Friday, July 15, 2016

Jagalah Allah Azza Wa Jalla, Niscaya Allah Azza Wa Jalla Menjagamu ( 2 )


Jagalah Allah, Ia Akan Menjagamu

Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: "Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah"
By Agus Pranowo
Allahu-akbar
Jagalah Allah Cara Menjaga Allah Jagalah Allah Maka Allah Akan Menjagamu Jagalah Allah Maka Allah Menjagamu Wasiat Nabi Kepada Ibnu Abbas

عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))
Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
Takhrij Hadits
Sejumlah ulama pengumpul hadis telah mengabadikan hadis ini di dalam karya tulis mereka. Di antaranya adalah: Imam Tirmidzi di dalam kitab beliau Sunan At Trmidzi no. 2516, Imam Ahmad bin Hambal di dalam kitab Al Musnad: 1/307, dan beberapa ulama lainnya.
Biografi Singkat Perawi Hadits
Untaian nasihat ini disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat kecil beliau, Abdullah bin Abbas. Putra pamannya inilah yang pernah beliau doakan, “Ya Allah,pahamkan dia terhadap agama dan ajarilah ia ilmu tafsir”. Berkat berkah doa Rasulullah ini ia menjadi seorang yang pakar dalam tafsir Alquran dan pakar dalam ilmu agama lainnya, hingga beliau digelari “Habrul Ummah” (Ahli Ilmu Umat ini). Pemuda yang juga bergelar al bahru (samudera ilmu) ini dilahirkan tiga tahun menjelang peristiwa Hijrah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan meninggal dunia pada tahun 67 atau 68 hijriyah.1
Penjelasan Hadits
Di dalam hadis ini Rasulllah shallallallahu ‘alaihi wasallammewasiatkan beberapa untai kalimat kepada Ibnu ‘Abbas,
Untaian Kalimat yang Pertama, ‘Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu’.
Melalui putra pamannya itu, Nabi mengajarkan kita semua, bila kita menjaga Allah dengan sebaik-baiknya, Allah pasti akan menjaga kita dengan penjagaan yang melebihi upaya kita.
Menurut para ulama, menjaga Allah artinya menjaga batasan-batasan-Nya, hak-hak, perintah-perintah, serta larangan-larangan-Nya. Bentuk aplikasinya adalah dengan berkomitmen untuk menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak melampaui batasan yang dilarang oleh-Nya. Jika semua itu dikerjakan, maka ia termasuk orang yang menjaga Allah sebaik-baiknya.2 Pemilik kriteria inilah yang disanjung oleh Allah Ta’ala,
هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ
“(Kepada mereka dikatakan), “Inilah nikmat yang dijanjikan kepadamu, kepada setiap hamba yang senantiasa bertobat (kepada Allah) dan menjaga (segala peraturan-peraturan-Nya).” (QS. Qaf: 32)
Di antara hak-hak Allah yang paling agung yang wajib dijaga oleh seorang hamba adalah memurnikan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari: 2856 dan Muslim: 48)
Juga termasuk upaya menjaga Allah adalah menjaga shalat agar senantiasa tepat pada waktunya.
Demikian juga termasuk dalam upaya menjaga Allah adalah menjaga lisan dari segala bentuk kedustaan, perkataan kotor, adu domba, menggunjing, dan menjaga kemaluan serta menundukkan pandangan.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda;
“Jika kalian bisa menjamin enam hal, maka aku akan jamin kalian masuk surga: [1] Jujurlah dalam berucap; [2] tepatilah janjimu; [3] tunaikanlah amanatmu; [4] jaga kemaluanmu; [5] tundukkan pandanganmu; [6] dan jaga perbuatanmu.” (HR. Al Hakim:8066 dan Ibnu Hibban: 107)3
Jika seseorang telah menjaga Allah dengan menjaga hak, perintah, dan larangan-Nya, maka konsekuensinya Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Yaitu, “Niscaya Allah akan menjagamu.” Orang yang bersedia untuk menjaga Allah maka Allah akan membalasnya dengan penjagaan pula, bahkan penjagaan Allah tentu lebih baik.
Menurut Ibnu Rajab, penjagaan Allah itu mengandung dua unsur4:
Pertama, Allah akan menjaga hamba-Nya yang saleh dengan memenuhi kebutuhan dunianya, seperti terjaga badan, anak, keluarga, dan hartanya. Di antara bentuk penjagaan jenis ini, Allah menciptakan malaikat yang bertugas menjaga manusia. Allah berfirman,
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu bergiliran menjaganya dari depan dan dari belakang, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar Ra’du: 11)
Dan ada kalanya jika Allah ingin menjaga hamba-Nya, maka Allah akan menjaga anak keturunannya, meskipun ia sudah tiada. Hal ini sebagaimana telah Allah buktikan dalam kisah dua anak yatim yang ditolong oleh Khidir. Anak tersebut ditolong lantaran orang tuanya adalah orang yang saleh. Allah berfirman,
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
“Dan ayahnya adalah seorang yang saleh” (QS. Al Kahfi: 82)
Berkenaan dengan ayat ini, imam Al Baghawi menukilkan perkataan Muhammad bin Munkadir, “Sesungguhnya berkat kesalehan seorang hamba, Allah akan menjaga anak keturunannya, sanak famili, dan keluarganya, serta orang-orang yang ada di sekitar rumahnya.5
Kedua, Allah akan menjaga agama dan imannya, inilah penjagaan yang paling agung dan mulia. Hamba itu terjaga dari perkara syubhat yang menyesatkan dan dari syahwat yang diharamkan.
Hal ini sebagaimana telah Allah buktikan pada nabi Yusuf ketika ia digoda oleh seorang perempuan jelita berdarah biru. Wanita tersebut mengajak Yusuf untuk melakukan perbuatan keji di sebuah ruangan yang sangat sepi. Meskipun Yusuf juga berhasrat kepadanya, akan tetapi Allah menjaganya sehingga ia selamat dari perbuatan keji tersebut. Allah berfirman,
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah kami palingkan Yusuf dari keburukan dan kekejian. Sungguh dia terasuk dari hamba kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24)
Itulah rahasia yang tersirat di dalam firman Allah,
وَاعْلَمُواأَنَّاللَّهَيَحُولُبَيْنَالْمَرْءِوَقَلْبِهِ
“Ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara seorang hamba dan hatinya.”
(QS. Al Anfal: 24)
Imam Ath Thabari menjelaskan makna ayat ini dengan menukil perkataan Imam Adh Dhahak, “Maksudnya Allah memberi pembatas antara orang kafir dengan ketaatan, dan memberi pembatas antara orang mukmin dengan kemaksiatan.”
Itulah balasan dari Allah kepada hamba-Nya yang sudi menjaga Allah Ta’ala. Adapun orang yang tidak mau menjaga Allah, maka Allahpun juga enggan menjaganya.
Untaian Kalimat Kedua, “Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu“
Maksudnya jika engkau menjaga Allah maka Dia senantiasa di depanmu untuk membimbingmu menuju jalan-jalan kebaikan, serta mencegahmu dari segala keburukan.6
Untaian kalimat kedua ini menjadi penguat dari untaian kalimat yang pertama.
Dari penjelasan di atas, maka bisa diambil faedah bahwa orang yang menjaga Allah maka ia akan mendapatkan dua manfaat sekaligus:
Mendapatkan penjagaan dari Allah
Allah akan sentiasa membimbing di depannya
Ini membuktikan betapa luar biasa balasan dan apresiasi Allah kepada hamba-Nya. Kita sadari, betapa pun upaya kita menjaga Allah, tetap saja kita tidak akan pernah bisa melakukan yang terbaik sesuai dengan perintah-Nya. Tapi, Allah selalu membalas dengan balasan terbaik yang sejatinya itu jauh tak sebanding dengan usaha kita yang serba terbatas.
Sungguh tidak pantas jika kita berupaya menjaga Allah dengan segenap ibadah akan tetapi ibadah tersebut kita nodai dengan riya dan kesyirikan.
Untaian Kalimat Ketiga, “Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah.”
Artinya, jika engkau hendak menginginkan sesuatu, maka mintalah kepada Allah, jangan meminta kepada makhluk, sebab Allah adalah Maha Pencipta. Dia-lah yang mampu mengabulkan segala permintaan hamba-Nya, sedangkan makhluk serba diliputi keterbatasan, seringkali tidak mampu atau tidak mau.
Di samping itu, meminta dan berdoa kepada Allah adalah ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya. Bahkan di situlah seorang hamba menampakkan kerendahannya, mengemis, meminta kepada Allah Yang Maha Agung. Olehkarena itu Allah memerintahkan,
وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ
“Mohonlah kepada Allah sebagian karunia-Nya.” (QS. An Nisa: 32)
Lebih dari itu, bahkan Allah murka kepada orang yang tidak mau meminta kepada-Nya. Allah berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk ke neraka Jahanam.” (QS.Al Mu’minun: 60)
Benarlah seorang pujangga Arab mengatakan,
لاَتَسـْــألَــنَّبُنــيِّآدمَحَــاجَــةوَسَــــلِالذِيأَبْوَابُــــهُلَايُحـْجَــب
اللـهُ يَغـْضَـبُ إنْ تَرَكْـتَ سُــؤَالَهوبني آدم حيــنَ يُـسْـــأَلُ يَغْضـَــبُ
Nak, jangan pernah kau meminta kepada hamba
Mintalah kepada pemilik pintu yang sentiasa terbuka
Sungguh Allah murka jika kau tak meminta kepada-Nya
Sedangkan anak adam akan murka jika kau meminta kepadanya
Untaian Kalimat Keempat, “Jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.”
Pantas lah jika kita diperintahkan untuk meminta pertolongan kepada Allah, sebab Dia-lah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Itulah sebabnya kita diwajibkan untuk berdoa dalam setiap shalat kita,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al Fatihah: 4)
Untaian Kalimat Kelima, “Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu”
Rasulullah mengawali untaian ini dengan perkataan, “Ketahuilah”. Ini menunjukkan untaian kalimat ini merupakan kalimat yang penting untuk diketahui.7
Makna hadis ini, seandainya seluruh manusia atau bahkan seluruh makhluk bersatu untuk memberikan keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu dapatkan, kecuali jika Allah telah menakdirkannya di lauh mahfudz.
Dengan untaian nasihat ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita beriman kepada takdir. Pada hakikatnya seluruh manusia tidak bisa memberikan manfaat kepada sesamanya, kecuali dengan takdir Allah. Jika demikian sudah seharusnya seluruh permintaan kita ditujukan kepada Allah semata, bukan kepada sesama manusia. Sebab pada hakikatnya yang bisa memberikan manfaat hanyalah Allah semata.8
Untaian Kalimat Keenam, “Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu.”
Ini juga menunjukan bahwa seluruh mara bahaya pada hakikatnya datang dari Allah, terjadi dengan takdir dan kehendak-Nya. Jika demikian halnya maka sudah semestinya kita memohon perlindungan hanya kepada Allah, bukan kepada makhluk. Sebab pada hakikatnya hanya Dia yang mampu mencegah dan mendatangkan mara bahaya.
Untaian Kalimat Ketujuh, “Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
Yang dimaksud dengan “pena” di sini adalah pena yang menulis seluruh takdir manusia. Sedangkan maksud dari “lembaran-lembaran” adalah lembaran yang digunakan untuk mencatat takdir. Ini artinya seluruh perkara dan kejadian sudah ditetapkan. Apapun yang ditetapkan untuk kita, baik-buruknya pasti akan terjadi.9 Tidak ada gunanya berkeluh kesah terhadap apa yang menimpa kita. Sebab itu semua datang dari Allah Ta’ala.
Demikanlah bunga rampai nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya, sebagaimana Ibnu ‘Abbas telah banyak mengambil manfaat darinya.
Jember, 17 desember 2013
Catatan Kaki
1 Lihat biografi selengkapnya dalam Siyar A’lam an Nubabala; 4/169
2 Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 346
3 Hadis ini dinyatakan shahih oleh Imam Hakim dalam kitab mustadrak dan dinyatakan shahih juga oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Shahihah: 1470
4 Ibid, hal. 348-353
5 Tafsir al Baghawi: 3/55
6 Syaikh Utsaimin dalam Syarah Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 241-242
7 Syaikh Utsaimin dalam Syarah Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 243
8 Disarikan dari penjelasan syaikh fauzan dalam Syarh Arbain Nawawiyah, hal. 172-173
9 Disarikan dari penjelasan Syaikh ‘Utsaimin dalam Syarh Arba’in Nawawiyah, hal. 243
Referensi
1. Ibnu Rajab, Adur Rahman. (1429 H). Jami’ul ‘Ulum wal Hikam. Arab Saudi: Dar Ibnul Jauzi.
2. Al ‘Utsaimin, Muhammad. (1433 H). Syarh Al Arba’in An Nawawiyah. ‘Unaizah, KSA: Muassah Syaikh ‘Utsaimin.
3. Fauzan, Shalih. (2008). Syarh Al Arba’in An NAwawiyah. Riyadh, KSA: Darul ‘Ashifah.
4. Al Baghawi, Al Husain bin Mas’ud. (1432 H). Ma’alimut Tanzil. Riyadh, KSA: Dar Ath Thayyibah.
5. Al Albani, Nashiruddin. (1995). Silsilah Al Ahadits As Shahihah. Riyadh, KSA: Maktabah Al Ma’arif.
Penulis: Agus Pranowo
Murajaah: Ust. Misbahuzzulam, Lc, M.H.I
Artikel Muslim.Or.Id

JAGALAH ALLAH AZZA WA JALLA, NISCAYA ALLAH AZZA WA JALLA MENJAGAMU

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بْنِِ عَبَّاسٍٍٍِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا ، فَقَالَ «يَا غُلَامُ ! إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ : اِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ ، اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَـعِنْ بِاللهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِاجْتَمَعَتْ عَلىَ أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ ؛ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَ إِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ ؛ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيِحٌ. وَفِي رِوَايَةٍ غَيْرِ التِّرْمِذِيِّ : «اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ ، تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّ ةِ. وَاعْلَمْ أَنَّ مَاأَخْطَأَكَ ؛ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ ، وَمَا أَصَابَكَ ؛ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الكَرْبِ ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا».

Dari Abul ‘Abbas ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma , ia mengatakan, “Pada suatu hari, aku pernah dibonceng di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ‘Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau memohon (meminta), mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.’” [HR. at-Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahîh.”]

Dalam riwayat selain at-Tirmidzi disebutkan, “Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2516), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 425), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 316, 317, 318), Abu Ya’la dalam Musnadnya (no. 2549), Ahmad (I/293, 303, 307), Al-Ajurri dalam asy-Syarî’ah (II/829-830, no. 412), al-Lâlika-i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 1094, 1095), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 11243, 11416, 11560, 12988), ‘Abd bin Humaid dalam Musnadnya (no. 635), al-Hâkim (III/541, 542), Abu Nu’aim dalam al-Hilyatul Auliyâ’ (I/389, no. 1110), al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 192).

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Zhilalul Jannah fî Takhrîjis Sunnah (no. 315-318) dan Hidâyatur Ruwât (no. 5232), dishahihkan juga oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad (no. 2669, 2763, 2804).

SYARAH HADITS
1. JAGALAH ALLAH AZZA WA JALLA, NISCAYA DIA AZZA WA JALLA AKAN MENJAGAMU
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jagalah Allah,”
Maksudnya jagalah batas-batas Allah, hak-hak-Nya, serta menjaga perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya dengan mengerjakan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Demikian pula, dengan mempelajari agama-Nya sehingga dengannya engkau dapat beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan bermuamalah dengan manusia serta mendakwahkannya di jalan Allah.
Hal-hal terbesar yang harus dijaga oleh seorang hamba

1. Tauhid Yang Merupakan Hak Allah Azza Wa Jalla Yang Paling Besar
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

يَا مُعَاذُ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْـعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْـعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قُلْتُ: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: حَقُّ اللهِ عَلَى الْـعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَحَقُّ الْـعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.

“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya, dan apa hak hamba atas Allah?” Mu’adz pun menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah hanya kepada Allah saja dan mereka tidak boleh berbuat syirik (menyekutukan Allah) dengan suatu apa pun juga. Sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya.”[1]

Setiap muslim dan muslimah wajib memenuhi hak Allah, yaitu dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla , mentauhidkan Allah dalam seluruh ben-tuk ibadah dan ditujukan hanya kepada Allah saja dan tidak boleh berbuat syirik, tidak boleh menyekutukan Allah dengan suatu apa pun juga.

2. Shalat Wajib Lima Waktu.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Jagalah segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha; berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ [al-Baqarah/2:238]

وَالَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ

Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. [al-Ma’ârij/70:34]

Menjaga shalat wajib lima waktu, yaitu melaksanakan dan memerintahkannya kepada keluarga dan saudara-saudara kita, dengan memperhatikan waktu, tata cara, khusyu’, dan berjama’ahnya.

3. Menjaga Thaharah (bersuci)
Seorang mukmin dan mukminah harus menjaga dirinya dari hadats kecil dan hadats besar dengan thaharah (bersuci), yaitu berwudhu dan mandi janabah serta mandi setelah bersih dari haid dan nifas.

Bersuci termasuk sebagian dari iman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ

Bersuci adalah sebagian dari iman [2]

Berwudhu adalah kunci shalat. Seseorang tidak akan diterima shalatnya apabila dia tidak berwudhu. Seorang hamba terkadang batal wudhunya, sedangkan dia tidak mengetahuinya ke-cuali Allah Azza wa Jalla . Karena itu, menjaga wudhu untuk shalat menunjukkan konsistensi iman pada hati seorang hamba.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْـرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ، وَلَا يُـحَافِظُ عَلَى الْوُضُوْءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ.

“… Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang menjaga wudhu melainkan orang mukmin.”[3]

4. Menjaga Sumpah
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ

“… Dan jagalah sumpahmu…” [al-Mâ-idah/5:89]

Apabila seseorang bersumpah kemudian ia tidak melaksanakan sumpah tersebut atau dilanggar, maka ia berdosa dan wajib membayar kaffârat (tebusan). Yaitu:
1. Memberi makan 10 orang miskin, atau
2. Memberikan pakaian kepada mereka, atau
3. Memerdekakan budak.

Barangsiapa yang tidak mampu melakukannya, maka ia berpuasa tiga hari.
Dan jangan sekali-kali bersumpah dengan selain nama Allah Azza wa Jalla . Krena barangsiapa bersumpah dengan selain nama Allah Azza wa Jalla , ia telah berbuat syirik.

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ

Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah ber-buat syirik [4]

5. Menjaga Kepala Dan Perut.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ ؛ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى ، وَمَنْ أَرَادَ اْلآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.

Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Barangsiapa yang malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya badan. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat, hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu.[5]
Yang ada pada kepala adalah: (1) mata, yaitu dengan menjaganya agar tidak melihat yang haram, (2) telinga, yaitu dengan menjaganya agar tidak mendengarkan hal-hal yang haram, seperti musik, lagu, ghibah, dan lainnya, dan (3) lisan, yaitu dengan menjaganya dari pembicaraan yang mengandung dosa berupa ghibah, caci maki, adu domba, memfitnah dan semisalnya. Sedang menjaga perut ialah dengan menjaganya agar barang-barang yang haram tidak masuk ke dalamnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Setiap badan yang dagingnya tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih layak bagi dirinya. ”[6]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Niscaya Dia Akan Menjagamu”.

Maksudnya, barangsiapa menjaga perintah-perintah Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan kewajibannya serta menahan diri dari apa yang dilarang darinya, niscaya Allah Azza wa Jalla akan menjaga agama, keluarga, harta, dan dirinya karena Allah Azza wa Jalla akan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan-Nya. Karena, amal itu tergantung dari jenis amal. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ

Jika engkau menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu. [Muhammad/47:7]

Penjagaan Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya terbagi dua:
Pertama : Allah Azza wa Jalla akan menjaga para hamba-Nya dalam urusan duniawinya. Seperti penjagaan Allah atas badan, harta, anak, dan keluarga dari para hamba-Nya. Allah akan menjaga anak keturunan orang-orang shalih yang menjaga batas-batas-Nya, sebagaimana firman-Nya:

وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا

Dan ayah kedua (anak ini) adalah orang shalih. [al-Kahfi/18:82]

Di dalam (ayat ini) terdapat dalil bahwa seorang yang shalih akan senantiasa dijaga keturunannya oleh Allah Azza wa Jalla . Begitu juga, barokah ibadahnya mencakup para anak keturunannya di dunia dan di akhirat.[7] Apabila seorang hamba menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , maka Allah Azza wa Jalla akan menjaganya.[8]

Kedua, dan ini yang paling penting, yaitu penjagaan Allah Azza wa Jalla atas agamanya dan menyelamatkannya dari kesesatan. Karena, jika seseorang diberi petunjuk, maka Allah Azza wa Jalla akan menambahkan petunjuk kepadanya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan kepada mereka. [Muhammad/47:17]

Dari keterangan ini diketahui bahwa orang yang tidak menjaga Allah Azza wa Jalla , maka dia tidak berhak mendapat penjagaan-Nya. Dan di dalamnya juga terkandung motivasi untuk selalu menjaga batas-batas Allah Azza wa Jalla .

2. KEBERSAMAAN DAN PERTOLONGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAKWA
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu.”

Maksudnya, barangsiapa menjaga batas-batas Allah Azza wa Jalla dalam diri dan keluarganya serta tetap istiqamah dalam mengikuti al-Qur-ân dan Sunnah, maka Allah Azza wa Jalla akan bersamanya dalam setiap keadaan. Allah Azza wa Jalla akan selalu memperhatikannya, menjaganya, memberikan taufik kepadanya, meluruskannya, dan senantiasa melindungi, dan menolongnya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَالَّذِيْنَ هُمْ مُحْسِنُوْنَ.

Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan. [an-Nahl/16:128]

Qatadah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , maka Allah Azza wa Jalla akan bersamanya. Dan barangsiapa yang Allah Azza wa Jalla bersamanya, maka dia masuk dalam golongan yang tidak dapat dikalahkan, dia bersama penjaga yang tidak tidur, dan dia bersama pemberi petunjuk yang tidak menyesatkan.”[9]

3. KENALILAH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA DI SAAT SENANG, NISCAYA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MENGENALMU DI SAAT SUSAH
Ini adalah hikmah nabawiyah yang selayaknya dijaga dan disebarkan yaitu melakukan ajakan untuk mengenal Allah Azza wa Jalla di saat senang, sehat, kaya, aman, dan kuat. Mengenal Allah Azza wa Jalla dapat dilakukan dengan cara menjaga berbagai kewajiban, menjauhi berbagai larangan, dan menambah usaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan memperbanyak amalan sunnah. Maka, barangsiapa mengenal Allah Azza wa Jalla dalam keadaan seperti ini, Allah Azza wa Jalla akan mengenalnya pada saat keadaannya susah, sempit, fakir, sakit.

Sungguh, kekasih kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengenal Rabb-nya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla mengenal beliau pada saat berada di gua, pada saat Perang Badar, dan Perang Ahzâb, lalu Allah Azza wa Jalla menolongnya, meneguhkannya, mengalahkan musuh-musuhnya. Demikian pula, Nabi Yunus q mengenal Rabb-nya pada saat senang, maka Allah Azza wa Jalla mengenalnya pada saat berada di dalam perut ikan lalu menyelamatkannya, meneguhkan hatinya, dan menolongnya.[10] Maka, barangsiapa yang bermuamalah dengan Allah Azza wa Jalla dengan takwa dan menaati-Nya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan kasih sayang kepadanya dan menolongnya di saat dia mengalami kesulitan.[11]

4. SABDA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM: “JIKA ENGKAU MEMINTA, MAKA MINTALAH KEPADA ALLAH.”
Maksud dari meminta di hadits ini adalah doa, sedang doa adalah ibadah. Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

Doa adalah ibadah.

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla :

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan doa kalian.’”[Ghâfir/40:60] [12]

Wajib bagi setiap muslim agar meminta kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak boleh meminta kepada selain Allah Azza wa Jalla dalam perkara-perkara yang tidak mungkin terwujudkan kecuali oleh Allah Azza wa Jalla semata. Barangsiapa jatuh ke dalamnya, berarti ia telah jatuh dalam kesyirikan. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdo’a (menyembah) kepada selain Allah, (sembahan) yang tidak dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari Kiamat… [al-Ahqâf/46:5]

Adapun tentang meminta-minta kepada manusia dalam urusan dunia yang mampu diwujudkan, maka terdapat dalil-dalil yang banyak yang melarang dan mengecamnya. Diantaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِـيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِـيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَـحْمٍ.

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain, hingga ia datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.”[13]
Hadits ini dan yang sepertinya menunjukkan haramnya minta-minta kepada orang lain, dan tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.

5. SABDA RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM: “JIKA ENGKAU MEMINTA PERTOLONGAN, MINTALAH PERTOLONGAN KEPADA ALLAH.”
Maksudnya, jika engkau meminta suatu kebutuhan maka janganlah meminta kecuali kepada Allah Azza wa Jalla , jangan sekali-kali meminta kepada makhluk. Seandainya engkau meminta kepada makhluk sesuatu yang ia mampu memberikannya, maka ketahuilah bahwa itu termasuk perantara saja, sedang yang berkuasa mewujudkan sebab itu adalah Allah Azza wa Jalla . Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, Dia akan menghalanginya memberikan apa yang engkau minta. Maka bersandarlah hanya kepada Allah Azza wa Jalla . [14]

Seorang hamba meskipun telah diberikan kedudukan, kekuatan, dan kekuasaan, dia tetap saja tak mampu dan lemah untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia wajib meminta tolong kepada Allah Azza wa Jalla semata untuk kebaikan agama dan dunianya. Barangsiapa yang ditolong Allah Azza wa Jalla , dialah orang yang ditolong dan diberi taufik, dan barangsiapa yang dihinakan-Nya dan dibiarkan sendirian, maka dialah orang yang rugi dan bangkrut.

Maka, wajib atas setiap muslim untuk memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla untuk menaati-Nya dan meninggalkan perbuatan maksiat kepada-Nya, mohon pertolongan untuk sabar terhadap seluruh takdir-Nya serta keteguhan hati pada hari bertemu dengan-Nya, yaitu pada hari dimana anak dan harta tidak bermanfaat lagi.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ ، وَلَا تَعْجَزْ

“Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan jangan lemah.”[15]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada Muadz bin Jabal Radhyallahu anhu agar selalu berdzikir sesudah shalat wajib lima waktu, agar membaca:

اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ

Ya Allah, tolonglahlah aku dalam berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu[16]

Seorang hamba pasti memerlukan bantuan Allah Azza wa Jalla, baik untuk mengerjakan perintah atau meninggalkan larangan dan sabar dalam ujian, seperti yang dialami oleh Nabi Ya’kub Alaihissallam yang telah beliau sampaikan kepada putranya lewat firman Allah Azza wa Jalla :

فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ

Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan. [Yûsuf/12:18]

6. IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh ummat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu.”

Maksudnya, jika seluruh manusia yang pertama sampai yang terakhir berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, mereka sekali-kali tidak akan mampu melakukannya, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Oleh karena itu, apabila ada makhluk yang memberikan manfaat kepada seseorang, maka hal itu pada hakikatnya bersumber dari Allah Azza wa Jalla karena Allahlah yang telah menentukan manfaat itu untuknya. Hal ini menjadi pendorong bagi kita untuk bersandar kepada Allah dan meyakini bahwa seluruh manusia tidak akan mampu mendatangkan suatu kebaikan kepada kita atau membahayakan kita kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.[17]

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.”

Oleh karena itu, jika engkau mendapat keburukan dari seseorang, yakinilah bahwa Allah telah menetapkan keburukan itu atasmu, maka ridhalah terhadap qadha dan qadar Allah. Dan tidak ada salahnya engkau berusaha menolak keburukan tersebut karena Allah Ta’ala berfirman,

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa…” [asy-Syûrâ/42: 40][18]

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Ini adalah kiasan yang menunjukkan bahwa penulisan semua takdir telah selesai sejak dahulu kala. Karena sebuah buku jika telah selesai ditulisi, pena-pena diangkat darinya, dan telah berlalu sekian lama, maka tinta yang dipakai menulis menjadi kering, dan buku-buku yang ditulis dengan tinta itu menjadi kering pula. Ini merupakan kiasan terbagus dan terindah. [19]

Semua yang terjadi dan yang akan terjadi di langit dan di bumi serta di antara keduanya, mulai penciptaan makhluk sampai manusia masuk Surga dan Neraka, semua itu sudah tercatat di Lauhul Mahfûzh.

Banyak sekali ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang menunjukkan makna tersebut. Di antaranya, firman Allah Ta’ala,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfûzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” [al-Hadîd/57: 22].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، قَالَ لَهُ: اُكْتُبْ! قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اُكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ

“Sesungguhnya makhluk yang pertama diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah.’ Ia menjawab, ‘Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadi hari Kiamat.’”[20]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga bersabda,

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْـخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَـخْلُقَ السَّمَـاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِـخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

“Allah telah menulis takdir-takdir seluruh makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.”[21]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu.”

Maksudnya, apa yang telah terjadi padamu tidak akan tertolak darimu, dan apa yang tidak akan engkau peroleh tidak mungkin pula engkau mendapatkannya. Mungkin juga (sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiatas-red) bermakna : apa yang telah Allah takdirkan akan menimpamu, tidak akan meleset darimu, pasti terjadi. Dan apa yang Allah takdirkan tidak menimpamu, maka hal itu tidak akan menimpamu selama-lamanya. Segala urusan ada di tangan Allah. Kondisi ini mendorong manusia agar bersandar kepada Allah secara total. [22]

Iman kepada qadha dan qadar memiliki empat tingkatan:
1. al-‘ilmu : maksudnya seorang mukmin yang beriman kepada qadar harus meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui semua yang ada di alam ini,
2. al-Kitâbah, maksudnya seorang mukmin meyakini bahwa semua kejadian – baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi- telah Allah tuliskan di Lauhul Mahfuzh
3. al-Masyî-ah, maksudnya seorang mukmin meyakini bahwa semua hal yang terjadi tidak lepas dari kehendak Allah
4. al-Khalq, maksudnya bahwa manusia mempunyai kehendak dan keinginan, akan tetapi semuanya tidak lepas dari kehendak dan kekuasaan Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [ at-Takwîr/81: 29]

Kemudian meyakini bahwa semua yang terjadi ini karena Allah yang menciptakannya. Allah l berfirman,

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” [ash-Shaffât/37: 96]

Sedangkan terhadap musibah, ada dua tingkatan bagi orang mukmin yaitu : (1) Ridha dengannya. (Ini tingkatan yang paling tinggi). Dan (2) Sabar terhadapnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْـمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَِحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sungguh, semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat musibah, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya” [23]

7. KEMENANGAN ADA BERSAMA KESABARAN
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran.”
Dalam kalimat ini terdapat anjuran agar berlaku sabar karena jika (diketahui) kemenangan bersama kesabaran, maka seseorang pasti akan bersabar demi memperoleh kemenangan.[24] Makna seperti ini diperkuat oleh firman Allah Azza wa Jalla ,

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Orang-orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Allah mengatakan, ‘Betapa banyak kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.’ Dan Allah bersama dengan orang-orang yang bersabar.” [al-Baqarah/2: 249]

Sabar ada tiga macam :
1. Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah,
2. Sabar dalam meninggalkan maksiat,
2. Sabar dalam menerima musibah atau takdir yang buruk dari Allah Azza wa Jalla.

Demikian pula dalam menghadapi musuh-musuh Allah, butuh kesabaran karena dalam jihad terdapat banyak kesulitan dan hal-hal yang tidak mengenakkan. Sabar dalam menghadapi mereka merupakan sebab dan jalan mendapat kemenangan sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam jihad melawan musuh yang nampak, yaitu orang-orang kafir, maupun dalam jihad melawan musuh yang tidak nampak, yaitu hawa nafsu. Orang yang sabar pada kedua jihad ini, ia akan ditolong dan akan berhasil mengalahkan musuhnya. Sedangkan yang tidak bersabar dan berkeluh kesah, maka ia akan kalah dan menjadi tawanan musuh atau terbunuh.
Pertolongan Allah pasti datang bila kaum mukminin menolong agama Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Saat melaksanakan perintah dan menjauhi larangan inilah mutlak diperlukan kesabaran. Tanpa kesabaran, tidak mungkin bisa melakukannya.

8. KELAPANGAN ADA BERSAMA KESEMPITAN
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Dan kelapangan bersama kesempitan.”
Terkadang musibah, fitnah, dan cobaan menimpa seorang muslim sehingga urusannya menjadi sulit, dunia terasa sempit dan rasa sedih serta galau semakin bertambah. Apabila ia mengharapkan pahala, bersabar, dan mengetahui bahwa apa yang menimpanya adalah atas takdir Allah serta tidak putus asa dari rahmat Allah, niscaya inâyah (pertolongan) Allah, maaf-Nya, ampunan-Nya, dan rahmat-Nya akan dia peroleh. Itulah kelapangan. Allah Ta’ala berfirman :

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

“Ataukah kamu mengira kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan guncangan (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” [al-Baqarah/2: 214]

Betapa sering Allah Azza wa Jalla membawakan kisah-kisah tentang ujian dan cobaan yang dialami para Nabi, kemudian Allah Azza wa Jalla menyebutkan pertolongan-Nya. Seperti kisah Nabi Nuh Alaihissallam dan pengikutnya yang diselamatkan di atas perahu, Nabi Ibrahim Alaihissallam diselamatkan dari api, Nabi Ismail Alaihissallam diganti dengan domba ketika diperintahkan Allah untuk disembelih. Kisah lainnya, Nabi Musa Alaihissallam dan pengikutnya yang diselamatkan dari Fir’aun, kisah Nabi Yunus alaihissallam . Juga kisah Nabi Muhammmad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditolong ketika bersembunyi di gua, dibantu pada waktu Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Ahzâb, Perang Hunain dan lain-lain.

9. SESUNGGUHNYA BERSAMA KESULITAN ADA KEMUDAHAN
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”
Maksudnya, setiap kemudahan akan datang setelah adanya kesulitan, bahkan setiap kesulitan itu akan diiringi dua kemudahan: kemudahan sebelumnya dan kemudahan yang akan datang. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” [al-Insyirâh/94: 5-6] [25]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiatas menegaskan bahwa kesulitan tidaklah menimpa manusia terus menerus selama ia ridha dengan ketentuan Allah, senantiasa komitmen terhadap segala perintah dan larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“…Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…” [ath-Thalâq/65: 3] [26]

FAWAA-ID HADITS
1. Bolehnya membonceng di atas kendaraan orang lain.
2. Disunnahkan mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada ummat dengan perkataan yang ringkas.
3. Berkemauan keras untuk membina kaum muslimin.
4. Balasan pahala itu tergantung dari jenis amalan.
5. Wajib atas seorang hamba menjaga batas-batas Allah, menjaga tauhid, shalat lima waktu, menjaga matanya, auratnya dan tidak boleh melewati batas dan wajib untuk mengagungkan-Nya.
6. Barangsiapa yang tidak menjaga batas-batas Allah, maka Allah tidak akan menjaganya. (al-Hasyr/59: 19).
7. Diharamkan meminta kepada selain Allah dalam hal-hal yang makhluk tidak mampu memberikannya seperti rizki, kesembuhan, ampunan, dan lain sebagainya
8. Seluruh makhluk itu lemah dan butuh kepada Allah Azza wa Jalla . Karena itu, seorang hamba wajib memohon pertolongan hanya kepada Allah Azza wa Jalla
9. Wajib beriman kepada al-Qadha wal Qadar yang baik maupun yang buruk. Semua yang terjadi di langit dan di bumi sudah ditaqdirkan oleh Allah, tidak ada satu pun yang terluput
10. Wajib bagi setiap hamba untuk mencari keridhaan Allah meski dibenci oleh manusia lainnya
11. Seorang hamba tidak sanggup untuk mendatangkan manfaat bagi dirinya dan tidak sanggup untuk menolak bahaya, melainkan dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena itu, ia wajib menggantungkan harapannya hanya kepada Allah.
12. Perbuatan makar—meskipun direncanakan oleh orang banyak—tidak akan terlaksana kecuali dengan izin Allah Azza wa Jalla (Qs at-Taubah/9: 51).
13. Catatan takdir di Lauhul Mahfûzh adalah tetap, tidak dapat diganti dan berubah lagi.
14. Perbanyaklah ibadah, dzikir, do’a, dan lainnya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla akan menolongmu di saat mengalami kesulitan.
15. Setiap kesulitan dan kesusahan yang menimpa seorang hamba, pasti sesudahnya ada kelapangan dan kemudahan.
16. Kelapangan dan kemudahan selalu menyertai orang yang mengalami kesulitan.
17. Bila seorang hamba ditimpa kesulitan, maka hendaklah ia memohon kepada Allah agar dihilangkan kesulitannya. Karena hanya Allah yang dapat memberikan manfaat dan menolak bahaya (kesulitan). (al-An’âm/6:17, Yûnus/10: 107).
18. Allah akan memberikan pertolongan dan kemenangan kepada para hamba-Nya yang sabar.
19. Jihad di jalan Allah membutuhkan kesabaran dan istiqamah.
20. Dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam agama dapat diproleh. (Perkataan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah)

Maraji :
1. Al-Qur-an dan terjemahnya.
2. Kutubus Sab’ah.
3. as-Sunanul Kubrâ lin Nasâ’i.
4. Shahîh Ibni Hibbân dengan at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahih Ibni Hibbân.
5. Sunan ad-Dârimi.
6. Mushannaf ‘Abdurrazzâq.
7. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
8. Mustadrak al-Hâkim.
9. Sunan al-Baihaqi.
10. Syarhus Sunnah, karya Baghawi.
11. Syarh Ma’ânil Aatsâr, karya ath-Thahâwi.
12. Al-Mu’jamul Kabîr, karya ath-Thabrani.
13. Al-Muntaqâ, karya Ibnul Jarud.
14. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis.
15. Nûrul Iqtibâs bi Washiyyatir Rasûl libni ‘Abbâs, karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
16. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
17. Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr.
18. Qawâ’id wa Fawâ’id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthân.
19. al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
20. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
21. Dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Tahun XIII/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2856, 5967), Muslim (no. 30 (48), 30 (49)), Abu Dâwud (no. 2559), dan at-Tirmidzi (no. 2643).
[2]. Shahih: HR. Muslim (no. 223).
[3]. Shahih: HR. Ahmad (V/282) dari Sahabat Tsauban Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 115).
[4]. Shahih: HR. Ahmad (II/34, 69, 86), at-Tirmidzi (no. 1535), dan al-Hâkim (IV/297).
[5]. Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim (IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).
[6]. Shahih: HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 5375), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (I/65, no. 67), dan Abu Ya’la dalam Musnadnya (no. 78, 79), dari Shahabat Abu Bakar ash-Shiddiq. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 4519).
[7]. Tafsîr Ibnu Katsîr (III/111).
[8]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/467).
[9]. Hilyatul Auliyâ’ (II/386, no. 2659).
[10]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 176).
[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/474).
[12]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 1479), at-Tirmidzi (no. 3247), Ibnu Mâjah (no. 3828).
[13]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (104)). Lafazh Muslim dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[14]. Lihat Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 225).
[15]. Shahih: HR. Muslim (no. 2664).
[16]. Shahih: HR. Ahmad (5/245), Abu Dâwud (no. 1522), an-Nasâ-i (3/53), dan al-Hâkim (1/273; 3/273).
[17]. Lihat Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 226).
[18]. Lihat Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 226).
[19]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/482).
[20]. Shahih: HR. Abu Dawud (no. 4700), at-Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), Ahmad (V/317), dan selainnya dari Ubadah bin Shamit.
[21]. Shahih: HR. Muslim (no. 2653), Ahmad (II/169), dan at-Tirmidzi (no. 2156) dari Shahabat ‘Amr bin al-‘Ash .
[22]. Lihat Syarah al-Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 227).
[23]. Shahih: HR. Muslim (no. 2999 (64)), Ahmad (VI/16), ad-Dârimi (II/318) dan Ibnu Hibbân (no. 2885, at-Ta’lîqatul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân), dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan . Lafazh ini milik Muslim.
[24]. Lihat Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 227).
[25]. Lihat Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 228).
[26]. Lihat al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 147).