Syiah suka mengaku mereka bersatu di
jalan yang benar, mereka mengikuti imam maksum, mereka bersatu dibawah naungan
Ahlulbait, sedangkan Ahlussunnah terpecah belah menjadi berbagai sekte Hanafi,
Maliki, Syafi’i & Hambali. Apakah benar demikian keadaan Syiah?
Sayang sekali banyak Muslim yang tertipu
dengan pernyataan itu, karena kurangnya pengetahuan yang cukup tentang
Ahlussunnah ataupun tentang Syiah. Muslim dengan pengetahuan dasarpun
semestinya tahu bahwa Hanafi, Maliki dll bukanlah sekte, tapi mazhab yang
berbeda tapi semuanya adalah Ahlussunnah.
Sebaliknya Syiahlah yang sejak awal
sejarahnya sudah dipenuhi perbedaan dan terpecah-belah menjadi berbagai macam
sekte yang berbeda yang memiliki imam & jumlah imam yang berbeda seperti
Kaysaniyah, Waqifiyah, Nawusiyah, Zaydiyah dll. Kita hanya perlu membuka kitab
“Firaq al-Shia” yang ditulis oleh ulama Syiah abad ke-3H, al-Nawbakhti untuk
membaca dahsyatnya perpecahan & persaingan antara kelompok Syiah itu.
Tanpa membahas sekte Syiah lainnya, kita
akan membahas perbedaan di Syiah Imam 12 yang mengaku ber-“mazhab” Ja`fari ini.
Dan ternyata mereka tidak luput dari banyak perbedaan.
Alim Syiah terbesar sepanjang masa,
al-Tusi dalam kitabnya “al-`Iddah fi Usul al-Fiqh” 1/138 menulis:
“Saya (al-Tusi) sudah mengutip berbagai
riwayat (Imam AS) di berbagai hadis Fikih dalam kitab saya al-Istibsar dan
Tahdhib al-Ahkam dan itu berjumlah sekitar 5000 (riwayat). Saya sudah
menyatakan bahwa golongan (Imam 12) berikhtilaf dalam mengamalkannya. Dan ini
adalah masyhur dan tidak bisa disembunyikan. Faktanya, jika engkau mengamati
ikhtilaf (perbedaan) dalam ahkam (hukum-hukum), engkau akan mendapati bahwa itu
melebihi perbedaan antara Abu Hanifa, Malik and al-Shafi`i“
al-Tusi mengakui bahwa dari 5000 hadis
yang dimuat di kitab fikihnya, Syiah berikhtilaf atau berbeda pendapat dalam
banyak masalah lebih dari perbedaan antara mazhab Sunni.
Bagi kita tidaklah mengherankan jika
mereka mengikuti riwayat & pengertian yang berbeda, karena banyaknya hadis
Syiah yang dipalsukan para pendusta atau karena Syiah sendiri percaya Imam
sering bertaqiyah (red: berdusta) sehingga bukannya memberi petunjuk, malah
akhirnya membuat bingung para ulama Syiah.
Jadi alim Syiah terbesar sepanjang masa,
al-Tusi mengakui bahwa perbedaan diantara Syiah Imam 12 melebihi perbedaan yang
terdapat diantara Mazhab Hanafi, Maliki & Syafi’i.
Pada kenyataannya, “mazhab” Ja’fari ini
tidaklah berdasarkan perkataan imamnya, tapi tergantung apa kata ulama mereka,
ijtihad & pendapat ulama Syiah. Setiap Ayatullah yang disebut “Marji” sama
seperti memiliki mazhab pribadi, seperti Ruhani, Sistani, Shirazi dll. Mereka
memiliki pendapat berbeda, bahkan pengikut mereka dilarang untuk mengikuti
fatwa/hukum Marji lainnya.
Seperti halnya Ahlussunnah memiliki 4
mazhab yang terkenal, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, setiap Ayatullah
berpangkat Marji adalah mazhab. Sistani adalah mazhab, Khu’i adalah mazhab,
Fadlullah adalah Mazhab, Ruhani adalah mazhab dll.
Mengapa mesti ada banyak Ayatullah Marji
yang berbeda-beda? Kenapa tidak ikuti saja 1 Ayatullah? Kan kata Syiah mereka
tidak memiliki pendapat berbeda-beda seperti Sunni. Karena pada kenyataannya
ketika Sunni memiliki mazhab terkenal 4, Syiah memiliki mazhab berjumlah
berpuluh kali lipat.
Ayatullah al-Uzma (gelar ayatullah
tertinggi Syiah) Fadlullah membenarkan hal ini di kitabnya “al-Ma`alim
al-Jadidah lil Marji`iyah al-Syi`iyah” hal 117
“Masalah yang kita hadapi dengan memiliki
banyak Marja’iya adalah sama seperti
memiliki banyak Mazhab Fikih, karena Marja’iya adalah Mazhab Fikih yang berbeda
dengan berbagai fatwa dan pendapat“
al-Tusi menambahkan di “al-`Iddah” 1/137:
“Engkau akan melihat yang satu (Alim Syiah) berfatwa
dimana alim lain berikhtilaf, ini terjadi dalam semua masalah Fikih dari soal
toharoh (penyucian) sampai ke diyat (uang darah). Dari soal ibadah ke
hukum-hukum muamalah dari soal faraid dan lainnya… misalnya ikhtilaf soal
hitungan dan melihat rukyat puasa, dan misalnya ikhtilaf soal berkata cerai
tiga kali dihitung satu atau lebih dan ikhtilaf berapa banyak air diperlukan
untuk bersuci…dan banyak ikhtilaf di masalah Fikih lainnya. Tidak ada satupun
bab Fikih yang terbebas namun engkau dapati ulama berbeda dalam masalah itu.“
Bahkan alim kontemporer Syiah pun mengeluarkan fatwa yang
tidak dianut para ulama Syiah masa lalu, contohnya Ja`far al-Shakhuri menulis
di “Marji`iyat al-Marhalah wa Ghubar al-Taghyir” hal 135:
“Kalau kita mengikuti Fatwa dari para ulama kontemporer,
akan kita dapati bahwa mereka sudah meninggalkan mazhab Syiah” (red: maksudnya
berlawanan dengan kepercayaan Syiah)
Kita akan berikan contoh ikhtilaf Fikih soal menikah
dengan wanita Ahlul-Kitab (Yahudi atau Kristen), Alim Syiah Muhammad Jawad
Mughniyah menulis di “Tafsir al-Kashif” 1/334:
“Empat mazahib Ahlussunnah bersepakat tentang pernikahan
dengan Kitabi, sementara fuqaha Syiah berbeda pendapat soal ini diantara
mereka“
Alim Syiah Dr. Ahmad al-Wa’ili menulis di “Fiqh al-Jins”
hal 245:
“Mengenai Yahudi dan Kristen, ada 6 pendapat berbeda
mengenai pernikahan dengan mereka:
Diharamkan.
Dibolehkan dengan Mut`ah.
Boleh sebagai budak.
Boleh jika darurat seperti tidak ada wanita Muslim.
Boleh tapi makruh.
Boleh.
Ini menurut Imamiyah (Syiah). Dalam mazahib Muslim lain
(Sunni), mereka sepakat boleh menikahi Kristen dan Yahudi tapi tidak Majusi.”
Contoh lain soal sholat Jumat. Muslim
sepakat itu wajib setiap minggu, tapi Syiah berbeda pendapat. Alim Syiah
Muhammad al-`Amili al-Kadhimi membahas ikhtilaf itu dalam “Haqo’iq al-Ahkam fi
Risalat al-Islam” hal 33:
“Dari pendapat mahsyur:
Diharamkan.
Wajib Takhyiri (Ada pilihan antara Dzuhur
atau Jumat).
Wajib `Ayni (diwajibkan untuk semua).
Wajib hanya jika imamnya faqih.
Berdiam diri, dan tidak menyatakan itu
dibolehkan atau diharamkan.”
Kemudian dia meneruskan:
“Dan ikhtilaf muncul berkaitan dengan
sholat ini (Jumat), apakah Imam (maksum) dan wakilnya diperlukan? Berikut
adalah pendapatnya:
Imam dan wakilnya tidak diwajibkan
menurut Muhadisin al-Kulayni dan al-Saduq.
Jika Wajib `Ayni, maka keberadaan mereka
diperlukan, jika tidak ada maka itu menjadi Wajib Takhyiri. Ini pendapat
al-Tusi di kitab al-Nihayah.
Keberadaan Imam dan wakilnya diperlukan,
tanpa gaibnya Imam, menurut al-Shahid al-Tsani di kitabnya dan al-`Allamah di
al-Nihayah.
Keberadaan Imam dan wakilnya diperlukan
jika dimungkinkan, dan jika keduanya tidak ada karena suatu hal, maka cukup
untuk seorang yang memiliki kualitas yang diperlukan untuk mengimami sholat.
Ini pendapat abu al-Salah al-Halabi.
Keberadaan Imam dan wakilnya diperlukan,
apakah dia ada maupun gaib, dan jika dia tidak datang maka sholat Jumat diganti
dengan Dzuhur. Ini pendapat al-Daylami dan Ibn Idris dan al-Murtada
dalam beberapa jawabannya, dan al-`Allamah di al-Muntaha dan al-Syahid di
al-Dzikra.”
Kemudian penulis menerangkan beberapa ikhtilaf Syiah
lainnya, tapi cukup sampai disini saja contoh-contoh kita.
Kita temukan di “Fiqh al-Imam Ja`far al-Sadiq” oleh
Mughniyah 1/239:
“Penulis Miftah al-Karamah berkata: Fuqaha (Syiah)
beriktilaf di masalah membaca di belakang Imam pada rakaat ke-3 di Magrib dan 2
rakaat terakhir Isya dan 2 Dzuhur (red: Dzuhur & Asar), ikhtilafnya sangat
hebat sampai para fuqaha mengkontradiksi diri sendiri.“
Mereka bahkan mengkontradiksi diri sendiri dalam soal
Halal dan Haram, Alim Syiah `Abbas al-Radhwi menulis di “Ara’ fil-Marji`iyah
al-Syi`iyah” hal 299:
“Khomeini dulu berfatwa memakan ikan yang diproduksi
untuk Caviar adalah Haram karena di badannya tidak ada sisik, tapi kemudian dia
mengubah fatwanya menjadi Halal. Khomeini juga pernah berfatwa bermain catur
Haram, tapi kemudian berfatwa itu Halal.”
Itulah sebabnya Alim Syiah terkenal al-Faydh al-Kashani
menggambarkan keadaan ulama “mazhab” Ja`fari di mukadimah kitabnya “al-Wafi” 1/9:
“Engkau akan dapatkan mereka (ulama Syiah) berikhtilaf
dalam 1 masalah dengan 20 atau 30 pendapat berbeda, atau bahkan lebih. Faktanya
saya bahkan bisa menyatakan: Bahwa tidak ada satupun masalah kecil yang mereka
tidak berbeda pendapat.”
al-`Allamah al-Hilli salah satu Alim terbesar Syiah
mengumpulkan masalah ikhtilaf Syiah sampai ke zamannya, yaitu abad ke-8H, dan
hasilnya adalah buku tebal 10 jilid berjudul “Mukhtalaf al-Syi`ah”, dan jika
anda membaca isinya, anda baru sadar memang benar perkataan al-Tusi ketika
mengakui para ulama Syiah berbeda pendapat dalam hampir semua masalah Fikih.
Perbedaan itu bahkan pernah berakibat dibunuhnya ulama
Syiah oleh ulam Syiah lainnya!!
Alim Syiah Yusuf al-Bahrani menulis “Lu’lu’at ul-Bahrayn”
hal 81:
Ulama mutaakhirin menulis banyak karya, dan dalam karya
itu banyak kesalahan semoga Allah mengampuni kita. Dan ini membuat beberapa
dari mereka dibunuh.
Jadi inikah persatuan Syiah yang kalian gembar-gemborkan?
Inikah hasil dari mengikuti “petunjuk imam maksum” yang kalian sering
sesumbarkan?