Thursday, June 30, 2016

Menuntut Hak Yang Terampas Melalui Pengadilan Sekuler, Menurut Syaikh Athiyyatullah Al-Libi

kezaliman

Menolak menyelesaikan perkara (tahakum) dengan syariat Islam, padahal syariat Islam tegak adalah sebuah kekufuran. Akan tetapi sudah menjadi permakluman bersama bahwa saat ini sulit untuk menemukan negara yang menegakkan syariat Islam. Sebagian besar negeri-negeri kaum muslimin hari ini menerapkan hukum-hukum positif hasil impor dari negeri barat. Berbagai macam sikap menghadapi dilema tersebut. Ada yang tidak ambil pusing, dengan alasan bahwa prinsip Islam adalah keadilan, maka selama adil tidak masalah. Ada yang menolak mentah-mentah untuk ber-tahakum dengan hukum-hukum positif tersebut, dengan alasan itu sebuah kekufuran. ada juga yang berhati-hati dan memilah milih, mana yang jatuh kepada kekufuran dan mana yang tidak.

Syaikh Athiyyatullah Al-Libi yang merupakan salah seorang ulama Al-Qaeda pernah ditanya hal tersebut. jawaban yang beliau berikan menggambarkan kehati-hatian beliau. beliau tidak memberikan jawaban yang tegas. akan tetapi beliau mengulas perbedaan pendapat ulama kontemporer dalam masalah itu. Agaknya beliau ingin setiap pilihan yang disampaikan disesuaikan dengan realita. berikut tanya jawab beliau yang dimuat di dalam buku Al-A’mal Al-Kamilah lisy Syaikh Al-Imam Asy-Syahid Al-Mujahid Athiyatullah Al-Libi.

Pertanyaan akh Abu Mazin – Sudan:

Apakah wajib berinteraksi dengan negara-negara yang tidak memberlakukan syariat Allah? Apakah wajib meminta keputusan hukum (at-tahaakum) kepada pengadilannya, bahkan seandainya dirinya dalam kondisi berbuat zalim atau dizalimi, dalam kondisi tidak senang maupun kondisi rela?

Jawaban Syaikh Athiyatullah Al-Libi rahimahullah:

Anda mengatakan “wajib”. Anda harus belajar menggunakan ungkapan “boleh” dalam kasus seperti ini. Sehingga Anda mengatakan, “Apakah boleh begini?” Kata “interaksi” adalah kata yang global —sangat luas, mencakup banyak makna dan pengertian—. Lalu interaksi seperti apa yang ditanyakan?

Bagaimanapun (pertanyaannya), interaksi yang wajib dengan pemerintahan-pemerintahan yang tidak menerapkan syariat Allah adalah mendakwahi pemerintahan-pemerintahan tersebut kepada tauhid dan kembali kepada agama Allah serta komitmen dengan syariatnya, dan berjihad melawan pemerintahan-pemerintahan tersebut sampai mereka kembali (kepada syariat Allah). Adapun interaksi-interaksi selain itu, seperti interaksi duniawi mata pencaharian hidup dan selainnya, maka hal itu ada perinciannya.

Salah satu aturan terpenting dalam interaksi tersebut adalah tidak boleh memberikan loyalitas dan pertolongan kepada pemerintahan-pemerintahan tersebut. Tidak boleh juga meminta keputusan hukum kepadanya. Bahkan seorang muslim wajib berlepas diri dan memusuhi serta mengkufuri pemerintahan-pemerintahan tersebut. Sebab, ia adalah pemerintahan-pemerintahan kafir dan ia adalah thaghut.

Adapun interaksi selain itu, yaitu interaksi yang tidak masuk dalam kategori loyalitas, membantu, dan meminta keputusan hukum kepada pemerintahan-pemerintahan tersebut, maka hal itu boleh jika manusia memerlukannya, selama tidak ada faktor (dalil syar’i atau lainnya) yang melarangnya. Wallahu a’lam.

Adapun permasalahan meminta keputusan hukum kepada para hakim dalam pemerintahan-pemerintahan tersebut, maka selama pemerintahan-pemerintahan tersebut tidak berkomitmen kepada syariat Allah dan tidak memberlakukan syariat Allah, maka ia adalah thaghut seperti yang telah kami katakan tadi, sehingga tidak boleh meminta keputusan hukum kepadanya. Demikian, hanya ada satu pendapat, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama atas permasalahan ini.

Hal itu berdasarkan nash-nash dalam Al-kitab al-hakim (Al-Qur’an) yang sangat jelas tentang hal itu. Sebagaimana firman Allah:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa (wahyu) yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim (meminta keputusan hokum) kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS An-Nisa’ [4]: 60)

Dan firman Allah:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 65)

Namun demikian, ada satu permasalahan yang dibicarakan oleh para ulama kontemporer, yaitu permasalahan: seorang muslim yang tinggal di negeri kafir —-berada di bawah kekuasaan negara kafir asli atau negara murtad— mengadukan sebuah persoalan (kasus) pada pengadilan negara tersebut —negara dan pengadilan yang tidak berkomitmen dengan syariat Allah— untuk mengambil kembali haknya yang dirampas secara zalim, yang merupakan hak miliknya yang sah tanpa ada keraguan lagi tentang hak kepemilikan tersebut.

Misalnya tanah, rumah, atau hartanya yang dirampas secara zalim, atau dicuri, atau semisal dengannya. Ia mengajukan kasusnya kepada pengadilan negara tersebut sebab ia tidak bisa meraih haknya kembali kecuali dengan melaporkan kasusnya kepada kepolisian negara tersebut dan mengangkat kasusnya ke lembaga pengadilan negara tersebut.

Ini adalah sebuah permasalahan yang tergolong nawazil (peristiwa insidental baru yang belum terjadi di zaman dahulu, pent) yang diperbincangkan oleh para ulama kontemporer.

Pendapat Pertama:

Di antara ulama ada yang melarangnya secara total dan memerintahkan untuk bersabar, karena hawatir kasus seperti ini termasuk dalam kategori at-tahaakum (meminta keputusan hukum) kepada thaghut yang dilarang oleh syariat Islam, yang —dalam agama kita— terhitung sebuah kekufuran.

Pendapat Kedua:

Di antara ulama ada yang memberi rukhsah (keringanan) dalam hal ini karena darurat. Sebab masyarakat membutuhkan penjagaan (perlindungan) terhhadap harta mereka dan hak-hak milik mereka, dan pengembalian harta yang dirampas secara zalim dan dicuri. Seandainya kita melarang mereka dari mengadukan kasusnya kepada pengadilan negara tersebut, niscaya akan terjadi bahaya (kerusakan) yang umum dan besar yang tidak sanggup dipikul oleh masyarakat umum.

Perkara haajiyat jika telah mencapai taraf ‘umum al-balwa (yaitu berkaitan dengan mayoritas manusia) maka ia berubah kedudukannya menjadi tingkatan dharurat. Sebab satu individu atau beberapa individu bisa saja dilarang mengadukan kasusnya kepada pengadilan negara tersebut dan diperintahkan untuk bersabar serta tidak mengambil haknya, misalnya. Namun hal itu tentu tidak bisa diperintahkan kepada mayoritas manusia. Seandainya kita memerintahkan mayoritas manusia untuk tidak mengadukan kasusnya dan bersabar, niscaya akan terjadi kerusakan yang besar, ditambah dengan berkuasanya orang-orang kafir secara semena-mena terhadap kaum muslimin  saat mereka melihat kaum muslimin tidak menuntut hak-hak mereka. Akibatnya kerusakannya pun semakin berlipat-lipat.

Ini adalah alasan yang mengarah (tepat). Kesimpulan pendapat ini adalah menempatkan kasus seperti ini pada kasus ikrah (paksaan yang diakui syariat). Karena perampasan seluruh harta atau sejumlah besar harta termasuk dalam kategori paksaan. Dimana jika perampasan terhadap seluruh harta seseorang atau sejumlah besar harta seseorang menyebabkan hidup orang tersebut dalam kesempitan yang sangat, maka hal itu terhitung kondisi paksaan menurut sebagian ulama. Sebab harta adalah saudara kandung nyawa.

Sebagian ulama berdalil atas hal ini dengan hadits kisah Hajjaj bin Ilath radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan dalam Musnad Ahmad secara panjang lebar, juga diriwayatkan oleh An-Nasai, Ibnu Hibban, Ath-Thabarani, dan lain-lain. Hajjaj bin Ilath meminta izin kepada Nabi SAW, setelah ia masuk Islam, untuk pergi ke Makkah dengan menyembunyikan keimanannya dan mengatakan ucapan tertentu, yaitu ucapan yang dituntut oleh kondisi darurat guna menyelamatkan hartanya seperti ucapan yang menyakiti Nabi SAW. Maka Nabi SAW memberinya izin untuk melakukan hal itu. [1]

Para ulama tersebut membuat syarat-syarat dan aturan-aturan untuk kondisi ini:

– Ia mengajukan kasusnya kepada pengadilan tersebut dalam kondisi tidak senang (tidak ridha) dan terpaksa, disebabkan ia tidak bisa meraih haknya tersebut kecuali melalui jalan pengaduan kepada pengadilan tersebut.

– Ia hanya mengambil haknya semata, tidak mengambil lebih dari itu.

Pendapat ketiga:

Di antara ulama ada yang memandang pengaduan kasus kepada pengadilan tersebut sama sekali tidak termasuk kategori at-tahaakum (meminta putusan hukum kepada thaghut), meskipun sebagian orang menamakannya at-tahaakum. Sebab penamaan manusia bukanlah menjadi tolok ukur penilaian. Sesungguhnya penilaian itu didasarkan kepada hakekat-hakekat dan makna-makna yang dengannya syariat mengaitkan sebuah hukum (al-‘ibratu bil haqaiq wal ma’ani al-lati ‘allaqa asy-syaari’u biha al-hukmu) dan dengan penamaan dari syariat yang dengannya penilaian terwujud.

Para ulama ini mengatakan: Bentuk seperti ini bukanlah tahaakum, melainkan syakwa (pengaduan) kepada penguasa kafir dan meminta bantuan kepadanya agar penguasa kafir tersebut mengambil hak dari pelaku kezaliman dan mengembalikan hak tersebut kepada orang yang dizalimi. Sudah sama-sama diketahui bahwa permasalahan-permasalahan seperti ini termasuk perkara yang telah disepakati oleh semua syariat langit (agama Islam, Yahudi, dan Nasrani) dan perundangan-undangan positif. Maksud saya adalah larangan mencuri dan merampas secara zalim, serta menganggap keduanya sebagai perbuatan kejahatan pidana, dan wajibnya mengembalikan hak kepada pemiliknya.  Ini adalah hak yang diakui bersama dan diketahui bersama.

Orang yang mengajukan kasusnya kepada kepolisian atau kepada pengadilan kafir tidaklah mengangkat kasusnya dalam wujud at-tahaakum, yaitu meminta agar mereka (para hakim) memberi keputusan untuknya dalam sebuah masalah yang ia belum mengetahui hukumnya, atau ia mengetahui bahwa hukumnya menurut para hakim tersebut menyelisihi hukum Allah yang sudah diketahui dengan jelas. Bukan pula dalam wujud ia berkomitmen dengan keputusan hukum para hakim tersebut apapun bentuk keputusannya. Bagaimana tidak, sedangkan ia —seorang muslim yang dizalimi— telah menegaskan bahwa ia mengkufuri mereka dan hukum-hukum mereka dan bahwasanya ia adalah thaghut.

Namun kondisinya adalah si muslim tersebut bertanya-tanya, “Apa usaha yang bisa dilakukan agar saya bisa mengambil kembali hakku dan hartaku yang dirampas? Padahal saya tidak meraihnya kembali kecuali dengan pengaduan kepada thaghut ini dan meminta bantuannya agar ia mengambil hakku tersebut dari rakyatnya (yang berbuat zalim kepadaku), lalu ia menyerahkannya kembali kepadaku?”

Para ulama tersebut berkata: Sudah diketahui bersama bahwa makna at-tahaakum (meminta keputusan hukum) adalah mengadukan sebuah kasus yang diperselisihkan oleh dua belah pihak yang bersengketa kepada satu pihak tertentu agar pihak tertentu tersebut memberikan sebuah keputusan di antara mereka. Maka at-tahaakum pada dasarnya adalah tafaa’ul (interaksi dua belah pihak), sebab dalam hal itu ada keterlibatan aktif dua pihak yang bersengketa. Inilah mayoritas penggunaan sighah kata kerja tafaa’ala. Jika kata kerja ini dipakai untuk pengertian aktifitas satu pihak saja, maka maknanya adalah sama dengan makna kata kerja fi’il mujarradnya.

Orang yang mengangkat kasusnya ini hanya mengangkatnya dengan syarat ia komitmen terhadap keputusan yang diberikan oleh pihak pemberi keputusan tersebut, baik secara lahir dan batin (mengimaninya, mempercayainya), atau secara lahir semata. Maka at-tahaakum adalah meminta keputusan hukum kepada sebuah pihak tertentu dengan kewajiban ia menerima keputusan dari pihak pemberi keputusan tersebut dan berkomitmen dengannya.

Inilah makna at-tahaakum, yang Allah SWT menegaskan bahwasanya tidak boleh ber-tahaakum kecuali kepada-Nya, yaitu kkepada syariat-Nya dan kepada keputusan Rasul-Nya SAW; dimana Allah menyatakan at-tahaakum kepada selain-Nya (yaitu kepada selain syariat-Nya dan selain keputusan Rasul-Nya) adalah orang kafir yang ber-tahaakum kepada thaghut. Allah SWT menamakan pihak yang memberi keputusan di antara manusia tanpa adanya prinsip komitmen kepada syariat Allah sebagai thaghut dan Allah memerintahkan manusia untuk mengkufuri thaghut tersebut.

Adapun masalah yang sedang kita bicarakan ini tidaklah memiliki makna seperti itu, sehingga ia tidak termasuk dalam definisi at-tahaakum. Justru hakekat dari permasalahan yang kita bahas ini adalah pengaduan kepada thaghut dan meminta bantuan kepadanya agar thaghut tersebut menyerahkan hak kepada pemilik sebenarnya. Ini adalah masalah lain (yang berbeda dengan at-tahaakum). Tidak membahayakan (tidak masalah bagi) kita jika orang tersebut menempuh proses-proses peradilan dan hukum yang dengannya ia mendapatkan perlindungan dari kebatilan. Ini adalah tindakan dia. Karena manusia tidak bisa mendapatkan kembali hak-hak mereka yang diakui kecuali dengan cara itu, maka at–tarakhus (mengambil atau memberikan keringanan) dalam hal itu adalah perkara yang jelas.

Jika sudah sampai pada kesimpulan demikian, maka syaratnya adalah:

– Hendaklah hak yang hendak dituntut adalah benar-benar milik sah dari si muslim yang dizalimi dan mengajukan pengaduan tersebut.

– Bisa diharapkan (secara dugaan kuat) bahwa pihak thaghut akan mengembalikan hak tersebut kepada si muslim tersebut setelah dijalaninya proses penyidikan dan pembuktian-pembuktian. Maka si muslim tersebut mengambil haknya dan tidak lebih, dengan tidak mengambil hal yang ia ragu-ragu atau ia tidak mengetahuinya. Sebab hal yang diragukan atau hal yang tidak diketahui tersebut datang kepadanya melalui hukum thaghut. Adapun haknya yang legal adalah perkara yang telah diketahui bersama dalam aturan syariat Islam dan seluruh perundang-undangan. Haknya berhak ia ambil sebab hak tersebut diakui dalam hukum Allah SWT.

Pendapat yang terakhir (ketiga) ini adalah pendapat yang kuat dan sangat mengarah (tepat). Meski demikian, permasalahan ini perlu pengkajian lebih lanjut.

Semoga apa yang kami tulis ini memberikan pencerahan, kunci, dan pemahaman sehingga bisa diambil manfaatnya oleh ikhwan-ikhwan. Dengan ini diketahui bahwa permasalahhan ini adalah permasalahan ijtihadiyah, sehingga tidak selayaknya menjadi sebab terjadinya perselisihan hati, saling membenci, dan saling membelakangi di antara sesama kaum muslimin.

Allah SWT Yang lebih mengetahui, dan saya memohon ampunan Allah atas segala dosa.

Sebenarnya, permasalahan ini merupakan salah satu faktor yang mendorong dilakukannya jihad di jalan Allah sehingga seluruh ketundukan manusia tertuju kepada Allah semata. Seandainya kaum muslimin melaksanakan kewajiban jihad, menyingsingkan lengan baju mereka, dan meminta pertolongan kepada Allah SWT; niscaya mereka dalam sebagian besar kondisi tidak memerlukan permasalahan-permasalahan seperti ini, dan tentulah mereka akan dapat hidup merdeka lagi mulia.
——-
Catatan Kaki:
[1]- Kisah Hajjaj bin ‘Ilath radhiyallahu ‘anhu disebutkan dalam sebuah hadits yang panjang. Bagian awal hadits tersebut berbunyi:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: لَمَّا افْتَتَحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ قَالَ الْحَجَّاجُ بْنُ عِلَاطٍ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي بِمَكَّةَ مَالًا، وَإِنَّ لِي بِهَا أَهْلًا، وَإِنِّي أُرِيدُ أَنْ آتِيَهُمْ، فَأَنَا فِي حِلٍّ إِنْ أَنَا نِلْتُ مِنْكَ، أَوْ قُلْتُ شَيْئًا ؟ ” فَأَذِنَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقُولَ مَا شَاءَ “، فَأَتَى امْرَأَتَهُ حِينَ قَدِمَ فَقَالَ: اجْمَعِي لِي مَا كَانَ عِنْدَكِ، فَإِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَشْتَرِيَ مِنْ غَنَائِمِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَصْحَابِهِ، فَإِنَّهُمْ قَدِ اسْتُبِيحُوا وَأُصِيبَتْ أَمْوَالُهُمْ، قَالَ: فَفَشَا ذَلِكَ بِمَكَّةَ، فانْقَمَعَ الْمُسْلِمُونَ، وَأَظْهَرَ الْمُشْرِكُونَ فَرَحًا وَسُرُورًا قَالَ: وَبَلَغَ الْخَبَرُ الْعَبَّاسَ فَعَقِرَ ، وَجَعَلَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَقُومَ

وَلَكِنِّي جِئْتُ لِمَالٍ كَانَ لِي هَاهُنَا، أَرَدْتُ أَنْ أَجْمَعَهُ فَأَذْهَبَ بِهِ، فَاسْتَأْذَنْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَذِنَ لِي أَنْ أَقُولَ مَا شِئْتُ “، فَأَخْفِ عَنِّي ثَلَاثًا، ثُمَّ اذْكُرْ مَا بَدَا لَكَ قَالَ: فَجَمَعَتْ امْرَأَتُهُ مَا كَانَ عِنْدَهَا مِنْ حُلِيٍّ وَمَتَاعٍ ، فَجَمَعَتْهُ فَدَفَعَتْهُ إِلَيْهِ، ثُمَّ انْشَمَرَ بِهِ،
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika Rasulullah SAW selesai menaklukkan kota Khaibar, Hajjaj bin Ilath berkata ‘Wahai Rasulullah, di kota Makkah saya memiliki harta dan saya juga memiliki keluarga di sana. Saya ingin mendatangi mereka (dan mengambil harta saya). Bolehkah saya mencaci maki Anda atau mengatai-ngatai Anda (agar peduduk Makkah mengira saya seorang musyrik seperti mereka yang membenci Anda, sehingga saya bisa mendapatkan semua harta saya, pent)?’ Rasulullah SAW pun memberikan izin kepadanya untuk mengatakan apa yang ingin ia katakana.

Ketika tiba di Makkah, Hajjaj bin Ilath segera mendatangi istrinya an berkata kepadanya, “Kumpulkanlah seluruh hartamu, sebab aku ingin memborong harta rampasan perang dari Muhammad dan para pengikutnya. Sebab, mereka telah terbunuh dan harta benda mereka menjadi harta rampasan perang (orang-orang Yahudi Khaibar, pent).”

Berita buruk itu menyebar luas di kota Makkah sehingga kaum muslimin di Makkah terbungkam karenanya. Sebaliknya, orang-orang musyrik di Makkah bergembira ria dengan berita itu. Berita buruk itu akhirnya sampai ke telinga Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW, pent), sehingga ia mengalami shock dan tidak bisa berdiri…”

Hajjaj bin Ilath berkata kepada Abbas bin Abdul Muthalib, “…Akan tetapi aku datang ke Makkah karena aku memiliki sejumlah harta di sini. Aku ingin mengumpulkan semuanya, lalu aku akan membawanya pergi ke Madinah. Aku telah meminta izin kepada Rasulullah SAW, maka beliau memberiku izin untuk mengatakan apapun yang ingin aku katakan. Maka rahasiakanlah berita dariku ini selama tiga hari, setelah itu engkau boleh mengabarkan (kepada penduduk Makkah) apa yang ingin kau katakan.” Istrinya lalu mengumpulkan semua perhiasan dan barang berharga miliknya, lalu diserahkan kepadanya, lalu ia segera membawa pergi semua harta tersebut…” (HR. Ahmad no. 12409, Abdurrazzaq no. 9771, Abd bin Humaid no. 1288, Al-Bazzar no. 1816, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 8646, Abu Ya’la no. 3479, Ibnu Hibban no. 4530, Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 3196, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 9/150. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Sumber:
Al-A’mal Al-Kamilah lisy Syaikh Al-Imam Asy-Syahid Al-Mujahid Athiyatullah Al-Libi, 1/416-421, cet. 1, 1436 H /2015 M.
Penulis : Fauzan