Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas
Prinsip dan pemahaman Ahlus
Sunnah wal Jama’ah tentang masalah kufur dan takfir (pengkafiran) adalah
sebagai berikut:
A. Definisi Kufur
Kufur secara bahasa
(etimologi) berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), kufur
adalah tidak beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya [1].
Orang yang melakukan kekufuran, tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
disebut kafir.
B. Prinsip-Prinsip Ahlus
Sunnah Dalam Kufur dan Takfir
1. Pengkafiran adalah hukum
syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Barangsiapa yang tetap
keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu tidak bisa lenyap darinya
kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula.[2]
3. Tidak setiap ucapan dan
perbuatan yang disifatkan nash sebagai kekufuran merupakan kekafiran yang besar
(kufur akbar) yang mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya
kekafiran itu ada dua macam; kekafiran kecil (asghar) dan kekafiran besar
(akbar). Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan ini
sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlus Sunnah dan
hukum-hukum yang mereka keluarkan.
4. Tidak boleh menjatuhkan
hukum kafir kepada seorang Mus-lim, kecuali telah ada petunjuk yang jelas,
terang dan mantap dari Al-Qur-an dan As-Sunnah atas kekufurannya. Maka, dalam
permasalahan ini tidak cukup hanya dengan syubhat dan zhan (persangkaan) saja.
Ahlus Sunnah tidak menghukumi
pelaku dosa besar tersebut dengan kekafiran. Namun menghukuminya sebagai bentuk
kefasikan dan kurangnya iman apabila bukan dosa syirik dan dia tidak menganggap
halal perbuatan dosanya. Hal ini karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ
افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutu-kan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
[An-Nisaa': 48]
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam memperingatkan dengan keras tentang tidak bolehnya seseorang
menuduh orang lain dengan ‘kafir’ atau ‘musuh Allah.’
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ،
فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ رَجَعَتْ
عَلَيْهِ.
“Barangsiapa yang mengatakan
kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’ maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu
dari keduanya. Apabila (saudaranya itu) seperti yang ia katakan (maka ia telah
kafir), namun apabila tidak maka akan kembali kepada yang menuduh.” [3]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
...وَمَنْ
دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ
حَارَ عَلَيْهِ.
“... Dan barangsiapa yang
menuduh kafir kepada seseorang atau mengatakan: ‘Wahai musuh Allah,’ sedangkan
orang tersebut tidaklah demikian, maka tuduhan tersebut berbalik kepada dirinya
sendiri.” [4]
Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda:
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوْقِ، وَلاَ
يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ، إِلاَّ اِرْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ
كَذَلِكَ.
“Tidaklah seseorang menuduh
orang lain dengan kefasikan ataupun kekufuran, melainkan tuduhannya itu akan
kembali kepada dirinya jika orang yang dituduh tidak seperti yang ia tuduhkan.”
[5]
5. Terkadang ada keterangan
dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah yang mendefinisikan bahwa suatu ucapan, perbuatan
atau keyakinan merupakan kekufuran (bisa disebut kufur). Namun, tidak boleh
seseorang dihukumi kafir kecuali telah ditegakkan hujjah atasnya dengan
kepastian syarat-syaratnya, yakni mengetahui, dilakukan dengan sengaja dan
bebas dari paksaan, serta tidak ada penghalang-penghalang (yang berupa kebalikan
dari syarat-syarat tersebut). [6]
Dan yang berhak menentukan
seseorang telah kafir atau tidak adalah para ulama yang dalam ilmunya dan para
ulama Rabbani [7] dengan ketentuan-ketentuan syari’at yang sudah disepakati.
6. Ahlus Sunnah tidak
mengkafirkan orang yang dipaksa (dalam keadaan diancam) selama hatinya tetap
dalam keadaan beriman.
مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ
إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ
بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir
kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang
yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
ber-dosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” [An-Nahl: 106]
7. Kufrun Akbar (kekafiran
besar) ada beberapa macam:
a. Juhud (mengingkari) جُحُوْدٌ
b. Takdzib (mendustakan) تَكْذِيْبٌ
c. Iba’ (sikap enggan) إِباَءٌ
d. Syakk (keraguan) شَكٌّ
e. Nifaq (kemunafikan) نِفَاقٌ
f. I’radh (sikap berpaling) اِعْرَاضٌ
g. Istihza’ (memperolok-olok)
اِسْتِهْزَاءٌ
h. Istihlal (penghalalan) اِسْتِحْلاَلٌ
8. Sebab-sebab yang dapat
membawa kepada kekafiran besar ada 3 (tiga) macam: perkataan, perbuatan dan
i’tiqad (keyakinan).
Di antara kufur ‘amali
(perbuatan) dan qauli (ucapan) ada yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama
dengan sendirinya dan tidak mensyaratkan penghalalan hati. Yaitu sesuatu
perbuatan/perkataan yang jelas bertentangan dengan iman dari segala seginya,
misalnya menghujat Allah Subhanahu wa Ta'ala, mencaci- maki Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam, bersujud kepada berhala, membuang mushaf Al-Qur-an di tempat
sampah, dan perbuatan-perbuatan lain yang semakna dengan itu. Dijatuhkannya
hukum kufur ini kepada orang-orang tertentu hanya boleh dilakukan setelah
memenuhi syarat-syarat (kufur) yang bisa diterima, sebagaimana
perbuatan-perbuatan lain yang menyebabkan kafir pelakunya.
9. Sesungguhnya amalan
kekafiran adalah kufur dan bisa menyebabkan pelakunya kafir, sebab keadaannya
menunjukkan kepada batinnya yang juga kufur. Ahlus Sunnah tidak mengatakan
seperti ucapan para ahli bid’ah: “Amalan kekafiran tidak kufur, tapi dia
menunjukkan kepada kekufuran!” Perbedaan keduanya jelas.
10. Sebagaimana ketaatan
merupakan sebagian dari cabang-cabang iman, demikian juga maksiat merupakan
sebagian dari cabang kekafiran. Masing-masing sesuai dengan kadarnya.
11. Ahlus Sunnah tidak
mengkafirkan seorang pun dari ahlul Qiblat (kaum Muslimin) karena dosa-dosa
besarnya. Ahlus Sunnah menyebut mereka dengan Mukmin fasiq atau naaqishul
iimaan, dan mereka khawatir apabila nash-nash ancaman terjadi kepada pelaku dosa-dosa
besar, walaupun mereka tidak kekal di dalam Neraka. Bahkan mereka akan bisa
keluar dengan syafa’at para pemberi syafa’at dan karena rahmat Allah Subhanahu
wa Ta'ala disebabkan masih adanya tauhid pada diri mereka. Pengkafiran karena
dosa besar adalah madzhab Khawarij yang keji.[8]
Perbedaan antara kufur besar
dengan kufur kecil adalah:
1. Kufur besar mengeluarkan
pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan (pahala) amalnya, sedangkan kufur
kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, juga tidak
menghapuskan (pahala) amalnya, tetapi bisa mengurangi (pahala)nya sesuai dengan
kadar kekufurannya, dan pelakunya tetap dihadapkan dengan ancaman.
2. Kufur besar menjadikan
pelakunya kekal di dalam Neraka, sedangkan kufur kecil, jika pelakunya masuk
Neraka, maka ia tidak kekal di dalamnya, dan bisa saja Allah Subhanahu wa
Ta'ala memberi ampunan kepada pelakunya sehingga ia tidak masuk Neraka sama
sekali.
3. Kufur besar menjadikan
halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak demikian.
4. Kufur besar mengharuskan
adanya permusuhan yang sesungguhnya, antara pelakunya dengan orang-orang
Mukmin. Dan orang-orang Mukmin tidak boleh mencintai dan setia kepadanya,
betapa pun ia adalah keluarga terdekat. Adapun kufur kecil, maka ia tidak melarang
secara mutlak adanya kesetiaan, tetapi pelakunya dicintai dan diberi kesetiaan
sesuai dengan kadar keimanannya, dan dibenci serta dimusuhi sesuai dengan kadar
kemaksiatannya [9]. Wallaahu a’lam.
[Disalin dari kitab Syarah
Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga
1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Majmuu’ Fataawaa (XII/335) oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dan ‘Aqii-datut Tauhiid (hal. 81) oleh Dr. Shalih bin
Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.
[2]. Majmuu’ Fataawaa (XII/466) oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah.
[3]. HR. Muslim (no. 60), Abu ‘Awanah (I/23),
Ibnu Hibban (no. 250, at-Ta’liiqaatul Hisan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban) dan
Ahmad (II/44) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[4]. HR. Muslim (no. 61), dari Sahabat Abu
Dzarr Radhiyallahu anhu.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 6045) dan Ahmad
(V/181), dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu.
[6]. Syarat-syarat seseorang bisa dihukumi kafir:
1. Mengetahui (dengan jelas),
2. Dilakukan dengan sengaja, dan
3. Tidak ada paksaan.
Sedangkan Intifaa-ul Mawaani’ (tidak ada
penghalang yang menjadikan seseorang dihukumi kafir ) yaitu kebalikan dari
syarat tersebut di atas:
1. Tidak mengetahui,
2. Tidak disengaja, dan
3. Karena dipaksa.
Lihat Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr
al-‘Ilmiyyah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II, th. 1424
H) dan Majmuu’ Fataawaa (XII/498).
[7]. Rabbani adalah orang yang bijaksana, alim,
dan penyantun serta banyak ibadah dan ketaqwaannya. Lihat Tafsir Ibnu Katsir
(I/405).
[8]. Lihat bahasan kufur dan takfir: Majmuu’
Fataawaa (XII/498) dan Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiyyah fii
Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II-1424 H) oleh Musa Alu
Nashr, ‘Ali Hasan al-Halaby al-Atsary, Salim bin ‘Ied al-Hilaly, Masyhur Hasan
Alu Salman, Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, Baasim bin Faishal al-Jawaabirah, حفظهم الله,
al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih (hal. 121-126, cet. II, Daarur Raayah-1422
H) oleh ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsary, dimuraja’ah dan ditaqdim oleh
beberapa ulama, dan Fitnatut Takfiir oleh Muhadditsul ‘Ashr Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albany, taqdim oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz dan ta’liq oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin رحمهم الله,
dikumpulkan oleh ‘Ali bin Husain Abu Lauz, cet. II, 1418 H, Daar Ibnu
Khuzaimah, Tabshiir bi Qawaa’idit Takfiir, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid,
cet. I, th. 1423 H, Mauqif Ahlis Sunnah min Ahli Ahwaa wal Bida’.
[9]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 84) oleh Dr.
Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.