Orang kata, wahabi mengatakan
Allah memerlukan tempat kerana wahabi menetapkan sifat Allah istiwa’ di atas
langit di ‘Arasy-Nya padahal ‘wahabi’ (pinjam kata-kata mereka) hanya
menetapkan sifat istiwa’ bagi Allah dan tidak ada pun pernyataan ‘wahabi’ yang
menyatakan Allah memerlukan tempat. Sedangkan Asha’irah mengatakan mereka
mengikut aqidah Imam Abul Hasan Asy’ariy iaitu Allah wujud tanpa bertempat?
Betulkah demikian? Haatu burhanakum inkuntum shadiqiin (Tunjukkanlah bukti
kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar).
Apa yang penting bukan
perkataan ulama yang menjadi neraca timbangan kebenaran, akan tetapi perkataan
mereka (para ulama) yang bertepatan dengan syariat yang telah Allah turunkan
kepada umat ini melalui lisan Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan telah dicontohkan oleh generasi terbaik umat ini yakni para sahabat
ridhwanallah ‘alaihim jami’an.
Posting sebelum ini saya
membawakan tulisan dari al-Ustadz Abul Jauzaa’ hafizhahullah berjudul -Imam
Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab
Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah-, dan kali ini saya bawakan tulisan yang sama
(yang telah bahagikan kepada 2, untuk bagian pertama saya meletakkan judul
“Wahabi Tipu Al-Ibanah Lagi????“) untuk pembahasan Aqidah sebenar Imam Abul
Hasan Asy’ari rahimahullah. Semoga artikel ini memberi penjelasan kepada kita
akan hakikat kelompok asy’ariyah yang ada di zaman ini, apakah sama pegangan
mereka dengan sang imam, atau terbalik 180 darjah dari hakikat yang sebenar.
Ada beberapa tambahan dari
saya seperti subtopik dan ubahan pada format tulisannya, saya juga ubah bahasa
tulisan ini kepada bahasa melayu malaysia. Antara subtopik yang saya letakkan:
* Pernyataan Imam Abul-Hasan
Al-Asy’ariy mengenai Sifat ‘Uluw/istiwa’ bagi Allah
* Perkataan Para Muktazilah,
Jahmiyah Dan Haruriyah
* Perkataan para ulama yang
menukil pegangan Imam Abul Hasan Asy’ariy
Silakan membaca:
Ustadz Abul Jauzaa’ menulis:
Sebagaimana telah diketahui bersama, di akhir usia beliau kembali ke ‘aqidah
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah setelah puluhan tahun lamanya beliau tenggelam dalam
‘aqidah Mu’tazillah dan Kullabiyyah [lihat Wifaayatul-A’yaan oleh Ibnu Khalkaan
Asy-Syaafi’iy 2/446, Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 11/187,
Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa oleh Taajuddin As-Subkiy 2/246, dan yang
lainnya]. Adalah keliru jika banyak kaum muslimin mengira beliau masih
beraqidah Asy’ariyyah. Seorang imam ahli hadits dan pakar sejarah Islam yang
diakui, Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz
Ad-Dimasyqiy atau yang lebih dikenal dengan Adz-Dzahabiy rahimahullah, telah
mengumpulkan beberapa riwayat dan nukilan ‘aqidah seputar sifat Allah menurut
Ahlus-Sunnah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-‘Adhiim[1], diantaranya adalah
‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah telah meringkas kitab tersebut dengan judul : Mukhtashar Al-‘Ulluw
lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
Pernyataan Imam Abul-Hasan
Al-Asy’ariy mengenai Sifat ‘Uluw/istiwa’ bagi Allah
Pada kesempatan kali ini,
saya akan coba tuliskan ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah
sebagaimana tertera dalam kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar
halaman 236-243 (Penerbit Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H) atau Al-‘Ulluw
lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 159-163 (Penerbit Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet.
2/1388 H) :
Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260 –
324 H)
1. Telah berkata Al-Imam
Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy, seorang ahli
ilmu kalam, dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin[2] wa
Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan
yang lainnya, hingga kemudian beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan
Ashhaabul-Hadiits (dalam ‘aqidah) :
جملة قولهم الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله
وبما جاء عن الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يردون من
ذلك شيئا. وأن الله على عرشه كما قال (الرحمن على العرش استوى) وأنه له يدين بلا
كيف كما قال : (لما خلقت بيدي). وأن أسماء الله لا يقال إنها غير الله كما قالت
المعتزلة والخوارج. وأقروا أن لله علما كما قال: (أنزله بعلمه) (وما تحمل من أنثى
ولا تضع إلا بعلمه). وأثبتوا السمع والبصر ولم ينفوا ذلك عن الله كما نفته
المعتزلة. وقالوا : لا يكون في الأرض من خير وشر إلا ما شاء الله وأن الأشياء تكون
بمشيئته كما قال تعالى : (وما تشاؤون إلا أن يشاء الله) إلى أن قال : ويقولون :
[إن] القرآن كلام الله غير مخلوق.
ويصدقون بالأحاديث التي جاءت عن رسول الله صلى
الله عليه وسلم : (إن الله ينزل إلى السماء الدنيا فيقول هل من مستغفر) كما جاء
الحديث. ويقرون أن الله يجيء يوم القيامة كما قال : (وجاء ربك والملك صفا صفا) وأن
الله يقرب من خلقه كما يشاء قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) إلى أن قال :
فهذا جملة ما يأمرون به ويستعملونه ويرونه وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب
وما توفيقنا إلا بالله.
“Kesimpulan dari perkataan
mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah pengakuan kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang
datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua
hal itu. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya
: ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha :
5). Juga (Allah) mempunyai dua tangan, sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang
telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya
nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah seperti dikatakan
Mu’tazilah dan Khawarij.
Mereka (Ahlus-Sunnah dan
Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai ilmu, sebagaimana
firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 166). ‘Dan
tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan
dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11). Mereka (Ahlus-Sunnah dan
Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah,
dan tidak menafikannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikannya.
Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan
dan kejelekan yang terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki
Allah. Segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya
ta’ala : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.
Hingga beliau (Al-Imam
Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan
Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan
makhluk”.
Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan
Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, dan
berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’; sebagaimana
disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan datang pada hari
kiamat sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat
berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr : 22). Dan bahwasannya Allah dekat dengan
makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16)”.
Hingga beliau (Al-Imam
Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari apa yang
mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan mereka
amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka adalah
juga yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang memberikan
taufiq kepada kita melainkan Allah”.[3]
2. Al-Imam Al-Asy’ariy
rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin)
pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di
suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :
إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل
السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال :
(الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف
وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.
ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى
إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا
“Mereka (para ulama) berbeda
pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara
pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits
yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk),
dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya
Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha
Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului
Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah
bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah
mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan
dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit
dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.
Kemudian beliau (Al-Imam
Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di
atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan
pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya :
‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu
Kami”.[4]
3. Abul-Hasan Al-Asy’ariy
rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-Maqaalaat :
رأيته بخط المحدث أبي علي بن شاذان فسرد نحوا من
هذا الكلام في مقالة أصحاب الحديث. تركت إيراد ألفاظه خوف الإطالة والمعنى واحد
“Aku melihat tulisan
Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang semisal
dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan
penyebutan lafaznya karena khuatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal
maknanya adalah satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.
4. Telah berkata Al-Imam
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii
Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :
فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل
[له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال
: (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون :
(وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله
موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل :
(أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش
فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني
جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات
فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال
: ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم – إذا دعوا – نحو السماء لأن الله مستو على
العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.
“Apabila seseorang bertanya :
‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami
mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya
sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di
atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang
baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa
kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita
Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan
yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit,
supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang
pendusta” (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan :
‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman :
‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan
menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas
langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika
‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut
langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu
merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang
dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau
melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman :
‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah
yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh
langit”.
Beliau (Abul-Hasan
Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin
mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka
berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas
semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak
akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.
Perkataan Para Muktazilah,
Jahmiyah Dan Haruriyah
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية :
إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه،
كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق
بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها
وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء،
لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول :
إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata
orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) :
‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan
mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari
keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq
(Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan
(mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja
hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy
dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah
sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’
di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk
membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun
tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata :
‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh
karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas
‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”.
Kemudian Al-Imam Abul-Hasan
Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-Kitab (Al-Qur’an),
As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.[5]
Perkataan para ulama yang
menukil pegangan Imam Abul Hasan Asy’ariy
5. Al-Imam Abu Bakr bin
Faurak menukil perkataan di atas dari para ahli hadits, dari Abul-Hasan
Al-Asy’ariy dalam kitab Al-Maqaalaatu wal-Khilaaf Bainal-Asy’ariy wa Baina Abi
Muhammad ‘Abdillah bin Sa’iid bin Kullaab Al-Bashriy – tulisan Ibnu Faurak.
Beliau (Ibnu Faurak) berkata :
الفصل الأول في ذكر ما حكى أبو الحسن رضي الله
عنه في كتاب المقالات من جمل مذاهب أصحاب الحديث وما أبان في آخره أنه يقول بجميع
ذلك.
“Pasal Pertama : Penyebutan
Apa-Apa yang Dihikayatkan Abul-Hasan Radliyallaahu ‘anhu dalam Kitab
Al-Maqaalaat dari Kumpulan Pendapat Ashhaabul-Hadiits dan Apa yang Dijelaskan
di Akhir Kitab tersebut Bahwa Beliau Mengatakan Keseluruhan Pendapat Tersebut.”
Ibnu Faurak kemudian
menyatakan perkataan tersebut apa adanya, lalu berkata di bagian akhirnya :
فهذا تحقيق لك من ألفاظه أنه معتقد لهذه الأصول
التي هي قواعد أصحاب الحديث وأساس توحيدهم
“Ini adalah satu penelitian
bagi Anda dari perkataan Al-Asy’ariy bahwasannya beliau berkeyakinan dengan
prinsip ini dimana hal itu merupakan kaidah yang dipegang oleh Ashhaabul-Hadiits
dan pondasi bagi ketauhidan mereka”.
Telah berkata Al-Haafidh
Abul-‘Abbas Ahmad bin Tsaabit Ath-Tharqiy[6] : Aku pernah membaca kitab
Abul-Hasan Al-Asy’ariy yang berjudul Al-Ibaanah beberapa dalil yang menetapkan
al-istiwaa’ (bersemayam). Beliau berkata dalam kesimpulan atas hal tersebut :
ومن دعاء أهل الإسلام إذا هم رغبوا إلى الله
يقولون : يا ساكن العرش ومن حلفهم : لا والذي إحتجب بسبع.
“Termasuk salah satu doa
orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata : ‘Wahai yang
penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’ ; tidak (dikatakan)
: ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”.[7]
6. Telah berkata Al-Ustadz
Abul-Qaasim Al-Qusyairiy rahimahullah dalam Syikaayatu Ahlis-Sunnah :
ما نقموا من أبي الحسن الأشعري إلا أنه قال
بإثبات القدر، وإثبات صفات الجلال لله، من قدرته، وعلمه، وحياته، وسمعه، وبصره،
ووجهه، ويده، وأن القرآن كلامه غير مخلوق.
سمعت أبا علي الدقاق يقول : سمعت زاهر بن أحمد
الفقيه يقول مات الأشعري رحمه الله ورأسه في حجري فكان يقول شيئا في حال نزعه لعن
الله المعتزلة موهوا ومخرقوا
“Tidaklah mereka membenci
Abul-Hasan Al-Asy’ariy kecuali karena ia telah menetapkan adanya qadar,
menetapkan sifat keagungan bagi Allah, mulai dari kekuasaan-Nya, ilmu-Nya,
hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, dan
bahwasannya Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Aku pernah mendengar Abu
‘Aliy Ad-Daqaaq berkata : Aku pernah mendengar Zaahir bin Ahmad Al-Faqiih
berkata : ‘Ketika Al-Asy’ariy rahimahullah menjelang wafat, kepalanya berada di
pangkuanku, maka beliau mengatakan : ‘Semoga Allah melaknat Mu’tazillah. Mereka
telah tertipu dan telah berdusta”.[8]
7. Telah berkata Al-Haafidh
Al-Hujjah Abul-Qaasim bin Al-‘Asaakir dalam kitabnya Tabyiinu Kadzibil-Muftariy
fii maa Nusiba ilaa Al-Asy’ariy :
فإذا كان أبو الحسن رحمه الله كما ذكر عنه من حسن
الإعتقاد، مستصوب المذهب عند أهل المعرفة والإنتقاد، يوافقه في أكثر ما يذهب إليه
أكابر العباد، ولا يقدح في مذهبه غير أهل الجهل والعناد، فلا بد أن يحكى عنه
معتقده على وجهه بالأمانة، ليعلم حاله في صحة عقيدته في الديانة، فاسمع ما ذكره في
كتاب الإبانة فإنه قال : ((الحمد لله الواحد العزيز الماجد، المتفرد بالتوحيد،
المتمجد بالتمجيد، الذي لا تبلغه صفات العبيد، وليس له مثل ولا نديد….)). فرد في
خطبته على المعتزلة والقدرية والجهمية [والرافضة. إلى أن قال : فإن قال قائل : قد
أنكر تم قول المعتزلة والقدرية والجهمية] والحرورية والرافضة والمرجئة، فعرفونا ما
قولكم الذي تقولون، وديانتكم التي بها تدينون ؟ قيل له : قولنا الذي به نقول،
وديانتنا التي بها ندين، التمسك بكتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم، وما روي
عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان عليه أحمد بن
حنبل نضر الله وجهه قائلون، ولمن خالف قوله مجانبون، لأنه الإمام الفاضل، والرئيس
الكامل، الذي أبان الله به الحق عند ظهور الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به
المبتدعين، فرحمه الله من إمام مقدم، وكبير مفهم وعلى جميع أئمة المسلمين.
“Abul-Hasan Al-Asy’ariy
rahimahullah, sebagaimana telah disebutkan dari beliau, adalah seorang yang
mempunyai keyakinan (i’tiqad) yang baik, sesuai dengan madzhab yang ditempuh
para ulama, dimana sebagian besar perkataannya mencocoki madzhab mereka (para
ulama). Tidak ada yang mencela madzhabnya[9] kecuali dari kalangan orang-orang
bodoh dan ingkar. Maka, sudah seharusnya bagi seseorang yang ingin menjelaskan
i’tiqadnya disertai rasa amanah agar dapat diketahui kebenaran ‘aqidahnya dalam
perkara agama. Maka, dengarkanlah apa yang telah ia sebutkan dalam kitabnya
yang berjudul Al-Ibaanah : ‘Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung,
dan Maha Terpuji. Yang sendiri dengan keesaan-Nya, yang terpuji dengan pujian,
yang tidak sampai kepada-Nya sifat-sifat hamba, dan tidak ada kesamaan maupun
tandingan bagi-Nya…”.
Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy)
membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Raafidhah. Hingga
kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika engkau telah
mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah,
Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidhah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah
kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu ! Maka
katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut
adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta
para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu. Dan juga, dengan
agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya – semoga Allah
membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya (Ahmad bin
Hanbal) adalah para pembangkang, karena dia adalah seorang imam yang utama dan
pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran
melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah
juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga
Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada
seluruh imam-imam kaum muslimin.
وجملة قولنا : أن نقر بالله وملائكته وكتبه
ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا
نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله غيره، وأن محمدا عبده ورسوله،
وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور،
وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وأن له وجها كما
قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل يداه مبسوطتان) وأن له عينين
بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم الله غيره كان ضالا، وندين أن
الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر، يراه المؤمنون – إلى أن
قال :
وندين بأنه يقلب القلوب، وأن القلوب بين إصبعين
من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما جاء في الحديث، – إلى أن قال : -
وأنه يقرب من خلقه كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب
إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) ونرى
مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج لما ذكرناه من قولنا وما
بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.
Dan kesimpulan perkataan kami
adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang
diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan
bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung, tidak ada tuhan
yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad adalah hamba
sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat akan datang
tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya,
Allah ta’ala bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya :
‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5).
Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah
Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan sebagaimana
firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64). Allah
mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya :
‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14). Dan barangsiapa yang
berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah orang yang sesat.
Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan (mata) pada
hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam purnama”.
Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
Kami berkeyakinan bahwasannya
Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di antara dua jari
di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua langit dan
bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau
(Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
“Dan bahwasannya Allah itu
dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan
Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf : 16). ‘Kemudian
dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad
sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm : 8-9).
Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut
hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah
(berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara
rinci”.
Kemudian Ibnu ‘Asakir berkata
:
فتأملوا رحمكم الله هذا الإعتقاد ما أوضحه
وأبينه، واعترفوا بفضل هذا الإمام الذي شرحه وبينه.
“Maka renungkanlah – semoga
Allah memberikan rahmat kepada kalian – i’tiqad/keyakinan ini. Alangkah terang
dan jelasnya keyakinan ini. Dan hendaknya kalian mengakui keutamaan imam ini
(yaitu Abul-Hasan Al-Asy’ariy) yang telah menjelaskan dan menerangkannya
(kepada kalian semua)”.[10]
8. Telah berkata Al-Haafidh
Ibnu ‘Asaakir : “Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam kitabnya
yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah :
ألفنا كتابا كبيرا في الصفات تكلمنا فيه على
أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في إثبات الوجه واليدين، وفي
إستوائه على العرش.
كان أبو الحسن أولا معتزليا أخذ عن أبي علي
الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق أئمة الحديث في جمهور ما
يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك وأنه موافقهم. وكان يتوقد
ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة أربع وعشرين وثلاثمائة،
وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.
“Kami telah menulis satu
kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara dari
sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat berbagai
macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-Nya
di atas ‘Arsy”.[11]
Abul-Hasan Hasan pada mulanya
adalah seorang Mu’tazillah yang mengambil pemahaman dari Abu ‘Ali Al-Juba’iy.
Kemudian beliau meninggalkannya dan menolaknya serta berpaling menjadi seorang
mutakallim (ahli ilmu kalam) Sunah. Para imam ahli hadits menyepakati sebagian
besar apa yang dikatakannya. Demikianlah yang kami tuturkan dari beliau,
bahwasannya beliau mengutip ijma’ mereka dan setuju dengan pendapat mereka.
Beliau adalah orang yang cerdas, mempelajari ilmu atsar (hadits) dari
Al-Haafidh Zakariyyah As-Saajiy. Beliau wafat pada tahun 324 H dalam usia 64
tahun. Semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau”.
[selesai]
Scan kitab Al-‘Ulluw oleh
Adz-Dzahabi rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205688/Kitab-AlUlluw
Scan kitab Mukhtashar
Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Al-Albani rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205769/Kitab-Mukhtashar-AlUlluw
Dapat kita lihat dari
keterangan di atas bahwa manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah
sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan
sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Ash-Shahiihah sebagaimana zhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat
istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan
manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah
pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau
tangan dengan nikmat. Keyakinan ini adalah keyakinan Mu’tazillah dimana beliau
dulu pernah berkeyakinan dengannya. Oleh sebab itu, keyakinan/’aqidah kaum
Asy’ariyyah yang ada sekarang ini (dimana mereka gemar menta’wilkan sifat-sifat
Allah – dan ini diingkari oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy) adalah keyakinan
Mu’tazillah yang telah beliau tinggalkan sebelum taubatnya.
Oleh: Abu Al-Jauzaa’ –
Perumahan Ciomas Permai, Bogor.
Dicopy dari:
abul-jauzaa.blogspot.com
Semoga Allah memberikan
taufiq kepada kita semua, kepada orang-orang yang ikhlas mencari kebenaran dan
orang-orang yang cinta kepada sunnah Nabi dan benci kepada bid’ah. Dan semoga
Allah memberikan ganjaran yang selayaknya kepada Ustadz Abul Jauzaa’ atas
ketekunannya menulis artikel untuk membela sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Allahul musta’an.
Posted by Bahaya Ahbash at
1:06 AM 0 comments
Email ThisBlogThis!Share to
TwitterShare to Facebook
Labels: Abu Syafiq, Ahbash,
Aqidah, Asy'ariyah
Wednesday, July 15, 2009
Antara Abu Syafiq &
Al-Jahmiyyah: Wujudkah Persamaannya?
Penulis artikel: Mohd Hairi
Nonchi
Pendidikan Dengan Sains
Sosial
Universiti Malaysia Sabah
SMS sahaja: 019-5308036/014-5679652
Apakah al-Jahmiyyah?
Demikianlah persoalan pertama
yang ingin saya lontarkan kepada sidang pembaca sekalian terhadap salah satu
aliran yang telah "digazetkan" sebagai aliran yang sesat lagi
menyesatkan oleh para tokoh al-Sunnah wa al-Jama'ah. Dilihat dari sudut
penamaannya, istilah al-Jahmiyyah adalah berasal daripada nama seseorang yang
bernama Jahm bin Shafwan yang telah dibunuh oleh Salm bin Ahwaz pada tahun
127H. Aliran ini sangat terkenal dengan dasar pemikiran mereka yang cenderung
menggunggulkan akal fikiran di atas al-Qur'an dan al-Sunnah yang sahih sehingga
yang demikian mereka telah mencipta pelbagai pemahaman yang sesat lagi
menyesatkan di dalam agama.
Antaranya ialah mereka
mendakwa bahawa al-Qur'an adalah makhluk Allah, Allah berada di merata tempat
(di mana-mana), di samping mereka juga menafikan (meniadakan) sebahagian
sifat-sifat Allah khususnya sifat Istiwa' (bersemayam) Allah di atas 'Arasy di
atas langit, Tangan (al-Yad) Allah dan lain-lainnya. Dilihat dari segi sejarah
asal-usul kelahiran aliran ini, al-Jahmiyyah dipercayai berasal daripada Ja'd
ibn Dirham, daripada Aban ibn Sam'an, daripada Thaluth iaitu anak kepada
saudara perempuan Lubaid ibn al-A'sham, seorang Yahudi yang pernah mensihir
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Berhubung dengan aliran
al-Jahmiyyah, saya (Mohd Hairi) rasa terpanggil untuk membuat ulasan yang agak
panjang mengenai aliran ini yang pada masa kini didapati telah pun begitu
berkembang dan mendapat sambutan yang meluas oleh segelintir umat Islam di negara
kita (Malaysia). Pertama sekali, apa yang ingin saya sentuh di sini ialah sikap
mereka yang begitu keras di dalam memusuhi Ahli Sunnah dan para tokohnya. Telah
berkata Abu Hatim al-Razi rahimahullah:
"Tanda-tanda aliran
al-Jahmiyyah adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai al-Musyabbihah
(menyerupakan Allah dengan makhluk –pen). Tanda-tanda aliran al-Qadariyyah
adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai berfahaman al-Jabariyyah.
Tanda-tanda al-Murji'ah adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai al-Mukalifah
(suka menyimpang) dan al-Nuqshaniyyah (suka mengurangi). Tanda-tanda aliran
al-Rafidhah adalah mereka menggelar Ahli Sunnah sebagai al-Tsaniyyah."
[Ashl al-Sunnah wa I'tiqad al-Din; dalam Pembongkaran Jenayah Ilmiah Buku
Salafiyah Wahabhiyah, Hafiz Firdaus Abdullah (Perniagaan Jahabersa, Johor
Bahru, 2003), ms. 34].
Sejalan dengan kenyataan ini
ialah Imam al-Barbahari rahimahullah dimana beliau berkata:
"Jika anda mendengar
seseorang berkata: "Si fulan adalah al-Musyabbihah atau si fulan berbicara
tentang masalah tasybih" maka ketahuilah bahawa dia seorang
al-Jahmiyyah." [Syarhus Sunnah; dalam Pembongkaran Jenayah Ilmiah Buku
Salafiyah Wahabhiyah, ms. 34].
Berdasarkan kepada penjelasan
kedua-dua tokoh Ahli Sunnah di atas, maka jelaslah bagi kita bahawa kaedah yang
paling mudah untuk kita mengenali ciri-ciri mereka yang berfahaman al-Jahmiyyah
adalah dengan cara melihat sendiri kepada sikap mereka yang begitu mudah
menggelari Ahli Sunnah sebagai al-Musyabbihah (golongan menyerupakan sifat Allah
dengan sifat makhluk).
Antara contoh individu yang
boleh dikaitkan dengan ciri-ciri golongan yang berfahaman al-Jahmiyyah ini
ialah Abu Syafiq (menerusi web blognya di talian: www.abu-syafiq.blogspot.com), iaitu
merupakan salah seorang "tokoh" pendusta tanah air yang dilihat
paling lantang dalam mentohmah dan menuduh para pendukung Sunnah sebagai
golongan yang berakidah al-Musyabbihah dan al-Mujassimah.
Tidak syak lagi bahawa antara
faktor terpenting yang menyebabkan "tokoh" pendusta ini begitu mudah
melontarkan pelbagai fitnah ke atas Ahli Sunnah adalah disebabkan oleh
kejahilan beliau sendiri di dalam memahami manhaj dan akidah yang dibawa oleh
para pendukung al-Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Contoh mudah
bagi menggambarkan fenomena kejahilan beliau ini terhadap manhaj Ahli Sunnah
berhubung dengan subjek al-Asma' wa al-Sifat Allah ialah berkaitan dengan
persoalan "di manakah Allah".
Memahami manhaj Ahli Sunnah
berhubung persoalan "Di Manakah Allah".
Menurut manhaj Ahli Sunnah,
apabila seseorang itu ditanya tentang keberadaan Allah, maka dia hendaklah
menjawabnya sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qur'an dan al-Sunnah yang
sahih, iaitu dengan menetapkan bahawa "Allah beristiwa' di atas 'Arasy di
atas langit-Nya" dengan disertai keyakinan bahawa penetapan sifat
al-Istawa' bagi Allah di atas 'Arasy di atas langit itu tidaklah bermaksud
bahawa di sana (di atas 'Arasy di atas langit) adanya sesuatu keadaan yang
meliputi-Nya sebagaimana yang sering disalah-fahami oleh Ahli Bid'ah, khususnya
oleh kedua-dua "tokoh" pendusta di atas serta golongan yang sealiran
dengan mereka berdua.
Oleh kerana "tokoh"
pendusta ini tidak pernah berhenti dari "menyalakkan" isu Ahli Sunnah
sebagai golongan yang berakidah al-Musyabbihah dan al-Mujassimah, maka saya
ingin mengambil kesempatan ini untuk memberi sedikit pencerahan (clarification)
terhadap fitnah yang dilontarkan oleh mereka berdua tersebut. Diharap dengan
penjelasan ini sedikit sebanyak ianya dapat memberi kesedaran kepada beliau dan
sesiapa jua yang telah terpengaruh dengan fitnah yang beliau lontarkan selama
ini.
Sebelum kita mengorak langkah
dengan lebih jauh untuk membahaskan persoalan ini, maka terlebih dahulu akan
saya kemukakan beberapa buah hadis berkaitan persoalan "di manakah
Allah", disusuli dengan komentar para ulamak Ahli Sunnah yang bermanhaj
al-Salaf al-Shalih terhadapnya serta pernyataan para imam muktabar Ahl
al-Sunnah wa al-Jamaah dari kalangan imam empat mazhab:
Hadis pertama.
Muawiyah bin al-Hakam
radhiallahu'anhu meriwayatkan bahawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
telah bertanya kepada seorang hamba wanita:
"Dimanakah Allah?"
Hamba itu menjawab: "Di atas langit". Baginda bertanya lagi:
"Siapakah saya?" Hamba itu menjawab: "Anda Rasulullah".
Maka bersabda baginda: "Bebaskanlah dia kerana sesungguhnya dia adalah
seorang yang beriman" [Hadis riwayat Muslim dalam Shahih Muslim – hadis
no: 537]
Ketika mengomentari hadis
tersebut, Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
"Demikian kita melihat
setiap orang yang ditanya: Di mana Allah? Nescaya dia akan menjawab dengan
fitrahnya: Allah di atas langit. Dalam hadis ini terdapat dua masalah: Pertama,
disyariatkannya pertanyaan kepada seorang muslim: Di mana Allah?. Kedua,
jawapan orang yang ditanya pertanyaan tersebut: Di atas langit. Barangsiapa
yang mengingkari dua masalah ini, maka bererti dia mengingkari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam." [Al-'Uluw lil 'Aliyil Azhim (ms. 81, Mukhtasar
al-'Uluw, al-Albani); dinukil dengan sedikit suntingan bahasa daripada buku Di
Mana Alloh? Pertanyaan Penting Yang Terabaikan!, Abu Ubaidah As-Sidawi (Media
Tarbiyah, Jawa Barat, Indonesia, 2008), ms. 14-15].
Sehubungan dengan ini, Imam
Utsman ad-Darimi rahimahullah berkata:
"Dalam hadis ini
terdapat dalil bahawa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas
langit bukan dibumi, maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu
bahawa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjadikan tanda keimanan budak wanita
tersebut adalah pengetahuannya bahawa Allah di atas langit?!!!" [Ar-Radd
ala Jahmiyyah, ms. 46-47; dalam buku Di Mana Alloh? Pertanyaan Penting Yang
Terabaikan!, ms. 14-15].
Hadis kedua.
Dari Abu Hurairah bahawasanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Rabb (Tuhan) kita turun
ke langit dunia pada setiap malam iaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia
(Allah) berfirman: "Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan,
siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan sesiapa yang memohon
ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni" [Hadis riwayat al-Bukhari, hadis
no: 1145 dan Muslim, hadis no: 758].
Berhubung dengan hadis di
atas, Imam 'Utsman bin Sa'id ad-Darimi rahimahullah berkata:
"Hadis ini sangat pahit
bagi kelompok al-Jahmiyyah dan mematahkan fahaman mereka bahawa Allah tidak di
atas 'Arasy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah
Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah (berada) di atas bumi?!!
Sungguh lafaz hadis ini membantah fahaman mereka dan mematahkan hujah mereka."
[Naqdhu 'Utsman bin Sa'id 'alal Marisi al-Jahmi al-Anid, ms. 285; dinukil
dengan sedikit suntingan bahasa daripada buku Di Mana Alloh? Pertanyaan Penting
Yang Terabaikan!, ms. 18].
Sekian dua buah hadis
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkenaan "di manakah
Allah?". Ternyata, jawapan yang paling tepat bagi seseorang Muslim yang
apabila diajukan pertanyaan kepadanya tentang di manakah Allah, maka dia
hendaklah menjawabnya sebagaimana zahir lafaz jawapan wanita dalam hadis di
atas, iaitu "Allah di atas langit".
Sebagaimana yang telah
diterangkan sebelum ini, sikap Ahli Sunnah ketika berinteraksi dengan Asma' wal
al-Sifat Allah adalah dengan menetapkan apa-apa yang Allah sifatkan ke atas
diri-Nya, baik menerusi al-Qur'an mahupun al-Sunnah Rasul-Nya yang sahih,
memahami maknanya secara zahir sesuai dengan kaedah bahasa Arab itu sendiri,
serta menyerahkanya (al-Tafwidh) ciri-ciri, cara dan bentuk sifat-sifat
tersebut kepada pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan disertai keyakinan
bahawa tidak ada sesuatu jua dari kalangan makhluk Allah baik yang berada di
langit mahupun yang di bumi yang semisal atau sebanding dengan-Nya, baik dari
segi sifat mahupun dari segi Dzat-Nya.
Demikian betapa mudahnya
untuk kita memahami manhaj Ahli Sunnah di dalam berinteraksi dengan al-Asma' wa
al-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Amatlah malang apabila manhaj Ahli Sunnah
yang amat mudah difahami hatta oleh seorang budak hamba wanita ini tidak begitu
difahami oleh Ahli Bid'ah sehingga yang demikian menyebabkan mereka begitu mudah
mengaitkan Ahli Sunnah dengan akidah al-Musyabbihah dan al-Mujassimah
sebagaimana yang sering ditemui dalam banyak penulisan mereka.
Bagi melengkapkan kefahaman
kita terhadap persoalan "di manakah Allah?", maka marilah kita
meninjau pula apakah penjelasan para tokoh Ahli Sunnah terhadap persoalan ini,
dimulai dengan pernyataan Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibn Taimiyyah rahimahullah
sebagaimana katanya:
"Sudah tetap lagi kukuh
bahawa Allah, adalah Dia Maha Tinggi, paling Tinggi (tiada apa-apa yang lebih Tinggi
daripada-Nya). Difahami dari kata-kata "Dia di langit", bahawa Dia
pada sifat ketinggian-Nya, bahawa Dia di atas setiap sesuatu yang lain. Oleh
kerana itulah apabila seorang hamba ditanya (oleh Rasulullah): "Di mana
Allah?" Hamba itu menjawab: "Di langit". Sesungguhnya yang
dimaksudkan oleh hamba tersebut ketika menjawab "Allah di langit"
ialah sifat Maha Tinggi (al-'Uluw) bagi Allah di samping tidak mengkhususkan
Allah dengan jisim-jisim atau keberadaan Allah dalam sesuatu jisim. Apabila
dikatakan: Maha Tinggi (al-'Uluw), maka ia mencakupi apa yang di atas sekalian
makhluk. Namun ini bukan bermaksud bahawa di sana terdapat satu keadaan yang
meliputi Dia kerana di atas alam ini tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali
Allah....
Seterusnya sesiapa yang
menimbulkan keraguan berkenaan keadaan Allah di langit dengan makna bahawa
langit melingkungi-Nya atau meliputi-Nya, maka dia dikira berdusta dan sesat.
Seandainya begitulah iktiqad dia terhadap Tuhannya. Tidaklah kami mendengar
bahawa ada seorang juga yang memiliki kefahaman sedemikian dengan lafaz
sedemikian. Dan tidak juga kami melihat ada seorang jua yang menaqalkan
daripada seseorang yang lain." [Bayan Talbis al-Jahmiyyah, jld. 1, ms.
559; dalam Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, Syaikh
Murad Syukri (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2008), ms. 87-88, lihat nota
kaki no: 77-78].
Dalam keterangannya yang
lain, Syakhul Islam menjelaskan:
"Semua ucapan yang
disebut oleh Allah (dalam al-Qur'an dan al-Sunnah Nabi-Nya yang sahih –pen)
yang mengatakan bahawa Dia di atas 'Arasy mengandungi makna yang benar seperti
apa adanya, tidak memerlukan tahrif (dialihkan kepada pengertian lain). Tetapi
ia terpelihara dari sangkaan yang tidak benar, umpamanya sangkaan bahawa langit
mengangkat atau menaungi-Nya. Pendapat ini adalah batil menurut ijmak
(kesepakatan) ahli ilmu dan iman.
Sesungguhnya kursy Allah itu
benar-benar meliputi langit dan bumi (sila lihat surah al-Baqarah ayat 255
–pen) agar perjalanan kedua-duanya tidak tergelincir dan Dia menahan langit dan
bumi agar tidak meleburkan bumi dengan Izin-Nya. Allah berfirman sebagaimana
yang termaktub dalam al-Qur'an, surah ar-Rahman ayat 25 (yang bermaksud) : Dan
sebahagian tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdiri (terbinanya) langit dan bumi
dengan perintah-Nya." [Al-Asilatu Wa Ajwibatul Usuliyyah 'Alal Aqidatil
Wasathiyyah, Dr. Abd Aziz Muhammad As-Salman; dalam edisi terjemahan oleh Akmal
Hj Mhd. Zain di atas judul Soal Jawab Aqidah Islam Menurut AhluS Sunnah Wal
Jama'ah (Darul Nu'man, Kuala Lumpur, 1996), ms. 189-190].
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-'Utsaimin rahimahullah berkata:
"Di antara (sifat) yang
tidak ditetapkan dan juga tidak dinafikan (dalam al-Qur'an dan al-Hadis adalah)
lafaz Arah (al-Jihhah). Jika ada yang bertanya: "Apakah ditetapkan (sifat)
Arah bagi Allah?" Kami akan menjawab, lafaz Arah tidak disebut dalam
al-Qur'an mahu pun al-Hadis, sama ada penetapan atau penafian. Cukuplah kita
menggunakan perkataan (lafaz) yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadis, iaitu
"Allah berada di langit".
Ada pun maknanya, maka ia
mungkin bermakna Arah ke bawah, Arah ke atas yang meliputi Allah atau Arah ke
atas yang tiada meliputi-Nya. Maka makna yang pertama adalah batil kerana
bertentangan dengan sifat ketinggian Allah yang telah ditetapkan beradasarkan
al-Qur'an, al-Hadis, akal, fitrah dan ijmak para ilmuan. Makna yang kedua
adalah batil juga kerana Allah Ta'ala Maha Agung dari diliputi oleh sesuatu
daripada makhluk-Nya. Makna yang ketiga adalah benar kerana Allah jauh Maha
Tinggi daripada makhluk-Nya dan tidak ada sesuatu daripada makhluk-Nya yang
dapat meliputi-Nya." [Al-Mujalla fi Syarh al-Qawaid al-Mustla fi
Shifatillah wa Asmai al-Husna li al-'Allamah Muhammad Shalih al-'Utsaimin,
Kamil al-Kawari, ms. 216-218; dalam Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam
Ibn Taimiyah, ms. 87-88, sila lihat nota kaki no: 67].
Selanjutnya, ketika
mengomentari hadis berkenaan pertanyaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
kepada hamba wanita sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin
al-Hakam radhiallahu 'anhu yang telah lalu, Syaikh Muhammad bin Shalih
al-'Utsaimin rahimahullah sekali lagi berkata:
"Jika mereka menolak
bahawa Allah di atas alam semesta kerana akan memberi maksud "arah
tertentu" (al-Jihhah), maka mereka salah kerana tiada seorang pun dari
alam semesta yang pernah naik menemui Allah Subhanahu wa Ta'ala melainkan Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, namun baginda menegaskan bahawa Dia Subhanahu wa
Ta'ala berada di atas langit lalu menunjuk ke atas kerana itu adalah arah
ketinggian (al-'Uluw). Arah 'al-'Uluw' ini tidak terbatas, mengandungi atau
meliputi Allah yang Maha Besar. Tiada sesuatu yang (dapat) mengatasi-Nya, yang
Maha Tinggi.
Apakah mereka (menafikan
sifat ketinggian bagi Allah ini) lebih fasih ucapannya daripada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam? Apakah mereka lebih lurus terhadap ajaran-ajaran agama ini
daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? Sudah tentu mereka tidak demikian
sama sekali. Dan Nabi tidak berniat hendak membingungkan umatnya. Seandainya
ada kedustaan ketika baginda mengesahkan tentang (sifat) ketinggian Allah,
pasti Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskannya. Namun teks
(dalil) tidak memerlukan kesimpulan-kesimpulan dusta yang dibuat oleh mereka
yang menafikan ketinggian (al-'Uluw) Dzat Allah di atas alam semesta.
Tidak ada dalil dari
al-Qur'an dan al-Sunnah yang mengesahkan bahawa (sifat) ketinggian (Allah di
atas 'Arasy di atas langit itu) membayangkan bahawa Allah terkandung pada suatu
tempat atau Dia merupakan sebatian tubuh (jisim) atau dalam dalam batas-batas
tertentu', kerana Dia di atas segala sesuatu dan tiada makhluk mengatasi alam
semesta (kecuali) hanya Allah mengatasi segala sesuatu." [Dinukil daripada
buku Tafsiru Ayatil Kursi oleh Syaikh Muhammad Shalil al-'Utsaimin; dalam edisi
terjemahan oleh Siti Sujinah Sarnap al-Faqir Ibnu Hussin di atas judul Tafsir
Ayat al-Kursi, (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2005), ms. 65-66, sila lihat
notakaki no: 76].
Demikian huraian para tokoh
Ahli Sunnah dari generasi awal Islam mengenai persoalan "keberadaan"
Allah di atas langit. Kembali kepada syubhat (kekeliruan) yang sering
ditimbulkan oleh Ahli Bid'ah di atas, bahawa dengan menetapkan sifat Allah
"beristiwa di atas langit di atas 'Arasy-Nya di langit" - sebagaimana
yang menjadi manhaj Ahli Sunnah - hanyalah akan membawa kepada tasybih dan
tajsim, iaitu Allah sebagai Tuhan yang "bertempat", maka saya (Mohd
Hairi) berkata:
· Pertama: Lafaz "Allah
beristiwa' di atas 'Arasy-Nya di atas langit" itu bukanlah lafaz yang
sengaja diada-adakan oleh Ahli Sunnah melainkan ianya merupakan lafaz yang
didatangkan oleh Allah sendiri secara berulang kali baik menerusi al-Qur'an
mahupun lisan Rasul-Nya, Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Sila lihat
ayat-ayat berikut: [1] Surah Taha, ayat 5, [2] Surah al-A'raf, ayat 54, [3]
Surah Yunus, ayat 3, [4] Surah al-Furqan, ayat 59, [5] Surah ar-Rad'd, ayat 2
dan [6] Surah As-Sajadah, ayat 4.
Manakala bagi hadis pula,
cukuplah saya bawakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam
radhiallahu'anhu (Shahih Muslim – hadis no. 537) sebagaimana yang saya telah
kemukakakan pada lembaran yang lalu. Justeru, siapakah kita yang berlagak lebih
alim daripada Dzat yang menurunkan lafaz itu dan menetapkannya sebagai salah
satu sifat-Nya untuk mempersoalkan lafaz wahyu itu, lalu mendakwa ianya perlu
digantikan kepada perkataan dan lafaz yang lain demi mengikuti kehendak hawa
nafsu dan andaian logik akal manusiawi kononnya bagi mengelakkan tasybih dan
tajsim bagi Allah?
Ketahuilah bahawa para tokoh
generasi awal Islam (al-Salaf al-Shalih) tidak ada seorang pun jua yang
mendakwa adanya keperluan untuk menggantikan/menghapuskan lafaz-lafaz wahyu
mengenai sifat-sifat Allah yang sedia ada itu kepada lafaz yang lain bagi
mengelakkan tasybih dan tajsim, walhal merekalah golongan yang paling arif lagi
mendalam ilmunya mengenai sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala serta mendapat
pengiktirafan yang langsung dari lidah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam sebagai
khairul qurun atau sebaik-baik generasi sebagaimana sabdanya: “Sebaik-baik
generasi ialah generasiku, kemudian orang-orang yang sesudahnya (tabi'in) dan
kemudian orang-orang yang sesudahnya (tabi'ut at tabi'in)” [Dikeluarkan oleh
al-Bukhari dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadith
al-Sahihah – hadis no: 700].
Perhatikan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala berikut ini: "Hanya milik Allah al-Asma’ al-Husna,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-Asma’ al-Husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.
Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
[Surah al-A’raaf :180]
Tidak syak lagi bahawa
dakwaan Ahli Takwil akan wajibnya menggantikan sebahagian lafaz nas al-Sifat
Allah kepada lafaz yang lain dengan alasan bagi mengelakkan tasybih dan tajsim
ke atas Allah adalah menyerupai manhaj kaum Yahudi sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan keterangan Imam Ibn Khuzaimah rahimahullah, iaitu salah
seorang ulamak Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang mengikutinya seperti berikut:
"Iaitu orang-orang Yahudi, mereka mentahrif (mengubah) perkataan dari
tempat-tempatnya..." [Surah an-Nisa': 46]
Berkata Imam Ibn Khuzaimah
rahimahullah dari kalangan ulamak asy-Syafi'iyah:
"Kami beriman dengan
khabar dari Allah Jalla wa 'Ala, sesungguhnya Pencipta kami Dia beristiwa' di
atas 'Arasy-Nya. Kami tidak mengganti/mengubah kalam (firman) Allah dan kami
tidak akan mengcuapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada
kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat Allah seperti
golongan al-Jahmiyyah yang pernah berkata: "Sesungguhnya Dia (Allah)
Istaula' (menguasai) 'Arasy-Nya bukan Istiwa'! Maka mereka telah mengganti
perkataan yang tidak pernah dikatakan (oleh Allah dan Rasul-Nya) kepada mereka.
(Tindakan mereka ini)
menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintahkan (oleh Allah) mengucapkan
(lafaz) "Hithtatun" (yang bermaksud: Ampunkanlah dosa-dosa kami),
tetapi mereka mengucapkan (mengubah) "Hinthah" (yang bermaksud:
makanlah gandum)!. Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang
Maha Agung dan Maha Tinggi, maka seperti itulah (juga perbuatan kaum)
al-Jahmiyyah" [Ibn Khuzaimah, Kitab at-Tauhid fi Ithbat as-Sifat, ms. 10;
dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah Menurut Manhaj Salaf
As-Soleh, Ustaz Rasul Dahri (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2001), ms.
41-42].
· Kedua: Menetapkan sifat
Allah sebagai Tuhan yang beristiwa' di 'Arasy di atas langit tidaklah bermaksud
menggambarkan bahawa Dia (Allah) memerlukan kepada suatu tempat atau ruang yang
dapat meliputi dan melingkungi-Nya. Ini sudah dijelaskan berkali-kali dalam
huraian yang lalu. Dakwaan bahawa dengan menetapkan sifat Istiwa' bagi Allah di
atas 'Arasy-Nya di atas langit sebagai mensifati-Nya dengan sifat "bertempat"
hanyalah merupakan rumusan yang berasal dari Ahli Bid'ah itu sendiri
berdasarkan logik akal mereka, bukannya Ahli Sunnah.
Tidak dapat dibayangkan
bagaimana mungkin manhaj menetapkan sifat Istiwa' Allah di atas 'Arasy-Nya di
atas langit itu yang menjadi dasar akidah Ahli Sunnah sejak zaman Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat radhiallahu 'anhum itu boleh
membawa Ahli Sunnah kepada keyakinan bahawa Allah sebagai Tuhan yang diliputi
oleh suatu ruangan/tempat seperti langit-Nya, sedangkan Ahli Sunnah sendiri
telah maklmum lagi arif akan firman-Nya yang bermaksud "Luasnya kursy-Nya
meliputi langit dan bumi" [Surah al-Baqarah: 255]. Justeru, bagaimana
mungkin Ahli Sunnah boleh beriktikad bahwa Allah itu dilitupi atau dilingkungi
oleh langit-Nya sedangkan yang meliputi langit itu sendiri adalah Kursy-Nya,
manakala Dia, iaitu Allah, berada di atas segala-galanya dan terpisah dari
segala makhluk-Nya (termasuk langit kerana langit itu adalah makhluk-Nya juga)
?
Kesimpulannya, dalam hal ini
kesalahan tidak terletak kepada pihak Ahli Sunnah. Sebaliknya yang bersalah
ialah Ahli Bid'ah itu sendiri yang sememangnya sering dalam kebingungan dalam
berinteraksi dengan sifat-sifat Allah sehingga mengaitkan sifat Istiwa' Allah
di atas 'Arasy-Nya di atas langit dengan sifat "bertempat". Lucunya,
natijah dari kebingungan mereka mengenai sifat-sifat Allah ini pula mereka
letakkan kepada Ahli Sunnah, lalu dengan penuh angkuh mereka mendakwa merekalah
Ahli Sunnah yang "sejati" dan berakidah murni, manakala Ahli Sunnah
yang secara terang-terangan berpegang teguh kepada manhaj al-Salaf al-Shalih
pula mereka gelar sebagai golongan al-Mujassimah dan al-Musyabbihah.
Subhanallah!
Sebagaimana yang telah saya
nyatakan sebelum ini, menetapkan sifat Istawa' Allah di atas 'Arasy di atas
langit-Nya itu bukanlah manhaj golongan Ahli Sunnah yang dimasyhurkan dengan
gelaran "wahabi" semata-mata sepertimana dakwaan Ahli Bid'ah, malah
manhaj ini juga merupakan manhaj yang menjadi pegangan seluruh para tokoh Ahl
al-Sunnah wa al-Jamaah dari kalangan generasi awal umat Islam (al-Salaf
al-Shalih). Bagi membuktikan kenyataan ini, berikut akan saya paparkan beberapa
pernyataan dari para tokoh Ahli Sunnah yang saya maksudkan, dimulai dengan
pengakuan para imam mazhab sebagai pembuktian mengenai kesepakatan (ijmak)
mereka terhadap manhaj tersebut:
Imam al-Auza'i rahimahullah
yang dianggap Imam ahli Syam di zamannya. Beliau menegaskan:
"Kami dan para tabi'in
semuanya menetapkan dengan kesepakatan (ijmak) qaul kami bahawa: Sesungguhnya
Allah di atas 'Arasy-Nya dan kami beriman dengan apa yang telah dinyatakan oleh
al-Sunnah berkenaan sifat-sifat Allah Ta'ala." [Fathul Bari, Ibn Hajar
al-'Asqalani; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah Menurut
Manhaj Salaf As-Soleh (Jilid 1), Ustaz Rasul Dahri (Perniagaan Jahabersa, Johor
Bahru, 2001), ms. 14].
Berkata Imam Abu Hanifah
rahimahullah:
"Sesiapa yang
mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia
telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku
tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi? Berkata Imam Abu Hanifah:
Sesungguhnya dia telah kafir kerana Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas
'Arasy al-Istiwa.'" [Mukhtasar al-'Ulum, ms. 137, tahqiq al-Albani. Dalam
Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah ...., ms. 38-39].
Berkata Imam Malik
rahimahullah:
"Allah berada di atas
langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi
sesuatu pun daripada-Nya." [Mukhtasar al-'Ulum, ms. 140; dalam Koleksi
Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 39].
Berkata Imam asy-Syafi'e
rahimahullah:
"Sesungguhnya Allah di
atas 'Arasy-Nya dan 'Arasy-Nya di atas langit." [Mukhtasar al-'Ulum, ms.
179; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 39].
Ibn Abi Hatim meriwayatkan
daripada Yunus Ibn 'Abd Al-'Ala, katanya :
"Aku mendengar
asy-Syafi'e berkata: "Allah mempunyai nama-nama dan sifat-sifat (al-Asma'
wa al-Sifat) yang tidak boleh sesiapa pun menolaknya, dan sesiapa yang
menyalahinya setelah nyata hujah ke atasnya, maka sesungguhnya dia telah kufur.
Adapun sebelum tertegaknya hujah, maka sesungguhnya dia dimaafkan di atas
kejahilan itu kerana ilmu yang demikian itu tidak boleh dicapai melalui akal,
mimpi, atau fikiran. Maka kita menetapkan (ithbat) sifat-sifat ini dan kita
juga menafikan tasybih (penyerupaan) dari-Nya sebagaimana dia menafikan dari
diri-Nya" [Fathul Bari Bi Sharh Shahih al-Bukhari, Ibn Hajar al-'Asqalani;
jld. 13, ms. 407; dalam Siapakah Ahli Sunnah Yang Sebenar, Dr. Azwira Abdul
Aziz (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2006), ms. 77-68].
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah:
"Benar! Allah di atas
'Arasy-Nya dan tidak sesiapa pun yang tersembunyi daripada
pengetahuan-Nya" [Mukhtasar al-'Ulum, ms. 188; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah
Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 39].
Atsar Imam Ibnu Khuzaimah
rahimahullah menjelaskan:
"Barangsiapa tidak
menetapkan Allah Ta'ala di atas 'Arasy-Nya dan Allah Istiwa' di atas tujuh
langit-Nya, maka dia telah kafir dengan Tuhannya" [Ma'rifah 'Ulum
al-Hadits, ms. 84; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal
Jamaah...., ms. 39-40].
Atsar Syaikhul Islam Abdul
Qadir al-Jailani rahimahullah menjelaskan:
"Tidak boleh
mensifatkan-Nya bahawa Dia berada di tiap-tiap tempat, bahkan (wajib)
mengatakan: Sesungguhnya Dia di atas langit (yakni) di atas 'Arasy sebagaimana
Dia telah berfirman: "(Allah) Ar-Rahman di atas 'Arasy, Dia beristiwa'.
Dan patutlah memutlakkan sifat Istiwa' dengan Dzat-Nya di atas 'Arasy. Keadaan-Nya
di atas 'Arasy disebut pada Nabi yang Dia utus tanpa (bertanya): Bagaimana
caranya (Allah al-Istiwa' di atas 'Arasy-Nya)." [Fatwa Hamwiyah Kubra, ms.
84; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 40].
Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari
rahimahullah:
"Di atas langit-langit
itulah 'Arasy, maka tatkala 'Arasy berada di atas langit-langit Allah
berfirman: Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang berada di atas langit?
Sesungguhnya Dia Istiwa' di atas 'Arasy yang berada di atas langit dan
tiap-tiap yang tinggi itu dinamakan 'As-Sama' (langit), maka 'Arasy berada di
atas langit. Bukanlah yang dimaksudkan di dalam firman: Apakah kamu merasa aman
terhadap Dzat yang berada di atas langit? Bukan di seluruh langit! Tetapi
'Arasy-Nya yang berada di atas langit." [Al-Ibanah an Ushul ad Diyanah,
ms. 48; dalam Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms.
40-41].
Penutup.
Sebagai mengakhiri perbahasan
ini, berikut saya paparkan pula beberapa lagi pernyataan para ulamak muktabar Ahli
Sunnah berkenaan manhaj mereka di dalam menetapkan sifat Istawa' Allah di atas
'Arasy di atas langit :
Imam adz-Dzahabi rahimahullah
telah berkata:
"Ucapan para al-Salaf
dan Imam-Imam Sunnah bahkan para sahabat, Allah, Nabi dan seluruh kaum muslimin
bahawasanya Allah di atas langit dan di atas 'Arasy, dan bahawa Allah turun ke
langit dunia. Hujah-hujah mereka adalah hadis-hadis dan atsar-atsar yang sangat
banyak." [Al-'Uluw, ms. 143; dalam buku Di Mana Alloh? Pertanyaan Penting
Yang Terabaikan!, ms. 18].
Abdullah bin al-Mubarak
rahimahullah ketika ditanya tentang bagaimana untuk kita mengetahui di mana
Allah? Beliau menyatakan:
"Ketika ditanya kepada
Abdullah bin al-Mubarak: Bagaimana kita boleh mengetahui di mana Tuhan kita?
Beliau menjawab: Dengan mengetahui bahawa Dia di atas langit ketujuh di atas
'Arasy-Nya." [As-Sunnah, Abdullah bin al-Imam Ahmad, ms. 5; dalam Koleksi
Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah...., ms. 18].
Berkata Syaikh Abu Nashr
al-Sijzi rahimahullah dalam kitabnya al-Ibanah:
"Para imam kami seperti
Sufyan al-Tsauri, Malik (bin Anas), Sufyan bin 'Uyainah, Hammad bin Salamah,
Hammad bin Zaid, 'Abd Allah bin al-Mubarak, Fudhail bin 'Iyadh, Ahmad bin
Hanbal, Ishaq bin Rahuyah semuanya bersepakat mengatakan bahawa Allah pada Dzat-Nya
di atas 'Arasy." [Dar'u Ta'arudh, jld. 6, ms. 250; dalam Menjawab 17
Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, ms. 83].
Berkata Syaikh Abu 'Umar
al-Thalamanki rahimahullah dalam kitabnya al-Wushul ila Ma'rifat al-Ushul:
"Telah bersepakat umat
Islam daripada kalangan Ahli Sunnah wal Jamaah atas firman Allah: "Dan
Allah tetap bersama-sama kamu di mana sahaja kamu berada" [surah al-Hadid:
4] dan ayat yang seumpama, bahawa ia bermaksud (kebersamaan dari sudut)
ilmu-Nya (dan bukan Dzat-Nya). Allah di atas langit dengan Dzat-Nya, Istawa' di
atas 'Arasy dengan cara yang layak bagi-Nya. Dan berkata para tokoh Ahli Sunnah
wal Jamaah terhadap friman-Nya: "(Allah) Ar-Rahman yang bersemayam di atas
'Arasy" [surah Taha: 5], bahawa Allah Istawa' di atas 'Arasy secara
hakikat dan bukan kiasan." [Dar'u Ta'arudh, jld. 6, ms. 250; dalam
Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, ms. 84]
Berkata Syaikh Nashr
al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya al-Hujjah 'ala Taraka al-Mahajjah,
sekiranya ada orang bertanya:
"Sesungguhnya anda telah
menyebut bahawa yang wajib ke atas umat Islam ialah mengiktui al-Qur'an dan
al-Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta apa yang menjad
kesepakatan para imam dan ulamak sehingga menjadi dasar Ahl al-Sunnah wa
al-Jama'ah. Maka sebutlah mazhab mereka umat Islam dan apa yang telah mereka
sepakati dalam perkara akidah dan apa yang patut kita ikut berdasarkan
kesepakatan mereka" Maka jawapannya: "Apa yang telah saya terima
daripada para ilmuan dan orang yang saya temui dan orang yang saya ambil
(riwayat) daripada mereka ialah (maka dia menyebut sejumlah dasar Ahl al-Sunnah
wa al-Jama'ah ... di antaranya) sesungguhnya Allah Istawa' di atas 'Arasy-Nya,
terpisah daripada makhluk-Nya." [Dar'u Ta'arudh, jld. 6, ms. 251; dalam
Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, ms. 84-85].