Firqah Sesat
Oleh Abu Al-Jauzaa'
Dalam sebuah hadits disebutkan:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي
عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً
وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ
وَأَصْحَابِي
“Akan
berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka
kecuali satu (yang masuk surga)”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah
ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku
berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Haakim
1/218-219, Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 85, Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah
1/127-128 no. 23-24, dan yang lainnya].
Dalam
hadits di atas disebutkan tentang keberadaan 72 golongan/kelompok sesat lagi
celaka sebagai opposite golongan yang selamat (al-firqatun-najiyyah). Banyak
ulama menjelaskan tentang 72 golongan ini. Diantaranya Asy-Syaathibiy
rahimahullah yang berkata:
وهي مسألة - كما قال الطرطوشي - طاشت فيها
أحلام الخلق ، فكثير ممن تقدم وتأخر من العلماء عينوها، لكن في الطوائف التي خالفت
في مسائل العقائد فمنهم من عد أصولها ثمانية ، فقال : كبار الفرق الإسلامية ثمانية
: ( 1 ) المعتزلة و ( 2 ) الشيعة ، و ( 3 ) الخوارج ، و ( 4 ) المرجئة ، و ( 5 )
النجارية ، و ( 6 ) الجبرية و ( 7 ) المشبهة ، و ( 8 ) الناجية .
“Sebagaimana
dikatakan Ath-Thurthuusyiy, hal itu adalah permasalahan yang banyak orang
keliru padanya. Banyak ulama dahulu maupun sekarang yang telah menentukan
golongan/kelompok tersebut, akan tetapi sebatas kelompok-kelompok yang
menyimpang dalam permasalahan-permasalahan ‘aqidah. Diantara mereka ada yang
menghitung pokok golongan/kelompok tersebut berjumlah delapan. Ia katakan :
‘Gembong kelompok-kelompok Islam (yang menyimpang) berjumlah delapan, yaitu
Mu’tazilah, Syii’ah, Khawaarij, Murji’ah, Najjaariyyah, Jabriyyah, Musyabbihah,
dan Naajiyyah” [Al-I’tishaam, 3/185].
Yuusuf
bin Asbath rahimahullah berkata:
أُصُولُ الْبِدَعِ أَرْبَعٌ: الرَّوَافِضُ،
وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَالْمُرْجِئَةُ، ثُمَّ تَتَشَعَّبُ كُلُّ
فِرْقَةٍ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ طَائِفَةً، فَتِلْكَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ
فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُونَ الْجَمَاعَةُ الَّتِي قَالَ النَّبِيُّ ﷺ:
إِنَّهَا النَّاجِيَةُ
“Pokok-pokok
kebid’ahan ada 4 (empat), yaitu Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, dan Murji’ah.
Kemudian masing-masing firqah tersebut bercabang-cabang lagi menjadi 18
golongan sehingga totalnya menjadi 72 firqah. Dan yang ke-73 adalah Al-Jamaa’ah
yang disabdakan Nabi ﷺ
: ‘Inilah firqah/kelompok yang selamat” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam
Asy-Syarii’ah no. 17].
Senada
dengan hal di atas adalah penjelasan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah:
الْبِدْعَةُ الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ
مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ
مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ: كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ،
وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ
"Bid'ah
yang menyebabkan pelakunya terhitung sebagai pengikut hawa nafsu adalah bid'ah
yang terkenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah yang menyelisihi Al-Qur’an dan
As-Sunnah (secara jelas), seperti bid'ah Khawaarij, Rafidlah, Qadariyyah, dan
Murji'ah" [Majmuu' Al-Fataawaa, 35/414].
Kembali
Asy-Syaathibiy rahimahullah menjelaskan:
هذه الفرق إنما تصير فرقا بخلافها للفرقة
الناجية في معنى كلي في الدين وقاعدة من قواعد الشريعة ، لا في جزئي من الجزئيات ،
إذ الجزئي والفرع الشاذ لا ينشأ عنه مخالفة يقع بسببها التفرق شيعا ، وإنما ينشأ
التفرق عند وقوع المخالفة في الأمور الكلية ، لأن الكليات تقتضي عددا من الجزئيات
غير قليل
“Kelompok-kelompok
ini hanyalah menjadi kelompok (yang sesat) dengan sebab penyelisihannya
terhadap al-firqatun-naajiyyah dalam makna yang kulliy dalam (pokok-pokok)
agama dan kaedah-kaedah syari’at. Bukan dalam permasalahan yang juz’iy
(parsial). Karena permasalahan juz’iy dan cabang yang menyimpang tidaklah
menimbulkan penyimpangan yang menyebabkan perpecahan. Perpecahan hanya timbul
akibat terjadinya menyimpangan dalam perkara-perkara kulliyyah (pokok), karena
perkara kulliyyah mengharuskan adanya perkara-perkara juz’iyyah yang tidak
sedikit” [Al-I’tishaam, 3/177].
Tujuhpuluh
dua golongan/kelompok yang gagal beragama dengan benar (alias sesat) ini adalah
kelompok yang menyimpang dalam perkara pokok dan/atau masuk dalam ranah
‘aqiidah[1]. Oleh karena itu jika kita membaca kitab-kitab para ulama terdahulu
yang membahas manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah, maka yang mereka tetapkan
adalah perkara ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan ‘aqiidah kesepakatan umat.
Diantaranya:
1.Abu
Haatim Ar-Raaziy dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Haatim rahimahumullah:
سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ
مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ
الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا:
أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا
وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ.....
Aku
pernah bertanya kepada ayahku (Abu Haatim Ar-Raaziy) dan Abu Zur’ah tentang
madzhab Ahlus-Sunnah dalam Ushuuluddiin (pokok-pokok agama), serta apa yang
mereka dapatkan dari para ulama yang mereka jumpai di berbagai kota dan apa
yang mereka yakini tentang hal tersebut. Mereka berdua berkata : “Kami telah
berjumpa dengan para ulama di seluruh kota baik di Hijaaz, ‘Iraaq, Syam, dan
Yaman, maka diantara madzhab yang mereka anut adalah …… (lalu disebutkan
permasalahan ushuuludiin yang dimaksud)” [Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah
wal-Jama’ah, 1/176-180 no. 321-322].
2.Al-Muzanniy
rahimahullah (w. 264 H) setelah memaparkan ‘aqidah Ahlus-Sunnah berkata:
هذه مقالات وأفعال اجتمع عليها الماضون الأولون
من أئمة الهدى، وبتوفيق الله اعتصم بها التابعون قدوة ورضى، وجانبوا التكلف فيما
كفوا، فَسُدِّدوا بعون الله وَوُفِّقوا، ولم يرغبوا عن الاتباع فيقصروا، ولم
يتجاوزوه تزّيداً فيعتدوا، فنحن بالله واثقون، وعليه متوكلون، وإليه في اتباع آثارهم
راغبون
“Perkataan-perkataan
dan perbuatan-perbuatan ini merupakan kesepakatan para ulama generasi awal
dulu, dan – dengan taufiq Allah - yang dipegang oleh orang-orang setelahnya
yang menjadi teladan dan diridlai. Mereka meninggalkan sikap takalluf (memperberat
diri) terhadap perkara yang tidak dilakukan (salaf), sehingga mereka dikokohkan
dan diberikan taufiq dengan pertolongan Allah. Mereka juga tidak membenci sikap
ittibaa’ hingga mereka mengurang-ngurangi (apa yang seharusnya) dan
menambah-nambahi. Hanya kepada Allah kami percaya dan bertawakkal, dan hanya
kepada Allah kami berharap untuk dapat mengikuti jejak mereka (salaf)”
[Syarhus-Sunnah, hal. 88].
3.Harb
bin Ismaa’iil Al-Kirmaaniy rahimahumallah (w. 280 H) berkata ketika memaparkan
madzhab/‘aqidah para imam Ahlus-Sunnah:
هذا مذهب أئمة العلم وأصحاب الأثر وأهل السنة
المعروفين بها المقتدى بهم فيها: وأدركت من أدركت من علماء أهل العراق والحجاز
والشام وغيرهم عليها، فمن خالف شيئا من هذه المذاهب، أو طعن فيها، أو عاب قائلها،
فهو مبتدع، خارج عن الجماعة، زائل عن منهج السنة وسبيل الحق
“Ini
adalah madzhab para imam, ashhaabul-atsar, dan ahlus-sunnah yang dikenal dan
diteladani. Dan aku telah bertemu dengan para ulama penduduk ‘Iraaq, Hijaaz,
Syaam, dan yang lainnya yang mereka itu semua berada di atas (madzhab itu).
Barangsiapa yang menyelisihinya dari madzhab ini atau menghujatnya atau mencela
orang yang mengatakannya; maka ia adalah mubtadi’ keluar dari jama’ah, serta
menyimpang dari manhaj sunnah dan jalan yang benar” [As-Sunnah, hal. 34].
4.Dan
yang lainnya.
Benar,
ada beberapa perkara ‘amaliyyah yang dapat dikatakan sebagai ciri Ahlus-Sunnah,
seperti misal mengusap dua khuff.
Sahl
bin ‘Abdillah At-Tustariy rahimahullah pernah ditanya tentang kapan seseorang
mengetahui dirinya di atas (manhaj) Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah, maka ia
menjawab:
إِذَا عَرَفَ مِنْ نَفْسِهِ عَشْرَ خِصَالٍ: لا
يَتْرُكُ الْجَمَاعَةَ، وَلا يَسُبُّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ ﷺ
وَلا يَخْرُجُ عَلَى هَذِهِ الأُمَّةِ بِالسَّيْفِ، وَلا يُكَذِّبُ بِالْقَدَرِ،
وَلا يَشُكُّ فِي الإِيمَانِ، وَلا يُمَارِي فِي الدِّينِ، وَلا يَتْرُكُ
الصَّلاةَ عَلَى مَنْ يَمُوتُ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِالذَّنْبِ، وَلا يَتْرُكُ
الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَلا يَتْرُكُ الْجَمَاعَةَ خَلْفَ كُلِّ وَالٍ
جَارَ أَوْ عَدَلَ
“Apabila
ia mengenal dirinya 10 perkara/karakteristik, yaitu tidak meninggalkan jama’ah,
tidak mencaci shahabat Nabi ﷺ,
tidak melakukan pemberontakan terhadap umat ini dengan senjata/pedang, tidak
mendustakan takdir, tidak ragu dalam keimanan, tidak berdebat dalam masalah
agama, tidak meninggalkan shalat terhadap seorang muslim yang mati dengan dosa
(besar yang dilakukannya), tidak meninggalkan mengusap dua khuff, serta tidak
meninggalkan (shalat) jama’ah di belakang pemimpin yang jahat maupun adil”
[Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/182 no. 324].
Begitu
juga dalam kitab-kitab ‘aqiidah yang lain (termasuk kitab aqidah yang tersebut
sebelumnya). Mengapa ? Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy
rahimahullah:
وقد أدخل المسح على الخفين في العقائد ، لأنَّ
بعض المبتدعين أنكره ، وهم الخوارج ، والشيعة بحجة أنه لم يرد في القرآن ، وهو
ثابتٌ عن النبي ﷺ من رواية جماعةٍ من
الصحابة ، وصار إنكاره علماً على أهل البدع ، وأهل السنَّة والجماعة يثبتونه لوجود
الأدلة به
"Permasalahan
mengusap dua khuff beliau (Al-Barbahaariy rahimahullah) masukkan dalam 'aqaaid
karena sebagian ahli bid'ah/mubtadi' mengingkarinya seperti Khawaarij dan
Syii'ah dengan hujjah bahwa masalah itu tidak ada dalam Al-Qur'an. Padahal
permasalahan itu shahih dari Nabi ﷺ
dari riwayat sekelompok shahabat, sehingga pengingkaran akan hal itu sebagai
satu pertanda atas ahli bid'ah. Adapun Ahlus-Sunnah wal-Jamaa'ah menetapkannya
dikarenakan keberadan dalil-dalil yang medasarinya" [selesai -
Irsyaadus-Saariy ilaa Taudliih Syarhis-Sunnah lil-Barbahaariy].
Jadi,
(sebagian) perkara ‘amaliyyah memang ada yang masuk dalam katagori ushuul
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dikarenakan Ahlul-Bid’ah masyhur dengan perkara
kebalikannya.
Dr.
Ahmad An-Najjaar hafidhahullah menjelaskan korelasi hal ini dengan yang dibahas
sebelumnya:
المسائل الاعتقادية أو العملية الجليلة التي
اشتهرت عند أهل العلم بالسنة موافقتها للكتاب والسنةوالإجماع، وهي تعرف (بالأصول).
فمن خالف أصلاً من الأصول التي اشتهرت موافقتها
للكتاب والسنة والإجماع؛ فقد خرج عن هدي السلف الصالح ونسب إلى غيرهم.
“Permasalahan-permasalahan
‘aqidah atau amaliyyah yang agung lagi terkenal menurut ulama Ahlus-Sunnah yang
berkesesuaian dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; maka itulah yang dikenal
dengan pokok (ushuul).
Barangsiapa
yang menyelisihi suatu pokok (ushuul) dari pokok-pokok (agama) yang dikenal
berkesesuaian dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’, maka dirinya keluar dari
petunjuk as-salafush-shaalih dan dinisbatkan kepada selainnya (kelompok sesat)”
[Tabshiirul-Khalaf bi-Dlaabithil-Ushuuli allatii Man Khalafaa Kharaja ‘an
Manhajis-Salaf, hal. 28].[2]
Dari
sini kita mengetahui mengapa (sebagian) perkara ‘amaliyyah yang agung
dimasukkan para ulama dalam bab ‘aqiidah dan ushuul.
Berdasarkan
keterangan tersebut, apakah jika ada orang yang melafadhkan niat ketika shalat,
dapat kita hukumi kesalahan (bid’ah)-nya itu sebagai sebab masuk dalam kelompok
sesat gagal beragama (dengan benar) di luar al-firqatun-naajiyyah ?. Tentu
jawabannya tidak. Apakah jika ada orang yang melakukan bid’ah berjabat tangan
setelah shalat dapat kita hukumi kesalahan (bid’ah)-nya itu sebagai sebab
keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah ?. Tentu jawabannya tidak. Mengapa ?. Karena
hal itu bukan bagian dari pokok-pokok Ahlus-Sunnah. Juga bid’ah ‘amaliyyah lain
(menurut sebagian ulama) seperti qunut shubuh, zakat profesi, biji tasbih, yasinan,
dan yang lainnya.
Kemudian…..
Ketika
Syaikhul-Islaam membahas permasalahan mana yang lebih utama antara ‘Utsmaan dan
‘Aliy[3], beliau rahimahullah berkata:
هذه المسألة - مسألة عثمان وعلي - ليست من
الأصول التي يضلل المخالف فيها عند جمهور أهل السنة لكن التي يضلل فيها مسألة
الخلافة
"Permasalahan
ini – yaitu permasalahan ‘Utsmaan dan ‘Aliy - bukanlah permasalahan pokok
(ushuul) dimana orang yang menyelisihinya boleh untuk disesatkan menurut jumhur
ulama. Akan tetapi yang disesatkan padanya adalah permasalahan khilaafah"
[Majmuu' Al-Fatawaa, 3/153].
Orang
yang mengutamakan 'Aliy dibandingkan 'Utsmaan radliyallaahu ‘anhumaa adalah
keliru. Namun dalam masalah ini tidak boleh dikatakan sesat, karena bukan
termasuk pokok (ushuul) agama yang membolehkan seseorang menyesatkan oposannya
dan keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Perkara kemudian masalah ini diboncengi
masalah khilaafah – dan biasanya ini sepaket dilakukan oleh orang Syi’ah – ,
lain perkara. Jika tafdliil tersebut diikuti dengan pembatalan kekhalifahan ‘Utsmaan,
maka orang tersebut lebih sesat daripada keledai peliharaannya. Namun jika
murni masalah tafdliil saja, tidak boleh saling menyesatkan dan mengandangkan
dalam 72 golongan.
Kasus
lain tentang perayaan maulid Nabi ﷺ.
Ini adalah bid’ah amaliyyah menurut jumhur ulama. Bid’ah ini tidak mengeluarkan
pelakunya dari Ahlus-Sunnah – meski kita katakan dia salah dan berdosa atas
bid’ah yang dilakukannya. Pelakunya tidak kita sebut sebagai Ahli Bid'ah.
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Al-Jibriin rahimahullah berkata:
وأما البدع العملية فإنه لا يقال لصاحبها مبتدع
علي الإطلاق. ولكن يقال: فيه بدعة كالذين يحيون ليلة المعراج أو المولد أو ليلة
النصف من شعبان أو يصلون صلاة الرغائب و ما أشبهها من البدع العملية.
فهناك فرق بين البدع الاعتقادية فيقال لصاحبها
مبتدع و البدع العملية و يقال لصاحبها فيه بدعة ولا يصدق عليه أنه مبتدع بدعة
كلية. هذا هو المتبادر. والله أعلم.
“Sedangkan
bid’ah dalam masalah ibadah, pelakunya sama sekali tidak bisa disebut sebagai
ahli bid’ah. Akan tetapi pelakunya kita katakan bahwa pada dirinya ada
kebid’ahan. Semisal orang-orang yang memperingati malam Isra’ Mi’raj, Maulid
Nabi, beribadah pada malam Nishfu Sya’ban, melakukan shalat Raghaib, dan
bid’ah-bid’ah yang lain dalam masalah ibadah.
Jadi
ada perbedaan antara bid’ah dalam masalah akidah- itulah bid’ah yang pelakunya
disebut sebagai ahli bid’ah- dengan bid’ah dalam masalah ibadah. Pelaku bid’ah
dalam masalah ibadah mendapat sebutan ‘ada bid’ah pada dirinya’. Pelaku bid’ah
semacam ini tidak tepat jika disebut sebagai ahli bid’ah. Demikian jawaban
instan yang bisa diberikan. Wallahu a’lam” [Ijabah al Sa-il ‘an Ahammi al
Masa-il Ajwibah al ‘Allamah al Jibrin ‘ala As-ilah al Imarat, hal 13-14 –
dikutip dari website ustadzaris.com].
Apakah
maulid termasuk bagian dari pokok ushuul dalam agama ? Termasuk syi’ar-syi’ar
yang membedakan antara Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Bid’ah yang tercantum dalam kitab
para ulama dulu ?. Jawabnya : Tidak.[4]
Bukankah
banyak orang yang merayakan maulid disertai dengan banyak kemunkaran seperti
istighatsah, doa kepada Nabi, ikhtilaath, dan perbuatan ghulluw lainnya ?.
Kalau
begitu, ini namanya perayaan maulid plus. Kalau sudah plus-plus, hukumnya lain.
Sama seperti kasus tafdliil sebelumnya.
Lajnah
Daaimah ketika membahas rincian kemunkaran maulid, tetap membedakan antara
hanya sekedar merayakannya saja dan yang merayakan plus ibadah yang lain yang
isinya kesyirikan. Saya highlight khusus kalimat/perkataan yang ini:
إذا كان مجرد احتفال ، على الأكل والشرب ،
والقهوة والشاي ، وليس فيه دعاء ولا استغاثة بالنبي ، فهذه بدعة منكرة
"Apabila
hanya sekedar perayaan saja dengan makan, minum, ngopi dan ngeteh; namun tidak
ada padanya doa dan istighatsah kepada Nabi; maka ini bid'ah munkarah (saja,
bukan syirik)" [alifta.net].
Maka,
penghukuman maulid pun harus hati-hati dan dirinci, antara sekedar perayaannya
saja (sebagaimana perkataan fuqahaa yang membolehkan) atau yang paket
plus-plus. Paket plus-plus dapat menyebabkan seseorang keluar dari lingkup
al-firqatun-naajiyyah. Bukan karena maulidnya, tapi karena plus-plusnya.
Terakhir,
kalaupun ada bantahan, silakan. Tak perlu kasih judul bombastis “Ultraman
Membantah Upin dan Ipin”. Nanti dikira cari perhatian dan malah bikin gaduh.
Saya tahu ada perkataan ulama kontemporer yang berbeda dengan hal di atas. No
problemo.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
Semoga
ada manfaatnya. Silakan baca juga artikel : Kapan Keluar dari Ahlus-Sunnah.
[abul-jauzaa’
– one thousand km from home – 30 Dzulqa’dah 1438 H].
[1]
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan hal
serupa:
[2]Buku
ini diberikan taqdiim oleh Asy-Syaikh Dr. Shaalih bin Sa’d As-Suhaimiy dan
Asy-Syaikh Dr. Sulaimaan Ar-Ruhailiy hafidhahumallah. Sangat direkomendasikan
untuk dibaca dalam masalah keluar-masuk pintu Ahlus-Sunnah.
[3]Jumhur
ulama berpendapat bahwa ‘Utsmaan lebih utama daripada ‘Aliy radliyallaahu
‘anhumaa.
[4]Diantara
ulama madzhab yang membolehkan maulid adalah Al-Haafidh Ibnu Hajar
Al-‘Asqalaaniy, Ibnul-Jazariy, Ibnu Hajar Al-Haitamiy, Ibnush-Shalah, Abu
Syammaah Al-Maqdisiy, Ibnul-Hajj Al-Malikiy, As-Suyuuthiy, dan yang lainnya
rahimahumullah.
Mereka
membolehkan maulid dengan melakukan amal-amal kebaikan, menampakkan
kegembiraan, bershadaqah, bersyukur, dan yang lainnya di hari itu.
(-)
: Ente kok malah nyebutin khilaf ulama segala. Khilaf itu bukan dalil !! Dalil
itu adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’ !!!
(+)
: Saya sepakat dengan Anda bahwa maulid itu bid’ah yang terlarang dalam agama.
Clear bagi saya. Di sini saya hanya ingin mendudukkan realitas saja, apakah
maulid itu merupakan perkara ijmaa' atau bukan ijmaa', pokok ataukah cabang,
perkara kulliy ataukah juz’iy, sehingga kita dapat menghukuminya dengan akurat.
COMMENTS
Harris
mengatakan...
Syukron
penjelasannya Ustadz..semoga antum dan kita semua diberi keteguhan dalam
beragama sesuai tuntunan Rasul sallahualahiwassalam
24
Agustus 2017 06.14
Anonim
mengatakan...
Bagaimana
dengan asyairoh ustadz -yang katanya banyak dianut di negeri kita tercinta ini-
apakah penyelisihan mereka dalam masalah sifat dan alquran mengeluarkan mereka
dari ahlussunnah atau mereka masih ahlussunnah? syukron
24
Agustus 2017 07.07
Anonim
mengatakan...
Semoga
Allah membalas kebaikan antum ya ustadz
24
Agustus 2017 07.37
Anonim
mengatakan...
Jazaakallah
khair, penjelasan yg lugas dan mudah dicerna... Semoga awam yg lain spt ana
bisa tercerahkan... Krn ana dulu sempat menduga duga, apabila qunut subuh
termasuk bid'ah dan pelakunya disebut ahlul bid'ah mutlak, apa iya imam nawawi
rahimahullah yg membolehkan qunut subuh adalah ahlul bid'ah? Padahal kitab
beliau banyak dikaji di majlis taklim sunnah...
Semakin
memahami sekarang, hanya Allah ta'aala yg memberi petunjuk dan bergantungnya
semua makhluk..
24
Agustus 2017 07.39
Anonim
mengatakan...
Jazaakallah
khoiro
24
Agustus 2017 08.40
ryudhi
mengatakan...
mau
bid'ah aqidah, bid'ah amaliah semua tetaplah bid'ah..dan setiap bid'ah adl
sesasat.. dan setiap kesesatan tempatnya di neraka..!
24
Agustus 2017 10.27
Atrian
Rahadi mengatakan...
Bagaimana
dengan ini ustadz??
FATWA
SYAIKH AL-'UTSAIMIN -rahimahullaah- TENTANG: SIAPA YANG DISEBUT MUBTADI'?
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata:
“Setiap
orang yang beribadah kepada Allah dengan ‘aqidah, atau perkataan, atau
PERBUATAN yang bukan termasuk syari’at Allah; maka dia adalah MUBTADI’.
(1)-
Setiap orang yang beribadah dengan ‘aqidah; (seperti:) Jahmiyyah yang beribdah
dengan ‘aqidah mereka; maka mereka meyaikini bahwa mereka mensucikan Allah, dan
bahwa (‘aqidah mereka) adalah pengagungan dan Tauhid. Mu’tazilah juga demikian,
Asy’ariyyah juga demikian; mereka beribadah kepada Allah dengan ‘aqidah mereka.
(2)-
Kemudian, orang-orang yang membuat-buat dzikir-dzikir tertentu: seratus, atau
dua ratus, atau seribu; apakah mereka beribadah dengan hal itu atau tidak? Ya,
mereka beribadah kepada Allah dengan itu, mereka meyakini bahwa mereka diberi
pahala atas hal ini.
(3)-
Kemudian, orang-oang yang membuat-buat perbuatan yang mereka beribadah kepada
Allah dengannya; (seperti orang yang shalat) seribu raka’at dan lainnya; maka
mereka juga beribadah kepada Allah dengan perbuatan-perbuatan tersebut.
Tiga
golongan ini -yang berbuat BID'AH dalam ‘aqidah, perkataan, atau perbuatan-;
setiap bid’ah dari bida’h-bid’ah mereka; maka SESAT.”
24
Agustus 2017 13.35
Aco
Pancoco mengatakan...
Kapan
rodja tv live maulidan??
24
Agustus 2017 22.17
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam
warahmatulaahi wabakatuh
@Anonim
24 Agustus 2017 07.07,..... Asyaa'irah termasuk bid'ah dalam 'aqiidah dan
merupakan derivat dari Mu'tazilah. Namun dibandingkan Mu'tazilah atau
Jahmiyyah, Asyaa'irah lebih dekat kepada Ahlus-Sunnah.
@Ryudhi
dan @Atrian Rahadi,.... setiap bid'ah memang sesat. Haditsnya kan memang
berbunyi seperti itu. Bukan hanya bid'ah, namun menyalahi perintah Allah dan
Rasul-Nya pun juga termasuk kesesatan sebagaimana firman Allah ta'ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
"Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata"
[QS. Al-Ahzaab : 36].
Mengikuti
hawa nafsu juga sesat sebagaimana firman Allah ta'ala:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ
أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ
بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ
"Maka
jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka
hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah sedikit pun" [QS. Al-Qashshaash : 50].
Berbuat
maksiat juga sesat sebagaimana firman Allah ta'ala:
قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ قَتَلُوا أَوْلادَهُمْ
سَفَهًا بِغَيْرِ عِلْمٍ وَحَرَّمُوا مَا رَزَقَهُمُ اللَّهُ افْتِرَاءً عَلَى
اللَّهِ قَدْ ضَلُّوا وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
"Sesungguhnya
rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak
mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepada
mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka
telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk" [QS. Al-An'aam : 140].
25
Agustus 2017 07.11
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Permasalahannya
adalah, siapakah orang yang dimutlakkan padanya sebagai orang yang tersesat ?.
Apakah satu per satu orang yang melakukan perbuatan dosa kita cap orang yang
sesat ?. Siapakah nanti yang tersisa jika begitu ?. Antum sendiri mungkin tak
selamat darinya.
Perkataan
syaikh "Setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ‘aqidah, atau
perkataan, atau PERBUATAN yang bukan termasuk syari’at Allah; maka dia adalah
MUBTADI" adalah umum. Barangsiapa yang membuat-buat syari'at Allah, maka
mubtadi'.
Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
أقول المبتدع هو أولا الذي من عادته الابتداع
في الدين وليس الذي يبتدع بدعة واحدة ولو كان هو فعلا ليس عن اجتهاد وإنما عن هوى
مع ذلك هذا لا يسمى مبتدعا وأوضح مثال لتقريب هذا المثال أن الحاكم الظالم قد يعدل
في بعض أحكامه فلا يقال فيه عادل كما أن العادل قد يظلم في بعض أحكامه فلا يقال
فيه ظالم وهذا يؤكد القاعدة الإسلامية الفقهية أن الإنسان بما يغلب عليه من خير أو
شر إذا عرفنا هذه الحقيقة عرفنا من هو المبتدع فيشترط إذًا في المبتدع شرطان الأول
ألا يكون مجتهدًا وإنما يكون متبعًا للهوى الثانية أو الثاني يكون ذلك من عادته
ومن ديدنه
"Aku
katakan bahwa mubtadi' adalah - pertama - orang yang biasa mengada-adakan perkara
dalam agama. (Mubtadi') bukan orang yang (hanya) mengadakan satu bid'ah,
meskipun yang ia lakukan bukan berasal dari ijtihad, namun hanya dari hawa
nafsu semata. Dirinya tidak dinamakan mubtadi. Akan aku jelaskan satu
permisalan yang mirip dengan permisalan ini. Seorang hakim yang dhalim kadang
berlaku adil dalam sebagian hukum-hukumnya, maka dirinya tidak dikatakan
seorang yang adil. Sebagaimana orang yang adil kadang berlaku dhalim dalam
sebagian hukum-hukumnya, maka dirinya juga tidak dapat disebut seorang yang
dhalim. Ini memperkuat sebuah kaedah islamiyyah fiqhiyyah bahwasannya seseorang
dihukumi dengan kebaikan atau keburukan yang mendominasi pada dirinya. Apabila
kita mengenal hakekat ini, maka kita akan mengenal siapa itu mubtadi'. Oleh
karena itu, dipersyaratkan pada diri seorang mubtadi' dua persyaratan : (1)
dirinya bukan seorang mujtahid, namun hanyalah seorang yang mengikuti hawa
nafsu; (2) perkara (bid'ah) itu sudah menjadi kebiasaannya dan masuk dalam
bagian agamanya" [http://www.alalbany.me/play.php?catsmktba=16733].
Ini
ditinjau dari pelakunya. Kemudian ditinjau dari jenis bid'ahnya. Apakah setiap
jenis bid'ah menyebabkan pelakunya disebut mubtadi'/ahlul-bid'ah ?. Kalau Anda
jawab iya, maka di sini saya harus mengecap semua orang yang qunut Shubuh
sebagai mubtadi'/ahlul-bid'ah. Atau, saya harus mengecap semua orang yang
mengucapkan niat ketika akan shalat sebagai Ahlul-Bid'ah. Saya kain, Anda tidak
setuju. Maka, jenis bid'ah yang menyebabkan pelakunya disebut Ahli Bid'ah dan
mengeluarkan pelakunya dari Al-Fiqatun-Naajiyyah menuju 72 firqah yang sesat
adalah sebagaimana dikatakan dalam artikel di atas. Bid'ah dalam perkara
ushuul, baik dalam 'aqiidah maupun amaliyyah/perbuatan.
wallaahu
a'lam bish-shawwaab.
@Aco
Pancoco,..... nanti kalau Anda jadi produsernya, harap saya dikasih tahu ya.
25
Agustus 2017 07.11
Al-Firqatun
An-Najiyyah (Golongan Yang Selamat)
Oleh Abu Al-Jauzaa'
Rasulullah ﷺ bersabda :
إفترقت
اليهود على إحدى وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة. وافترقت النصارى على اثنين
وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة. وستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة
كلها في النار إلا واحدة. وفي رواية : على ثلاث وسبعين ملة. قالو : ومن هي يارسول
الله؟ قال : هي الجماعة. يد الله مع الجماعة. وفي رواية : قال : ما أنا عليه
وأصحابي.
”Orang-orang Yahudi telah terpecah
menjadi 71 firqah semuanya masuk neraka kecuali satu. Orang-orang Nashara
terpecah menjadi 72 firqah semuanya masuk neraka kecuali satu. Dan umat ini
akan terpecah menjadi 73 firqah semuanya masuk neraka kecuali satu.” Dalam satu
riwayat : ”Menjadi 73 millah”. Para
shahabat bertanya : “Siapakah dia yang selamat itu ya Rasulullah ?. Maka
Rasulullah ﷺ menjawab : ”Meraka adalah
Al-Jama’ah. Tangan Allah di atas jama’ah”.
Dalam riwayat lain beliau bersabda :
”Yaitu apa yang aku dan shahabatku berada di atasnya”.
[Ibnu Taimiyyah berkata : Hadits ini
Shahih Masyhur di dalam kitab-kitab Sunan dan Masaanid, seperti Sunan Abu
Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’I, dan yang lain. Lihat Majmu’ Fatawaa Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah juz 3 halaman 345].
Menurut Syaikh Al-Albani, hadits masalah
perpecahan umat ini derajatnya ada yang shahih dan ada pula yang hasan.
Berdasarkan hadits di atas jelas bahwa
umat ini akan terpecah menjadi 73 firqah; 72 di antaranya di neraka dan satu di
surga, yang berarti ada satu firqah yang selamat.
Adapun tentang istilah-istilah
Al-Firqatun-Najiyyah (Golongan yang Selamat), maka ada beberapa penyebutan :
1.Terkadap di sebut Al-Jama’ah.
Sebagaimana diterangkan hadits di atas.
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :
الجماعة : ما وافق الحق وإن كنت وحدك
“Jama’ah adalah apa-apa yang sesuai
dengan kebenaran walaupun sendirian”
Dalam lafadh lain :
إنما الجماعة : ما وافق طاعة الله وإن كنت وحدك
”Jama’ah adalah apa-apa yang sesuai
dengan ketaatan kepada Allah sekalipun sendirian” (Lihat Kitab Ahlus-Sunnah,
Ma’alim Al-Inthilaqatil-Kubra, halaman 49).
2.
Terkadang diistilahkan pula Ahlur-Rahmah (orang yang mendapat rahmat
dari Rabb-Nya).
Allah ta’ala berfirman :
وَلَوْ شَآءَ رَبّكَ لَجَعَلَ النّاسَ أُمّةً
وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ *
إِلاّ مَن رّحِمَ رَبّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
”Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentu
Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih,
kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Rabb-mu. Dan untuk itulah
Allah menciptakan mereka” (QS. Huud : 118-119).
Qatadah berkata : “Maksud orang yang
mendapat rahmat adalah Al-Jama’ah, sekalipun masing-masing terpisah
rumah/negeri dan badannya. Sedangkan
orang yang maksiat adalah Al-Firqah sekalipun satu rumah/negeri dan satu
badan”. (Ma’alimul-Inthilaaqatil-Kubra halaman 28).
3.
Terkadang disebut pula Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (sebagaimana dalam
hadits).
أهل
السنة = ما أنا عليه = Jalannya Rasul.
والجماعة
= وأصحابي = Jalannya Shahabat.
Dalam hadits lain :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين
”Wajib bagimu berpegang pada sunnahku dan
sunnah Khulafaur-Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radliyallaahu
‘anhum)” (Ma’alamul-Inthilaaqatil-Kubra halaman 46).
4.
Sering pula dinamakan Ath-Thaifah Al-Manshurah (Kelompok yang Ditolong –
oleh Allah)
Rasulullah ﷺ bersabda :
لا تزال من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من
خذلهم حتى يأتي أمر الله
”Tidak pernah berhenti sekelompok dari
umatku yang selalu membela kebenaran. Tidak membahayakan mereka orang-orang
yang menghinakan mereka hingga datang keputusan Allah” (HR. Muslim).
5.
Juga kadang dinamakan Ahlul-Hadits; sebagaimana perkataan Imam Ahmad :
إن لم تكن هذه الطائفة المنصورة أصحاب الحديث فلا
أدري من هم ؟
“Seandainya Thaifah Manshurah ini bukan
Ahlul-Hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka itu” (Minhaj
Al-Firqatun-Najiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu halaman 16).
Ibnu Taimiyyah memberikan komentar
tentang Ahli Hadits : “Yang kami maksud dengan ahli hadits bukan terbatas hanya
pada orang yang menekuni untuk mendengar atau menulis atau meriwayatkannya
saja, tetapi mencakup siapa saja yang berhak untuk menghafal, mengetahui, dan
memahaminya secara lahir maupun dan bathin, serta kemudian mengikutinya baik
secara lahir maupun bathin. Begitu pula Ahli Qur’an”.
Peringkat paling sederhana dari pekerjaan
Ahli Hadits adalah mencintai Al-Qur’an dan Al-Hadits, membahas makna-makna
keduanya, dan mengamalkan apa-apa yang telah mereka pahami dari tuntutan
keduanya. (Ma’alimul-Inthilaaqatil-Kubra halaman 50).
Di jaman sekarang banyak orang yang disebut-sebut
sebagai Ahli Hadits ( baca : Doktor Jurusan Hadits), tetapi sayangnya ia tidak
termasuk Ahlus-Sunnah. Disebabkan ia belajar hadits hanya untuk ilmu, bukan
untuk diamalkan.
6.
Disebut pula As-Salafush-Shalih
Syaikh Abdulaziz bin Abdullah bin Baaz
rahimahullah ketika ditanya tentang Al-Firqatun-Najiyah, beliau menjawab :
“Mereka adalah orang-orang salaf dan orang-orang yang mengikuti jalannya
As-Salafush-Shalih (Rasul dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum) (Minhaj
Al-Firqatun-Najiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu halaman 15).
Jadi tentang nama-nama tersebut di atas
adalah nama yang syar’iy (tidak bid’ah).
Al-Firqatun-Najiyyah dan Ath-Thaifah
Al-Manshurah mungkin bisa terjadi dimana hanya dilakukan oleh sekelompok kecil
manusia, bahkan bisa perorangan; yang menurut nash telah jelas yaitu bahwa bumi
ini tidak akan pernah kosong dari Thaifah Manshurah ini, kecuali menjelang hari
kiamat.
Sifat-Sifat Golongan Yang Selamat
Adapun sifat-sifat Golongan yang Selamat
(Al-Firqatun-Najiyyah) adalah sebagai berikut :
1.Selalu istiqamah dalam berpegang teguh
dengan al-haq., yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah sebagaimana yang
dipahami oleh As-Salafush-Shalih. Allah ‘azza wa jalla berfirman :
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ
تَفَرّقُواْ
”Dan berpegangteguhlah kamu sekalian
kepada tali (agama) Alah secara keseluruhan, dan janganlah kamu bercerai-berai”
(QS. Aali Imarn : 103).
Rasulullah ﷺ telah bersabda :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين.
تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ
“Wajib bagimu berpegang teguh pada
sunnahku dan sunnah Khulafaur-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpeganglah
dengannya dan gigitlah dengan gigi gerahammu kuat-kuat” (HR. At-Tirmidzi;
hasan-shahih).
Allah ta’ala berfirman :
وَأَنّ هَـَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً
فَاتّبِعُوهُ وَلاَ تَتّبِعُواْ السّبُلَ
”Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain)” (QS. Al-An’am : 153).
Jalan lurus yang dimaksud adalah jalannya
Rasulullah ﷺ dan para shahabatnya
radliyallaahu ‘anhum ajma’in.
2.Mengikuti jejak Rasulullah ﷺ, para shahabat, dan
para imam ahlul-hadits dalam segala hal. Seperti dalam beraqidah, beribadah,
berhukum, bermuwalah, dan sebagainya.
Al-Firqatun-Najiyyah dalam Beraqidah
1.Sumber aqidah hanya Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah ﷺ yang shahihah.
2.Semua khabar yang shahih dari
Rasulullah ﷺ diimani dan dibenarkan.
Orang salaf tidak membedakan antara khabar mutawatir dan khabar ahad yang
shahih.
3.Dalam memahami nash-nash selalu
mengambil penjelasan dari nash-nash itu sendiri, kemudian qaul
As-Salafush-Shalih (para shahabat), kemudian imam yang berjalan sesuai dengan
manhaj mereka. Baru setelah itu kembali kepada kaidah bahasa Arab yang
shahihah.
4.Menyerah pada wahyu (dalil naqli) dan
tidak menentangnya baik dengan akal, perasaan, atau pendapat imam. Akal bisa
dipakai sesuai dengan sesuai dengan fungsinya, tidak dipakai untuk memikirkan
hal-hal yang bukan wilayahnya, seperti shifat-shifat Allah, masalah ghaib,
surga, nereka, dan lain-lain.
5.Menggunakan istilah-istilah syar’i,
tidak menggunakan istilah-istilah bid’ah.
6.Akal sehat tidak bertentangan dengan
nash yang shahih. Akan tetapi jika seolah-olah bertentangan, maka nash wajib
didahulukan.
(Diambil dari kitab-kitab : Al-‘Aqidah
Fillah oleh Al-Asyqar; Wujud Luzuumil-Jama’ah
oleh Jamal bin Ahmad bin Basyirbadi; Mujmal Ushul Aqidah Ahlis-Sunnah
wal-Jama’ah] oleh Dr. Nashir bin Abdilkarim Al-‘Aql).
Keistimewaan ‘Aqidah Al-Firqatun-Najiyyah
Yaitu, memelihara kemurnian tauhid.
Dalam hal ini ada dua macam :
1.Tauhidullah
Meliputi : Tauhid Rububiyyah, Tauhid
Uluhiyyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Mengapa ulama salaf setelah membahas Tauhid
Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah, kemudian membahas Tauhid Asma’ wa Shifat
secara khusus ?
Jawaban : Karena masalah shifat-shifat
Allah ini merupakan masalah ghaibiyyah, seperti : Allah punya tangan, mata,
berbicara, turun, bersemayam, dan sebagainya. Dalam hal ini, Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah mengimani semua shifat-shifat yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, baik dalam menetapkan atau menafikkannya. Jadi tidak terbatas 13
atau 20 shifat sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Abul-Hasan Al-Asy’ary
(yang alhamdulillah beliau rujuk kepada aqidah shahihah menjelang akhir
hayatnya). Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengimani semua shifat-shifat yang ada
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan tidak merubah artinya, tidak menolak,
tidak pula menanyakan kaifiyyahnya. Ahlus-Sunnah mengimani sebagaimana dhahir
nash dengan berlandaskan firman Allah :
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السّمِيعُ الْبَصِيرُ
”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia – dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy-Syuuraa : 11).
Jadi, shifat-shifat Allah itu tidak sama
dengan shifat makhluk-Nya sedikitpun. Memang, para ulama salaf mempunyai cara
tersendiri dalam meluruskan akal. Salah satunya dengan memahamkan Tauhid Asma’
wa Shifat. Kalau seorang muslim sudah bisa menerima tauhid ini sesuai dengan
pemahaman salaf – dengan tidak melakukan ta’wil - , misalnya dengan mengimani
bahwa Allah mempunyai mata, kaki, dan lain-lain. InsyaAllah dalam menghadapi
atau memahami ayat-ayat lain seperti Nabi ‘Isa turun, atau berita-berita ghaib
lainnya, ia akan mengimaninya tanpa perlu berpikir-pikir lagi (jika memang
dilandasi oleh nash Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah yang jelas/sharih).
Inilah pentingnya Tauhid Asma’ wa Shifat
dalam meluruskan akal yang sok ilmiah (dengan permainan logika/mantiq).
2.Tauhid Ittiba’
Tauhidullah dan Tauhid Mutaba’ah (tauhid
hanya mengikuti petunjuk Nabi ﷺ dalam agama) adalah dua
rukun dan dua asas yang hakiki dalam Islam. Keduanya itulah hakikat dua kalimat
syahadat, sehingga dengannya suatu amal bisa diterima.
Imam Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy berkata :
“Tidaklah seseorang itu selamat dari ‘adzab, kecuali jika telah merealisasikan
dua tauhid tersebut”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Secara global arti dua kalimat tauhid tersebut adalah Pertama, tidaklah kita beribadah kecuali
hanya kepada Allah; Kedua, tidaklah kita beribadah kecuali kecuali dengan apa
yang telah disyari’atkan (oleh Rasulullah ﷺ). Kita tidak boleh
beribadah dengan cara bid’ah”.
Ibnul-Qayyim berkata : “Tidaklah
seseorang dikatakan telah merealisasikan ayat { إِيّاكَ
نَعْبُدُ} “Hanya kepada-Mu kami menyembah”, kecuali
jika orang tersebut telah merealisasikan dua masalah besar, yaitu :
a.Tauhid Ittiba’; yaitu mutaba’ah kepada
Ar-Rasul ﷺ.
b.Tauhidullah.
(Lihat : Wujuub Luzuumil-Jama’ah oleh
Jamal bin Ahmad bin Basyirbadi halaman 311).
Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhu
mengatakan : “Sesungguhnya kami adalah orang yang mutbi’ (mengikuti), bukan
mubtadi’ (membuat bid’ah). Jika kami dalam keadaan lurus maka maka ikutilah;
dan jika bengkok/menyimpang, maka luruskanlah”.
Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu
berkata :
إتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم
”Ikutilah dan jangan membuat hal-hal yang
baru (bid’ah), karena sesungguhnya hal itu telah cukup bagimu” (Diriwayatkan
oleh Ath-Thabrani).
Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma
berkata :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ
حَسَنَةً
”Semua bid’ah adalah sesat sekalipun
manusia melihat hal itu baik” (Diriwayatkan oleh Al-Laalika’i]).
{Lihat Tanbih Ulil-Abshar karya Syaikh
Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimy halaman 66}.
Imam Ahmad rahimahullah berkata :
“Pokok-pokok Ahlus-Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh pada apa yang ada
pada shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengikutinya, serta
meninggalkan bid’ah. Karena semua bid’ah adalah sesat” (Ushulus-Sunnah karya
Imam Ahmad bin Hanbal).
Imam Syafi’i dan Al-Laits bin Sa’ad
berkata : “Ahlul-Ahwa’ itu sekalipun bisa berjalan di atas udara, tidak akan kami
terima”.
{Lihat : Tanbih Ulil-Abshar karya Syaikh
Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimy halaman 70}
Dalam rangka merealisasikan Tauhid
Ittiba’ ini, maka Tauhid ini harus didasari cinta pada Rasulullah ﷺ melebihi cintanya
pada bapak, anak, maupun dirinya sendiri.
Dari Abdullah bin Hisyam radliyallaahu
‘anhuma berkata : “Kami beserta Nabi ﷺ. Disampingnya
terdapat Umar bin Khaththab. Maka ‘Umar berkata pada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam : “Sungguh aku mencintai engkau di atas segalanya kecuali
diriku”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : “Tidak! Demi Dzat
yang diriku ada di Tangan-Nya. Bahkan sampai engkau menjadikan aku yang paling
engkau cintai daripada dirimu”. Maka berkata ‘Umar kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sungguh sekarang, demi Allah, engkau lebih aku
cintai daripada diriku sendiri”. Maka Rasulullah ﷺ
berkata,”Demikianlah ya ‘Umar….” (HR. Bukhari).
Berkata Syaikh Sulaiman bin Abdullah Aali
Syaikh : “Syarat mahabbah (cinta) adalah harus sesuai dengan yang dicintai,
mencintai apa yang dicintai, dan membenci apa yang dibenci”
(Taisirul-Azizil-Hamid Syarhu Kitaabit-Tauhid halaman 472).
Berkata Ibnu Taimiyyah : “Salah satu dari
konsekuensi mahabbah (cinta) pada Rasulullah ﷺ ialah harus
menjunjung tinggi sunnah dan melaksanakannya, serta tidak menolaknya disebabkan
bertentangan dengan pendapat dan akalnya, atau qiyas atau perkataan orang, dan
lain-lain” (Majmu’ Fataawaa 17/443-445).
Termasuk konsekuensi cinta ialah
memperbanyak membaca shalawat dan salam kepada Rasulullah ﷺ dengan tidak
berlebihan seperti yang dilakukan oleh ahlul-bida’; kemudian mencintai shahabat
dan keluarganya radliyallaahu ‘anhum ajma’in. Juga memberikan wala’ (loyalitas)
serta keridlaan pada mereka dan diam dalam mensikapi fitnah yang menimpa para shahabat,
serta membenci orang-orang yang membenci shahabat.
{Lihat : Wujub Luzuumil-Jama’ah karya
Syaikh Jamal bin Ahmad bin Basyirbadi halaman 322}.
Dalil-Dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
Allah ta’ala telah berfirman :
وَمَن يُشَاقِقِ الرّسُولَ مِن بَعْدِ مَا
تَبَيّنَ لَهُ الْهُدَىَ وَيَتّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلّهِ مَا
تَوَلّىَ وَنُصْلِهِ جَهَنّمَ وَسَآءَتْ مَصِيراً
”Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali” (QS. An-Nisaa’ : 115).
Rasulullah ﷺ bersabda :
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى. قالوا : يا رسول الله ومن يأبى؟. قال : من أطاعني دخل الجنة ومن عصاني فقد أبى.
”Setiap umatku akan masuk surga kecuali
yang enggan”. Para shahabat bertanya : “Siapa yang enggan itu yan Rasulullah
?”. Beliau menjawab : “Barangsiapa yang taat kepadaku, maka ia masuk surga. Dan
barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka itulah orang-orang yang enggan
(masuk surga)” (HR. Bukhari).
من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصا الله
”Barangsiapa yang taat kepadaku berarti
dia taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka berarti ia
bermaksiat kepada Allah” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Dalam melaksanakan sunnah/syari’at Islam,
hendaknya kita sandarkan sebagaimana yang dilakukan para shahabat, karena para
shahabat dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam hanya bersumber pada dua
perkataan, yaitu perkataan Allah dan perkataan Rasulullah ﷺ
(Ma’alimul-Inthilaaqatil-Kubra oleh Muhammad Abdil-Hadi Al-Mishri, halaman 31).
Bagaimana dengan ketentuan hukum yang
disimpulkan menurut ahli Ushul-Fiqh ? Kita tidak menolak hukum-hukum kaidah
ushul-fiqh. Karena yang menciptakan qaidah ushul fiqh adalah para imam yang
mu’tabar (sudah memenuhi kriteria sebagai mujtahid; seperti Imam Syafi’i,
Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah). Akan tetapi dalam pengamalan, kita harus
mengambil sikap sebagaimana yang dilakukan para salaf kita, yaitu berdasarkan
nash-nash shahih dari Rasulullah ﷺ beserta para
shahabatnya. Baik dari masalah kecil maupun yang besar, asalkan dengan niat
ikhlash dan ittiba’. Terlepas hukumnya sunnah atau wajib. Dalam meninggalkan
maksiat pun harus seperti itu, terlepas hukumnya haram atau makruh. Inilah
amalan-amalan yang dilakukan oleh As-Salafaush-Shalih.
Mudah-mudahan kita termasuk golongan
pengikut As-Salafush-Shalih.
===Abu Al-Jauzaa’ 1427 in Rain
City=======
[nemu tulisan di laptop 11 tahun yang
lalu saat masih aktif di MyQuran]
Kapan
Keluar dari Ahlus-Sunnah ?
Oleh Abu Al-Jauzaa'
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
ومما ينبغي أن يعرف أن الطوائف المنتسبة إلى
متبوعين في أصول الدين والكلام على درجات، منهم من يكون قد خالف السنة في أصول
عظيمة ومنهم من يكون إنما خالف السنة في أمور دقيقة
"Dan termasuk diantara hal yang
perlu diketahui bahwasannya golongan-golongan yang berafiliasi pada tokoh-tokoh
tertentu dalam perkara pokok-pokok agama dan ilmu kalam itu bertingkat-tingkat.
Diantara mereka ada yang menyelisihi sunnah dalam pokok-pokok yang agung, dan
diantara mereka ada yang hanya menyelisihi sunnah dalam perkara-perkara
kecil" [Majmuu' Al-Fataawaa, 3/348-349].
الْبِدْعَةُ الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ
مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ
مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ: كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ،
وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ
"Bid'ah yang menyebabkan pelakunya
terhitung sebagai pengikut hawa nafsu adalah bid'ah yang terkenal di kalangan
ulama Ahlus-Sunnah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah (secara jelas),
seperti bid'ah Khawaarij, Rafidlah, Qadariyyah, dan Murji'ah" [idem, 35/414].
Asy-Syaikh Rabii' Al-Madkhaliy
hafidhahullah pernah ditanya : "Bid'ah apakah yang terhitung dapat
mengeluarkan seseorang dari wilayah Ahlus-Sunnah wal-Jamaa'ah ?". Beliau
menjawab:
مثل بدعة القدر وبدعة الإرجاء وبدعة الرفض وبدعة
الخروج والبدع الصوفية مثل الموالد الشركية وغيرها وشدّ الرحال إلى القبور
والأشياء هذه بارك الله فيكم ؛من هذا النوع.
تولّي أهل البدع يُصيِّر الإنسان منهم ومناصرتهم
والذبّ عنهم ؛فإنّ أحمد ابن حنبل رحمه الله قيل له : إنّ بعض الناس يجلس إلى أهل
البدع فقال : انصحه ,قال : نصحته فأبى ,قال : ألحقه بهم.
فالذي يجالس أهل البدع ويُعاشرهم يُستدلّ عليه
أنّه مريض وأنّه يُوافق هؤلاء وهذا فيه أدلّة ؛( الأرواح جنودٌ مجندة ما تعارف
منها ائتلف وما تناكر منها اختلف ) ,فهذا يأتلف مع أهل البدع دليل أن هناك توافق
وتشابه بين الأمرين والشخصين أو الجماعتين.
وعلى كلّ حال ما ذكرناه هو الذي يُخرج عن دائرة
أهل السنّة والجماعة
"Semisal bid'ah qadar (Qadariyyah),
bid'ah irjaa', bid'ah Raafidlah, bid'ah Khawaarij, bid'ah Shuufiyyah seperti
(perayaan) maulid yang syirik dan yang lainnya, syaddur-rihaal[1] ke kuburan,
dan yang lainnya semisal ini, baarakallaahu fiikum, termasuk jenis bid'ah yang
mengeluarkan dari Ahlus-Sunnah.
(Juga) memberikan loyalitas kepada
ahlul-bid'ah dengan menjadikan seseorang dari kalangan mereka (ahlul-bid'ah)
sebagai penolongnya; serta membela mereka (ahlul-bid'ah). Pernah dikatakan
kepada Ahmad bin Hanbal rahimahullah : 'Sesungguhnya sebagian manusia
bermajelis dengan Ahlul-Bid'ah'. Maka ia (Ahmad bin Hanbal) berkata :
'Nasihatilah ia!'. Dijawab : 'Aku sudah menasihatinya, namun ia menolak'. Ahmad
berkata : 'Masukkanlah ia ke dalam golongan mereka (ahlul-bid'ah)'.
Orang yang bermajelis dengan ahlul-bid'ah
dan bergaul dengan mereka, maka ini sebagai dalil bahwa dirinya 'sakit' dan
dirinya menyepakati mereka. Dan dalam hal ini terdapat dalil : 'Ruh-ruh itu
berkelompok-kelompok yang banyak. Yang cocok di antara mereka akan saling
berkumpul, dan yang tidak cocok akan saling menjauh'. Dan berkumpulkan orang
dengan ahlul-bid'ah sebagai tanda bahwa di sana terdapat kecocokan dan kesamaan
antara dua perkara, dua orang, atau dua jama'ah.
Apapun itu, apa yang kami sebutkan adalah
perkara yang mengeluarkan seseorang dari wilayah Ahlus-Sunnah" [https://goo.gl/ze5qBZ].
Begitu juga Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyaa
An-Najmiy pernah ditanya hal serupa, maka beliau rahimahullah menjawab:
من خرج عن السنة بأخذه ببدعة من البدع؛ سواءً
كانت بدعة الخروج كالخوارج أو بدعة تعطيل الصفات كالجهمية والمعتزلة, أو تأويلها
كالأشاعرة, أو بأن يقول بأنَّ الإسلام لا يضر معه ذنبٌ كالمرجئة, أو غير ذلك من
البدع، فإذا كنت قد عرفت عنه بدعة، فنصح عنها، ولكنَّه أصرَّ على البقاء عليها فهو
يعتبر قد خرج عن السنة، وأخذ بالبدعة، وقد روى مسلمٌ في مقدمة كتابه أنَّ أبا عبد
الرحمن السلمي نصح بعض طلاب العلم في ذلك الزمن ألاَّ يسمعوا إلى قول شقيق، وكان
شقيق غير شقيق بن سلمة، وكان يرى رأي الخوارج، فقال ألاَّ يسمعوا كلامه، ولاتأتوا
إليه، وظاهر هذا أنَّ من استقر أمره على الأخذ ببدعةٍ، واشتهرت عنه تلك البدعة
فإنَّه ينبغي أن ينصح طلاب العلم منه، وأن يحذروا منه؛ لأنَّه يعتبر قد خرج عن
منهج أهل السنة بذلك؛ أمَّا إذا حصلت المخالفة في أمورٍ فرعية اجتهادية، فهذا لا
يعتبر خلافًا ممنوعًا ولا موجبًا للعتب على المخالف كمن يقول: "إنَّ الزنا لا
يثبت إلاَّ بالاعتراف أربع مرات، ومن يقول: أنَّه يثبت بالاعتراف مرة"،
وبالله التوفيق
"Barangsiapa yang keluar dari sunnah
dengan mengambil satu bid'ah, baik itu bid'ah khuruuj/pemberontakan seperti
Khawaarij, atau bid'ah peniadaan sifat seperti (bid'ah) Jahmiyyah dan
Mu'tazilah, atau (bid'ah) ta'wiil seperti Asyaa'irah, atau mengatakan tidak
memudlaratkan Islam dengan sebab dosa seperti (bid'ah) Murji'ah, atau
bid'ah-bid'ah yang lainnya. Apabila engkau mengetahui darinya satu bid'ah, lalu
engkau nasihati, namun ia tetap dalam bid'ahnya, maka dirinya dianggap keluar
dari Ahlus-Sunnah dan beralih kepada bid'ah (Ahlul-Bid’ah). Muslim meriwayatkan
dalam muqaddimah kitabnya bahwa Abu 'Abdirrahmaan As-Sulamiy pernah menasihati
sebagian penuntut ilmu pada waktu itu agar tidak mendengar (riwayat) dari
Syaqiiq. Syaqiiq yang dimaksud bukan Syaqiiq bin Salamah. Syaqiiq ini memiliki
pemikiran Khawaarij. Ia (Abu 'Abdirrahmaan As-Sulamiy) berkata : 'Janganlah
dengar perkataannya dan jangan pula mendatanginya’. Yang nampak di sini,
bahwasannya barangsiapa yang tetap pada diri seseorang memegang satu bid'ah dan
terkenal darinya bid'ah tersebut, maka sudah seharusnya untuk menasihati para
penuntut ilmu darinya dan memperingatkan (mentahdzir) darinya, karena ia
dianggap keluar dari manhaj Ahlus-Sunnah dengan sebab tersebut. Adapun jika
penyelisihan yang terjadi pada perkara-perkara furuu'iyyah ijtihadiyyah, maka
ini tidak dianggap sebagai penyelisihan yang terlarang dan tidak
mengkonsekuensikan celaan terhadap orang yang menyelisihi tersebut. Seperti
orang yang berkata : 'Sesungguhnya (hukuman) zina tidak tetap kecuali dengan
pengakuan sebanyak 4 kali', dan orang yang mengatakan : '(Hukuman) zina itu
tetap dengan pengakuan sekali saja'. Wabillaahit-taufiiq" [https://goo.gl/ze5qBZ].
Asy-Syaikh 'Ubaid Al-Jaabiriy
hafidhahullah pernah ditanya kapankah seseorang keluar dari manhaj salafiy dan
ia dihukumi bukan salafiy ?. Beliau menjawab:
هذا بيّنه أهل العلم ، وضمنته كتبهم ونصائحهم وهو
ضمن منهجهم وذلك أن الرجل يخرج من السلفية إذا خالف أصلا من أصول أهل السنة ،
وقامت الحجة عليه بذلك وأبى الرجوع ، هذا يخرج من السلفية ، كذلك قالوا حتى في
الفروع إذا خالف فرعا من فروع الدين فأصبح يوالي ويعادي في ذلك فإنه يخرج من
السلفية نعم.
"Permasalahan ini telah dijelaskan
ulama serta dimasukkan dalam kitab-kitab dan berbagai nasihat mereka. Dan hal
itu merupakan bagian dari manhaj mereka. Seseorang keluar dari salafiyyah
apabila menyelisihi pokok-pokok Ahlus-Sunnah dan telah tegak hujjah atas mereka
namun enggan untuk rujuk. Orang ini keluar dari salafiyyah. Begitu juga mereka
(ulama) berkata : 'Bahkan dalam masalah furuu' (cabang)'. Yaitu apabila ia
menyelisihi cabang agama dan kemudian dirinya mengikat loyalitas dan bermusuhan
berdasarkan atas hal tersebut, maka ia keluar dari salafiyyah. Na'am"
[Kaset Jinaayatut-Tamyi' 'alal-Manhajis-Salafiy].
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa seseorang keluar dari lingkup Ahlus-Sunnah (Salafiyyah) apabila:
1.
menyelisihi prinsip-prinsip pokok dalam agama serta tegak padanya hujjah
namun enggan untuk rujuk;
2.
menyelisihi perkara cabang dalam agama dan ia membangun al-walaa'
wal-baraa' atas hal itu.
NB : Di sini didapatkan satu faedah
tambahan bahwa dikeluarkannya seseorang dari Ahlus-Sunnah dalam penyelisihan
masalah furuu' itu bukan semata-mata karena penyelisihannya tersebut, namun
karena al-walaa' wal-baraa' yang ia bangun atas hal tersebut.
3.
bergaul dan bermajelis dengan
Ahlul-Bid’ah (tanpa alasan yang dibenarkan), serta ber-walaa’ wa baraa’ di
atasnya.
Penyelisihan dalam perkara khilafiyyah
ijtihadiyyah yang mu’tabar di kalangan ulama, bukan menjadi sebab untuk
mengeluarkan seseorang dari lingkup Ahlus-Sunnah.
Wallaahu a'lam.
Semoga ada manfaatnya.
Baca juga artikel terkait : Firqah Sesat.
[1]
Silakan baca artikel :