Thursday, December 28, 2017

Konflik Jangka Panjang Israel-Palestina (Zionis VS Islam) Bisa Terjadi Pada Suriah Sebagai 'Palestina Baru' (Majusi Syi’ah VS Islam).

Hasil gambar untuk syiah vs islam

Peta Konflik Makin Rumit, Suriah Dikhawatirkan Jadi 'Palestina Baru'

Konstelasi konflik di negara-negara yang bertikai akhir-akhir ini semakin rumit. Salah satu contohnya adalah Suriah. Dikhawatirkan Suriah jadi 'Palestina Baru'.

Kekhawatiran itu diungkapkan Presiden International Committee of the Red Cross (ICRC/Palang Merah Internasional) Peter Maurer.

"Salah satu ketakutan terbesar saya adalah konflik jangka panjang Israel-Palestina bisa terjadi pada Suriah. Suriah adalah 'Palestina Baru'," kata Maurer saat berdiskusi dengan jurnalis di Hotel Mandarin Oriental, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (21/3/2017).

Maurer menyodorkan fakta-fakta bahwa 8-10 juta warga Suriah harus pergi dari tempat tinggalnya, dan 4-5 juta warga Suriah menjadi pengungsi ke luar negeri.

"Kita tidak tahu ke mana akhir konflik Suriah ini," imbuhnya.

Di Suriah, lanjut Maurer, ada puluhan pihak yang bertikai. Konstelasi konfliknya sangat rumit hingga mengalami perang berkepanjangan. Yang terkena dampak tentulah warga sipil tak bersalah.

"Dampaknya pada sistem kesehatan dasar, pendidikan dasar, hingga ekonomi. Apalagi perang ini bergeser ke kota besar Suriah, seperti Aleppo dan Homs, banyak infrastruktur yang rentan. Warga sangat bergantung pada infrastruktur itu, seperti pompa air, pembangkit listrik, hingga rumah sakit," jelas dia.

Apalagi ada gejala infrastruktur vital jadi target serangan, seperti serangan pembangkit listrik di Yaman atau serangan pada rumah sakit di Afganistan. Hal ini membuat banyak orang keluar dari negaranya menjadi pengungsi. Dampak sosialnya bisa dirasakan di seluruh dunia.

"Di dunia yang terpecah menjadi banyak ideologi ini, semakin beragam konflik yang dihadapi," tutur Maurer.

ICRC sendiri kini menghadapi tantangan bahwa bantuan kemanusiaan kini tak lepas dari isu politik. Padahal yang dilakukan ICRC adalah murni bantuan kemanusiaan.

Selain perang seperti di Suriah, ada pula kasus kekerasan komunitas yang melanda Amerika Latin, seperti di Guatemala dan El Salvador. Korban tewas di dua negara itu, menurutnya, lebih banyak ketimbang di Suriah.

"Itu karena kekerasan di komunitas, seperti perang geng narkoba. Kita dikuasai isu-isu kritis seperti ini sekarang ini," jelasnya.

Maurer mengatakan solusi di negara-negara konflik adalah kemauan politik dari aktor-aktor konfliknya sendiri. ICRC, imbuhnya, sudah puluhan tahun memberikan bantuan kemanusiaan kepada beberapa negara konflik, seperti di Irak, Iran, Afganistan, yang masih harus berjuang memulihkan 'luka perang' sejak puluhan tahun lalu yang diderita oleh warga sipil. Apalagi konflik-konflik baru, seperti di Suriah, pemulihannya, menurut Maurer, pasti akan sangat lama ke depannya. (nwk/dnu)


RI Diam Terhadap Konflik Suriah, Ada Apa?

Perang saudara Suriah yang pecah sejak Januari 2011, telah menelan ribuan nyawa tak berdosa. Dari waktu ke waktu situasi di salah satu negara Arab itu terus bereskalasi.

Perang saudara di kawasan Timur Tengah ini, cukup menyita perhatian dunia. Tercermin dari banyaknya pihak yang terlibat disana. Ada Iran, Rusia, Amerika Serikat dan Israel serta tentu saja PBB.

Jika dipetakan secara umum, kekuatan di atas terbagi atas dua kekuatan utama. Rezim yang berkuasa di Suriah, pimpinan Presiden Bashar Al-Assad, didukung oleh Iran dan Rusia.

Sementara kekuatan oposisi yang ingin menjatuhkan Assad, didukung Amerika Serikat, Israel, sejumlah negara Eropa Barat, serta beberapa negara Islam di Timur Tengah (Arab Saudi dan Qatar) serta negara Islam dari Persia (Turki).

PBB juga terlibat atau melibatkan diri dalam upaya mendamaikan perang saudara di Suriah. Tapi sebagaimana biasa, keberpihakan PBB ke rezim yang berkuasa, justru lebih ke pihak Amerika Serikat atau setidaknya terkesan setengah hati.

Jatuh tidaknya Presiden Assad, sesungguhnya tidak lagi menjadi isu utama. Sebab kalau Assad dikeroyok oleh berbagai kekuatan, nasibnya dan negaranya kemungkinan besar akan sama dengan Muammar Khadafy (Lybia) dan Ben Ali (Tunisia).

Tetapi yang paling dikuatirkan, jika perang saudara Suriah berlarut, konflik itu akan sama dengan persoalan Palestina-Israel. Setengah abad pun tidak selesai. Bahkan bukan mustahil, pecahannya akan lebih dahsyat dan dapat menganggu keseimbangan perdamaian dunia. Sebab letak geografis Suriah sangat dekat dengan Palestina.

Tanpa banyak diulas, sesungguhnya dalam perspektif diplomasi, perang saudara Suriah memiliki kesamaan dengan perang Palestina-Israel. Yang menimbulkan pertanyaan, kendati terdapat kesamaan dan para diplomat kita tentang soal ini, tetapi langkah diplomasi Indonesia, tidak terdengar sama sekali.

Demikian pula intelektual Indonesia yang paham dengan konflik Suriah, tidak sedikit. Tetapi khusus dalam persoalan sekarang, tak satupun yang mau "berteriak". Singkatnya para pemimpin kita baik yang formal maupun infomal tak satupun yang mau "berkeringat".

Semua diam, semua cari aman. Seakan dampak negatif dari perang Suriah bagi Indonesia tidak ada sama sekali. Seolah perang saudara memang hanya masalah internal, rakyat Suriah.

Kalangan pemerintah maupun masyarakat umum yang diwakili para pegiat perdamaian, diam seribu bahasa seakan perang saudara Suriah hanya masalah perebutan kekuasaan yang diakibatkan oleh ketidak puasan masyarak terhadap elit yang korup.

Akibatnya tidak ada upaya diplomasi maksimal begitu pula tak ada pengerahan relawan oleh pegiat perdamaian untuk membantu wanita dan anak-anak serta orang-orang renta yang menjadi korban dari perang Syria.

Satu hal lagi yang penting dianstisipasi, konflik Suriah, jika terus bereskalasi, dalam arti dukungan asing terhadap pihak oposisi terus menguat, hal ini dapat menyebabkan meletusnya perang terbuka antara Israel dan Iran.

Penyebabnya, Iran dan Israel sudah dalam posisi "siaga". Kalau yang tidak dikehendaki oleh Iran, diganggu oleh Israel, negara pimpinan Ahmadinejad ini akan langsung bereaksi.

Iran sejak awal sudah secara terang-terangan menyatakan, jika ada yang mengganggu Suriah, negara itu tidak akan diam. Peringatan Iran itu, secara implisit maupun eksplisit jelas ditujukan kepada Israel.

Sementara pekan lalu, Israel pun secara sengaja sudah menyerang salah satu wilayah Suriah. Sekalipun serangan itu tidak secara terbuka diakui oleh Israel, tetapi para intelejen dari berbagai kalangan mengakui adanya serangan tersebut. Sekalipun serangan itu kabarnya hanya ditujukan kepada sebuah rombongan, tetapi rombongan yang dimaksud adalah kelompok yang didukung Iran.

Rombongan itu dikabarkan sedang membawa suplai senjata dari Iran menuju Lebanon Selatan. Di Lebanon, Iran mendukung kelompok Hisbullah yang sudah puluhan tahun terlibat perang dengan Israel. Jadi serangan tersebut dapat diartikan sebagai gangguan Israel terhadap Iran.

Antara Suriah dan Israel sendiri terdapat konflik wilayah yaitu Dataran Tinggi Golan. Di perbatasan itu, Israel memantau setiap gerak Suriah, khususnya yang menuju ke Libanon Selatan, tempat dimana kelompok Hisbullah bermarkas.

Suriah yang berbatasan langsung dengan Israel, pada 1967 terlibat dalam peperangan sengit. Dalam perang itu Israel berhasil merebut Dataran Tinggi Golan. Kawasan yang merupakan salah satu daerah tersubur di wilayah Timur Tengah itu karena ada pepohonan seperti di daerah tropis serta menjadi pusat pengembangan berbagai produk pertanian, hingga sekarang tetap dikuasai Israel.

Israel sekalipun mendapatkannya melalui perang, tetapi belakangan mengklaim Dataran Tinggi Golan sebagai salah satu wilayah yang memiliki status "Tanah Perjanjian" atau tanah yang dijanjikan sang Pencipta kepada Israel.

Untuk memperkuat status itu, Israel mengerahkan sejumlah arkeolog, menggali berbagai tanah dan bebatuan sebagai alat bukti bahwa Dataran Tinggi Golan dulunya, ribuan tahun sebelumnya merupakan salah satu pusat pemukiman bangsa Yahudi. Sehingga dalam konteks perdebatan, cara Israel mengklaim kepemilikan Dataran Tinggi Golan, nyaris sama dengan apa yang dilakukannya atas wilayah Palestina.

Timbul pertanyaan, apa yang menyebabkan Indonesia diam seribu bahasa dalam menghadapi konflik Suriah? Padahal sesuai amanat konstitusi bahwa Indonesia harus berperan aktif dalam menciptakan dan menjaga perdamaian dunia.

Apakah para pelaksana kebijakan di kalangan birokrat sudah melupakan amanat konstitusi atau semata-mata keterbatasan kemampuan atau karena kualitas kepemimpinan Indonesia di forum internasional semakin tergerus? Semoga tidak demikian. [mdr]
Derek Manangka

Breaking News, Sempurna ! Indonesia Pro-Bashar Asaad Dan Syiah ! Wakil RI Di PBB ABSTAIN Saat Voting Pelanggaran HAM Suriah
Breaking News ! Terkuak Alasan Aneh Dubes Indonesia Di Suriah, Kenapa Negeri Ahlus Sunnah Terbesar Harus Dukung Begundal Bashar Assad (Syiah Alawit) ! Jangan Sampai Adzab Allah Menerpa Negeri Kita Akibat Ulah Segelincir Antek-Antek Syiah.
Pemerintah Indonesia Dukung Penuh Rezim Syiah Assad di Suriah ?? [90 % Penduduk Suriah Ahlus Sunnah, Pasti Tumbangkan Rezim Minoritas Kafir Syiah laknatullah Bashar al-Assad]
Mengapa Kita Harus Membantu Muslim Suriah ? Meragukan Kekafiran Dan Bela Bashar Al-Assad Merusak Iman (Bisa Batalkan Aqidah Islam)