Sunday, September 25, 2016

Ketegasan Imam Nawawi Dalam Menolak Kebijakan Pajak


Rabu, 21 September 2016 20:00 
Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi, atau yang lebih dikenal dengan Imam Nawawi, adalah sosok ulama besar mazhab Syafi’i. beliau lahir di desa Nawa pada tahun 631 H dan wafat pada tahun 24 Rajab 676 H.
Imam Nawawi terkenal dengan keluasan ilmu yang melahirkan banyak karya. Dalam literatur mazhab Syafi’i, beliau digelar dengan “Mujtahid Mazhab“, yaitu pelanjut Imam Ar-Rafi’I dalam mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam mazhab Syafi`i. Bahkan telah populer di kalangan mazhab Syafi`iyyah yaitu apabila terjadi pertentangan dalam pentarjihan antara An-Nawawi dan Rafi`i, maka didahulukan tarjih An-Nawawi.
Salah satu pendapat beliau yang cukup tegas adalah tentang pemungutan pajak. Ketika mengomentari hadis tentang larangan memungut pajak, beliau berkata, “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti.”(Lihat: Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi)
Pendapat ini menjadi prinsip yang beliau pegang dalam kehidupannya. Hingga pada suatu ketika terjadi penyerangan besar-besaran pasukan Tartar terhadap wilayah-wilayah kaum muslimin. Saat itu, hampir seluruh wilayah kaum muslimin telah ditaklukan oleh pasukan Tatar.
Kondisi kaum muslimin benar-benar berada dalam keadaan sulit. Dalam Baitul Mal sendiri tidak terdapat dana yang cukup untuk membiayai perperangan. Pada masa itu yang berkuasa adalah Sultan Zahir Bairbas. Untuk mengatasi persoalan biaya perang, Ia mengajak para ulama untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut, para ulama yang hadir sepakat untuk memungut pajak kepada rakyat, terutama yang kaya untuk membantu biaya perang.
Dikisahkan bahwa Imam Nawawi tidak hadir dalam acara tersebut. Sebagai ulama yang dihormati dan menjadi tuntunan bagi mayoritas umat, tentu ketidakhadiran beliau menjadi pertimbangan sang Sultan.
Akhirnya, Imam Nawawi pun dipanggil. Sultan berkata kepadanya “Berikan persetujuan andaterhadap pendapat para ulama yang lain,” Akan tetapi Imam Nawawi tidak bersedia. Sultan menanyakan kepada Imam Nawawi, “Kenapa anda menolak?”
Imam Nawawi berkata, “Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa–apa. Lalu Allah memberikan kekayaan dan dijadikannya sebagai Raja. Saya dengar sekarang anda juga memiliki seribu orang hamba sahaya. Setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari emas. “
Selain itu, anda pun memiliki 200 orang jariah (budak perempuan), setiap jariah mempunyai perhiasan. Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat.”
Mendengar pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zhahir pun marah kepadanya dan berkata,“Keluarlah dari negeriku, Damaskus.” Tanpa ada beban sedikit pun, Imam Nawawi menjawab, “Saya taat dan saya dengar perintah Sultan.” Kemudian beliau pun pulang ke kampung halamannya di daerah Nawa, sebuah desa di daerah Syam.
Para ahli fikih berkata kepada Sultan, “Beliau itu adalah ulama besar, guru dan panutan kami.” Mendengar keluhan tersebut, Imam Nawawi pun diminta untuk kembali ke Damaskus. Tetapi permintaan tersebut beliau tolak dan berkata, “Saya tidak akan masuk Damaskus selagi Zhahir ada di sana.” Lalu sebulan setelah itu Zhahir pun meninggal. (Lihat: Imam As-Suyuti, Husnu al-Muhadharah, 2/105)
Demikian ketegasan sikap yang ditunjukkan oleh Imam Nawawi dalam mempertahankan prinsipnya. Semoga kisah teladan ini dapat mengispirasi kita semua dalam memegang nilai-nilai syariat Islam.
Penulis : Fakhruddin

Pandangan Syariat ( Larangan ) Bekerja Dan Pendapat Yang “Membolehkan” Pajak ( Bea Cukai ). Rujukannya Dienul Islam, Bukan Teori Ekonomi Kapitalis. Silahkan Bantah Secara Ilmiyyah Berdalil. (Bagian I)
Pandangan Syariat ( Larangan ) Bekerja Dan Pendapat Yang “Membolehkan” Pajak ( Bea Cukai ). Rujukannya Dienul Islam, Bukan Teori Ekonomi Kapitalis. Silahkan Bantah Secara Ilmiyyah Berdalil. (Bagian 2)
Pandangan Syariat ( Larangan ) Bekerja Dan Pendapat Yang “Membolehkan” Pajak ( Bea Cukai ). Rujukannya Dienul Islam, Bukan Teori Ekonomi Kapitalis. Silahkan Bantah Secara Ilmiyyah Berdalil. (Bagian 3)