Bahasan Keempat (Rangkuman), Aqidah Ahlus
Sunnah Wal Jamaah Menurut Ulama Tiga Abad Pertama Hijriyah Dan Ulama
Al-Syafi‘Iyyah : Bahwasanya Al-Qur’an Adalah Firman Allah, Lafal-Lafalnya Dari
Allah, Merupakan Kalamullah, Bukan Makhluk. (Bagian Pertama, ada diartikel ini)
(Bagian kedua : Bantahan terhadap
syubhat-syubhat Asyairoh)
Pernyataan Asya’iroh bahwasanya Allah
tidak berbicara dengan suara bukanlah produk yang baru, akan tetapi pendapat
seperti ini sudah ada di zaman al-Imam Ahmad bin Hanbal (yang wafat tahun 241 H), yaitu jauh sebelum lahirnya madzhab
Asyairoh
Abdullah (putranya imam Ahmad) berkata:
سَأَلْتُ أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ قَوْمٍ،
يَقُولُونَ: لَمَّا كَلَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مُوسَى لَمْ يَتَكَلَّمْ
بِصَوْتٍ فَقَالَ أَبِي: «بَلَى إِنَّ رَبَّكَ عَزَّ وَجَلَّ تَكَلَّمَ بِصَوْتٍ
هَذِهِ الْأَحَادِيثُ نَرْوِيهَا كَمَا جَاءَتْ»
“Aku bertanya kepada ayahku tentang suatu
kaum yang mereka berkata, “Tatkala Allah berbicara dengan Musa, maka Allah
tidaklah berbicara dengan suara?”. Maka ayahku (yaitu Al-Imam Ahmad bin
Hanbal) berkata, “Justru sesungguhnya
Rabbmu azza wa jalla telah berfirman dengan suara. Inilah hadits-haditsnya kami
riwayatkan sebagaimana datangnya’ (As-Sunnah 1/280 No. 533, sebagaimana juga
dinukil oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/460)
Abdullah putra Al-Imam Ahmad juga berkata
:
وَقَالَ أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ: «حَدِيثُ ابْنِ
مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ» إِذَا تَكَلَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ سُمِعَ
لَهُ صَوْتٌ كَجَرِّ السِّلْسِلَةِ عَلَى الصَّفْوَانِ " قَالَ أَبِي:
وَهَذَا الْجَهْمِيَّةُ تُنْكِرُهُ وَقَالَ أَبِي: هَؤُلَاءِ كُفَّارٌ يُرِيدُونَ
أَنْ يُمَوِّهُوا عَلَى النَّاسِ، مَنْ زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ
يَتَكَلَّمْ فَهُوَ كَافِرٌ، أَلَا إِنَّا نَرْوِي هَذِهِ الْأَحَادِيثَ كَمَا
جَاءَتْ
“Dan ayahku -semoga Allah merahmatinya-
berkata : Hadits Ibnu Mas’udh radhiallahu ‘anhu (dimana Nabi bersabda) : “Jika
Allah azza wa jalla berfirman maka terdengar suaraNya seperti gegsekan rantai
besi di atas batu licin”. Ayahku berkata, “Hadits ini diingkari oleh Jahmiyah”.
Beliau berkata, “Mereka itu (jahmiyah) adalah kafir, mereka ingin mengelabui
manusia. Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah tidak berbicara maka ia telah
kafir. Dan kami meriwayatkan hadits-hadits ini sebagaimana datangnya”
(As-Sunnah hal 1/281 No. 534)
Karenanya sikap tegas telah nampak sejak
dulu dari para ulama terhadap kaum yang menyatkan Allah berbicara tanpa suara.
Al-Imam Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah
al-Maqdisi (wafat 620 H) berkata :
ومن زعم أن هذا الكتاب غير القرآن، وأنه كلام
المخلوقين وأن القرآن معنىً في النفس لا ينزل ولا يقرأ، ولا يسمع ولا يتلى، ولا
ينفع، ولا له أول ولا آخر، ولا جزء ولا بعض، ولا هو سور، ولا آيات وحروف، ولا
كلمات، فهذا زنديق راد على رب العالمين، وعلى رسوله الصادق الأمين، مخالف لجميع
المسلمين، ناكب عن الصراط المستقيم
“Barang siapa yang menyangka bahwa
al-kitab ini bukanlah al-Qur’an dan bahwasanya al-kitab ini adalah perkataan
makhluk, dan bahwasanya al-Qur’an adalah makna yang ada pada diri (Allah) dan
tidak turun, tidak dibaca, tidak didengar, tidak dibaca.., tidak ada awalnya
dan tidak ada akhirnya, tidak terbagi, tidak ada sebagian, dan bukanlah
surat-surat, bukan juga ayat-ayat, huruf-huruf, dan kalimat-kalimat, maka ia
adalah zindiq, yang telah membantah Robbul ‘aalamin, dan membantah Rasulnya
yang jujur dan terpercaya, menyelisihi seluruh kaum muslimin, dan menyimpang
dari jalan yang lurus” (Risalaah fi al-Qur’an wa Kalaamillah hal 34)
Adapun dalil-dalil bahwasanya Allah
berbicara dengan suara sangatlah banyak, diantaranya ;
Pertama : Dalam banyak ayat Allah
mengkhabarkan bahwa Allah menyeru/memanggil hamba-hambaNya, seperti firman
Allah :
وَنَادَيْنَاهُ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ
الْأَيْمَنِ
“Dan Kami telah memanggilnya (yaitu Musa)
dari sebelah kanan gunung Thur” (QS Maryam : 52)
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ
“Dan Kami panggil dia : “Wahai Ibrahim”
(QS As-Soffaat : 104)
وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ أَيْنَ
شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
“Dan ingatlah hari di waktu Allah menyeru
mereka, seraya berkata : “Dimanakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?”
(QS Al-Qosos : 62).
Dan firman Allah وَيَوْمَ
يُنَادِيهِمْ (Dan Ingatlah hari di waktu Allah menyeru
mereka) juga terdapat pada ayat-ayat berikut (QS Al-Qosos : 65 dan 74) dan (QS
Fussilat : 47)
وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا
عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ
مُبِينٌ
“Dan Rabb mereka berdua menyeru mereka :
“Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan
kepada kamu berdua : “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi
kamu berdua?” (QS Al-A’raaf : 22)
Dan dalam bahasa Arab tidaklah dikatakan
An-Nidaa’ (seruan) kecuali dengan suara.
Kedua : Firman Allah kepada nabi Musa
‘alaihis salam :
فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى
“Maka dengarlah kepada apa yang akan
diwahyukan kepadamu” (QS Thoha : 14)
Abu Nasr As-Sijzi (wafat 444 H) telah
menjelaskan bahwa yang namanya mendengar yaitu mendengar suara. Dan mendengar
berbeda dengan memahami (lihat Risalah As-Sijzi hal 165 dan 244)
Karenanya Allah membedakan Nabi Musa
dengan sebagian nabi-nabi yang lain, dimana Nabi Musa langsung diajak berbicara
oleh Allah, sementara sebagian nabi-nabi yang lain dengan wahyu tanpa
pembicaraan langsung. Allah berfirman :
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا
إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ ... وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى
تَكْلِيمًا
Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu
kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
kemudiannya ... Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung (QS
An-Nisaa : 163-164)
Dan dua cara ini (memberi wahyu dan
berbicara langsung di balik hijab) telah dijelaskan juga Allah dalam ayat yang
lain. Allah berfirman :
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ
إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun
bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di
belakang tabir (QS Asy-Syuuroo ; 51)
Dibalik tabir yaitu Allah berbicara
langsung dengannya dan bukan mewayhukan dengan memahamkan semata. (lihat
Majmuu’ Al-Fataawaa 6/531-532)
Ketiga : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam
يقول الله عز وجل أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه
حين يذكرني فإن ذكرَني في نفسه ذَكَرْتُه فِي نَفْسِي وإن ذكرَني في ملأ
ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ خير منهم
“Allah azza wa jalla berkata ; Aku
berdasarkan persangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya tatkala ia
menyebutku. Jika ia menyebutKu dalam dirinya maka Aku akan menyebutnya di
diriKu, dan jika ia menyebutKu di kumpulan orang maka Aku akan menyebutnya di
kumpulan yang lebih baik dari kumpulan tersebut” (HR al-Bukhari No. 7405 dan
Muslim No. 2675)
Al-Imam Adz-Dzahabi mengomentari hadits
ini dengan berkata :
هذا حديث صحيح وفيه التفريق بين كلام النفس
والكلام المسموع فهو تعالى متكلم بهذا وبهذا وهو الذي كلم موسى تكليما وناداه من
جانب الطور
“Ini adalah hadits shahih, dan
menunjukkan adanya perbedaan antara perkataan jiwa dan perkataan yang di
dengar. Dan Allah yang maha tinggi berbicara dengan kedua cara ini, dan Dialah
yang telah berbicara langsung dengan Musa dan memanggilnya dari sisi gunung
at-Tuur” (al-‘Uluw li al-‘Aliy al-Ghoffaar hal 57)
Sebelum menyebutkan syubhat-syubhat
mereka, maka penulis ingatkan kembali tentang hakikat aqidah Asyairoh tentang
al-Qur’an (maka silahkan baca kembali "AL-QUR’AN YANG KITA BACA ADALAH MAKHLUK
MENURUT ASYAIROH (Bagian Pertama)"), dan penulis mendahulukan bantahan
terhadap aqidah Asya’iroh tersebut secara global.
Sesungguhnya kelaziman dari aqidah mereka
tentang kalamullah sebagai berikut :
Mereka (Asyairoh) memandang bahwa Allah
tidak pernah berbicara dengan suara. Kalau hal ini benar, lantas kenapa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tidak pernah menjelaskan sama
sekali?. Jangankan dalam hadits yang shahih bahkan hadits yang palsu pun tidak
pernah menjelaskan bahwa Allah bicara tanpa suara, dan al-Qur’an yang kalian
baca tersebut hanyalah ungkapan dari bahasa jiwa Allah !!
Bahkan seluruh ayat dan hadits menyatakan
secara langsung dan tegas : “Allah berfirman”. Jika ternyata al-Qur’an bukan
firman Allah hanya ungkapan/ibarat maka tentu kaum muslimin dari zaman Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam hingga saat ini tertipu dengan hal tersebut.
Dalam seluruh bahasa (bahkan dalam bahasa
Indonesia) yang namanya berbicara itu adalah dengan suara. Karena kalau
renungan dalam hati dikatakan berbicara maka orang bisu bisa dikatakan sebagai
orang yang berbicara. Akan tetapi dalam bahasa apapun orang bisu tetap
dikatakan orang bisu (yaitu yang tidak bisa berbicara). Kita boleh menamakan
pembicaraan dalam hati sebagai pembicaraan jika kita menyebutnya secara khusus
yaitu “berbicara dalam hatinya”. Adapun kata “berbicara” tanpa disertai dengan
“dalam hati” maka tidak dipahami kecuali berbicara dengan suara.
Jika kalamullah hanyalah kalam nafsi yang
tidak ada suara dan tanpa huruf, akan tetapi hanya makna yang ada pada jiwa,
maka kalamullah dan sifat irodah (kehendak) Allah merupakan sesuatu yang sama
tidak ada bedanya. Padahal Asyairoh sepakat bahwa sifat irodah bukan sifat
kalam.
Jika firman Allah tanpa suara, maka ini berarti
Nabi Musa sesungguhnya tidak pernah berbicara dengan Allah secara langsung,
sebagaimana ini juga pernyataan kaum jahmiyah. Dan ini jelas-jelas bertentangan
dengan firman Allah “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” (QS
An-Nisaa : 164)
Hal ini juga menghilangkan keistimewaan
Nabi Musa yang dikenal dengan Kaliimullah, karena pada hakikatnya tidak ada
perbedaan antara Nabi Musa dengan nabi-nabi yang lain.
Asyairoh memandang bahwa kalaamullah
adalah kalaam nafsi (kalam jiwa) dan qodim serta tidak pernah bertambah dan
berkurang, selain itu juga tidak menerima pembagian. Sehingga jika kalam nafsi
ini diungkapkan dengan bahasa Arab jadilah al-Qur’an, kalau diungkapkan dengan
bahasa Ibrani jadilah Tauroh, dan jika diungkapkan dengan bahasa siryani
jadilah injil. Padahal kita tahu isi al-Qur’an bukanlah isi Taurot, dan Isi
Taurot bukanlah isinya injil. Kalau berdasarkan pemahaman Asyairoh seharusnya
al-Qur’an kalau diterjemahkan ke bahasa Ibrani jadinya Taurot, dan kalau Injil
diterjemahkan ke bahasa Arab jadi Al-Qur’an. Karena ketiga kitab suci ini
(Al-Qur’an, Taurat, dan Injil) adalah sama-sama ungkapan dari kalam nafsinya
Allah.
Kita tahu bahwasanya kalamullah tiada
batasnya, sementara al-Qur’an atau Taurot atau Injil isinya terbatas, maka
tentu ini menunjukkan bahwa kitab-kitab suci tersebut tidak bisa mengungkapkan
kalamullah an-nafsi yang tidak terbatas
Kalau al-Qur’an adalah ungkapan dari
sebagian kalaamullah an-Nafsi, maka berarti kalamullah an-nafsi bisa
terbagi-bagi menjadi sebagian-sebagian. Dan ini menumbangkan aqidah Asyairoh
yang meyakini bahwa kalamullah an-Nafsi tidak menerima pembagian dan parsial.
Kalau al-Qur’an adalah ungkapan dari
kalamullah an-Nafsi, lantas kenapa dalam al-Qur’an begitu banyak huruf-huruf
terputus-putus di awal-awal surat yang tidak mengungkapkan makna tertentu?.
Seperti aliif laam miim, shood, Qoof, nuun, dll, maka ini tentu bukan bahasa
ungkapan. Karena ungkapan/ibarat dari sesuatu harusnya jelas. Karena tujuan
dari ungkapan adalah penafsiran makna dari kalam nafsi, maka seharusnya
ungkapan tersebut dipahami maknanya dengan kesepakatan
Jika kalamullah an-nafsi qodim dan tidak
pernah mengalami perubahan dan tidak bisa dibagi-bagi, lantas kenapa
ungkapannya (yaitu al-Qur’an) bisa mengalami nasikh dan mansukh?, bahkan ada
ayat-ayat yang tadinya dibaca sebagai al-Qur’an kemudian dimansukhkan sehingga
tidak dicantumkan lagi sebagai Al-Qur’an?.
Jika al-Qur’an hanyalah ibarat/ungkapan
maka seharusnya tidak mengapa al-Qur’an diriwayatkan dengan makna, dan tidak
harus dengan huruf-hurufnya, yang penting maknanya sama. Bahkan seharusnya
boleh al-Qur’an dibaca dengan bahasa yang lain dan tidak harus bahasa Arab.
Asyairoh meyakini bahwa Allah memahamkan
kalaam nafsiNya kepada Muhammad. Nah pertanyaannya, apakah Allah memahamkan
seluruh kalaf nafsiNya kepada Muhammad, atau sebagian kalam nafsiNya?. Jika
Allah memahamkan seluruh kalaf nafsiNya yang tidak terbagi-bagi kepada
Muhammad, berarti Muhammad ilmunya sama dengan ilmu Allah, karena ia memahami
seluruh kalam nafsiNya Allah. Bahkan Nabi juga mengetauhi ilmu ghoib sama
dengan Allah, dan ini jelas merupakan kekufuran. Namun jika Muhammad hanya
dipahamkan sebagian kalam nafsiNya maka ini melazimkan kalam nafsiNya Allah
tidak merupakan kesatuan, tapi bisa dibagi-bagi, dan ini berarti menumbangkan
aqidah asyairoh.
Padahal ayat tegas menjelaskan bahwa para
Rasul tidak mengetahui seluruh yang di jiwa Allah.
Nabi Isa ‘alaihis salam berkata :
تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي
نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
“Engkau mengetahui apa yang ada pada
diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya
Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib" (QS Al-Maidah : 116)
Berikut syubhat-syubhat kaum Asya’iroh
yang menyatakan bahwa al-Qur’an yang kita baca adalah makhluk.
Syubhat Pertama : Kalau Allah berbicara
dengan suara maka berarti menyamakan suara Allah dengan suara makhluk,
Bantahan :
Pertama : Dalil-dalil yang menunjukkan
bahwa Allah berbicara/berfirman dengan suara maka sangatlah banyak sebagaimana
telah lalu.
Kedua : Persangakaan Asyairoh kalau Allah
berbicara/berfirman dengan huruf dan bahasa dan suara berarti seperti makhluk
ini adalah persangkaan yang keliru dan telah dibantah oleh para ulama sejak
dahulu. Karena bid’ah ini sudah muncul sejak dahulu. Berikut bantahan al-Imam
Al-Bukhari rahimahullah. Beliau menjelaskan jika firman Allah dengan suara maka
tidak melazimkan bahwa suara Allah seperti suara makhluk, sebagaimana
pendengaran dan penglihatan Allah tidak seperti makhluk dan sebagaimana dzat
Allah tidak seperti dzat makhluk : Al-Imam Al-Bukhari (wafat 256 H) berkata :
وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَادِي بِصَوْتٍ
يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ، فَلَيْسَ هَذَا لِغَيْرِ
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ذِكْرُهُ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: " وَفِي هَذَا
دَلِيلٌ أَنَّ صَوْتَ اللَّهِ لَا يُشْبِهُ أَصْوَاتَ الْخَلْقِ، لِأَنَّ صَوْتَ
اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ يُسْمَعُ مِنْ بُعْدٍ كَمَا يُسْمَعُ مِنْ قُرْبِ، وَأَنَّ
الْمَلَائِكَةَ يُصْعَقُونَ مِنْ صَوْتِهِ، فَإِذَا تَنَادَى الْمَلَائِكَةُ لَمْ
يُصْعَقُوا، وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: {فَلَا تَجْعَلُوا لِلِّهِ أَنْدَادًا}
فَلَيْسَ لِصِفَةِ اللَّهِ نِدٌّ، وَلَا مِثْلٌ، وَلَا يوجدُ شَيْءٌ مِنْ
صِفَاتِهِ فِي الْمَخْلُوقِينَ
"
"Dan sesungguhnya Allah menyeru
dengan suara yang didengar orang orang yang jauh sama sebagaimana didengar oleh
orang yang dekat. Dan seperti ini tidak bisa untuk selain Allah. Dan ini adalah
dalil bahwasanya suara Allah tidak seperti suara-suara makhluk. Karena suara
Allah didengar oleh orang yang jauh sebagaimana pendengaran orang yang dekat.
Jika para malaikat mendengar suara Allah maka mereka pingsan, dan jika para
malaikat –diantara mereka- saling memanggil maka mereka tidak pingsan. Dan Allah
telah berfirman
فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
"Karena itu janganlah kamu
Mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah" (QS Al-Baqoroh : 22)
Maka tidak ada tandingan bagi sifat
Allah, dan juga tidak ada yang menyamai, dan tidak ada satu sifat Allah pun
yang ada pada para makhluk" (Kholqu Af'aalil 'Ibaad hal 91-92).
Al-Imam Al-Bukhari menjelaskan poin
perbedaan suara Allah dengan suara makhluk diantaranya :
Suara Allah didengar sama antara yang
jauh maupun yang dekat, dan ini berbeda dengan suara manusia Suara Allah kalau
didengar para malaikat maka merekapun pingsan. Berbeda dengan suara malaikat,
takala malaikat berbicara saling mendengar suara diantara mereka maka mereka
tidaklah pingsan.
Syubhat Kedua : Kalau Allah berbicara
dengan suara maka melazimkan Allah membutuhkan tempat keluar suara, pita suara,
udara, dll
Bantahan :
Pertama : Itu semua menjadi lazim jika
yang dimaksud adalah suara makhluk yang dikenal oleh manusia, adapun suara
Allah maka berbeda dan tidak lazim.
Ibnu Hajar berkata :
فَمَنْ مَنَعَ قَالَ إِنَّ الصَّوْتَ هُوَ
الْهَوَاءُ الْمُنْقَطِعُ الْمَسْمُوعُ مِنَ الْحَنْجَرَةِ وَأَجَابَ مَنْ
أَثْبَتَهُ بِأَنَّ الصَّوْتَ الْمَوْصُوفَ بِذَلِكَ هُوَ الْمَعْهُودُ مِنَ
الْآدَمِيِّينَ كَالسَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَصِفَاتُ الرَّبِّ بِخِلَافِ ذَلِكَ
فَلَا يَلْزَمُ الْمَحْذُورُ الْمَذْكُورُ مَعَ اعْتِقَادِ التَّنْزِيهِ وَعَدَمِ
التَّشْبِيهِ وَأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِ الْحَنْجَرَةِ فَلَا
يَلْزَمُ التَّشْبِيهَ
"Adapun suara maka barang siapa yang
melarang (sifat suara bagi Allah) beralasan bahwa suara adalah aliran nafas
yang terhenti yang terdengar dan keluar dari kerongkongan. Maka orang yang
menetapkan sifat suara menjawab dengan dalih bahwasanya suara yang sifatnya
demikian adalah suara yang dikenal dari para manusia. Sebagaimana pendengaran
dan penglihatan. Dan sifat-sifat Ar-Robb berbeda dengan itu semua dan tidaklah
melazimkan adanya perkara yang disebutkan yang dilarang tersebut jika disertai
keyakinan tanzih (pensucian sifat Allah dari kekurangan-pen) dan tidak adanya
tasybih (menyamakan dengan makhluk-pen). Dan suara bisa keluar tanpa
kerongkongan, sehingga tidak melazimkan tasybih." (Fathul Baari 13/460)
Kedua : Ternyata makhluk juga ada yang
bisa mengeluarkan suaranya tanpa pita suara dan rongga suara. Bukankah Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam telah menyebutkan bahwa ada batu yang pernah
memberi salam kepadanya?. Beliau berkata :
إني لأعرف حجراً بمكة كان يسلِّم علي قبل أن
أُبْعَثُ إِنِّي لأعرفه الآنَ
“Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu
di Mekah pernah memberi salam kepadaku sebelum aku diangkat menjadi Nabi, dan
sungguh aku mengetahuinya sekarang” (HR Muslim No. 2277)
Bukankah makanan pernah bertasbih
dihadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?, Ibnu Mas’ud berkata :
ولقد كُنَّا نَسْمَعُ تَسْبِيْحَ الطَّعَامِ
وَهُوَ يُؤْكَلُ
“Dan sungguh kami mendengar tasbih
makanan padahal makanan tersebut sedang dimakan” (HR Al-Bukhari No. 3579)
Dalam riwayat yang lain :
كُنَّا نَأْكُلُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم، وَنَحْنُ نَسْمَعُ تَسْبِيْحَ الطَّعَامِ
“Kami makan bersama Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dan kami mendengar tasbihnya makanan” (Lihat Fathul Baari
6/592)
Bukankah para sahabat mendengar suara
tangisan batang korma tatkala ditinggal oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?
Ibnu Umar berkata ;
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَخْطُبُ
إِلَى جِذْعٍ فَلَمَّا اتَّخَذَ الْمِنْبَرَ تَحَوَّلَ إِلَيْهِ فَحَنَّ الْجِذْعُ
فَأَتَاهُ فَمَسَحَ عَلَيْهِ
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
berkhutbah di batang kurma, tatkala dibuat mimbar dan Nabi ke mimbar maka
batang kurma tersebut terisak, lalu Nabi ke batang tersebut lalu mengusapnya’
(HR Al-Bukhari No. 3583)
Jika makhluk saja bisa bersuara tanpa
rongga dan tanpa pita suara maka bagaimana lagi dengan Allah sang Maha
Pencipta?. Bukankah pada hari kiamat kaki, tangan, kulit, dan jari bisa
berbicara?
Syubhat ketiga : Kalau Allah berbicara
dengan huruf maka berarti Allah menerima pembagian, padahal Allah tidak bisa
dibagi-bagi.
Bantahan :
Pertama : Mana dalil bahwasanya firman
Allah tidak boleh terbagi-bagi sama sekali?. Terserah Allah membagi firmanNya
berbicara sebagian pada suatu waktu dan berbicara dengan topik dan pembicaraan
yang lain pada waktu yang lain?. Kenapa tidak boleh?. Bukankah Allah maha
berbicara?. Allah berbicara dengan Nabi Musa, bahkan berdialog dengan Nabi
Musa, maka pembicaraan Allah terbagi-bagi, bertahap sehingga terjadi dialog dan
sahut menyahut dengan Nabi Musa ‘alaihis salam?
Bukankah Allah jika berkehendak sesuatu
maka Allah mengatakan “Kun Fayakun”, berarti setiap kehendak yang berbeda maka
Allah mengucapkan “Kun Fayakun”, bukankah ini berarti Allah terbagi-bagi
kalamNya?
Yang tidak boleh jika kita mengatakan
bahwa zat Allah terbagi-bagi, menjadi ganda atau lebih, memiliki anak atau
istri. Adapun sifat Allah terbagi-bagi maka tidak ada larangan, bukankah
sifat-sifat Allah banyak?, bukankah sifat-sifat tersebut berbeda-beda? Apakah
ini berarti terbagi-bagi yang dilarang?.
Jadi kaum Asyairoh terjebak dengan logika
filsafat mereka “Allah tidak boleh terbagi-bagi” sehingga tidak bisa masuk akal
mereka jika firman Allah terangkai atas suara dan huruf-huruf.
Kedua : Kaum Asyairoh juga terjatuh pada
apa yang mereka lari darinya -sebagaimana telah lalu penjelasan bantahan secara
global-. Karena mereka meyakini bahwa
at-Taurot dan Injil adalah ungkapan dari kalaam Allah yang qodiim? (yang kalam
yang qodim tersebut satu kesatuan tidak terbagi-bagi dan tidak berubah-rubah).
Demikian pula dengan al-Qur’an adalah ungkapan dari kalam Allah yang qodim
tersebut. Nah yang menjadi pertanyaan, apakah al-Qur’an tersebut adalah
ungkapan dari seluruh kalam Allah yang qodim tersebut? Ataukah sebagian dari
kalaam yang qodim tersebut?
Kalau mereka berkata al-Qur’an adalah
ibarat/ungkapan dari seluruh kalaam qodiim tersebut berarti kalam Allah
terbatas dong? Karena ungkapannya terbatas?.
Kalau mereka (Asyairoh) berkata bahwa al-Qur’an
adalah ungkapan dari sebagian kalam Allah yang qodim, maka berarti mereka
terjatuh dalam apa yang mereka lari darinya !
Mataram, Lombok 24 syawwal 1438/18 juli
2107
Firanda Andirja