Hukum Talfiq Antar Madzhab[1]
Oleh : M. Ibadurrahman
A.PENDAHULUAN.
Jika menelisik sejarah perjalan fikih Islam, maka akan
didapati begitu luas penjelasannya, bahkan menjadi bidang kajian ilmu
tersendiri, Tarikh Tasyri’ Islam. Dari masa dimana sumber hukum hanya sebatas
al-Qur’an dan Sunnah yaitu pada masa Rasulullah masih hidup hingga masa di mana
para ulama membuat kaidah-kaidah khusus guna mempermudah ummat Islam yang
kemudian menjadi Madzhab, pada masa itulah kemudian muncul istilah talfiq.
Antara madzhab dan talfik memiki kaitan yang sangat erat.
Karena memang perkara talfiq muncul dalam masalah bermadzhab.[2] Sehingga
muncullah peretanyaan, bolehkah seseorang atau muqallid mencampuradukkan dua
pendapat imam madzhab atau lebih dalam satu tantanan ibadah?. Atau yang
kemudian kita kenal dengan istilah talfiq.
Maka kemudian para ulama membahasnya. Sebagian
berpendapat menolaknya secara mutlak,[3] sebagian lain membolehkannya secara
mutlak,[4] namun juga ada pula yang berpendat boleh beramal dengan talfiq namun
dengan syarat.[5] Maka, dalam tulisan ini akan membahas masalah talfiq secara
ringkas. Dari sejarah kemunculannya sampai kepada bagaimana para ulama
memandang masalah talfq lebih rinci dan apa alasan-alasan mereka.
Pembahasan ini penting untuk memperjelas status
hukum talfiq dalam
hukum Islam, sehingga
tidak membingungkan
masyarakat. Selain itu
masyarakat akan mempunyai
pegangan yang jelas
dalam bertalfiq. Di sisi lain masyarakat hari ini begitu asing dengan
istilah talfiq, padahal perbuatan atau amalan tersebut sangat dekat dengan
mereka.
Kajian ini berdasarkan kajian kepustakaan
dengan pendekatan ushul fikih. Adapun
lebih rincinya semoga makalah ini dapat menjabarkannya, segala kekurangan
penulis mohon maaf dan semoga bermanfaat.
B.PENGERTIAN TALFIQ.
Secara etimologi, talfiq memiliki
beberapa makna, berasal dari kata laffaqa-yulaffiqu. Di antara maknanya.
Pertama, talfiq bermakna menyatukan, seperti dalam sebuah kalimat laffaqta
ats-tsauba lafqan menyatukan dua sisi baju untuk dijahit.[6] Kedua, bermakna
tidak ada perpecahan atau bersatu,[7] makna ini hampir semakna dengan makna
yang pertama. Dua makna ini yang kemudian akan ada kaitan erat dengan talfiq
secara istilah.
Dari sisi terminologi, talfiq tidak di
dapatkan dalam kitab-kitab ulama salaf, karena memang pembahasan talfiq adalah
permasalah baru dalam kajian ushul fikih. Di sini akan penulis cantumkan
beberapa pengertian talfiq. Pertama
Mausu’ah fikihiyah mengartikan talfiq dengan mengambil amalan dari pendapat dua
Madzhab yang berbeda secara bersamaan setelah berhukum dengan amalan batil pada
keduanya sebelum penggabungan.[8] Kedua, DR. Wahbah Zuhaili memaknai talfiq
dengan melakukan suatu amalan yang tidak di katakan mujtahid, dan beramal
dengan mengambil dua pendapat Madzhab atau lebih pada satu amalan yang memiliki
rukun-rukun, sehinggan amalan tersebut tidak di ketahui oleh siapapun.[9]
Ketiga, mengamalkan dua pendapat Madzhab
atau lebih dalam satu amalan, sehingga amalan tersebut seakan-akan tidak
dikatakan oleh siapapun.[10]
Dari berbagai pengertian di atas, dapat
penulis ambil kesimpulan makna talfiq, yaitu mengamalkan dua pendapat Madzhab
atau lebih dalam suatu amalan yang memiliki rukun-rukun atau cabang yang lain,
sehingga darinya terkesan amalan baru yang tidak dikatakan mujtahid, entah
pendapat yang diambil karena setelah menimbang keshahihan dalilnya atau karena
amalan itu adalah yang paling mudah dikerjakan atau bahkan yang paling berat.
Jadi, talfiq adalah cabang dari taqlid di
mana seseorang mengikuti pendapat para mujtahid. Sedangkan ranah talfiq
hanyalah permasalahan-permasalahn ijtihadi bukan masalah tsubuti. Maka dalam
permasalahan i’tiqadi tidak boleh talfiq.[11]
Sebagai contoh, dalam amalan wudhu
seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian dari kepalanya mengikuti pendapat
Madzhab Syafi’i dalam rukun wudhu dan menyentuh
wanita yang bukan mahromnya tanpa peranta tidak membatalkan wudhu
mengikuti pendapat Madzhab Hanafi. Jikalau wudhu ini benar dalam arti sah, maka
wudhu ini bukanlah pendapat Madzhab Syafi’i atau Madzhab Hanafi.
C.TALFIQ DALAM SEJARAH FIQIH ISLAMI
Istilah talfiq muncul setelah abad
pertama Islam, pasalnya para sahabat di masa Nabi tidak pernah mengatakannya. Mengingat sumber fiqih dan
tasyri’ pada masa itu hanya sebatas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Semua
permasalahan yang terjadi di antara mereka di kembalikan kepada Al-Qur’an jika
tidak di dapati maka di serahkan kepada Rasulullah dan beliu dengan segera akan
menyelesaikan permasalahan tersebut.[12]
Begitu juga, pada masa Sahabat, Tabi’in dan kibar Ulama
istilah talfiq belum ada. Ulama, Hakim dan Mufti pada masa ini menyandarkan
semua permasalan dikembalikan ke nash-nash syar’i, jika tidak ada dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka mengeluarakan pendapatnya dalam masalah-masalah
ijtihadi.[13] Maka, sampai hari ini tidak kita dapati para kibar ulama membicarakan
dan membahas talfiq, padahal mereka memiliki karangan fikih dan ushul fikih.
Kemudian, ketika fikih Islam berada pada masa munculnya
Madzhab dalam fikih. Di sinilah kemudian
istilah talfiq muncul dan menyebar, dan ini terjadi pada akhir abad keempat awal
abad kelima hijriyah. Maka kemudian ulama dari setiap Madzhab membahas dan
menjelaskan hakekat talfiq. Sebagian mereka menolak secara mutlak, sebagian
menerimanya secara mutlak dan sebagian lain menerimanya dengan syarat. [14]
D.BEBERAPA ISTILAH YANG BERKAITAN DENGAN TALFIQ
1.Al-Ittiba’.
Secara bahasa ittiba’ berasal dari kata dasar
ittaba’a-yattabi’u yang bermana mengikuti atau menurut.[15] Dari segi istilah,
kata al-Ittiba’ bermakna beramal dengan pendapat seseorang yang perkataannya
adalah hujjah meskipun tidak mengetahui landasan dalil perkataannya secara
terperinci, atau beramal dengan pendapat seseorang yang mana perkataannya
bukanlah hujjah setelah mengetahui landasan dalil perkataan tersebut.[16]
Sisi persamaannya dengan talfiq terletak pada pencampuran
pendapat dalam pelaksanaan amalan ibadah. Ini karena, ketika seseorang
mengetahui dalil yang lebih rajih, tentu ia akan mengamalkannya tanpa melihat
kepada Madzhab tertentu. Sebagai contoh, seseorang melakukan amalan wudhu
sesuai dengan Madzhab Syafi’i, namun ketika mengusap kepala ia mengetahui dalil
yang lebih rajih adalah mengusap seluruh bagian kepala dan ini bukanlah
pendapat Madzhab Syafi’i namun ini adalah pendapat Madzhab Hanbali. Di sinilah
ada persamaan al-Ittiba’ dengan talfiq di mana ia berwudhu dengan Madzhab
Syafi’i, namun ketika mengusap kepala beramal dengan Madzhab Hanbali, tentunya
setelah mengetahui dalilnya.
2.At-Tarjih.
Secara bahasa berasal dari kata dasar rajaha-yarjahu yang
bernakana condong dan melihat yang paling benar.[17] Secara istilah tidak jauh
dari makna secara bahasa, yaitu mengedepankan satu dalil dari dua dalil yang
bertentangan karena adanya kebenaran padanya, yang menjadikan beramal dengannya
lebih utama daripada beramal dengan yang lain.[18]
Sisi persamaannya adalah penggabungan dua pendapat atau
lebih dalam suatu amalan ibadah. Karena jika beramal dengan satu Madzhab dalam
suatu amalan ibadah, kemudian terdapat satu permasalah di mana terdapat dua
dalil yang bertentangan, maka akan di ambil pendapat yang paling benar dari dua
dalil tersebut meski bukan dari Madzhab tersebut. Karena terkadang perbedaan
pendapat antar Madzhab itu terjadi karena beda landasan dalil yang di gunakan.
Maka at-Tarjih adalah mengambil dalil yang paling mendekati kebenaran dali dua
dalil yang bertentangan. Contohnya, Madzhab Syafi’i dalam amalan wudhu
bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram tanpa pembatas adalah membatalkan
wudhu sebagaimana dalil yang tertera. Seseorang yang berMadzhab Syafi’i ada
kelebihan pada dalil yang digunakan Madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa wudhu
tersebut tidaklah batal, lalu ia menggabungkan dua pendapat. Dan di sinilah
persamaan at-Tarjih dengan talfiq.
3.Al-Ijtihad al-Murakkab
Istilah ini tersusun dari dua kata, al-Ijtihad dan
al-Murakkab. Al-Ijtihad berasal dari kata dasar ijtahada-yajtahidu yang
bermakna bersunggu-sungguh untuk mendapatkan sesuatu.[19] Sedangkan al-Murakkab
berasal dari kata rakiba-yarkabu-tarkiban yang bermakna meletakkan satu bagian
ke bagian yang lain.[20] Jika digabungkan al-Ijtihad al-Murakkab memiliki makna
ijtihad dua orang mujthid atau lebih pada satu masa dalam suatu masalah yang
yang menghasilkan dua pendapat yang berbeda, kemudian datang setelah mereka
seorang mujtahid atau lebih pada satu masa berijtihad dalam permasalan yang
sama yang menyebabkan kepada mengambil sebagian pendapat dari kedua-dua
pendapat yang tadi, sehingga menghasilkan pendapat yang berbeda dengan pendapat
yang sebelumnya.[21]
Sisi persamaan antara talfiq dengan al-Ijtihad
al-Murakkab adalah mengambil pendapat-pendapat yang berbeda dalam satu amalan
ibadah sehingga mewujudkan satu susunan hukum yang tidak dikatakan oleh Madzhab
yang dipegang. Orang yang mengambil ijtihad jenis ini akan mengambil sebagian
pendapat Madzhabnya dan sebaagin pendapat Madzhab yang lain. Di sinilah
kesamaanya, karena dia telah memasukkan pendapat yang bukan dari Madzhabnya ke
dalam Madzhabnya.
4.Tatabbu’ ar-Rukhash
Istilah ini tersusun dari dua kata, Tatabbu’ yang secara
bahasa berasal dari kata dasar tatabba’a-yatatabba’u-tatabbu’an yang bermakan
mengikutinya,[22] dan al-Rukhas berasal dari kata dasar
rakhasha-yarkhashu-rukhshatan yang bermakna memudahkan dalam suatu urusan.[23]
Jika keduanya di gabungkan akan memiliki makna tertentu yaitu melihat pada
hukum-hukum yang terdapat pada berbagai Madzhab yang berbeda guna memilih dan
mengambil apa yang paling mudah dan ringan tanpa melihat kelemahan atau kekutan
dalil yang digunakan.[24]
Sisi persamaannya dengan talfiq ialah memasukkan berbagai
pendapat ke dalama Madzhab yang dipegang dengan mengambil pendapat yang paling
ringan dan mudah, seseorang yang berbuat demikian tentu akan menggabungkan
berbagai macam pendapat Madzhab yang berbeda. Contohnya, seseorang memilih
pendapat yang mudah dan ringan dalam masalah perkawinan. Maka, akan memilih
pendapat Madzhab Hanafi yang membolehkan menikah tanpa ada wali, dan akan
memilih pendapat Ibnu Hazm yang membolehkan melihat seluruh tubuh wanita yang
akan di nikahnya.
E.HUKUM TALFIQ.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat
pertama, melarang atau mengharamkan talfiq secara mutlak dan tanpa syarat.
Pendapat kedua, memperbolehkan talfiq secara mutlak. Dan pendapat ketiga,
talfiq ada yang dilarang dan ada yang diperbolehkan. Adapun lebih rincinya
adalah sebagai berikut.
1.Pendapat yang melarang secara mutlak.
Ibnu Hajar al-Haitami berkata : “Pendapat yang mengatakan
kebolehan talfiq adalah menyelisihi ijma’”.[25] Bahkan sebagian ulama Madzhab
Hanafi menyebutk bahwa perkara ini adalah ijma’ (keharaman talfiq).[26] Di
antara ulama yang secara tegas menolak talfiq secara tegas adalah ; Abdul Ghani
an-Nabulsi dalam karyanya Khulasahah al-Tahqiq fi Bayan al-Hukmi at-Taqlid wa
at-Talfiq, Muhammad bin Ahmad bin Salim al-Hanbali yang lebih dikenal dengan
as-Saffarini dalam karyanya at-Tahqiq fi Buthlani at-Talfiq, al-Alawi
asy-syinqithi dalam karyanya Maraqi ash-Shu’ud dan Nasyr al-Bunud ala Maraqi
ash-Shu’ud, Al-Muth’i dalam karyanya Sullam al-Wushul li Syarhi Nihayatu
al-Sul, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi dalam karyanya Syarhu Maraqi
ash-Shu’ud, Al-Hasykafi dalam karyanya ad-Dur al-mukhtar Syarhu Tanwir
al-Abshar, bahkan beliau mengklaim adanya ijma’ dalam larangan talfiq.[27]
Namun pendapat ini adalah tidak benar.[28]
Ulama yang menolak talfiq secara mutlak bersandar kepada
beberapa dalil, di antaranya[29] : pertama, talfiq mewujudkan hukum ketiga dari
dua hukum yang telah disepakati oleh ulama, kesepakatan ini dengan tujuan tidak
menimbulkan pendapat yang mnyelisihi pendapat mereka. Ini juga bertentangan
dengan apa yang telah di sepakati para ulama tentang keharaman mewujudkan hukum
baru dari apa yang mereka sepakati.
Kedua, talfiq menimbulkan pendapat yang tidak pernah
dikatakan oleh ulama terdahulu. Dengan talfiq seolah-olah mewujudkan Madzhab
baru yaitu hasil pencampuran pendapat-pendapat yang di lakukan oleh seorang
yang bukan mujtahid.
Ketiga, talfiq melanggar ketetapan atau tuntutan dalam
berMadzhab atau bertaqlid, karena dengannya menyebabkan seseorang
mencapuradukkan Madzhabnya dengan Madzhab lain. Maka jika talfiq di
perbolehhkan apa gunanya berMadzhab.
2.Pendapat yang memperbolehkannya secara mutlak.[30]
Bagi ulama yang
mendukung pendapat ini
antara lain para
ulama Maghrib dari kalangan
Malikiyah, seperti ad-Dasuqi
dalam karyanya Hasyiyah ad-Dasuqi
ala asy-Syarh al-Kabir, Abu Bakar ad-Dardir dan Ibnu Arafah al-Maliki.[31] Argument
ulama yang memperbolehkan talfîq antara lain: pertama, haraj dan masyaqqah. Mengharamkan talfiq antar
Madzhab adalah sebuah tindakan yang amat bersifat memberatkan dan menyulitkan,
khususnya orang-orang awam dengan
ilmu-ilmu agama versi Madzhab tertentu.
Hal itu mengingat bahwa amat jarang ulama di masa
sekarang ini yang
mengajarkan ilmu fikih lewat jalur khusus satu Madzhab
saja, selain juga tidak semua ulama terikat pada satu Madzhab tertentu.
Barangkali pada kurun waktu tertentu
dan di daerah
tertentu pengajaran ilmu
agama memang disampaikan lewat para ulama yang secara
khusus mendapatkan pendidikan ilmu fikih lewat satu Madzhab
secara ekslusif dan
tidak sedikitpun mendapat
pandangan dari Madzhab yang
selain apa yang telah diajarkan gurunya.
Kedua, tidak ada
dalil yang mengharuskan
berpegang pada satu Madzhab.
Menurut pendapat ini,
bahwa tidak ada
satupun hadits yang secara tegas mengharuskan
seseorang untuk berguru
kepada satu orang
saja, atau berkomitmen kepada
satu Madzhab saja.
Ketiga, pendiri
Madzhab tidak mengharamkan talfiq. Inilah hujjah yang paling kuat. Setiap orang
berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada
ahli ijtihad. Dan
tidak ada larangan
bila sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad
orang lain.
Di
kalangan para shahabat
Nabi saw terdapat
para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya.
Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka
sebagai rujukan dalam
masalah hukum. Misalnya
mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin al-Khattab ra, Utsman ra,
Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu
Mas''ud ra, Ibnu
Umar ra dan
lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda
untuk menjawab satu
kasus yang sama.
Namun tidak seorang pun
dari para shahabat
yang berilmu itu
yang menetapkan peraturan bahwa bila
seseorang telah bertanya
kepada dirinya, maka
untuk selamanya tidak boleh
bertanya kepada orang
lain. Imam Madzhab
yang empat itu
pun demikian juga, tak
satu pun dari
mereka yang melarang
orang yang telah bertaqlid kepadanya
untuk bertaqlid kepada
imam selain dirinya.
Maka dari mana datangnya larangan
untuk itu, kalau
tidak ada di
dalam al-Qur`an, sunnah,
perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri?
Salah
satu dasar tegaknya
syariat Islam adalah memberi
kemudahan, tidak menyusahkan dan
mengangkat kesempitan, sebagaimana banyak ayat dan hadits yang
menyebutkannya.
Di
antara para ulama
yang mendukung talfiq
adalah al-Izz Ibnu Abdissalam yang menyebutkan bahwa
dibolehkan bagi orang awam mengambil rukhsah
(keringanan) beberapa Madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu
yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah itu mudah (dinu al-allahi
yusrun) serta firman
Allah swt dalam
surat al-Hajj ayat
78: “Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu
kesempitan. “
Imam
al-Qarafi menambahkan bahwa,
praktik talfiq ini
bisa dilakukan selama ia tidak
menyebabkan batalnya perbuatan
tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua
pendapat imam Madzhab
yang diikutinya. Demikian
juga dengan para ulama
kontemporer zaman sekarang,
semacam Doktor Wahbah
Zuhaili[32], menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan
dlarurat, asal tanpa disertai main-main
atau dengan sengaja
mengambil yang mudah
dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syari’at.
3.Pendapat yang bersikap moderat.
Menurut
ulama yang berpendapat
ketiga ini, harus diakui bahwa
ada
sebagian
bentuk talfiq yang
hukumnya haram dan
tidak boleh dilakukan.
Namun
juga tidak bisa
dipungkiri bahwa dari
sebagian bentuk talfiq
itu ada yang diperbolehkan,
bahkan dianjurkan. Salah satunya adalah syaikh Abdul Wahab Khalaf, beliau
berpendapat bahwa seorang muqallid yang berpegang pada Madzhab imam tertentu,
boleh saja secara syar’i mengambil pendapat imam Madzhab lain dalam sebagian
permasalahan. Dengan catatan tujuan dari pengambilannya adalah menghilangkan
kesulitan atau menolak bahaya yang menimpanya, bukan bertujuan menghimpun
rukhsah-rukhsah dari Madzhab yang berbeda demi terbebas dari kekangan dan beban
hukum-hukum tersebut.[33] Argumentasi beliu antara lain:
Pertama,
hal itu demi menghilangkan kesulitan yang dialami muqallid. Sedangkan
menghlangkan kesulitan merupkan hala yang sesuai dengan dasar syariat Islam.
Banyak ayat-ayat yang menjelaskan demikian, salah satunya adalah firman Allah
dalam surat al-Hajj: 78.
Kedua, sandaran hukum dalam
masalah-masalah cabang yang bersifat aplikatif dan menjadi objek perbedaan
pendapat di kalangan imam adalah dalil yang bersifat implisit (dzanni), baik
nash-nash yang berdifat multi interpretasi maupun perangkat-perangkat ijtihad
lainnya yang ditetapkan syariat. Setiap mujtahid hanya berpendapat pada apa
yang menurut perkiraan besarnya adalah hukum syar’i, dan ia tidak memastikan
pendapatnya itulah adalah hukum syar’i , sedangkan pendapat yang berbeda
dengannya bukan hukum syar’i. Dengan demikian, setiap hukum yang di tentukan
mujtahid dalam masalah yang merupakan ranah khilafiyah adalah benar berdasarkan
perkiraan besarnya, namun bisa jadi salah. Dan ketika seorang muqallid
berpegang pada madzhab imam tertentu, berarti ia sedang berpegang pada madzhab
imam tertentu , berarti ia juga sedang berpegang pada pendapat yang benar
menurut pendapat imam lain.[34]
Syaikh Yusuf Qardhawi dalam fatwanya
menyebutkan, “Sebagian ulama membolehkan talfiq, sebagian lain melarangnya. Sedangakan
pendapatku, jika seseorang melakukan talfiq dengan cara hanya tatabbu’ rukhas
tanpa memperhatikan dalilnya, maka yang seperti tidak boleh. Namun, jika
melakukan talfiq dengan cara mengambil yang rajih dan kuat menurut
pandangannya, maka talfiq yang semacam ini tidak mengapa.”[35]
Menurut Wahbah Zuhaili, kebolehan bertalfiq
ini dibatasi dengan
tiga syarat, yaitu menghindari
hal-hal berikut: Pertama, Mencari yang teringan saja dengan sengaja tanpa ada
alasan darurat atau uzur. Ini dilarang
untuk menutup pintu
kerusakan dengan lepasnya taklif.
Kedua, talfiq yang dilakukan berakibat
pada pembatalan hukum hakim, sedangkan hukum seorang hakim adalah keputusan
final perkara. Ketiga, talfiq yang mengharuskan rujuk atau kembali dari apa
yang telah dilakukannya secara
bertaklid atau dari
perkara yang telah
disepakati ulama yang pasti ada
pada kasus yang ditaklidinya, seperti dalam kasus-kasus mu’amalah, hudud,
pembagian harta rampasan dan pajak dan pernikahan. Dalam hal-hal tersebut
dilarang talfiq karena menjaga
maslahah.[36]
F.KESIMPULAN.
Dari pemaparan di atas, hukum talfiq dalam bermazhab atau
dalam istilah mudahnya mencampuradukkan dua pendapat madzhab atau lebih adalah
di perselisihkan. Sebagian ulama memperbolehkannya dengan mutlak, sebagian lain
mengharamkannya, namun juga ada yang berpendapat moderat. Dan pendapat ulama
yang berpandangan moderat tentang keabsahan talfiq adalah pendapat yang di
pilih penulis, tentu dengan menerapkan syarat-syaratnya.
Namun, yang perlu menjadi catatan tebal, ranah atau
tempat di perbolehkannya menerapkan talfiq adalah dalam perkara-perkara dzanni,
perkara di mana para ulama berbeda pendapat. Namun dalam perkara-perkara qath’i
atau perkara yang sudah menjadi ijma’ para ulama, maka talfiq di haramkan.
Karena, konsekuensi dari melakukan talfiq dalam ranah qath’i dapat menyebabkan
kekafiran.
G. DAFTAR
PUSTAKA
1.Ibrahim Unais dkk, Al-Mu’jam al-Wasith, Majma’
al-Lughah al-Arabiyah, Cairo.
2.Ibnu mandhur, Lisanul Arab, Daar Ihya at-Turats
al-‘Arabi, Beirut.
3.Wizarah al-Awqaf wa al-Su’un al-Islamiyah, al-Mausu’ah
al-Fikihiyah al-Kuwait, Wizarah al-Awqaf wa al-Su’un al-Islamiyah.
4.Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fikih al-Islami, Damaskus: Dar
al-Fikr.
5.Muhammad Sa’id Al-Bani, ‘Umdah al-Tahqiq fi al-Taqlid
wa al-Talfiq, Damaskus: al-Maktab al-Islami.
6.Nazar Nabil Abu Minsyar, At-Talfiq fi as-Syari’ah
al-Islamiyah, Syabhah al-Alukah.
7.Qutb Muhammad Sano, Mu’jam Musthalahat Usul al-Fikih,
Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir.
8.Muhammad bin Abu Bakar ar-Razi, Mukhtar as-Shihah,
Beirut: Maktabah Lubnan, cetakan 1995.
9.Ahmad bin Muhammad al-Fayumi, al-Mishbah al-Munir,
Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah.
10.Abdul Mufid, Talfiq antar Madzhab dalam Kajian Hukum
Islam, STAI Khozinatul Ulum Blora Jawa Timur.
11.Abdul Wahab Khalaf, Ijtihad dalam Syariat
Islam(al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah), Pustaka Al-Kautsar, Jakarta,
cetakan 1, 2015
12.Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Ittihaf bi Ijarari al-Auqaf
(Majmu’ Fatawa), Dar Shar, Beirut.
13.Muhammad Sa’id Hawa, At-Taqlid fi al-Ahkam
asy-Syar’iyyah al-‘Amaliyyah, Jami’ah Mu’tah.
14.Yusuf Qardhawi, Fatawa Mu’ashirah, versi Makatabah
Syamilah.
15.Manna’ Al-Qahthan, Tarikh Tasyri’
Islam, Beirut: Muassasah ar-Risalah.
[1]
Di sampaikan dalam munadzarah ilmiyah Ma’had ‘Aly An-Nuur pada Ahad 13 Rabi’uts
Tsani 1437 H / 24 Januari 2016 M
[2] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fikih al-Islami, (Damaskus:
Dar al-Fikr),vol 2, hal 1142
[3] Ibnu Hajar al-Haitami berkata : “Pendapat yang
mengatakan kebolehan talfiq adalah menyelisihi ijma’”
[4] seperti
ad-Dasuqi dalam karyanya Hasyiyah ad-Dasuqi ala asy-Syarh
al-Kabir
[5] Diantaranya adalah Doktor Wahbah Zuhaili, Syaikh
Abdul Wahab Khalaf, Syaikh Yusuf Qardhawi dll.
[6] Ibrahim Unais dkk, Al-Mu’jam al-Wasith, (Cairo,Majma’
al-Lughah al-Arabiyah), vol 2, hal 866-867. Ibnu mandhur, Lisanul Arab, (Beirut
Daar Ihya at-Turats al-‘Arabi), vol 10, hal 330-331, Fairuz Abadi, Al-Qamus
al-Muhith, vol 1, hal 1190-1191.
[7] Ibnu mandhur, Lisanul Arab, (Beirut Daar Ihya
at-Turats al-‘Arabi), vol 10, hal 330-331
[8] Wizarah al-Awqaf wa al-Su’un al-Islamiyah,
al-Mausu’ah al-Fikihiyah al-Kuwait, Wizarah al-Awqaf wa al-Su’un al-Islamiyah,
cetakan 1, 1987, vol 13, hal 293.
[9] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fikih al-Islami, (Damaskus:
Dar al-Fikr),vol 2, hal 1171,
[10] Muhammad Sa’id Al-Bani, ‘Umdah al-Tahqiq fi
al-Taqlid wa al-Talfiq, (Damaskus: al-Maktab al-Islami), 1981, 91.
[11] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fikih al-Islami, Damaskus:
Dar al-Fikr, cetakan 2, 2001, vol 1,hal 95
[12] Di nukil secara ringkas dari karangan Manna’
Al-Qahthan, Tarikh Tasyri’ Islam, (Beirut: Muassasah ar-Risalah), hal 40 &
87
[13] Ibid, hal 127
[14] Nazar Nabil Abu Minsyar, At-Talfiq fi as-Syari’ah
al-Islamiyah, Syabhah al-Alukah, hal 20
[15] Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, Daar Ihya at-Turats
al-‘Arabi, Beirut, vol 8, hal 27
[16] Qutb Muhammad Sano, Mu’jam Musthalahat Usul
al-Fikih, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, cetakan 1, 2000, hal 24
[17] Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, Daar Ihya at-Turats
al-‘Arabi, Beirut, vol 2, hal 445
[18] Qutb Muhammad Sano, Mu’jam Musthalahat Usul
al-Fikih, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, cetakan 1, 2000, hal 43
[19] Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, (Beirut, Daar Ihya
at-Turats al-‘Arabi) , vol 3, hal 133
[20] Ibid, vol 1, hal 428
[21] Qutb Muhammad Sano, Mu’jam Musthalahat Usul
al-Fikih, (Beirut, Dar al-Fikr al-Mu’asir), 2000, hal 33-34
[22] Muhammad bin Abu Bakar ar-Razi, Mukhtar as-Shihah,
(Beirut: Maktabah Lubnan), hal 83
[23] Ahmad bin Muhammad al-Fayumi, al-Mishbah al-Munir,
(Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah), vol 1, hal 223
[24] Qutb Muhammad Sano, Mu’jam Musthalahat Usul
al-Fikih, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir), hal 119
[25] Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Ittihaf bi Ijarari
al-Auqaf (Majmu’ Fatawa), (Beirut, Dar Shar), vol 3, hal 330. Wahbah Zuhaili,
Ushul al-Fikih al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr), 2001, vol 2 ,hal 1142
[26] Ibnu Abidin, Al-Hadiyyah al-‘Ilaiyyah, hal 394
[27] Wizarah al-Awqaf wa al-Su’un al-Islamiyah,
al-Mausu’ah al-Fikihiyah al-Kuwait, Wizarah al-Awqaf wa al-Su’un al-Islamiyah,
vol 2 hal 4821.
[28] Muhammad Sa’id Hawa, At-Taqlid fi al-Ahkam
asy-Syar’iyyah al-‘Amaliyyah, Jami’ah Mu’tah, hal 22
[29] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fikih al-Islami, (Damaskus:
Dar al-Fikr), vol 2, hal 1144
[30] Banyak dinukil dari makalah, Abdul Mufid, Talfiq
antar Madzhab dalam Kajian Hukum Islam, STAI Khozinatul Ulum Blora Jawa Timur,
hal 9-10
[31] Abu Bakar ad-Dardir, Syarhul Kabir,
vol 1, hal 20
[32] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fikih al-Islami, (Damaskus:
Dar al-Fikr), cetakan 2, 2001, vol 2,hal 1152
[33] Abdul Wahab Khalaf, Ijtihad dalam Syariat
Islam(al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah), (Jakarta: Pustaaka Al-Kautsar),
hal 106-107
[34] Abdul Wahab Khalaf, Ijtihad dalam Syariat
Islam(al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah), (Jakarta: Pustaaka Al-Kautsar),
hal 99
[35] Yusuf Qardhawi, Fatawa Mu’ashirah, versi Makatabah
Syamilah, vol 2, hal 121
[36] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fikih al-Islami, (Damaskus:
Dar al-Fikr), cetakan 2, 2001, hal 1148- 1149