Kamis, 13 Oktober 2016 - 12:31 WIB
Oleh: Ilham Kadir
Hakikatnya, teori syiahisasi
dengan menggunakan istilah ‘Wahhabi’ adalah untuk menyatukan aliran gelombang
penolakan terhadap mereka yang anti Syiah
BEBERAPA waktu lalu,
tepatnya pada tanggal 8 Oktober 2016 telah diadakan pertemuan dan diskusi
antara anggota civitas akademika yang berpaham, beraliran, dan penyebar ajaran Syiah.
Acara tersebut dihadiri tokoh
Syiah, Dr. Haidar Bagir sebagai narasumber, berlangsung di Auditorium Sekolah
Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jl. Lebak Bulus-II, No. 2, Cilandak,
Jakarta Selatan. Ada juga pertemuan lain di tempat berbeda bersama Ayatullah
Qumi, Wakil Rahbar dalam urusan Luar Negeri, dan juga Ayatullah Majid
Hakimullahi, Kandidat Direktur ICC Jakarta.
Dalam dua pertemuan di atas,
yang menarik adalah pertemuan yang berlangsung di STFI Sadra, diisi oleh Haidar
Bagir dan kawan-kawan. Menarik karena berhasil menemukan sebuah teori
‘Syiahisasi Indonesia’ atau metode dan rumus-rumus jitu dalam melakukan
penyebaran ajaran sesat Syiah di tanah air.
Mereka telah melakukan
kajian, penelitian, dan pengamatan terhadap ummat Islam Indonesia, dan kesimpulannya
adalah segenap kaum muslimin yang berada di bumi Indonesia, secara umum terbagi
menjadi tiga bagian yaitu: 1) Wahhabi; 2) Jahhali; dan 3) Oportunis. Untuk
mengetahui lebih dalam, mari kita cerna ketiga golongan di atas.
Pertama. Bagi penganut Syiah,
yang dimaksud dengan golongan Wahhabi adalah seluruh ummat Islam Indonesia yang
tidak sejalan dan searah tujuan dengan ajaran mereka. Dalam konteks ini,
Wahhabi tidak lagi diidentikkan dengan golongan Wahhabiyah, atau Wahhabiyun
yang merujuk kepada paham atau ajaran dakwah yang dipelopori oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab al-Tamimi al-Najdi.
Artinya, Wahhabi dalam
pandangan Syiah jauh lebih luas ketimbang Wahhabi yang selama ini dikenal luas
oleh masyarakat musilm Nusantara yang mayoritas merujuk kepada tata cara
beribadah ummat Islam di Saudi Arabia, dan biasanya didakwahkan oleh
alumni-alumni Timur Tengah, aliran ini umumnya merujuk kepada mazhab fikih Imam
Ahmad Bin Hanbal yang dikenal dengan Mazhab Hanbali.
Hakikatnya, teori syiahisasi
dengan menggunakan istilah ‘Wahhabi’ adalah untuk menyatukan aliran gelombang
penolakan terhadap mereka yang anti Syiah. Sebab, menurut mereka hanya golongan
Wahhabi yang benar-benar memahami ajaran agamanya dengan baik dan benar
sehingga sangat sulit dan bahkan mustahil untuk disyiahkan. Ajaran dimaksud
adalah akidah yang benar dan diridhai Allah, Ahlussunnah wal Jamaah.
Teori Wahhabi juga sangat
efisien menurut Syiah, sebab adanya pemetaan dan klasifikasi pengikut
Ahlussunnah di Indonesia akan memudahkan kerja-kerja sistematis mereka untuk
mengobarkan propaganda sekaligus sebagai efisiensi dakwah. Dengan propaganda
Wahhabi sehingga semua pengikut mazhab Syafi’iyah sebagai anutan mayoritas
masyarakat muslim Indonesia menjadi anti Wahhabi dan berbalik mendukung Syiah.
Efisien sebab bagi mereka,
golonga Wahhabi tidak ada gunanya diajak masuk Syiah, dengan alasan apa pun,
golongan ini akan terus menolak Syiah, dan, atau bahkan mengobarkan perlawanan
terhadap Syiah, dan tidak segan-segan menggadaikan nyawa demi untuk membela
kebenaran yang mereka yakini. Karena itu, mendakwahi para Wahhabi hanya akan
menyia-nyiakan waktu, menghabiskan tenaga, buang-buang materi dan sangat tidak
bermanfaat bahkan sama saja ‘bunuh diri’.
Teori Wahhabi merupakan
pukulan telak bagi mereka yang selama ini yang masih berada dalam ‘pagar’
Ahlussunnah wal Jamaah namun begitu getol menyerang Wahhabi sambil bersikap
lunak terhadap Syiah, atau bahkan mendukung pergerakan mereka. Umumnya,
perkataan dan pernyataan golongan ini kerap menghasilkan simpati. Seperti,
‘Wahhabi itu perusak persatuan dan kesatuan, mrongrong NKRI’, atau perkataan,
‘orang yang mempermasalahkan Syiah dan Sunni adalah mereka yang terlahir
belakangan’, juga pernyataan, ‘Syiah dan Sunni itu satu tujuan, hanya beda
kendaraan’, atau seperti ini, ‘Saya bukan Sunni bukan pula Syiah, tapi Islam’,
dan semisalnya.
Kedua. Teori ‘Jahhali’, jika
ditilik dari sudut bahasa, tampak bahwa istilah itu berasal dari bahasa Arab,
yaitu, ‘jahil’ yang berarti lawan dari ‘ilmu’, alias tidak mengetahui. Jahil
adalah sebuah derajat yang paling terendah dalam hirarki keilmuan. Antara jahil
dan berilmu terdapat kondisi yang disebut, al-syak, al-wahm, dan al-zhan.
Intinya, kata ‘jahil’ adalah tidak mengetahui atau ‘adamul bisy-syai’. Namun,
teori Jahhali bagi Syiah lebih umum dibanding jahil menurut pengertian bahasa
dan istilah pada umumnya. Sebab, Jahhali di sini adalah golongan ulama,
intelektual, kaum terpelajar, cerdik-pandai, politikus, tokoh masyarakat hingga
aktivis kampus yang tidak mengetahui secara mendalam terhadap ajaran Islam,
khususnya akidah Ahlussunnah wal Jamaah sehingga dengan mudah mereka
disyiahkan.
Selain itu, para Jahhali
adalah golongan kelas menengah ke atas dalam hirarki keilmuan dan memiliki
pengaruh yang besar di tengah masyarakat, dengan ‘menyeret’ mereka masuk dalam
‘pagar’ Syiah akan mempermudah penetrasi dan penyebaran aliran sesat itu di
tengah masyarakat muslim Ahlussunnah wal Jamaah.
Karena itu, para civitas
akademika yang hadir dalam pertemuan di atas adalah berasal dari para Jahhali.
Dan amat disayangkan karena mereka berasal dari para dosen yang mengajar di
kampus-kampus ternama, termasuk para Jahhali yang mewakili kampus-kampus
ternama Makassar.
Hakikatnya, teori Jahhali ini
melecehkan para ulama dan golongan berilmu namun gagal paham terhadap ajaran
agamanya, sehingga dengan mudah diperalat oleh penganut Syiah. Umumnya, agen
Syiah ini menyamar sebagai agen pemersatu ummat, di sana-sini menekankan
pentingnya persatuan, mereduksi perbedaan sehingga yang tampak hanyalah
persamaan. Muncullah istilah-istilah ‘pokoknya Islam, tidak pandang Syiah atau
Sunni’. Ketika para Jahhali tidak lagi mempersoalkan sekat antara Syiah dengan
Ahlussunnah, maka dengan sendirinya mereka telah mendukung penyebaran Syiah.
Yang terjadi, masuklah para
Ayatullah ke masjid-masjid milik Ahlussunnah, tak terkecuali Masjid Istiqlal di
Jakarta, dan Masjid Raya di Makassar.
Berkat kerja-kerja sistematis
agen Syiah yang menjahili para Jahhali dari golongan politisi dan ulama su’
sehingga Ayatullah berjubah, bersurban, berturban itu leluasa menyebarkan
kesesatan di tengah masyarakat Ahlussunnah. Bahan jualannya itu-itu saja, dari
Maroko hingga Merauke yaitu, ‘taqrib baen al-madzahib’ menyatukan dan
mempererat antarmazhab, mereka ini ngotot untuk dimasukkan sebagai salah satu
mazhab fikih, padahal yang berbeda bukan hanya sekadar fikih tapi akidah yang
disebut ushul. Jika akidah berbeda, maka itu bukan mazhab akan tetapi sempalan
alias menyempal dari rel yang benar.
Jika dianalogikan dengan
kereta api, maka rel yang benar adalah hanya milik Ahlussunnah wal Jamaah
sedangkan milik Syiah berada pada rel yang salah sehingga tujuan akhir dalam
beragama yaitu untuk meraih ridha dan surga Allah tidak akan pernah tercapai,
bahkan mereka hanya akan mendapatkan murka dan neraka.
Ketiga. Oportunis, golongan
ini dipecah menjadi dua bagian. Oportunis intelek dan opurtunis fuqara-masakin.
Yang pertama adalah golongan yang tidak mau peduli tentang agamanya, apakah
Syiah atau Ahlussunnah, di mana pun jika menguntungkan akan ia dukung dan
ikuti. Jika harus menjadi Syiah namun di sana akan mendapatkan materi dan
kesejahteraan duniawi, maka ia pun akan menjadi Syiah, tapi jika harus menjadi
Wahhabi lalu mendapat materi yang setimpal, dengan senang hati pun ia akan
menjadi Wahhabi. Inilah yang kerap disentil oleh KH. Bachtiar Natsir sebagai
intelek dan ulama yang imannya hanya setipis uang kertas.
Oportunis kedua, adalah
mereka yang berasal dari golongan fuqara dan masakin atawa fakir miskin yang
juga imannya lebih tipis dari uang kertas. Pokoknya siapa pun yang dapat
menyediakan makan dan fasilitas pada hari itu, maka ia akan dukung dan
bela hingga tetesan darah penghabisan. Teori Oportunis bagi Syiah laksana
mengukir di atas air, tidak akan mendatangkan manfaat bagi penyebaran paham
Syiah.
Teori Maling
Albert Einstein (1879-1955)
pernah menyatakan bahwa seluruh manusia dilahirkan dengan jenius, hanya saja
jika ukurannya ikan harus bisa memanjat, maka tidak akan pernah ada yang
jenius. Maka, para pencuri pun orang jenius dan bekerja dengan teori-teori yang
mereka ciptakan. Memang, ada saja yang gagal, tapi itu terjadi di luar
kebiasaan umum dan prediksi. Pendapat yang mengatakan, ‘orang bodoh yang malas
akan jadi pencuri dan orang pintar yang malas akan menjadi perampok’, tidak
sepenuhnya benar, sebab para pencuri adalah manusia yang berbuat setelah
melakukan kalkulasi untung-rugi dengan matang. Pencuri dimaksud adalah sama
dengan sebutan ‘maling’.
Dalam dunia ‘permalingan’
juga memiliki teori yang diadopsi oleh kaum Syiah yang memang mereka ini adalah
para ‘maling akidah’. Teori maling tersebut adalah:
Pertama. ‘Kaya dan aman’ atau
golongan kaya yang hidupnya penuh dengan pengamanan. Mereka ini tidak
segan-segan menggelontorkan 10 persen penghasilannya untuk menyewa pengaman
mulai dari anjing galak, CCTV, alarm, Satpan, hingga Polisi dan Kopassus.
Mengincar harta mereka sama saja dengan bunuh diri, dan akan mengakibatkan mati
konyol.
Kedua. ‘Kaya tanpa Pengaman’
atau golongan kelas menengah ke atas, alias kaya namun tidak memiliki pengaman
seperti teori pertama. Biasanya golongan ini menyatu dengan masyarakat sekitar
dan berpikiran konvensional seperti, daripada harus membayar ongkos sekuriti
yang mahal lebih baik duit itu disedekahkan atau dipakai bayar zakat dan infak.
Atau mereka kaya tapi bakhil sehingga tidak terpikir untuk membeli dan menyewa
pangaman, golongan ini sangat mudah dan berpotensi disatroni maling.
Ketiga. ‘Fakir-miskin’ atau
golongan yang tidak ada manfaatnya bagi pencuri sebab tidak ada yang bisa
dicuri. Rumah terbuka 24 jam sekalipun tidak mengundang para pencuri untuk
masuk ke dalam, karena itu hanya mendatangkan kesia-siaan, bahkan membahayakan
dirinya.
Karena itu, Syiah hanya akan
berusaha mati-matian menyebarkan paham sesatnya kepada para Jahhali sebagaimana
para maling yang mengincar golongan kaya yang teledor tanpa pengaman. Dan,
isu-isu Wahhabi yang selama ini dipakai Syiah untuk menyerang para Ahlusunnah
hakikatnya adalah sebuah drama ‘sengkuni’ yang menggunakan tangan Ahlussunnah
untuk ‘menempeleng’ Ahlussunnah lainnya, lalu penganut Syiah tertawa sambil
bersorak.
Terkuaknya ‘teori maling’
dalam syiahisasi Indonesia seharusnya menjadikan para pengikut Ahlussunnah baik
secara personal atau kolektif, dan dari organisasi mana pun untuk solid,
bersatu, membendung dan melawan penyebaran Syiah di bumi Ahlussunnah.
Sebab, jika aliran sesat ini terus melaju hanya akan melahirkan konflik
horizontal yang menguras tenaga dan merugikan keutuhan bangsa Indonesia. Wallahu
A’lam!
Peneliti MIUMI Pusat; Kandidat Doktor
Pendidikan Islam UIKA Bogor
Pengamat Sejarah: Politisasi Isu Wahabi Sebagai
Pemecah Belah Umat
Sabtu, 19 September 2015 - 22:37 WIB
Nama Wahabi sengaja dipilih
–para pembencinya- agar dikesankan negatif seperti gerakan Wahabiyah abad
keempat di Maroko, yang dinahkodai seorang Khawarij bernama: Wahab bin Rustum
Dr Tiar Anwar Bachtiar
Bertempat di aula AQL Islamic
Center, Tebet Jakarta Selatan, pada hari Sabtu 19 September 2015, Forum Jejak
Islam untuk Bangsa (JIB) menyelenggarakan diskusi menarik tentang isu Wahabi.
Kajian perdana yang disebut
Ngobrol Bareng Sejarah Indonesia (NGOBRAS) diikuti 89 peserta dengan mengangkat
tema; “Gerakan Pembaruan Islam Awal Abad 20”.
Tema ini diangkat bersamaan
dengan memanasnya kembali isu wahabisme di Indonesia. Tentu saja, sebagai umat
Islam diperlukan kajian serius agar tidak terjerumus pada berita-berita yang
simpang-siur dan provokatif.
Acara dimulai pukul 10.00 WIB
dan dibuka oleh Beggy Rizkiyansyah, Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB),
selaku moderator.
Dalam memaparkan sinopsis
ringkas tentang tema kajian, Beggy mengharap agar kajian sejarah seperti ini bisa
konsisten dilaksanakan setiap bulan.
Setelah dirasa cukup, acara
diserahkan langsung kepada presentator Tiar Anwar Bachtiar, doktor sejarah
lulusan Universitas Indonesia ini.
Dalam pembukaan, Tiar
menandaskan pentingnya sejarah sebagai referensi bagi tindakan umat.
Selanjutnya, Ketua Persatuan Pemuda PERSIS ini menjelaskan panjang lebar
mengenai sejarah muncunya Wahabi serta pengaruhnya pada Pembaruan Islam
Indonesia pada awal 20-an hingga masa sekarang.
Ada catatan penting yang
beliau sampaikan, di antaranya; penyebutan istilah Wahabi sebenarnya kuranglah
tepat. Pasalnya, kalau mau konsisten, seharusnya kalau dinisbahkan kepada
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, maka semestinya bernama: Muhammadiyah.
“Maka dari itu, kita harus
berhati-hati dalam menggunakan istilah,” ujar Tiar.
Lebih jauh ia benang merah,
penyebutan istilah Wahabi sangat sarat muatan politis. Sebab nama Wahabi
sengaja dipilih –oleh pembencinya- supaya dikesankan negatif seperti gerakan
Wahabiyah pada abad keempat di Maroko, yang dinahkodai seorang Khawarij
bernama: Wahab bin Rustum.
“Masalah konflik antara Wahabi dan Asy`ari sudah terjadi beberapa abad yang
lalu, kalau sekarang memanas kembali berarti ada yang menunggangi,” ujarnya.
Paling tidak –menurut
analisis Tiar- ada dua hal mendasar yang menyebabkan isu ini memanas kembali.
Pertama, isu ini dipolitisasi
sedemikian rupa oleh pihak berkepentingan untuk memecah-belah umat.
Tiar menyebut adagium menarik yang sempat dikemukakan terkait masalah konflik
internal umat Islam ini.
“Konflik yang terjadi
sebenarnya bukan karena perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan,”
demikian ia mengistilahkan.
Artinya, konflik perbedaan
sebenarnya sudah lama usai. Namun karena ada kepentingan politis, isu ini
diangkat kembali.
Kedua, buntunya komunikasi umat.
Akibatnya terjadi kesenjangan yang luar biasa di antara umat Islam. Apalagi,
jika masalah khilafiyah furu`iyah (perbedaan pada masalah agama yang
cabang bukan pokok) dibesar-besarkan, maka akan menjadi semakin runyam.
Solusi paling riil untuk
menghadapinya jelasnya ialah tidak memperbesar konflik di wilayah furu`iyah, sembari
dibangun kembali semangat bertoleransi, kemudian perlu dijalin komunikasi yang
baik antar umat.
Selama umat Islam tidak
“terpadu”(tergantung pada duit), tak bermuatan kepentingan politik, serta mampu
menjalankan komunikasi dengan baik, maka Insyaallah isu lama seperti Wahabisme
tidak akan berakibat pada konflik yang lebih besar.
“Lebih baik energi umat Islam
disatukan pada hal-hal yang disepakati, serta tolerir terhadap yang tidak disepakati
agar tidak terbuang percuma.”
Menjelang Pukul 12.00 siang,
diskusi pun dipungkasi dengan beberapa harapan besar dari pembicara.
Pertama, ia meminta agar umat bisa menjaga persatuan dan tidak terpengaruh
dengan istilah-istilah provokatif. Kedua, pentingnya menjalin komunikasi yang
baik antarumat Islam.*/Kiriman Mahmud Budi Setiawan
hidayatullah.com
hidayatullah.com