Oleh : Herman Budi Zamroni
I. PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah swt, kita memuji-Nya, meminta
petunjuk dan pertolongan-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri
dan perbuatan kita yang buruk, memohon kepadanya agar dijauhkan dari segala
kesalahan didalam ucapan maupun perbuatan.
Shalawat dan salam kita curahkan kepada para utusan-Nya
yang mulia, khususnya kepada penghulu mereka, penutup para Rasul dan Nabi-Nya,
serta kepada orang-orang yang mengikuti petunjuk dan sunnahnya hingga Hari
Kiamat. Amma ba’du.
Al-Qur`an adalah kitab Allah yang terakhir yang
diturunkan sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia hingga akhir zaman, maka
tidak heran bila Allah berjanji menjaganya. Allah berjanji untuk menjaga
keutuhan al-Qur’an, sehingga tidak ada yang dapat mengurangi atau menambah atau
menyelewengkannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Qs. al-Hijr : 9
Demikianlah al-Qur’an senantiasa terjaga dari ulah
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata,
“Orang sesat dengan segala tipudayanya tidak akan kuasa merubah al-Qur’an, juga
tidak akan kuasa mengganti maknanya, dan ini adalah wujud pemeliharaan
al-Qur’an dari arah depan. Sebagaimana ia tidak akan kuasa untuk menambahkan
sesuatu hal pun kepadanya, dan ini adalah wujud dari pemeliharaan al-Qur’an
dari arah belakangnya.”[1]
Namun orang-orang dari kalangan Syi’ah
Itsna ‘Asyariyah meyakini yang sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an
telah mengalami penambahan dan pengurangan, sebagaimana penuturan para imam
mereka : “Dari Abu Ja’far as, ia berkata, “Andaikata tidak terjadi penambahan
dan pengurangan pada kitabullah, niscaya hak-hak kami tidak akan tersamarkan
atas setiap yang berakal sehat.”[2]
Apakah dua kelompok (Sunni dan Syi’ah)
yang perberbedaannya demikian mencolok dapat bersatu? Yang mana salah satu
usaha mereka untuk dapat bersatu dengan barisan kaum muslimin adalah pengakuan
bahwa Syi’ah adalah madzhab yang kelima. Sebagaimana yang ada dalam empat
madzhab Sunni yang lain bahwa perbedaan Syi’ah dengan Ahlus Sunnah hanyalah
perbedaan interpretasi, yaitu perbedaannya hanya dalam memahami nash-nash
dalil. Tulisan ini akan berusaha membongkar bahwa perbedaan Sunni dan Syi’ah
bukan masalah interpretasi dalil, akan tetapi sumber pengambilan dalil sangat
berbeda. Sehingga antara Sunni dan Syi’ah tidak akan pernah bersatu.
II. APA
ITU SYI’AH?
Secara bahasa
kata syi’ah bermakna pengikut (الأَتْبَاعُ), penolong (الأَنْصَارُ) dan golongan(الفِرْقَةُ) .[3] Kata syi’ah ini beberapa
kali disebutkan dalam al-Qur`an dengan makna tersebut. Disebutkan dalam
al-Qur`an kata syi’ah yang bermakna kelompok, golongan atau jama’ah,
Allah Ta’ala berfirman :
ثُمَّ
لَنَنزِعَنَّ مِن كُلِّ شِيعَةٍ أَيُّهُمْ أَشَدُّ عَلَى الرَّحْمَنِ
عِتِيّاً
“Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap syi’ah (golongan)
siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.” Qs.
Maryam : 69
وَدَخَلَ
الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِّنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ
يَقْتَتِلَانِ هَذَا مِن شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي
مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى
عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika
penduduknya sedang lengah , maka didapatinya di dalam kota itu dua orang
laki-laki yang berkelahi. yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan
seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang
dari syi’ah-nya (golongannya) meminta pertolongan kepadanya, untuk
mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya
itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).” Qs. al-Qashash : 15
Sedangkan secara istilah, Syi’ah adalah setiap
kelompok yang mengutamakan Ali bin Abi Thalib dari
parakhalifah sebelumnya, dan mereka berpendapat bahwa Ahlulbait adalah
orang yang paling berhak menjadi khalifah.[4]Pendapat ini sesuai dengan konteks Syiah
sebagai suatu kelompok yang mempunyai ideologi-ideologi bersifat deislamisasi.[5]
Sedang menurut orang Syi’ah sendiri,
Syi’ah adalah salah satu kelompok Islam yang mempercayai dan mengikuti
dua belas Imam dari kalangan Ahlul Bait al-Musthafa Ali (bin Abi
Thalib) beserta keturunannya, mereka menjadikan para Imam tersebut sebagai
rujukan dalam segala permasalahan fikih, baik itu perkara ibadah maupun
muamalah, dan tidak mengistimewakan seorang pun dari dua belas imam kecuali
leluhur mereka yang memiliki risalahyaitu Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa Sallam.[6]
III. MASHDAR
TASYRI’ MENURUT SYI’AH
Masdar at-Tasyri’ atau disebut juga
dengan al-Adillah asy-Syar’iyyah adalah dalil-dalil syar’i yang
digunakan untuk menyimpulkan hukum-hukum syar’i. Al-Adillah
asy-Syar’iyyah menurut para ulama Ahlus Sunnah terbagi menjadi dua macam,
yaitu dalil-dalil yang disepakati oleh jumhur ulama dan dalil-dalil yang
diperselisihkan diantara mereka. Dalil-dalil yang
disepakati yaitu al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas. Sedangkan
dalil-dalil yang diperselisihkan (yang banyak dikenal) ada tujuh,
yaitu al-Istihsan, al-Mashlahah
al-Mursalah atau al-Istishlah, al-Istishhab, al-Urf,
Madzhab Shahabat, Syari’at umat terdahulu, dan Saddu Dzari’ah.[7]
Namun, dalam hal ini Syi’ah memiliki
pandangan yang sangat khusus, sehingga membuat Masdar at-Tasyri’-nya
berbeda dengan Ahlus Sunnah. Bagi mereka perkataan Imam adalah sebuah
ketetapan. Hal ini dikarenakan mereka meyakini bahwa sang Imam masih menerima
wahyu. Dan mereka juga tidak menerima hadist diluar golongan Syi’ah. Dengan
demikian terwujudlah Mashdar at-Tasyri’ menurut mereka, yaitu
al-Qur`an yang penafsirannya mengikuti para Imam Mufassirin dari kalangan
mereka, al-Hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang Syi’ah, dan perkataan
Imam.[8]
IV. PANDANGAN
SYI’AH TERHADAP AL-QUR`AN
Karena mereka meyakini bahwa para imam
maksum sebagaimana nabi, maka pastinya mereka akan menerima segala perkataan
yang diucapkan oleh Imam mereka. Bahkan ulama mereka mengisyaratkan akan adanya
dua al-Qur’an, yang keduanya bisa digunakan sebagai hujah, yaitu al-Qur’an yang
diam dan al-Qur’an yang berbicara. Maksud dari al-Qur’an yang diam itu adalah
al-Qur’an yang tertulis dalam mushaf dan al-Qur’an yang berbicara itu adalah
para imam.
Al-Qummi menyebutkan riwayat bahwa imam
Ali mengatakan, “Itulah al-Qur’an, mintalah dia untuk berbicara, niscaya tidak
mungkin dia akan bicara. Saya akan kabarkan kepada kalian bahwa didalam
al-Qur’an ada ilmu yang telah lalu dan yang akan datang hingga hari kiamat, dia
akan menghakimi urusan diantara kalian, dan menjelaskan perkara-perkara yang
kalian perselisihkan. Seandainya kalian bertanya kepadaku tentang hal itu,
niscaya akan saya beri tahukan kepada kalian. Karena saya lebih mengetahui
daripada kalian.”[9]
Karena itulah, sudah pastinya orang-orang
Syi’ah Ja’fariyah akan merujuk pada al-Qur’an yang bisa berbicara, yaitu para
Imam, yang mana dia bisa menjelaskan maksud Allah. Bahkan orang-orang sekte
Ikhbariyyun dari Syi’ah Ja’fariyah melarang beramal hanya dengan zhahir
al-Qur’an. Sedang jumhur Ja’fariyah, mereka adalah kelompokUshuliyyun, meyakini
bahwa zhahir ayat-ayat al-Qur’an itu adalah hujah, walaupun tidak boleh
sembarangan mengamalkan zhahir ayat tanpa merujuk perkataan imam.[10]
Selain itu, Syi’ah Ja’fariyah juga
meyakini adanya perubahan dalam al-Qur’an. Salah satu kitab yang paling
terkenal dari kalangan Syi’ah yang ekstrim adalah kitab Fashlul Khitab fi
Itsbati Tahrif Kitab Rabbil Arbab. Penulis kitab ini, Husain bin Muhammad
an-Nuri ath-Thabrasi, mengatakan, “Ini adalah kitab yang lembut dan mulia. Saya
tulis kitab ini untuk menyatakan kebenaran bahwa telah terjadi perubahan dalam
al-Qur`an, dan saya ungkapkan kecurangan-kecurangan orang yang berbuat jahat
dan permusuhan.”[11]
Keyakinan ini bukanlah hal baru dalam
pandangan Syi’ah Ja’fariyah. Kemudian penulis kitab ini memperkuat pendapatnya
dengan mengungkapkan para ulama Syi’ah ekstrim yang sepakat akan terjadinya
perubahan pada al-Qur`an, “Pendapat yang mengatakan bahwa telah terjadi
perubahan dan pemangkasan dalam al-Qur`an adalah madzhab yang dianut Syaikh
yang mulia, Ali bin Ibrahim al-Qummi, guru al-Kulaini. Dia mengatakan ini pada
awal tafsirnya. Dan kitabnya penuh dengan khabar-khabar yang terpercaya. Karena
sejak awal dia konsisten bahwa dia tidak akan membawakan riwayat dalam kitabnya
itu keculai orang-orang yang terpercaya dan dari guru-gurunya saja. Dan ini
juga madzhab muridnya, Tsiqat al-Islam al-Kulaini, sebagaimana dinisbatkan
padanya oleh jamaah Syi’ah karena dia banyak menukil khabar yang selaras
maknanya dalam kitab al-Hujjah, terutama dalam bab an-Nukatu wa
an-Naftu min at-Tanzil, juga dalam kitabnya ar-Raudhah dimana dia
tidak berusaha menolak ataupun menakwilkannya.”[12]
Kemudian ia banyak menyebutkan riwayat,
seperti riwayat al-Kulaini dari Imam ash-Shadiq. Misalnya : “Sesungguhnya
al-Qur`an yang dibawa Jibril itu jumlah ayatnya ada tujuh belas ribu ayat.”[13]
Namun sebagian mereka tidak meyakini
adanya perubahan al-Qur’an. Muhammad bin Babawaih al-Qummi, yang
digelari ash-Shaduq, berkata, “Kami berkeyakinan bahwa al-Qur`an yang
Allah turunkan kepada nabi-Nya adalah al-Qur`an yang ada pada saat ini: yaitu
yang ada pada manusia dan tidak lebih dari itu. Barangsiapa yang menuduh bahwa
kami mengatakan al-Qur`an yang asli lebih dari itu maka ia pendusta.”[14]
V. KITAB-KITAB
TAFSIR SYI’AH ITSNA ASYARIYAH
Orang-orang Syi’ah baru berfikir tentang
Ilmu Ushul pada abad keempat Hijriyah, dan mulai menyusun ilmu tersebut pada
abad kelima Hijriyah. Sehingga bisa kita katakan bahwa ilmu ushul Syi’ah yang
berkembang hingga hari ini hanyalah pengembangan dari tiga kitab utama mereka
yang muncul pada abad ke-3 Hijriyah (Tafsir al-Hasan al-Askari, Tafsir
al-Qummi, dan Tafsir al-Ayyasyi). Karena semua riwayat
mereka dinisbatkan kepada para imam Ahlu Bait.[15]
Karena Syi’ah Ja’fariyah terbagi menjadi
dua, ekstrim dan moderat,[16] yang keduanya tidak sama
dalam memandang al-Qur`an, maka dalam kajian tafsir mereka perlu adanya studi
secara menyeluruh terhadap kitab-kitab mereka. Sehingga kita akan dapat
menemukan benang merah dari metode mereka dalam menafsirkan al-Qur’an. Dan
pengaruh akidah imamah mereka akan senantiasa nampak dalam setiap uraian-uraian
yang mereka sampaikan.
1. KITAB-KITAB
TAFSIR SYI’AH EKSTRIM
a) Tafsir al-Hasan
al-Askari[17]
Kitab Tafsir al-Hasan al-Askari[18] ini adalah kitab yang menerangkan
akidah imamah, dan hal-hal yang berhubungan dengannya dikalangan Syi’ah
Ja’fariyah. Mereka menjadikan Kitabullah sebagai sesuatu yang tunduk dibawah
akidah mereka yang rusak, yang mana akal yang sehat dan jiwa yang bersih tidak
akan menerima kesesatan tersebut. Kitab ini penuh dengan kebohongan-kebohongan
atas Allah, Rasul-Nya dan para Ahlu Bait yang mulia.
Dalam tafsir firman Allah, “Dan
orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang
diturunkan sebelum kamu, dan mereka yakin dengan akhirat.” Qs. al-Baqarah : 4.
Imam berkata, “Hasan bin Ali berkata, ‘Barangsiapa yang menolak keutamaan Ali
atas semua orang setelah Nabi maka dia telah mendustakan Taurat, Injil, Zabur,
lembaran-lembaran kitab Ibrahim dan semua kitab yang Allah turunkan. Karena
sesungguhnya tak ada sesuatu pun yang Allah turunkan kecuali bahwa yang paling
penting didalamnya –setelah perintah untuk mengesakan Allah dan mengakui
kebenaran Nubuwah- adalah pengakuan terhadap kewilayahan Ali dan orang-orang
yang mulia dari keluarganya.”[19]
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Imam
al-Hasan al-Askari adalah seorang imam yang bersih dan shalih, tidak kafir dan
sesat.[20] Sedangkan yang sesat itu adalah
orang-orang yang berlebih-lebihan dalam memperlakukan dia dan nenek moyangnya
yang mulia dan terhormat. Agha Bazraq Ath-Thaherani mengungkapkan dalam
kitabnyaadz-Dzari’ah bahwa kitab ini adalah hasil dikte sang imam.[21]
b) Tafsir al-Qummi
Kitab ini dikarang oleh Abul Hasan Ali
bin Ibrahim bin Hasyim al-Qummi, yang hidup pada masa Imam al-Askari, dan wafat
tahun 307 H. Orang-orang Syi’ah menganggapnya sebagai perawi
yang tsiqqah, bahkan termasuk dalam jajaran perawi yang paling bagus.
Muridnya, Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, dalam
kitabnya al-Kafi banyak menukil darinya. Yang mana
kitab al-Kafi dimata orang-orang Syi’ah Ja’fariyah adalah kitab
hadist yang paling utama (kedudukannya laksana Shahih Bukhari dalam
pandangan ahlus Sunnah).[22]
Tidak seperti kitab tafsir sebelumnya,
kitab ini memuat tafsir seluruh al-Qur’an. Dinukil dari dua imam yang mulia,
yaitu Abu Ja’far al-Baqir dan Abu Abdullah ash-Shadiq. Maka tafsir ini pada
hakikatnya disebut dengan tafsirash-Shadiqain. Namun penulisnya dengan tegas
menyatakan adanya perubahan dalam al-Qur’an dan al-Jazairi dalam mukaddimahnya
membela pernyataan tersebut.[23]
Disebutkan dalam tafsirnya bahwa Imam
Ja’far menafsirkan ayat, “Dan sekiranya mereka datang kepadamu,wahai
Ali (tambahan penafsir), tatkala mereka berbuat zhalim terhadap jiwa
mereka dan memohon ampun kepada Allah, dan Rasul memohonkan ampun untuk mereka,
niscaya mereka mendapati Allah Maha Pemberi Taubat dan Maha Pengasih.” Qs.
an-Nisa’ : 64
“Tetapi tidak, demi Tuhanmu! Mereka tidak
akan beriman, hingga mereka menjadikanmu wahai Ali (tambahan
penafsir) sebagai hakim yang mengadili apa yang mereka perselisihkan di antara
mereka.” Qs. an-Nisa’ : 65.[24]
Ia juga mencela para sahabat ra, “Jibril
turun kepada Muhammad saw dengan ayat yang demikian : ‘Adapun orang-orang kafir
mereka akan memperoleh kehancuran, dan Ia akan melenyapkan amal mereka. Hal itu
disebabkan karena mereka tidak suka kepada apa yang telah Allah
wahyukan, tentang Ali (tambahan penafsir) maka Ia menjadikan amal
mereka sia-sia.” Qs. Muhammad : 8-9.[25]
Dan menjadikan para Imam sebagai orang
yang dimaksudkan dalam firman Allah. Dalam tafsir ayat, “Orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah.” Qs. ar-Ra’ad :
28. Al-Qummi mengatakan, “Orang-orang yang beriman maksudnya adalah Syi’ah,
mengingat Allah artinya adalah mengingat Amirul Mukminin dan para Imam.”[26]
Dalam tafsirnya, ia juga menguatkan
akidah Raj’ah Syi’ah, “Sesungguhnya Dzat yang mewajibkan al-Qur’an
kepadamu, pasti akan mengembalikanmu ketempat kembali.” Qs. al-Qashash : 85.
Dia berkata, “Maksudnya adalahRaj’ah.” Artinya ialah nabi kalian, Amirul
Mukminin dan para imam akan kembali pada kamu sekalian.[27]
Al-Qummi berpendapat bahwa para imam
menerima wahyu sebagaimana para nabi. Dalam tafsirnya, “Malaikat dan Ruh turun
pada (malam yang Agung), itu dengan izin Tuhan mereka.” Qs. al-Qadr : 4.
Malaikat dan Ruhul Kudussaat itu turun pada Imam Zaman dan mereka
menyerahkan apa yang telah mereka tulis tentang semua urusan itu.[28]
Dia juga melegitimasi bolehnya nikah
mut’ah dalam tafsirnya, “Lalu kepada (wanita) yang kamu nikmati (dengan jalan
perkawinan), sampai batas tertentu (tambahan penafsir) berilah mereka
maskawin seperti yang telah ditetapkan.” Dia menambahkan bahwa ayat ini adalah
dalil yang menunjukkan bolehnya kawin mut’ah.[29]
Dari sini kita mengetahui bahwa Al-Qummi
mencoba menyesatkan ummat dengan cara : Pertama, menisbatkan
pendapat-pendapatnya kepada para imam, terutama kepada imam al-Baqir dan
ash-Shadiq. Kedua, menguatkan pendapat bahwa al-Qur’an tidak bisa
dipahami kecuali dengan penjelasan dari Rasulullah dan para
Imam. Ketiga,mengatakan bahwa telah terjadi perubahan dalam al-Qur’an dan
menisbatkan takwilnya hanya dari jalur mereka.Keempat, mengkafirkan orang yang
tidak meyakini Imamah dan adanya perubahan dalam al-Qur’an.
c) Tafsir
al-Ayyasyi
Tafsir yang ketiga ini ditulis oleh
Muhammad bin Mas’ud al-Ayyasyi (w. 320 H), salah seorang yang terpercaya dari
kalangan Syi’ah Itsna Asyariyah. Muhammad Husain ath-Thabathaba’i mengungkapkan
dalam mukaddimah kitab tersebut, “Sungguh, kitab ini adalah kitab yang terbaik
yang pernah ditulis pada zaman dulu dibidangnya, dan merupakan kitab yang
paling terpercaya yang diwariskan oleh para ulama kita terdahulu dari
kitab-kitab tafsir bil ma’tsur.[30]
Penulis kitab ini berpandangan bahwa
telah terjadi perubahan dalam al-Qur’an. Dalam sebuah judul ‘Ma ‘anna bihi
al-aimmah minal qur’an’, ia membawakan riwayat dari Imam al-Baqir, bahwa ia
berkata, “Andaikata di dalam al-Qur’an tidak ada tambahan dan pengurangan maka
tidak akan samar hak kita bagi orang yang berakal, dan andaikata orang yang
berhak diantara kita (al-Qa`im) berbicara, pastilah al-Qur’an membenarkannya.”[31]
Ia juga menuduh para sahabat berbuat
keji, dalam menafsirkan ayat, “Dan sebagian manusia menjadikan tandingan untuk
disembah selain Allah, yang mereka cintai laksana cinta mereka kepada Allah.”
Qs. al-Baqarah : 165. Dia berkata, “maka Abu Abdullah berkata, ‘Mereka itu
adalah pengikut fulan, fulan dan fulan.”[32] Orang-orang menjadikan mereka
sebagai imam dan bukannya menjadikan imam yang seharusnya dan berhak yang telah
ditentukan oleh Allah pada manusia.”[33]
Ia menjadikan para imam sebagai sesuatu
yang berhak untuk diibadahi. Dalam tafsir al-Kahfi : 110, “maka hendaklah dia
melakukan amal shaleh dan jangan menyekutukan Tuhannya dengan sesuatu apapun.”
Al-Ayyasyi meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan amal shaleh adalah
pengetahuan tentang para imam, sedangkan ‘tidak menyekutukan Tuhannya dalam
ibadah’ adalah tunduk kepada Ali dan tidak menyekutukannya dengan seorang pun,
yaitu orang yang yang tidak berhak dan tidak pula dari kalangan keluarganya,
dalam pemerintahannya,.”[34]
d) Tafsir ash-Shafi
Kitab ini ditulis oleh Muhammad bin
Murtadha atau Muhsin (w. 1091 H), dan selesai ditulis pada tahun 1075 H. Kitab
ini mempresentasikan sisi ekstrim dari kelompok Syi’ah dan merupakan kelanjutan
dari gerakan penyesatan. Didalam tulisannya, ia mencantumkan pendapat-pendapat
yang mendukung adanya perubahan didalam al-Qur’an. Ia berkata dalam tafsirnya,
“Bahwa al-Qur’an yang saat ini ada ditengah-tengah kita tidak sebagaimana
al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad saw, bahkan sebagiannya bertentangan
dengan apa yang diwahyukan oleh Allah, ada juga yang dirubah dan diselewengkan.
Dan al-Qur’an telah ada yang dihapus dan dibuang, seperti nama Ali yang
sebenarnya bukan hanya ada dalam satu tempat, lafal-lafal Ahlu Bait yang
beberapa kali disebutkan, dan nama orang-orang munafik yang sengaja dihapus,
dan masih banyak lagi.”[35]
Ia beranggapan bahwa tafsir al-Qur’an tidak
sah kecuali melalui jalur para Imam Syi’ah Ja’fariyah, “Semua yang tidak keluar
dari rumah mereka (Ahlu Bait), maka tidaklah berarti apa-apa.”[36] Dan Rasul saw hanya memberikan
penjelasan tafsir al-Qur’an kepada satu orang yaitu Imam Ali (Ahlu Bait).[37] Dia juga menyerang siapa saja yang
mengambil tafsir dari para sahabat, “Kebanyakan dari mereka menyembunyikan
kemunafikan mereka dan melakukan tindakan yang berani kepada Allah dan berbuat
kebohongan pada Rasulullah dengan sikap sombong dan menentang.”[38]
e) Al-Burhan fi
Tafsir al-Qur’an
Kitab ini adalah karya as-Sayyid Hasyim
al-Bahrani (w. 1107/1109 H). Tidak berbeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya,
penulis kitab ini berpendapat bahwa al-Qur’an telah mengalami perubahan, “Dari
Amiril Mukminin dia berkata, “Al-Qur’an itu turun dalam tiga bagian. Sepertiga
ada ditangan kita dan ditangan musuh kita, sepertiga adalah sunnah
dan amtsal (teladan), sedang yang sepertiga lagi adalah hukum dan
kewajiban.”[39]
f) Tafsir
Bihar al-Anwar
Penulisnya adalah al-Maula Muhammad Baqir
al-Majlisi (w. 1111), yang merupakan ulama paling terkenal dan memiliki posisi
yang sangat terhormat dikalangan Ja’fariyah. Ia memiliki kitab ‘ensiklopedi’
yang sangat besar dengan judul Bihar al-Anwar (lautan cahaya), sebuah
kitab yang berisi banyak hal, dan kita akan menyorotinya dari sisi tafsir
al-Qur’an.
Di dalamnya ada bab “Annahum -al-Aimmah-
ayatullah wa bayyinatuhu wa kitabuhu”[40] (Mereka -para imam- adalah
ayat-ayat Allah, penjelasannya dan kitab-Nya), bab “Annal Amanah fi al-Qur`an
al-Imamah”[41] (Amanah yang ada dalam al-Qur’an
adalah Imamah), bab “Annahum Anwarullahi ta’ala wa takwilu ayatin nur
fihim ‘alaihis salam”[42] (mereka -para imam- adalah
cahaya-cahaya Allah dan takwil ayat-ayat cahaya itu untuk mereka alaihis
salam). Dari penentuan judul-judulnya saja telah menunjukkan sikapnya yang
ekstrim, maka ungkapan pendapatnya akan lebih jelas menyingkap hakikat dirinya.
Dan masih ada banyak lagi kitab-kitab
tafsir Syi’ah yang berhaluan ektrim, seperti Tafsir Mir`atul Anwar wa
Misykatul Asyrar, Tafsir al-Qur’an li al-Ashfahani, Tafsir Bayani Sa’adah fi
Maqamatil ‘Ibadah, Takwil al-Ayat al-Bahirah, dan sebagainya. Namun
semuanya hanya merupakan representasi dari tiga kitab utama mereka yang lahir
pada abad ketiga hijriyah.
2. KITAB-KITAB
TAFSIR SYI’AH MODERAT
a) Tafsir Ath-Thusi
Ath-Thusi[43] mengarang kitab tafsirnya dengan
judul at-Tibyan, dan ia menjelaskan bahwa al-Qur’an yang Allah
turunkan kepada Muhammad saw adalah apa yang ada di tangan kita dan tidak ada
pengurangan ataupun penambahan didalamnya. Dan dia aplikasikan prinsipnya ini
dalam tafsirnya, dan ia berusaha menjaga kitab Allah tersebut dari perubahan.
Dia berkata dalam tafsirnya, “Ketahuilah! Telah jelas
dari khabar-khabar sahabat kita bahwa penafsiran al-Qur’an tidak boleh
dilakukan kecuali dengan atsar yang shahih dari Rasulullah saw dan dari para
Imam radhiyallahu ‘anhum. Dimana perkataan mereka adalah hujah
laksana perkataan Nabi, dan bahwa penafsiran yang hanya berdasarkan akal itu
tidak boleh.”[44]
Dia juga menambahkan, “Wajib bagi orang
yang berbicara tentang takwil al-Qur’an untuk merujuk pada sejarah, dan
hendaknya memperhatikan dengan seksama tentang sebab-sebab turunnya ayat. Dan
jangan sampai menakwilkannya karena dorongan otak dan syahwat.”[45]
Ath-Thusi memang memiliki kesamaan dengan
jumhur ahli tafsir ahlu sunnah dalam hal metode penafsiran al-Qur’an kecuali
dalam hal yang menyangkut posisi Imam yang mereka sejajarkan dengan para Nabi.
Hal ini tidaklah aneh, karena apa yang mereka ungkap dalam tulisan merupakan
ekspresi dari akidah Imamah. Dia tidak menempatkan para sahabat memiliki peran
dalam hal tafsir, padahal mereka adalah orang-orang yang mendengar langsung
dari Rasulullah saw.
b) Tafsir Ath-Thabrasi
Pada abad keenam Hijriyah muncullah kitab
tafsir dengan judul Majma’ al-Bayan yang dikarang oleh Abu Ali
al-Fadhl bin al-hasan ath-Thabrasi (w. 548 H). Kemudian ia menulis kitab tafsir
lain yang lebih kecil dengan judulJawami’ al-Jami’. Dalam menulis tafsir,
ia sangat terpengaruh oleh ath-Thusi sehingga keduanya mewakili golongan para
penafsir yang moderat dari kalangan Ja’fariyah dimasa lalu.
Namun keduanya juga tidak lepas dari
pengaruh akidah mereka dalam masalah Imamah. Dengan demikian semakin jelaslah
perbedaan antara keduanya dengan jumhur ahli tafsir ahlu sunnah. Diantara letak
perbedaanya adalah;
Pertama, mereka banyak bersandar
pada takwil dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an guna mencari pembenaran
akidah Imamah. Misalnya dalam ayat, “Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan
saya mohon juga) dari keturunanku" . Allah berfirman: "Janji-Ku tidak
mengenai orang yang zhalim". Qs. al-Baqarah : 124. Mereka berkata, “Ayat
ini menunjukkan bahwa Imam itu harus maksum dari segala keburukan”[46]
Kedua, menggunakan qira’at-qira’at
yang maudhu’ (palsu) dan syadzah (nyeleneh) yang
memiliki kaitan dengan madzhab Syi’ah, misalnya dalam ayat 33 Ali Imran,
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga
Imran atas sekalian alam.” Mereka katakan bahwa qira’at Ahli Bait
adalah : “Dan keluarga Muhammad atas sekalian alam.”[47]
Dan dalam tafsir ayat 24 an-Nisa’, “Lalu
kepada (wanita) yang kalian nikmati (dengan jalan perkawinan), berilah mereka
maskawin seperti yang telah ditetapkan.” Mereka menambahkan kata “sampai waktu
yang ditentukan” (الى أجل مسمى) setelah kata “dari
mereka” (مِنْهُنّ).[48]
Ketiga, memalingkan Asbabun
Nuzul guna memperkuat akidah imamah mereka. Seperti halnya ayat 57
az-Zukhruf, “Dan tatkala putra Maryam disebutkan sebagai contoh, lihatlah!
Kaummu mereka menentangnya.” At-Thusi berkata sebab turunnya ayat,
“Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa suatu hari dai berkata pada Ali bin Abi
Thalib, ‘Jika saja bukan karena rasa khawatirku untuk dikatakan padamu
sebagaimana apa yang dikatakan orang-orang Nasrani kepada Isa putra Maryam,
niscaya akan saya katakan suatu perkataan dimana jika kamu melewati sekelompok
manusia, niscaya mereka akan mengambil debu dari bekas-bekas tapak kakimu.
Namun orang-orang munafik menolak itu dan berkata, ‘Dia tidak rela untuk
memberikan perumpamaan kecuali dengan Isa al-Masih. Maka turunlah ayat ini.”[49]
Sedang ath-Thabrasi mengatakan,
“Diriwayatkan dari Ahlul Bait bahwa Amirul Mukminin berkata, ‘Suatu hari saya
datang menemui Nabi dan saya dapatkan dia berada diantara orang Quraisy.
Rasulullah menatapku seraya berkata, ‘Wahai Ali, sesungguhnya kedudukanmu di
dalam umat ini ibarat Isa bin Maryam, sebagian kaum yang mencintainya dan
berlebihan dalam mencintainya hingga mereka hancur, dan sebagian kaum
membencinya dengan kebencian yang melewati batas, maka hancur jugalah mereka,
dan sebagian lagi ada yang adil dalam cinta dan bencinya maka selamatlah
mereka.” Ungkapan ini terasa terlalu berat, maka tertawalah mereka, kemudian
turunlah ayat ini.”[50]
Demikianlah kuatnya pengaruh akidah
Imamah dalam tafsir mereka berdua, Syaikh ath-Thusi dan ath-Thabrasi. Mereka
berdua tidak bisa menghindarkan al-Qur’an dari kelompoknya yang bersandar pada
kesesatan. Namun kita mengakui sosok mereka yang tidak terlalu ekstrim dalam
menyikapi perubahan al-Qur’an. Dan perbedaan keduanya
dengan pendahulunya sangatlah mencolok.
c) Tafsir al-Mizan
Ini adalah salah satu kitab tafsir yang paling banyak
beredar dan paling masyhur serta mendapat sambutan yang istimewa dikalangan Syi’ah
pada masa ini. Judul asli kitab ini adalah al-Mizan fi Tafsir
al-Qur’an, ditulis oleh seorang ulama Syi’ah kontemporer bernama Sayyid
Muhammad Husein ath-Thabathaba`i. Ia termasuk orang yang memiliki sikap
diantara al-Qummi yang ekstrim dan ath-Thusi yang moderat. Misalnya ketika
mengomentari ayat tentang pembebasan Aisyah dari tuduhan, ath-Thabathaba`i
berkata, “Dilihat dari sebab turunnya, tidak ada satupun ayat yang membicarakan
tentang istri-istri Nabi, dan tidak pula terkait dengan mereka (para sahabat).
Namun itu sengaja diletakkan ayat-ayat itu mungkin karena adanya perintah oleh
Rasulullah atau bisa jadi ia ditulis setelah Nabi wafat.”[51]
Ia juga menakwilkan ayat dengan sikap
yang moderat. Misalnya, “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada rasul danUlil
Amri dari kalian.” Qs. An-Nisa : 59. Ia berkomentar, “Wajib bagi manusia
untuk menaati Rasul atas apa yang dia terangkan lewat wahyu, dan apa yang
menjadi pendapatnya. Sedangkan pemimpin, siapapun mereka, tidak memiliki bagian
apapun dari wahyu, namun mereka memiliki pendapat yang tepat dan jitu. Oleh
sebab itulah mereka juga perlu ditaati sebagaimana Rasul.”[52] Ia mengkhususkan masalah wahyu
hanya kepada Rasul, namun meletakkan ketaatan kepada penguasa setara dengan
ketaatan kepada Rasul, maka jelas maksud yang ingin dicapainya adalah
kemaksuman para pemimpin.
Sebenarnya masih banyak kitab tafsir
Syi’ah yang berhaluan moderat, diantaranya : Tafsir al-Qur`an al-Karim li
Syibr, Kanzul Irfan fi Fiqhil Qur`an, Tafsir al-Kasyif, al-Bayan, Tafsir Ala`i
ar-Rahman fi Tafsir al-Qur`an, Tafsir al-Mubin, dan
sebagainya. Diantara mereka yang paling moderat adalah ath-Thusi, kemudian
ath-Thabrasi, yang mana keduanya merupakan pelopor
para mufassir Syi’ah yang berhaluan moderat.
VI. METODE
TAFSIR SYI’AH ITSNA ASYARIYAH
Telah diketahui bersama bahwa Ahlul
Hawa’ (orang yang memperturutkan hawa nafsunya hingga pada kesesatan) dan
aliran sesat selalu berusaha menjadikan al-Qur’an al-Karim sebagai landasan
mereka untuk menetapkan akidah mereka yang bathil. Hal itu dalam rangka
mewujudkan tujuan mereka yang buruk, yaitu untuk membujuk kaum muslimin awwam,
menyesatkan mereka dari kebenaran, dan mengajak mereka kepada kebatilan.
Untuk itulah mereka bersungguh-sungguh
dalam penelitian terhadap ayat-ayat, yang menurut khayalan mereka, dapat
dijadikan landasan akidah mereka. Maka, mereka menakwilkan ayat-ayat yang
selaras dengan akidah mereka yang menyimpang. Mereka meletakkan metode khusus
dalam menafsirkan al-Qur’an yang sangat berbeda dari kaum muslimin. Mereka
meninggalkan metode yang telah ditetapkan para ulama Islam ahlul
haq dari kaum muslimin, yaitu metode salafus shalih.[53]
Ketika mereka meletakkan metode khusus
dalam tafsir al-Qur’an, tidak segan-segan mereka melakukan penipuan
terhadap kitabullah dan memberikan makna-makna yang menyimpang dari
makna yang shahih.
Diantara metode Syi’ah Itsa Asyariyah
yang paling menonjol dalam menafsirkan al-Qur’an adalah :
1. Menafsirkan
al-Qur’an dengan sabda Rasul saw yang diriwayatkan dari jalur mereka saja.
2. Menafsirkan
al-Qur’an dengan khabar-khabar yang dinisbatkan kepada para imam mereka.
3. Menafsirkan
al-Qur’an dengan takwil-takwil untuk mendukung keyakinan maupun fikih mereka
yang berbeda dengan ahlus Sunnah.
Ath-Thusi berkata dalam mukaddimah tafsirnya, “Ketahuilah
bahwa kesimpulan riwayat dari khabar-khabar kawan-kawan kita adalah
sesungguhnya al-Qur’an tidak boleh ditafsirkan kecuali
dengan Atsar Shahih dari Nabi saw dan dari para Imam as, yang
mana perkataan mereka merupakan hujah sebagaimana sabda Nabi saw.”[54]
Dan sebab yang paling mendasari dari
takwil-takwil bathil ini adalah masalah Imamah yang ada pada mereka. Bagi
mereka Imamah adalah rukun yang paling utama diantara rukun-rukun Iman yang
lain, dan urusan agama yang paling urgen. Bahkan Imamah yang mereka yakini
sederajat dengan tingkatan Nubuwah. Maka bagi mereka, Iman seseorang tidak
sempurna sampai beriman dia mengakui para Imam, beriman kepada kepadanya dan
memusuhi musuh-musuhnya.
VII. KESIMPULAN
DAN PENUTUP
Dan kita dapat kita simpulkan secara
ringkas kesalahan-kesalahan mereka yang tampak dan kesesatan mereka berbahaya
bahwa :
1. Perbedaan
Ahlu Sunnah dengan Syi’ah bukan terletak pada Interpretasi dalil-dalil,
melainkan mashdar tasyri’antara Sunni dan Syi’ah sangat berbeda, bahkan
bertentangan. Dan pertentangan antara Sunni dan Syi’ah ini tidak hanya mencakup
permasalahan furu’/tanawwu’, bahkan mencakup masalah Ushul.
2. Sikap
Syi’ah terhadap perubahan al-Qur’an ada dua, yaitu ekstrim dan moderat. Namun
keduanya tetap saja melakukan perubahan al-Qur’an untuk membenarkan akidah
Imamah mereka. Dan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Syi’ah kontemporer hanya
merupakan representasi dari kitab-kitab sebelumnya.
3. Syi’ah
moderat memiliki kesamaan dengan jumhur Ulama Sunni dalam hal tafsir, namun
Syi’ah berbeda ketika menyinggung masalah akidah Imamah. Untuk membenarkan
akidah Imamah, mereka bersandar pada takwil,qira’at palsu dan
memalingkan asbabun nuzul.
4. Syi’ah
dalam menafsikan al-Qur’an meninggalkan metode para ulama salaf ahlul haq,
dan menggunakan metode sendiri untuk mencari pembenaran terhadap akidah maupun
fikih mereka. Sehingga tafsir mereka menghasilkan makna-makna al-Qur’an yang
menyelisihi makna shahih.
5. Akidah
Imamah yang ada pada mereka memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
sikap mereka terhadap al-Qur’an, baik dari lafal maupun makna-maknanya. Bahkan
mereka berani melakukan penipuan terhadapkitabullah, untuk mengelabuhi
orang-orang awwam.
Dengan demikian semakin jelaslah bahwa
Syi’ah dengan Ahlus Sunnah sangat berbeda pemahaman, dan tidak ada jalan antara
keduanya untuk bersatu. Wallahu ‘alam bi ash-shawab..
VIII. DAFTAR
PUSTAKA
1. Muhammad
bin Mas’ud al-‘Ayyasyi, Tafsri al-‘Ayyasyi, (Teheran : al-Maktabah
al-Islamiyah)
2. Abil
Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsir al-Qummi, (Qum-Iran :
Mu`assasah Dar al-Kitab li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr, 1404 H)
3. Muhammad
bin al-Hasan ath-Thusi, at-Tibyan fi Tafsir al-Qur`an, (Dar Ihya’i
at-Turats al-A’rabi)
4. Abi Ali al-Fadhl
bin bin al-Hasan ath-Thabrasi, Tafsir Majma’ al-Bayan, (Beirut :
Mu’assasah al-A’lami, 1995)
5. Abu Ja’far
al-Kulaini, al-Ushul minal Kafi, (Teheran: Dar al-Kutub al-Islami, 1363)
6. Abi Ali al-Fadhl
bin bin al-Hasan ath-Thabrasi, Tafsir Jawami’ al-Jami’ (Qum:
Muassasah an-Nasyr al-Islami, 1418 H)
7. As-Sayyid Muhammad
Husain ath-Thabathaba`i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Qum:
Jama’atul Mudarrisin)
8. Muhammad bin
Murtadha, Tafsir ash-Shafi, (Teheran: Maktabah ash-Shadr, 1091 H)
9. Ash-Shaduq, al-I’tiqadat, (Dar
al-Mufid, 1414 H)
10. Abi Muhammad al-Hasan bin Ali
al-Askari, Tafsir al-Imam al-Askari, (Qum: Madrasah al-Imam al-Mahdi,
1409 H)
11. Agha Bazraq
ath-Thaherani, adz-Dzari’ah fi Ushulil Fiqh al-Imami, (Beirut: Dar
al-Adwa’)
12. Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, (Dar
al-Wafa`: 2005)
13. Dr. Muhammad At-Tijani
as-Samawi, Asy-Syi’ah hum Ahlu as-Sunnah, (Muassasah al-Fajr : London)
14. Dr. Muhammad Ibrahim
al-‘Assal, asy-Syi’ah al-Itsna Asyariyah wa Manhajuhum fi Tafsiril Qur’an
al-Karim(1427 H)
15. Prof. Dr. Ali Ahmad
as-Salus, Ma’a al-Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu’, (Mesir:
Maktabah Dar al-Qur’an, 2003)
16. Dr. Ali Ahmad
as-Salus, Aqidah al-Imamah ‘inda asy-Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyah, (Kairo :
Dar al-I’tisham, 1987)
17. Dr. Ghalib bin Ali
‘Iwaji, Firaq Mu’ashirah, (Riyadh: Maktabah al-Ashriyah, 1993)
18. Prof. Dr. Wahbah
az-Zuhaili, Ushulil Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul Fikr, 1986)
19. Dr. Ahmad
Syalbi, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami wa Tarikh an-Nidzam al-Qadha`iyyah fi
al-Islam, (Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1975)
20. Dr. Majdi bin Aud
al-Jarihi, Manhaj asy-Syi’ah al-Itsna Asyariyah fi Tafsir
al-Qur’an, (2009)
21. Muhammad
Malullah, asy-Syi’ah wa Tahrif al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Wa’i
al-Islami, 1982)
22. Mushthafa bin
Muhammad, Syubhatur Rafidhah Haulash Shahabah, (Riyadh: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2000)
23. Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, (Beirut
: Dar Shadir, 1414 H)
24. Ibnu Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan
fi Ta’wil al-Qur’an, (Mu`assasah ar-Risalah, 2000)
25. Muhammad bin Husain
al-Jizani, Ma’alim Ushul al-Fiqh, (Riyadh: Dar Ibnul Jauzi)
26. Imam adz-Dzahabi, Tarikh al-Islam,
(Dar al-Gharbi al-Islami, 2003)
27. Mamdu Grambiri, Mauqifu ar-Rafidhah
min al-Qur’an al-Karim, (Maktabah Ibnu Taimiyah)
[1] Ibnu
Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Mu`assasah
ar-Risalah, 2000), vol. 21, hlm. 480
[2] Muhammad
bin Murtadha, Tafsir ash-Shafi, vol. 1, hlm. 58
[3] Ibnu
Mandzur, Lisanul ‘Arab, (Beirut : Dar Shadir, 1414 H, vol. 8, hlm. 188-189
[4] Mushthafa bin
Muhammad, Syubhatur Rafidhah Haulash Shahabah, (Riyadh: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2000), vol.1, hlm.95
[5] Dr. Ghalib bin Ali
‘Iwaji, Firaq Mu’ashirah, (Riyadh: Maktabah al-Ashriyah, 1993), vol.1,
hlm.132-133
[6] Dr.
Muhammad At-Tijani as-Samawi, Asy-Syi’ah hum Ahlu as-Sunnah, (Muassasah
al-Fajr : London), hlm. 17
[7] Prof.
Dr. Wahbah az-Zuhaili, Ushulil Fiqh al-Islami,(Damaskus: Darul Fikr, 1986),
vol. 1, hlm. 417. Dan Muhammad bin Husain al-Jizani, Ma’alim Ushul
al-Fiqh,(Riyadh: Dar Ibnul Jauzi), hlm. 70.
[8] Dr.
Ahmad Syalbi, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami wa Tarikh an-Nidzam
al-Qadha`iyyah fi al-Islam, (Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1975),
hlm. 26
[9] Abil
Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsir al-Qummi, Bab
Muqaddimah, (Qum-Iran : Mu`assasah Dar al-Kitab li ath-Thiba’ah wa
an-Nasyr, 1404 H), vol. 1, hlm. 3. Lihat juga, Abu Ja’far
al-Kulaini, al-Ushul minal Kafi, vol. 1, hlm. 61.
[10] Syi’ah
Ja’fariyah terbagi dalam dua bagian, yaitu Ushuliyyun dan
Ikhbariyyun. Kelompok Ushuliyyun banyak bersandar
pada Istinbath, ijtihad dan akal. Mereka adalah para pakar fikih dikalangan
Ja’fariyah. Sedang Ikhbariyyun hanya bersandar pada matan-matan
khabar yang diriwayatkan dari imam mereka. Madzhab ikhbariyyun adalah madzhab
yang pernah dianut oleh para ahli fikih Imamiyah hingga masa akhir para imam.
Dan kecenderungan ini tidak mengalami goncangan kecuali pada akhir abad keempat
dan setelahnya, tatkala beberapa jamaah dari ulama-ulama Imamiyah mulai
bergeser dari madzhab Ikhbari, dan mereka lebih banyak bersandar pada akal dan
logika serta mengkorelasikan antara pembahasan fikih dengan ushul. Hal ini
karena mereka terpengaruh dengan madzhab sunni dalam pengambilan kesimpulan.
Kemudian penyimpangan ini mulai menyebar dan beredar dengan luas. Jumlah
mereka, kelompok Ikhbariyyun, sangat sedikit. Kebanyakan tinggal di Bahrain,
bahkan di Bahrain pun mereka sedikit. Lihat catatan kaki, Prof. Dr. Ali Ahmad
as-Salus, Ma’a al-Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu’, (Mesir:
Maktabah Dar al-Qur’an, 2003), vol. 2, hlm. 453.
[11] Prof. Dr. Ali Ahmad
as-Salus, Ma’a al-Itsna ‘…, vol. 2, hlm. 466
[12] Ibid, hlm. 467-468.
Selanjutnya ia menyebutkan nama-nama ulama Syi’ah yang sependapat dengannya,
yaitu as-Sayyid Muhsin al-Khazimi pengarang kitab al-Wafiyah, Allamah
al-Majlisi pengarang kitab Mira’at al-Uqul, Muhammad bin al-Hassan
ash-Shaffar pengarang kitab al-Bashair, Muhammad Sayyid al-Jazairi
pengarang kitab al-Anwar.
[13] Ibid, hlm. 469.
Padahal kita semua tahu bahwa ayat-ayat al-Qur`an tidak lebih dari 6.300 ayat.
Itu artinya riwayat al-Kulaini mengatakan bahwa ada 10.000 lebih ayat al-Qur`an
yang dibuang.
[14] Ash-Shaduq, al-I’tiqadat:
Bab al-I’tiqab fi Mablaghi al-Qur`an, hlm. 84
[15] Lihat Prof. Dr. Ali
Ahmad as-Salus, Ma’a al-Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu’, (Mesir:
Maktabah Dar al-Qur’an, 2003), vol. 2, hlm. 459.
[16] Syi’ah Ja’fariyah
menyikapi perubahan al-Qur’an terbagi menjadi 2 golongan,
yaitu Ghulat (ekstrim) yang meyakini adanya perubahan al-Qur’an
dan Mu’tadilun (moderat) yang meyakini al-Qur’an tidak ada perubahan.
[17] Syi’ah Ja’fariyah
meyakini al-Hasan al-‘Askari sebagai imam yang ke-11.
[18] Tafsir yang
dinisbatkan pada Imam al-Hasan al-Askari adalah tafsir yang diriwayatkan oleh
Ya’qub Yusuf bin Muhamad bin Ziyad dan Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Siyar.
Keduanya mengatakan, “Sesungguhnya Imam al-Askari telah mendiktekan tafsir
ini.” Tafsir ini adalah tafsir yang belum lengkap, hanya memuat surat
al-Fatihah dan al-Baqarah sampai ayat 283, masih tersisa empat ayat dari surat
tersebut.
[19] Tafsir al-Imam
al-Askari, vol. 1, hlm. 161
[20] Dia adalah al-Hasan
bin Ali bin Muhammad bin Ali ar-Ridha bin Musa bin Ja’far ash-Shadiq (w. 260
H). Orang-orang Syi’ah menganggapnya sebagai salah satu imam mereka yang
maksum. Disebut dengan al-Hasan al-Askari karena ia tinggal di Samarra`, nama
lain dari desa al-Askar. Dia adalah bapak Imam al-Muntazhar (Imam yang
ditunggu-tunggu turunnya oleh orang-orang Rafidhah). Dia meninggal di Samarra’
pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal 260 H, diusianya yang kedua puluh sembilan, dan
dikuburkan disamping bapaknya. Ibunya bernama Amah. Anaknya bernama Muhammad
bin al-Hasan, yang dianggap oleh orang-orang Rafidhah sebagai Imam yang akan
menegakkan Hujah di akhir zaman, yang dilahirkan pada tahun 256 H, kemudian dua
tahun setelah wafatnya al-Hasan, bapaknya, ia menghilang, dan tidak diketahui
bagaimana kematiannya. Ibunya bernama Ummu Wulid. Mereka beranggapan bahwa hal
itu telah ditetapkan sejak empat ratus lima puluh tahun, ia lah Shahibuz Zaman,
ia mengetahui ilmu yang pertama dan terakhir. Dan mereka beranggapan bahwa
tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Lihat Imam adz-Dzahabi, Tarikh
al-Islam, (Dar al-Gharbi al-Islami, 2003), vol. 6, hlm. 69.
[21] Agha Bazraq
ath-Thaherani, adz-Dzari’ah fi Ushulil Fiqh al-Imami, (Beirut: Dar
al-Adwa’), vol. 30, hlm. 43
[22] Al-Jazairi
dalam Muqaddimah Tafsir al-Qummi, hlm 8
[23] Ibid, hlm 23-24
[24] Abil Hasan Ali bin
Ibrahim al-Qummi, Tafsir al-Qummi…, vol. 1, hlm. 142
[25] Ibid,
vol. 2, hlm. 302
[26] Ibid,
vol. 1, hlm. 365
[27] Ibid,
vol. 2, hlm. 147
[28] Ibid, vol.
2, hlm. 423
[29] Ibid, vol.
1, hlm. 136
[30] Muhammad
Husain ath-Thabathabai, Muqaddimah Tafsri al-‘Ayyasyi, vol. 1, hlm. 4
[31] Ibid,
vol. 1, hlm. 30
[32] Yang
dimaksud disini adalah tiga Khulafaur Rasyidin dan orang-orang yang berbaiat
kepada mereka.
[33] Ibid,
vol. 1, hlm. 152
[34] Ibid, vol. 4,
hlm. 198
[35] Tafsir
ash-Shafi, 1/75
[36] Ibid,
1/11
[37] Ibid,
7/297
[38] Ibid,
1/12
[39] Prof.
Dr. Ali Ahmad as-Salus, Ma’a al-Itsna…, vol. 2, hlm. 554
[40] Muhammad
Baqir al-Majlisi, Biharul Anwar, Bab 11.., vol. 23, hlm. 206-211.
[41] Ibid, Bab
16, vol. 23, hlm. 273-283
[42] Ibid, Bab
18, vol. 23, hlm. 304-325
[43] Syaikh
ath-Thaifah Abi Ja’far Muhammad bin al-Hasan Ath-Thusi dilahirkan di Thus pada
tahun 385 H. Kemudian hijrah ke Iraq, singgah di Baghdad, Kufah, dan akhirnya
di Najf. Awalnya ia mengikuti madzhab Syafi’I, kemudian belajar teologi kepada
Syaikh Al-Mufid, tokoh Syi’ah Imamiyah saat itu. Ia meninggal tahun 460 H.
[44] Muhammad
bin al-Hasan ath-Thusi, at-Tibyan fi Tafsir al-Qur`an, (Dar Ihya’i
at-Turats al-A’rabi), vol. 1, hlm. 4
[45] Ibid, vol. 17, hlm.
346
[46] Ibid, 1/496
dan Tafsir Majma’ al-Bayan, 2/191. Lihat pula Dr. Ali Ahmad
as-Salus, Aqidah al-Imamah ‘inda asy-Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyah, (Kairo :
Dar al-I’tisham, 1987), hlm. 80
[47] At-Tibyan, 4/464
dan Tafsir Jawami’ al-Jami’, 2/479
[48] At-Tibyan, 6/219
dan Tafsir Jawami’ al-Jami’, 2/187
[49] At-Tibyan,
12/227
[50] Tafsir
Jawami’ al-Jami’, 19/157
[51] As-Sayyid
ath-Thabathaba`i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,15/469
[52] Ibid,
4/413
[53] Ibnu
Taimiyah berkata : “Ketika kita tidak menemukan tafsir (suatu ayat) dalam
al-Qur’an, tidak pula dalam as-sunnah, maka kami me-ruju’-nya kepada perkataan
para sahabat dalam masalah tersebut. Merekalah orang yang paling mengetahui
tentang tafsir, karena mereka menyaksikan (bagaimana) al-Qur’an turun, dan
kondisi-kondisi yang mengkhususkan ayat-ayat tersebut, karena itulah mereka
memiliki pemahaman yang purna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ibnu
Taimiyah,Majmu’ al-Fatawa, dalam bab Fi Bayani Ahsani Thuruqi at-Tafsir,
(Dar al-Wafa`: 2005), vol. 13, hlm. 364
Jika tidak ada juga, maka dengan
perkataan para Tabi’in, karena mereka mengambil tafsir dari para sahabat. Maka
mereka orang yang paling mengetahui tafsir daripada orang-orang setelahnya.
[54] Muhammad
bin al-Hasan ath-Thusi, At-Tibyan, (Dar Ihya’i at-Turats al-A’rabi), vol.
1, hlm. 4