Monday, April 25, 2016

Ibrah ( Kalau Tidak Mau Menyesal Nanti), Motif Pengusiran Syiah Dari Mesir

Hasil gambar untuk massacre at acre

كَأَنَّهُ قَالَ: انْظُرُوا إِلَى مَنْ فَعَلَ مَا فَعَلَ فَعُوقِبَ بِمَا عُوقِبَ بِهِ، فَتَجَنَّبُوا مِثْلَ صَنِيعِهِمْ لِئَلَّا يَنْزِلَ بِكُمْ مِثْلُ مَا نَزَلَ بِأُولَئِكَ (معجم مقاييس اللغة 4 / 210).
Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Hasyr ayat 2 seakan berarti: lihat dan saksikan apa yang Allah SWT perbuat terhadap orang-orang yang berbuat kejahatan seperti itu (kejahatan Yahudi Bani Nadhir), yang karena kejahatannya itu ia disiksa dengan siksaan seperti itu, oleh karena itu, jauhilah perbuatan yang seperti perbuatan mereka, agar tidak turun menimpa kalian apa yang menimpa mereka. (Mu`jam Maqayis al-Lughah 4/210). ( * )
  
Senin, 25 April 2016 - 09:31 WIB
Nuruddin melihat Negeri Kinanah yang dikuasai Syiah dalam kondisi kacau balau. Dekadensi moral dan kerusakan terjadi di segenap penjuru
Oleh:  Mahmud Budi Setiawan
SETIAP kali disinggung nama Shalahuddin al Ayyubi, di antara peristiwa yang sering diingat –selain pembebasan Baitul Maqdis- adalah pengusiran Dinasti Syiah Fathimiyah dari Mesir.
Padahal -penting untuk dicatat- ide pengusiran Syiah dari Mesir, sejatinya diinisiasi Nuruddin Mahmud Zanki. Shalahuddin al Ayyubi hanya sebagai esekutor pelaksana, menggantikan Asad ad-Dīn Syirkuh (Shalahuddin al-Ayyubi wa Juhuduhu fi al-Qadha` `ala al-Daulah al-Fathimiyah, 167). Lantas, apa motif di balik pengusiran Syiahdari Mesir?
Dalam catatan sejarah, beberapa motif yang melatari pengusiran Syiah dari negeri Mesir di antaranya sebagai berikut.
Pertama, teologi dan syariat menyimpang yang sudah mendarah daging. Pada waktu itu, Nuruddin Mahmud Zanki melihat penyimpangan yang demikian parah sehingga berdampak buruk bagi masyarakat Mesir. Negara menjadi tidak setabil, masyarakat terpecah belah, dan keamanan negara menjadi terancam. Seperti jamak diketahui, akidah mereka adalah Batiniah dan Syiah Isma`ili. Hal ini jelas bertentangan dengan ideologi penduduk Mesir yang Sunni (`Ahsru al-Daulah Zankiah, 547).
Bila ditelisik lebih jauh ke belakang, hal itu tidak mengherankan, sebab sebelum menguasai Mesir pun, Daulah Fathimiyah (Ubaidiyah) ketika masih di Maghrib (sekarang Maroko, Tunisia, Libya), telah melakukan beberapa penyimpangan, di antaranya: menyembelih orang yang tidak mengakui Ubaidillah al-Mahdi sebagai nabi (Siyar A`lam, 11/132), berlaku zalim terhadap Muslim yang bersebrangan teologi, bahkan mengeksekusinya, pelarangan mengajar bagi guru Sunni, mencurigai dan melarang berbagai bentuk perkumpulan, memberangus karanganAhlus Sunnah, pembekuan beberapa hukum syari`at, dan lain sebagainya (al-Daulah al-Fathimiah, 67).
Kedua, selain motif penyimpangan teologis yang terjadi di Mesir yang harus segera diluruskan, faktor lain yang tidak kalah penting ialah mengembalikan stabilitas keamanan Mesir.
Pada waktu itu, Nuruddin melihat Negeri Kinanah yang dikuasai Syiah dalam kondisi kacau balau. Dekadensi moral dan kerusakan terjadi di segenap penjuru. Persaingan kekuasaan antara khalifah dan mentri sampai berujung maut. Sebagai contoh kecil, Khalifah Dhafir terbunuh di tangan mentrinya. Antar mentri pun juga terjadi persengketaan bahkan pembunuhan (al-Kāmil fī al-Tārīkh, 2/299).
Ironisnya, pernah dalam tahun yang sama, mentri dipimpin oleh tiga orang yaitu: Adil bin Zuraik, Shawar, dan Dhirghom. Sampai pada akhirnya Shawar meminta bantuan pada Nuruddin Zanki.
Ketiga, mempersatukan umat pada satu barisan. Pada waktu itu, salah satu kerjaan Syiah yang sering dilakukan ialah memecah belah umat Islam (Shalahuddin al-Ayyubi Wa Juhuduhu, 168).
Oleh karena itu, pemimpin yang dikenal dengan julukan al-Malik al-`Adil(Raja Adil) ini merasa terdesak untuk segera menyatukan umat.
Keempat, jika umat bisa disatukan, maka umat akan menjadi kuat dan semakin mudah menghadapi tentara salibis. Ketika itu salah satu problem yang dihadapi Nuruddin adalah gencaran serangan tentara salib. Karena itulah, anak dari Imaduddin ini memandang, selama umat masih dalam kondisi terpecah belah, maka akan sangat sulit mengalahkan pasukan salib. Maka dari itu, usaha untuk menggabungkan Mesir dengan Syam adalah sebuah keniscayaan yang harus segera direalisasikan.
Kelima, selain keempat motif tadi, motif lain yang tidak kalah pentingnya mengapa Syiahharus diusir ialah karena pengkhianatan dan kegemaran Syiahberskongkol dengan para musuh. Ini jelas akan membahayakan rencana Nuruddin untuk membangung menghadapi para musuh Islam. Di sepanjang sejarah, Syiahselalu melakukan, makar, konspirasi yang memang sangat merepotkan barisan umat.
Ada cerita menarik tentang pengkhianatan. Alkisah, Shawar bin Mujīr al-Sa`adi -yang dimakzulkan secara paksa dari kursi kepemimpinan- lari ke Damaskus meminta bantuan Nuruddin Zanki. Ia berjanji -kalau kembali memimpin- akan menjadi wakilnya di Mesir. Tak tanggung-tanggung, ia siap memberikan sepertiga pendapatan Mesir pertahun kepadanya. Setelah penguasa baru Mesir (Dhorghom bin Tsa`labah yang bekerjasama dengan Raja Amauri I) bisa dikalahkan, ternyata watak asli Shawar tampak. Ia ingkar janji, memperlakukan tentara dengan tidak baik, bahkan mengusir Asad ad-Dīn dan Shalahuddin beserta rombongannya. Seperti inilah sikap Syiah di sepanjang sejarah.
Ketika mereka dalam kondisi tertindas, lemah, mereka akan menjilat dan pura-pura bersahabat, namun ketika kuat, mereka akan bertindak semena-mena terhadap orang yang tak sependapat.
Tidak berlebihan jika Syeikh Ibnu Taimiyah dalam Minhaju al-Sunnah(6/364) menyatakan bahwa Syiah (Rafidhah) adalah akar dari segala fitnah dan kejahatan. Bukan hanya itu, salah satu kebiasaan mereka adalah bersekongkol dengan musuh umat Islam baik yang berasal dari Yahudi, Nashrani, maupun orang-orang Musyrik.  Maka tidak mengherankan jika faktor terbesar yang membuat orang kafir Turki ke negeri Islam adalah Syiah Rafidhi.
Sebagai contoh, tokoh yang masyhur yang diabadikan sejarah ialah Ibnu `Alqami, Nashiruddin Thusi.
Ketika Negeri Syam diserang oleh orang kafir, mereka dengan terang-terangan membantunya. Ketika kekuatan Muslim melemah, seiring dengan kedatangan Ghazan, mereka menolong orang kafir Nashrani dan lain sebagainya yang merupakan musuh orang Muslim. Mereka menjual anak-anak Muslim layaknya budak, harta dirampas, dan memerangi orang Muslim dengan terang-terangan bahkan sebagian dari mereka ada yang membawa bendera salib.
Lebih dari itu, mereka juga merupakan faktor terpenting yang membuat kekuasaan para salibis berkuasa di Baitul Maqdis, Palestina (Minhaj al-Sunnah, 7/414).
Bahkan, saat Shalahudin berkuasa pun, kebiasaan mereka bersekongkool dengan musuh masih terjadi. Sebagai contoh, `Umārah bin Abi Hasan al-Yamani (penyair), Abdul Shamad al-Katib, al-Qadhi al-`Uwairis, yang bekerjasama dengan pasukan salib untuk memberangus Shalahuddin. Di antara makarnya, ketika Shalahuddin menghadapi tentara Salib, mereka (orang Syiah) akan melakukan pemberontakan dari dalam, tentunya untuk mengembalikan Daulah Fathimiah yang berideologi Syiah (al-Kāmil fi al-Tārikh, 9/390).
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa di antara motif pengusiran Syiah dari negeri Mesir ada lima:
Pertama, teologi dan syariat menyimpang yang harus diluruskan.Kedua, mengembalikan stabilitas keamana Mesir yang kacau balau akibat dominasi Syiah.
Ketiga, mengembalikan persatuan umat yang dipecah belah Syiah.Keempat, ketika sudah bersatu, maka akan mudah menghadapi musuh Islam.
Kelima, pengkhianatan dan persengkongkolan Syiahyang sangat berbahaya. Itulah yang menyebabkan Syiahsampai diusir dari Negeri Kinanah, Mesir.*

Beginilah Cara Shalahuddin 
Menjaga Akidah

Hasil gambar untuk panglima islam

SHALAHUDDIN AL AYUBI serius dalam upaya membangkitkan dan menguatkan kembali aqidah Sunni, setelah sebelumnya banyak penduduk Mesir yang menganut Syi’ah di masa Fathimiyah.
Dalam hal ini Al Hafidz As Suyuthi, ulama Mesir yang wafat tahun 911 H menyatakan,”Ketika Shalahuddin bin Ayub berkuasa, ia memerintahkan para muadzin untuk melantunkan di waktu tasbih aqidah Asy’ariyah. Maka para muadzin membiasakan hal itu setiap malam hingga waktu kita saat ini.” (Al Wasa`il ila Al Musamarah Al Awa`il, hal. 15)

Sikap Panglima Shalāhuddin Al-Ayyubi Terhadap Syiah

( * ) Saat menjelaskan makna i`tibar  yang ada dalam firman Allah SWT:
فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي الْأَبْصَارِ (الحشر: 2)
Seorang pakar bahasa Arab yang dikenal dengan panggilan Ibnu Faris (329 – 395 H = 941 – 1004 M)