasulullah ialah reaksi kelompok kedua. Seharusnya mereka radhiyallahu anhum ajma’iin membiarkan sahabat-sahabat yang berpandangan untuk tidak menuliskan pesan rasulullah, dan menunggu tanggapan Rasulullah terhadap mereka, karena tida ada yang lebih utama dan lebih baik daripada beliau dalam hal mencegah kemungkaran dan memerintahkan yang makruf. Jadi seharusnya mereka membiarkan Rasulullah sendiri yang menegaskan dan menegur. Dan ternyata beliau tidak mengingkari pendapat Umar untuk tidak menuliskan pesan beliau.
Tuduhan lain yang dikemukakan Syi’ah bahwa sakit Nabi begitu parah sehingga tidak mampu untuk mendiamkan Umar. Tentang hal ini kami katakan, “Aneh sekali Anda ini! ketika kami sampaikan empati Umar terhadap penderitaan Rasulullah, kalian justru menuduhnya sebagai tindakan menghalang-halangi Nabi?! Selain itu sebegitu payahnyakah Rasulullah sehingga tidak mampu berbicara dan menegur? Secara meyakinkan, ini tidak benar karena Nabi mampu meminta kehadiran juru tulis untuk menulis. Kemudian yang hadirpun diam di sisi beliau. Beliau juga berkata kepada mereka, “Tidak layak ada pertengkaran di hadapan seorang Nabi.” Karena itulah atas dasar itulah para sahabat terdiam. Lalu pada saat ada kesempatan bagi Nabi untuk berbicara, minimal sepanjang apa yang ada dalam pesan tersebut, mengapa Nabi tidak menyampaikan wasiat beliau –sebagaimana yang diklaim oleh orang orang syi’ah- dan berkata, “Ali adalah penggantiku?” Bukankah kalimat ini lebih pendek daripada “Tidak selayaknya ada pertengkaran di hadapan seorang Nabi” ?! Ini membuktikan bahwa penyebab mereka diperintahkan keluar dari ruangan beliau bukanlah ucapan Umar dan sahabat-sahabat yang lai yang sependapat tetapi perbedaan mereka. karenakan semua memahami bahwa Umar tidak berniat untuk menolak apa yang akan disampaikan Nabi. Akan tetapi beliau tidak setuju penulisan pesan tersebut pada saat sakit Rasulullah, karena kecintaan dan empati beliau kepada Rasulullah.
Sebagai penutup, kami menganggap bahwa syubhat inilah yang menyebabkan sang penanya memilih Syi’ah. Semoga Allah memberikan hidayah kepadanya. Kepada yang bersangkutan saya sampaikan, bagaimana pendapat anda setelah memperhatikan jawaban terhadap syubhat yang telah menyeret Anda masuk Syi’ah? Tidak lupa saya sampaikan salam kepada orang yang telah mempertemukan Anda dengan kami melalui syubhat ini dan mungkin syubhat yang lain.

Oleh: Syekh Mamduh Farhan Al-Buhairi
Majalah Islam Internasional Qiblati edisi 06 tahun VII, Jumadal Ula 1433 H, April 2012 M, hal 6-14.