Menolak menyelesaikan perkara
(tahakum) dengan syariat Islam, padahal syariat Islam tegak adalah sebuah
kekufuran. Akan tetapi sudah menjadi permakluman bersama bahwa saat ini sulit
untuk menemukan negara yang menegakkan syariat Islam. Sebagian besar negeri-negeri
kaum muslimin hari ini menerapkan hukum-hukum positif hasil impor dari negeri
barat. Berbagai macam sikap menghadapi dilema tersebut. Ada yang tidak ambil
pusing, dengan alasan bahwa prinsip Islam adalah keadilan, maka selama adil
tidak masalah. Ada yang menolak mentah-mentah untuk ber-tahakum dengan
hukum-hukum positif tersebut, dengan alasan itu sebuah kekufuran. ada juga yang
berhati-hati dan memilah milih, mana yang jatuh kepada kekufuran dan mana yang
tidak.
Syaikh Athiyyatullah Al-Libi yang
merupakan salah seorang ulama Al-Qaeda pernah ditanya hal tersebut. jawaban
yang beliau berikan menggambarkan kehati-hatian beliau. beliau tidak memberikan
jawaban yang tegas. akan tetapi beliau mengulas perbedaan pendapat ulama
kontemporer dalam masalah itu. Agaknya beliau ingin setiap pilihan yang
disampaikan disesuaikan dengan realita. berikut tanya jawab beliau yang dimuat
di dalam buku Al-A’mal Al-Kamilah lisy Syaikh Al-Imam Asy-Syahid Al-Mujahid
Athiyatullah Al-Libi.
Pertanyaan akh Abu Mazin – Sudan:
Apakah wajib berinteraksi dengan
negara-negara yang tidak memberlakukan syariat Allah? Apakah wajib meminta
keputusan hukum (at-tahaakum) kepada pengadilannya, bahkan seandainya dirinya
dalam kondisi berbuat zalim atau dizalimi, dalam kondisi tidak senang maupun
kondisi rela?
Jawaban Syaikh Athiyatullah
Al-Libi rahimahullah:
Anda mengatakan “wajib”. Anda
harus belajar menggunakan ungkapan “boleh” dalam kasus seperti ini. Sehingga
Anda mengatakan, “Apakah boleh begini?” Kata “interaksi” adalah kata yang
global —sangat luas, mencakup banyak makna dan pengertian—. Lalu interaksi
seperti apa yang ditanyakan?
Bagaimanapun (pertanyaannya),
interaksi yang wajib dengan pemerintahan-pemerintahan yang tidak menerapkan
syariat Allah adalah mendakwahi pemerintahan-pemerintahan tersebut kepada
tauhid dan kembali kepada agama Allah serta komitmen dengan syariatnya, dan
berjihad melawan pemerintahan-pemerintahan tersebut sampai mereka kembali
(kepada syariat Allah). Adapun interaksi-interaksi selain itu, seperti interaksi
duniawi mata pencaharian hidup dan selainnya, maka hal itu ada perinciannya.
Salah satu aturan terpenting
dalam interaksi tersebut adalah tidak boleh memberikan loyalitas dan
pertolongan kepada pemerintahan-pemerintahan tersebut. Tidak boleh juga meminta
keputusan hukum kepadanya. Bahkan seorang muslim wajib berlepas diri dan
memusuhi serta mengkufuri pemerintahan-pemerintahan tersebut. Sebab, ia adalah
pemerintahan-pemerintahan kafir dan ia adalah thaghut.
Adapun interaksi selain itu,
yaitu interaksi yang tidak masuk dalam kategori loyalitas, membantu, dan
meminta keputusan hukum kepada pemerintahan-pemerintahan tersebut, maka hal itu
boleh jika manusia memerlukannya, selama tidak ada faktor (dalil syar’i atau
lainnya) yang melarangnya. Wallahu a’lam.
Adapun permasalahan meminta
keputusan hukum kepada para hakim dalam pemerintahan-pemerintahan tersebut,
maka selama pemerintahan-pemerintahan tersebut tidak berkomitmen kepada syariat
Allah dan tidak memberlakukan syariat Allah, maka ia adalah thaghut seperti
yang telah kami katakan tadi, sehingga tidak boleh meminta keputusan hukum
kepadanya. Demikian, hanya ada satu pendapat, tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama atas permasalahan ini.
Hal itu berdasarkan nash-nash
dalam Al-kitab al-hakim (Al-Qur’an) yang sangat jelas tentang hal itu.
Sebagaimana firman Allah:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى
الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ
يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa (wahyu)
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka
hendak berhakim (meminta keputusan hokum) kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS An-Nisa’ [4]: 60)
Dan firman Allah:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا
يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu,
mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 65)
Namun demikian, ada
satu permasalahan yang dibicarakan oleh para ulama kontemporer, yaitu
permasalahan: seorang muslim yang tinggal di negeri kafir —-berada di bawah
kekuasaan negara kafir asli atau negara murtad— mengadukan sebuah persoalan
(kasus) pada pengadilan negara tersebut —negara dan pengadilan yang tidak
berkomitmen dengan syariat Allah— untuk mengambil kembali haknya yang dirampas
secara zalim, yang merupakan hak miliknya yang sah tanpa ada keraguan lagi
tentang hak kepemilikan tersebut.
Misalnya tanah,
rumah, atau hartanya yang dirampas secara zalim, atau dicuri, atau semisal
dengannya. Ia mengajukan kasusnya kepada pengadilan negara tersebut sebab ia
tidak bisa meraih haknya kembali kecuali dengan melaporkan kasusnya kepada
kepolisian negara tersebut dan mengangkat kasusnya ke lembaga pengadilan negara
tersebut.
Ini adalah sebuah
permasalahan yang tergolong nawazil (peristiwa insidental baru yang belum
terjadi di zaman dahulu, pent) yang diperbincangkan oleh para ulama
kontemporer.
Pendapat Pertama:
Di antara ulama ada
yang melarangnya secara total dan memerintahkan untuk bersabar, karena hawatir
kasus seperti ini termasuk dalam kategori at-tahaakum (meminta keputusan hukum)
kepada thaghut yang dilarang oleh syariat Islam, yang —dalam agama kita—
terhitung sebuah kekufuran.
Pendapat Kedua:
Di antara ulama ada
yang memberi rukhsah (keringanan) dalam hal ini karena darurat. Sebab masyarakat
membutuhkan penjagaan (perlindungan) terhhadap harta mereka dan hak-hak milik
mereka, dan pengembalian harta yang dirampas secara zalim dan dicuri.
Seandainya kita melarang mereka dari mengadukan kasusnya kepada pengadilan
negara tersebut, niscaya akan terjadi bahaya (kerusakan) yang umum dan besar
yang tidak sanggup dipikul oleh masyarakat umum.
Perkara haajiyat jika
telah mencapai taraf ‘umum al-balwa (yaitu berkaitan dengan mayoritas manusia)
maka ia berubah kedudukannya menjadi tingkatan dharurat. Sebab satu individu
atau beberapa individu bisa saja dilarang mengadukan kasusnya kepada pengadilan
negara tersebut dan diperintahkan untuk bersabar serta tidak mengambil haknya,
misalnya. Namun hal itu tentu tidak bisa diperintahkan kepada mayoritas manusia.
Seandainya kita memerintahkan mayoritas manusia untuk tidak mengadukan kasusnya
dan bersabar, niscaya akan terjadi kerusakan yang besar, ditambah dengan
berkuasanya orang-orang kafir secara semena-mena terhadap kaum muslimin saat mereka melihat kaum muslimin tidak
menuntut hak-hak mereka. Akibatnya kerusakannya pun semakin berlipat-lipat.
Ini adalah alasan
yang mengarah (tepat). Kesimpulan pendapat ini adalah menempatkan kasus seperti
ini pada kasus ikrah (paksaan yang diakui syariat). Karena perampasan seluruh
harta atau sejumlah besar harta termasuk dalam kategori paksaan. Dimana jika
perampasan terhadap seluruh harta seseorang atau sejumlah besar harta seseorang
menyebabkan hidup orang tersebut dalam kesempitan yang sangat, maka hal itu
terhitung kondisi paksaan menurut sebagian ulama. Sebab harta adalah saudara
kandung nyawa.
Sebagian ulama
berdalil atas hal ini dengan hadits kisah Hajjaj bin Ilath radhiyallahu ‘anhu
yang disebutkan dalam Musnad Ahmad secara panjang lebar, juga diriwayatkan oleh
An-Nasai, Ibnu Hibban, Ath-Thabarani, dan lain-lain. Hajjaj bin Ilath meminta
izin kepada Nabi SAW, setelah ia masuk Islam, untuk pergi ke Makkah dengan
menyembunyikan keimanannya dan mengatakan ucapan tertentu, yaitu ucapan yang
dituntut oleh kondisi darurat guna menyelamatkan hartanya seperti ucapan yang
menyakiti Nabi SAW. Maka Nabi SAW memberinya izin untuk melakukan hal itu. [1]
Para ulama tersebut
membuat syarat-syarat dan aturan-aturan untuk kondisi ini:
– Ia mengajukan
kasusnya kepada pengadilan tersebut dalam kondisi tidak senang (tidak ridha)
dan terpaksa, disebabkan ia tidak bisa meraih haknya tersebut kecuali melalui
jalan pengaduan kepada pengadilan tersebut.
– Ia hanya mengambil
haknya semata, tidak mengambil lebih dari itu.
Pendapat ketiga:
Di antara ulama ada
yang memandang pengaduan kasus kepada pengadilan tersebut sama sekali tidak
termasuk kategori at-tahaakum (meminta putusan hukum kepada thaghut), meskipun
sebagian orang menamakannya at-tahaakum. Sebab penamaan manusia bukanlah
menjadi tolok ukur penilaian. Sesungguhnya penilaian itu didasarkan kepada
hakekat-hakekat dan makna-makna yang dengannya syariat mengaitkan sebuah hukum
(al-‘ibratu bil haqaiq wal ma’ani al-lati ‘allaqa asy-syaari’u biha al-hukmu)
dan dengan penamaan dari syariat yang dengannya penilaian terwujud.
Para ulama ini
mengatakan: Bentuk seperti ini bukanlah tahaakum, melainkan syakwa (pengaduan)
kepada penguasa kafir dan meminta bantuan kepadanya agar penguasa kafir
tersebut mengambil hak dari pelaku kezaliman dan mengembalikan hak tersebut
kepada orang yang dizalimi. Sudah sama-sama diketahui bahwa
permasalahan-permasalahan seperti ini termasuk perkara yang telah disepakati
oleh semua syariat langit (agama Islam, Yahudi, dan Nasrani) dan
perundangan-undangan positif. Maksud saya adalah larangan mencuri dan merampas
secara zalim, serta menganggap keduanya sebagai perbuatan kejahatan pidana, dan
wajibnya mengembalikan hak kepada pemiliknya.
Ini adalah hak yang diakui bersama dan diketahui bersama.
Orang yang mengajukan
kasusnya kepada kepolisian atau kepada pengadilan kafir tidaklah mengangkat
kasusnya dalam wujud at-tahaakum, yaitu meminta agar mereka (para hakim)
memberi keputusan untuknya dalam sebuah masalah yang ia belum mengetahui
hukumnya, atau ia mengetahui bahwa hukumnya menurut para hakim tersebut
menyelisihi hukum Allah yang sudah diketahui dengan jelas. Bukan pula dalam
wujud ia berkomitmen dengan keputusan hukum para hakim tersebut apapun bentuk
keputusannya. Bagaimana tidak, sedangkan ia —seorang muslim yang dizalimi—
telah menegaskan bahwa ia mengkufuri mereka dan hukum-hukum mereka dan
bahwasanya ia adalah thaghut.
Namun kondisinya
adalah si muslim tersebut bertanya-tanya, “Apa usaha yang bisa dilakukan agar
saya bisa mengambil kembali hakku dan hartaku yang dirampas? Padahal saya tidak
meraihnya kembali kecuali dengan pengaduan kepada thaghut ini dan meminta
bantuannya agar ia mengambil hakku tersebut dari rakyatnya (yang berbuat zalim
kepadaku), lalu ia menyerahkannya kembali kepadaku?”
Para ulama tersebut
berkata: Sudah diketahui bersama bahwa makna at-tahaakum (meminta keputusan
hukum) adalah mengadukan sebuah kasus yang diperselisihkan oleh dua belah pihak
yang bersengketa kepada satu pihak tertentu agar pihak tertentu tersebut
memberikan sebuah keputusan di antara mereka. Maka at-tahaakum pada dasarnya
adalah tafaa’ul (interaksi dua belah pihak), sebab dalam hal itu ada
keterlibatan aktif dua pihak yang bersengketa. Inilah mayoritas penggunaan
sighah kata kerja tafaa’ala. Jika kata kerja ini dipakai untuk pengertian
aktifitas satu pihak saja, maka maknanya adalah sama dengan makna kata kerja
fi’il mujarradnya.
Orang yang mengangkat
kasusnya ini hanya mengangkatnya dengan syarat ia komitmen terhadap keputusan
yang diberikan oleh pihak pemberi keputusan tersebut, baik secara lahir dan
batin (mengimaninya, mempercayainya), atau secara lahir semata. Maka
at-tahaakum adalah meminta keputusan hukum kepada sebuah pihak tertentu dengan
kewajiban ia menerima keputusan dari pihak pemberi keputusan tersebut dan
berkomitmen dengannya.
Inilah makna
at-tahaakum, yang Allah SWT menegaskan bahwasanya tidak boleh ber-tahaakum
kecuali kepada-Nya, yaitu kkepada syariat-Nya dan kepada keputusan Rasul-Nya
SAW; dimana Allah menyatakan at-tahaakum kepada selain-Nya (yaitu kepada selain
syariat-Nya dan selain keputusan Rasul-Nya) adalah orang kafir yang
ber-tahaakum kepada thaghut. Allah SWT menamakan pihak yang memberi keputusan
di antara manusia tanpa adanya prinsip komitmen kepada syariat Allah sebagai
thaghut dan Allah memerintahkan manusia untuk mengkufuri thaghut tersebut.
Adapun masalah yang
sedang kita bicarakan ini tidaklah memiliki makna seperti itu, sehingga ia
tidak termasuk dalam definisi at-tahaakum. Justru hakekat dari permasalahan
yang kita bahas ini adalah pengaduan kepada thaghut dan meminta bantuan
kepadanya agar thaghut tersebut menyerahkan hak kepada pemilik sebenarnya. Ini
adalah masalah lain (yang berbeda dengan at-tahaakum). Tidak membahayakan
(tidak masalah bagi) kita jika orang tersebut menempuh proses-proses peradilan
dan hukum yang dengannya ia mendapatkan perlindungan dari kebatilan. Ini adalah
tindakan dia. Karena manusia tidak bisa mendapatkan kembali hak-hak mereka yang
diakui kecuali dengan cara itu, maka at–tarakhus (mengambil atau memberikan
keringanan) dalam hal itu adalah perkara yang jelas.
Jika sudah sampai
pada kesimpulan demikian, maka syaratnya adalah:
– Hendaklah hak yang
hendak dituntut adalah benar-benar milik sah dari si muslim yang dizalimi dan
mengajukan pengaduan tersebut.
– Bisa diharapkan
(secara dugaan kuat) bahwa pihak thaghut akan mengembalikan hak tersebut kepada
si muslim tersebut setelah dijalaninya proses penyidikan dan
pembuktian-pembuktian. Maka si muslim tersebut mengambil haknya dan tidak
lebih, dengan tidak mengambil hal yang ia ragu-ragu atau ia tidak
mengetahuinya. Sebab hal yang diragukan atau hal yang tidak diketahui tersebut
datang kepadanya melalui hukum thaghut. Adapun haknya yang legal adalah perkara
yang telah diketahui bersama dalam aturan syariat Islam dan seluruh
perundang-undangan. Haknya berhak ia ambil sebab hak tersebut diakui dalam
hukum Allah SWT.
Pendapat yang terakhir
(ketiga) ini adalah pendapat yang kuat dan sangat mengarah (tepat). Meski
demikian, permasalahan ini perlu pengkajian lebih lanjut.
Semoga apa yang kami
tulis ini memberikan pencerahan, kunci, dan pemahaman sehingga bisa diambil
manfaatnya oleh ikhwan-ikhwan. Dengan ini diketahui bahwa permasalahhan ini
adalah permasalahan ijtihadiyah, sehingga tidak selayaknya menjadi sebab
terjadinya perselisihan hati, saling membenci, dan saling membelakangi di
antara sesama kaum muslimin.
Allah SWT Yang lebih
mengetahui, dan saya memohon ampunan Allah atas segala dosa.
Sebenarnya,
permasalahan ini merupakan salah satu faktor yang mendorong dilakukannya jihad
di jalan Allah sehingga seluruh ketundukan manusia tertuju kepada Allah semata.
Seandainya kaum muslimin melaksanakan kewajiban jihad, menyingsingkan lengan
baju mereka, dan meminta pertolongan kepada Allah SWT; niscaya mereka dalam
sebagian besar kondisi tidak memerlukan permasalahan-permasalahan seperti ini,
dan tentulah mereka akan dapat hidup merdeka lagi mulia.
——-
Catatan Kaki:
[1]- Kisah Hajjaj bin ‘Ilath radhiyallahu
‘anhu disebutkan dalam sebuah hadits yang panjang. Bagian awal hadits tersebut
berbunyi:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
لَمَّا افْتَتَحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ قَالَ
الْحَجَّاجُ بْنُ عِلَاطٍ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي بِمَكَّةَ مَالًا،
وَإِنَّ لِي بِهَا أَهْلًا، وَإِنِّي أُرِيدُ أَنْ آتِيَهُمْ، فَأَنَا فِي حِلٍّ
إِنْ أَنَا نِلْتُ مِنْكَ، أَوْ قُلْتُ شَيْئًا ؟ ” فَأَذِنَ لَهُ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقُولَ مَا شَاءَ “، فَأَتَى امْرَأَتَهُ
حِينَ قَدِمَ فَقَالَ: اجْمَعِي لِي مَا كَانَ عِنْدَكِ، فَإِنِّي أُرِيدُ أَنْ
أَشْتَرِيَ مِنْ غَنَائِمِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَأَصْحَابِهِ، فَإِنَّهُمْ قَدِ اسْتُبِيحُوا وَأُصِيبَتْ أَمْوَالُهُمْ، قَالَ:
فَفَشَا ذَلِكَ بِمَكَّةَ، فانْقَمَعَ الْمُسْلِمُونَ، وَأَظْهَرَ الْمُشْرِكُونَ
فَرَحًا وَسُرُورًا قَالَ: وَبَلَغَ الْخَبَرُ الْعَبَّاسَ فَعَقِرَ ، وَجَعَلَ
لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَقُومَ…
وَلَكِنِّي جِئْتُ
لِمَالٍ كَانَ لِي هَاهُنَا، أَرَدْتُ أَنْ أَجْمَعَهُ فَأَذْهَبَ بِهِ،
فَاسْتَأْذَنْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَذِنَ لِي
أَنْ أَقُولَ مَا شِئْتُ “، فَأَخْفِ عَنِّي ثَلَاثًا، ثُمَّ اذْكُرْ مَا بَدَا
لَكَ قَالَ: فَجَمَعَتْ امْرَأَتُهُ مَا كَانَ عِنْدَهَا مِنْ حُلِيٍّ وَمَتَاعٍ ،
فَجَمَعَتْهُ فَدَفَعَتْهُ إِلَيْهِ، ثُمَّ انْشَمَرَ بِهِ،
Dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika Rasulullah SAW selesai menaklukkan kota
Khaibar, Hajjaj bin Ilath berkata ‘Wahai Rasulullah, di kota Makkah saya memiliki
harta dan saya juga memiliki keluarga di sana. Saya ingin mendatangi mereka
(dan mengambil harta saya). Bolehkah saya mencaci maki Anda atau
mengatai-ngatai Anda (agar peduduk Makkah mengira saya seorang musyrik seperti
mereka yang membenci Anda, sehingga saya bisa mendapatkan semua harta saya,
pent)?’ Rasulullah SAW pun memberikan izin kepadanya untuk mengatakan apa yang
ingin ia katakana.
Ketika tiba di
Makkah, Hajjaj bin Ilath segera mendatangi istrinya an berkata kepadanya,
“Kumpulkanlah seluruh hartamu, sebab aku ingin memborong harta rampasan perang
dari Muhammad dan para pengikutnya. Sebab, mereka telah terbunuh dan harta
benda mereka menjadi harta rampasan perang (orang-orang Yahudi Khaibar, pent).”
Berita buruk itu
menyebar luas di kota Makkah sehingga kaum muslimin di Makkah terbungkam
karenanya. Sebaliknya, orang-orang musyrik di Makkah bergembira ria dengan
berita itu. Berita buruk itu akhirnya sampai ke telinga Abbas bin Abdul
Muthalib (paman Nabi SAW, pent), sehingga ia mengalami shock dan tidak bisa
berdiri…”
Hajjaj bin Ilath
berkata kepada Abbas bin Abdul Muthalib, “…Akan tetapi aku datang ke Makkah
karena aku memiliki sejumlah harta di sini. Aku ingin mengumpulkan semuanya,
lalu aku akan membawanya pergi ke Madinah. Aku telah meminta izin kepada
Rasulullah SAW, maka beliau memberiku izin untuk mengatakan apapun yang ingin
aku katakan. Maka rahasiakanlah berita dariku ini selama tiga hari, setelah itu
engkau boleh mengabarkan (kepada penduduk Makkah) apa yang ingin kau katakan.”
Istrinya lalu mengumpulkan semua perhiasan dan barang berharga miliknya, lalu
diserahkan kepadanya, lalu ia segera membawa pergi semua harta tersebut…” (HR.
Ahmad no. 12409, Abdurrazzaq no. 9771, Abd bin Humaid no. 1288, Al-Bazzar no.
1816, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 8646, Abu Ya’la no. 3479, Ibnu
Hibban no. 4530, Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 3196, dan
Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 9/150. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata:
shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Sumber:
Al-A’mal Al-Kamilah
lisy Syaikh Al-Imam Asy-Syahid Al-Mujahid Athiyatullah Al-Libi, 1/416-421, cet.
1, 1436 H /2015 M.
Penulis : Fauzan