Oleh: Kholili Hasib
Imam al-Ghazali merupakan ulama yang
menguasai berbagai disiplin ilmu. Yang hebat, ia memadukan disiplin-disiplin
ilmu seperti Kalam, Filsafat, Ilmu Syariat dan lain-lain dalam kerangka
keilmuan yang integratif dengan berdasarkan tasawuf. Kebangkitan Islam pada
masanya dibangun atas dasar kerangka ilmu yang dibangun imam al-Ghazali itu.
Salah satu hal penting yang pernah
berhasil dilakukan oleh Imam al-Ghazali adalah ia menghamparkan jalan bagi
bangkitnya kembali Ahlussunnah wal Jama’ah pada masa Perang Salib di tengah
kehidupan umat Islam yang terpengaruh berbagai pemikiran.
Prof. Ali Muhammad al-Shalabi dalam
buku Shalahuddin al-Ayyubi wa Juhuduhu fi Qadha’ ala al-Daulah
al-Fatimiyah wa Tahriri Baitil Maqdis(edisi Indonesia Shalahuddin
al-Ayyubi Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis, Pustaka al-Kautsar, 2007)
mengupas peran besar imam al-Ghazali dalam mengalau aliran Syiah yang menjadi duri
kaum Muslimin dalam menghadapi perang Salib.
Dalam memainkan peran ini imam al-Ghazali
tidak lepas dari Madrasah Nidzamiyah, dimana beliau mengajar. Di madrasah ini
imam al-Ghazali menjadi pelopor dalam memerangi pemahaman Syiah Rafidhah
Bathiniyah pada zaman itu. beberapa cara dilakukan, misalnya dengan menumbuhkan
budaya intelektual di madrasah, melakukan pendekatan kepada penguasa bahkan
dengan operasi penangkapan kepada pemberontak Syiah.
Salah satu upaya intelektual dilakukan
oleh imam Ghazali dengan menulis kitab Fadha’ih
al-Bathiniyah (noda-noda Syiah Batiniyah) diterbitkan pada tahun 487 H
atas dukungan Khalifah al-Mustadhir.
Pada zamannya, pada akhir abad ke-5 H
dunia Islam menurut Ali al-Shalabi tidak ditemukan ulama yang lebih kuat dalam
menolak dan menghadang gerakan Syiah melebihi peranan imam al-Ghazali.
Imam al-Ghazali dengan pemikirannya yang
mendalam, serta pengaruhnya yang luas, telah mampu memberikan peranan kuat
dalam melawan gerakan Syiah Batiniyah dan menolong Ahlussunnah. Salah satu hal
yang menarik adalah konstruksi pemikiran imam al-Ghazali yang mampu memukul
mati logika Syiah Rafidhah.
Beliau telah mampu meletakkan ilmu
syariat dan ilmu logika yang dimilikinya sesuai porsinya, sehingga hal itu
merupakan metode yang kuat untuk mencabut dan meruntuhkan pemikiran Syiah
Batiniyah sampai ke akar-akarnya.
Beliau berkomentar tentang Syiah: “Secara
dzahir mereka menampakkan sikap menolak, sementara di batin mereka ada
kekafiran sejati, mereka berkedok Syiah padahal sebenarnya mereka tidak kenal
paham Syiah sama sekali, dan bahwasannya mereka rela menyembunyikan di belakang
mereka tipu daya terhadap pemeluk Islam” (Imam al-Ghazali,Fadha’ih
al-Batiniyah).
Bahkan imam al-Ghazali pernah ikut misi
penangkapan orang-orang Syiah Batiniyah bersama pasukan sultan Nidzamul Muluk.
Hal ini dikarenakan banyak da’i Syiah di Persia makin berani melakukan ekspansi
ke kekuasaan Abbasiyah dan mendirikan benteng-benteng untuk mengancam
Ahlussunnah.
Kehadiran benteng-benteng Syiah di dekat
wilayah Abbasiyah ini mengancam keamanan dan keselamatan umat Ahlussunnah.
Bahkan banyak tokoh-tokoh Islam yang menjadi korban kekejaman milisi Syiah.
Imam al-Ghazali seperti ditulis oleh Ali
Muhammad al-Shalabi bertugas memberikan pengarahan dan bekal mental kepada
jajaran pemimpin pasukan yang akan melakukan penangkapan. Di samping memang
keinginannya kuat untuk turut mengambil peran dalam membela dan mempertahankan
agama Islam.
Di sinilah para pemimpin rakyat bertemu
dengan para ulama-nya dalam upaya mewujudkan tujuan-tujuan Islam. dan hal ini
tidak lepas dari madrasah Nidzamiyah, lembaga pendidikan yang didirikan oleh
Sultan Nidzamul Muluk.
Madrasah ini tercatat mencapai sukses
besar mendidik dan mencetak ulama-ulama pejuang. Imam al-Subki mengutip cerita
dari Ishaq al-Shirazi, seorang guru pertama di madrasah Nidzamiyah berkata:
“Saya datang ke negeri Khurasan, di setiap kota atau desa yang saya hampiri,
selalu aku temukan seorang qadhi, atau ahli fatwa, atau khatib, mereka adalah
mantan siswa saya di madrasah Nidzamiyah atau merupakan sahabat saya”.
Di antara misi penting madrasah ini
adalah mencetak para ulama Ahlussunnah pengikut madzhab Syafi’i. Membekali para
pegawai untuk menempati lembaga-lembaga pemerintah, khususnya lembaga
peradilan, perpajakan, dan pemberi fatwa. Posisi-posisi strategis ini yang
kemudian dijabat oleh para alumni Nidzamiyah.
Madrasah dengan melalui karya-karya
ilmiah yang diterbitkan dan tokoh-tokohnya maupun para ulamamnya telah
menghaparkan jalan yang mudah bagi perjuangan para pejuang-pejuang Islam pada
perang Salib. Sehingga daerah-daerah yang sebelumnya menjadi basis paham Syiah
Rafidhah berubah menjadi daerah-daerah berbasis Ahlussunnah wal Jama’ah. Kita
lihat misalnya peristiwa penting penyelamatan Sultan Shalahuddin yang
bermadzhab Sunni-Asy’ari terhadap Mesir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah yang
Syiah. Jasa Shalahuddin hingga dapat dirasakan kaum Muslimin sampai saat ini
dengan sukses men-sunni-kan al-Azhar.
Dalam kitab Fadhaihul Batiniyyah, Imam Al
Ghazali berkomentar tentang Syiah, ia berkata: “Seseorang yang dengan
terus terang mengkafirkan Abu Bakr dan Umar Radhiallah Anhuma, maka bererti dia
telah menentang dan menolak Ijma kaum Muslimin. Sedangkan tentang diri mereka
(para sahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan syurga kepada mereka dan
pujian bagi mereka serta pengukuhan atas kebenaran kehidupan agama mereka, dan
keteguhan aqidah mereka serta kelebihan mereka dari manusia-manusia lain”.
Kemudian beliau berkata: “Apabila riwayat yang seperti ini telah sampai
kepadanya, namun dia tetap berkeyakinan bahwa para sahabat itu kafir, maka
orang semacam ini adalah kafir. Kerana dia telah mendustakan Rasulullah Sallallahu
‘alaihi Wasallam. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan
beliau, maka menurut Ijma’ kaum Muslimin, orang tersebut adalah kafir”. -
(Fadhaihul Batiniyyah, halaman 149)
http://www.syiahindonesia.com/2016/05/fatwa-imam-al-ghazali-tentang-syiah.html?m=0
http://www.syiahindonesia.com/2016/05/fatwa-imam-al-ghazali-tentang-syiah.html?m=0
Abu Hamid Al Ghazali
(Beliau adalah) Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad at Thuusi al Ghazali, Ibnu Katsir berkata: Beliau dahulu adalah orang
yang terpandai di dalam setiap bidang pembahasannya. Karangannya banyak sekali
yang tersebar di dalam berbagai macam bidang ilmu. Di antara kitab-kitabnya:
Fadhaail al Baathiiniyah. Wafat, 505 H.
[Al Bidaayah wan Nihaayah 12:173-174, Miraatul Janaani 3:177-192]
Beliau (Abu Hamid Al Ghazali) berkata:
Karena golongan Rafidhah dalam memahami Islam itu lemah (dangkal), maka mereka
melakukan kedurhakaan dengan membuat aqidah al Badaa’. Meriwayatkan dari Ali,
bahwa beliau tidak mau menceritakan hal yang ghaib, karena khawatir diketahui
oleh Allah, sehingga Allah akan mengubah-nya.
[Bihaarul Anwaar 4:97]
Pada riwayat lain ucapan tersebut
dinisbatkan kepada Ali bin Al-Husein.
[Tafsiirul ‘Iyyaasyi 2:215, Bihaarul Anwar 4:118, Al Burhaan 2:299, Tafsir Ash
Shafii 3:75]
Note:
Seseorang yang mempelajari aqidah al badaa’ dalam madzhab Rafidhah akan
mengetahui, bahwa keyakinan tersebut muculnya bukan karena pemahaman agama yang
lemah tetapi sudah merupakan suatu jalan pemikiran yang dengan sengaja
diciptakan oleh adanya keyakinan yang berlebih-lebihan terhadap para imam
mereka. Pendapat imam Ghazali ini serupa dengan pernyataan imam Al Amidi
(Al Ihkaam, 3:109) , Beliau (Al Amidi) berkata: Golongan Rafidhah tidak
bisa memahami perbedaan antara nasakh dan al Badaa’.
Kata-kata al Amidi ini lebih jauh
dikomentari oleh Syeikh Abdur Razak Afifi, Katanya: “Barang siapa
mengetahui dengan jelas hal ikhwal Rafidhah, memahami kebusukan hatinya dan
kezindiqkannya berupa sikap merahasiakan kekafiran dan menampakkan keislaman,
mewarisi prinsip-prinsip agamanya dari Yahudi, menempuh cara-cara memperdayakan
islam sebagaimana dilakukan orang yahudi, maka ia tentu memahami bahwa segala
kebohongan dan kedustaan (tentang al Badaa’) adalah suatu pernyataan yang bertujuan
jahat, rasa kedengkian kepada kebenaran dan pemeluknya, dan karena fanatik
buta, sehingga membuat mereka berani melakukan tipu daya dan berbagai bentuk
perbuatan merusak secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan guna
menghancurkan syariat Islam dan negara-negara yang menegakkannya.
[Al Ihkaam fii Ushuuli Ahkaam 3:109-110]
Mereka (Rafidhah Syi’ah) pun meriwayatkan
dari Ja’far bin Muhammad, bahwa ia berkata: “Allah tidak mengetahui sesuatu
kejadian dimasa datang sebagaimana hanya pada peristiwa Ismail, yaitu peristiwa
penyembelihannya.
[Bacalah riwayat ini di dalam kitab At Tauhiid, oleh Ibnu Baabawaih hal. 36]
Aqidah semacam ini benar-benar suatu
kekafiran, dan menganggap Allah itu bodoh dan mudah terpengaruh. Hal semacam
ini mustahil, karena Allah itu ilmu-Nya Maha meliputi segala sesuatu.
[Mustashfaa 1:110]
Al-Ghazali berkata: “Seseorang yang
dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar -semoga Allah meridhai
mereka- maka ia telah menentang dan membinasakan ijma’ kaum muslimin. Padahal tentang
diri mereka (para shahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan surga
kepada mereka dan pujian bagi mereka serta mengukuhkan atas kebenaran kehidupan
agama mereka, keteguhan aqidah mereka dan kelebihan mereka dari manusia-manusia
lain. Kemudian kata beliau: “Bilamana riwayat yang begini banyak telah sampai
kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para shahabat itu kafir, maka
orang semacam ini adalah kafir. Karena ia telah mendustakan Rasulullah.
Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan beliau, maka
menurut ijma’ kaum muslimin, orang tersebut adalah kafir.
[Fadhaaihul Bathiniyyah hal. 149]
https://sunniysalafiy.wordpress.com/2011/10/11/syiah-rafidhah-kafir-fatwa-imam-ahlus-sunnah/
https://sunniysalafiy.wordpress.com/2011/10/11/syiah-rafidhah-kafir-fatwa-imam-ahlus-sunnah/
Nahdhatul Ulama sangat memuliakan Imam
Ghazali rahimahullah. Namun apakah Imam Ghazali adalah wahhabi karena memusuhi
syi’ah atau islam nusantara??
Imam Ghazali rahimahullah berkata:
ولأجل قصور فهم الروافض عنه ارتكبوا البداء
ونقلوا عن علي رضي الله عنه أنه كان لا يخبر عن الغيب مخافة أن يبدو له تعالى فيه
فيغيره ، وحكوا عن جعفر بن محمد أنه قال : ما بدا لله شيء وهذا هو الكفر الصريح
ونسبة الإله تعالى إلى الجهل
“Dan akibat rendahnya pemahaman syiah
rafidhah dalam memahami islam, maka mereka meyakini akidah Al-Bada’. Dan mereka
mengklaim telah menukil dari Ali radhiyallahu anhu bahwasanya Ali tidak ingin
mengabarkan tentang perkara ghaib karena takut diketahui oleh Allah, sehingga
Allah mengubahnya. Dan mereka juga mengklaim telah menukil dari Ja’far bin
Muhammad bahwasanya dia mengatakan: “Allah tidak mengetahui sesuatu”. Dan
ini adalah kekufuran yang nyata dan menisbatkan hal ini kepada Allah adalah
perkara yang dungu” (Al-Mustashfa 1/169)
Silahkan merenungi perkataan Imam Ghazali
diatas.
Maka kalau begitu Imam Ghazali adalah
islam wahhabi, karena terbukti bahwasanya Imam Ghazali memusuhi syi’ah dan
mencela mereka.
Prof. Ali Muhammad al-Shalabi
menceritakan peran Imam al-Ghazali dalam menghalau Syiah.
Beliau mengatakan: “Imam al-Ghazali
dengan pemikirannya yang mendalam, serta pengharuhnya yang luas, telah mampu
memberikan peranan kuat dalam melawan gerakan Syiah Batiniyah dan mendolong
madzhab Ahlus Sunnah. Imam al-Ghazali telah mampu meletakkan ilmu-ilmu syariat
dan ilmu logika yang dimilikinya sesuai porsinya; sehingga hal itu merupakan
metode yang kuat untuk mencabut dan meruntuhkan Syiah Batiniyah sampai ke
akar-akarnya” (Ali Muhammad al-Shalabi,Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis,
hal. 219).
Dilaporkan dalam buku itu, betapa imam
al-Ghazali yang ahli tasawuf menunjukkan keberanian yang tinggi dalam
menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan Syiah pada masa itu. Imam al-Ghazali
membuka kedok Syiah dengan menunjukkan kotradiksi dan pemikiran Syiah. Dan
membukan tabir kejahatan perilaku pengikutnya yang merugikan umat Islam pada
saat Perang Salib I. Syaikh Yusuf Nabhani dalam kitab Syawahidul Haq membeber
sejumlah ulama yang memfatwakan Syiah sesat.
Menurut Al Ghazali, Imamah/Khilafah
Tidak Penting!!
Imam al-Ghazali (w. 505 H), dalam
kitabnya al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd, menyatakan bahwa imamah/khilafah tidak
penting, dengan menulis: “Kajian tentang khilafah tidak penting, dan lebih
selamat tidak mengkajinya”. Pada kitab tersebut, bab Imamah, dalam paragraph
pertama menyatakan:
النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس
أيضاً من فن المعقولات[1] فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن
الخوض فيها أسلم من الخائض بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ! ولكن إذا جرى الرسم
باختتام المعتقدات به أردنا أن نسلك المنهج المعتاد فإن القلوب عن المنهج المخالف
للمألوف شديدة النفار، ولكنا نوجز القول فيه ونقول: النظر فيه يدور على ثلاثة
أطراف
“Membahas masalah imamah/khilafah ini
juga bukan termasuk perkara yang penting, juga bukan termasuk bidang ‘aqidah,
namun termasuk bidang fiqhiyyah. Masalah ini juga menjadi pemicu terjadinya
fanatisme. Orang yang menolak membahasnya lebih selamat, ketimbang orang yang
melibatkan diri di dalamnya. Itupun jika benar, lalu bagaimana kalau salah!
Namun, jika dirumuskan untuk mengakhiri apa yang selama ini menjadi keyakinan,
maka kami ingin menempuh metode yang lazim. Sebab, biasanya hati sangat keras
penolakannya terhadap metode yang bertentangan.. Tetapi, kami ingin meringkas
pendapat dalam hal ini, dan kami katakan: pandangan (tentang imamah) dalam hal
ini berkisar pada tiga hal: …
Pimpinan MUI tetap mengacu kepada hasil
keputusan Rakernas MUI 1984 dan buku panduan MUI bahwa terdapat perbedaan ushul
(pokok agama) antara sunni dan syi’ah. (Lihat buku “Himpunan Fatwa MUI Sejak Th
1975”). Syi’ah di indonesia hanya ada satu firqoh yaitu imamiyah itsna
asyariyah alias rafidhah yang jelas menyimpang. (Lihat buku panduan MUI
“Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia”).
Biografi Imam Al Ghazali , Banyak
Pengagumnya Tidak Tahu Bagaimana Akhir Kehidupan Imam Ghazali
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh
terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran
yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan
hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengenalnya.
Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang
mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz
Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy
Syafi’iyah6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al
Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah
Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam
Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al
Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi
Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu
Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan
nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama
beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga
nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan
dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan
Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan
berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al
Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.”Ada yang berpendapat Al Ghazali
adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini
pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab
mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama
kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan
pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya
6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara
yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan
As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain
shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang
wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan
orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat
(tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada
kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya
tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut
mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit
tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya
dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian
berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang
fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua
untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan
yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran
tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka.
Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami
menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya
karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya
seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari
kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan
bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar
perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak
yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan
memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah
nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa
beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya
(Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil
dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala
masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di
kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu
Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi
(Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan
berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil
menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu
perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan
para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun
tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz
Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal,
berangkatlah Imam
Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik.
Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang
debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik
mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya
untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan
mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah
beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau
begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat,
seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan
tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar.
Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian
dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar
meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena
itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya
sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’,
Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’
Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’
Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di
Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang
merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits
palsu.”(Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan
kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu
hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai
filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu
Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat
beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al
Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia
membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya,
dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah
memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau
senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan
penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang
yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar
A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk
tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama
muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi
mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar
dan tidak mampu.”(Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau
ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk
polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan.
Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan
jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat
saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota
Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa
lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus.
Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid
Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis
kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun
Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di
Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid
rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan
bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan
kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil
oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan
dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi
pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya
pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di
Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan
tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke
Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi
penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur.
Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An
Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan
menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu
madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau
habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli
ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah
lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan
kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz
Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan
berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu
singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan
kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah
meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad
(saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat,
lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil
dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya
patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan
kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning
(menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam
Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14
Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/201).
Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau ini diambil secara
ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman
bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis.
Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal
ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan
aqidah:
Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua
dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan
dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
Al Iqtishad Fil I’tiqad.
Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan
beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah
mazhab Asy’ariyah.
Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa
Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat,
manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas
dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul.
Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer
dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab
ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan
pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam
pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali
memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah
menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur
adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui
sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang
perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan
dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua
perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal
Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh pernyataan beliau dalam
Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan
juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu.
Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya
pengetahuannya.”(Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al
Mustashfa hal. 19).
Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu
Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya
sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang
sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar
A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal
ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para
ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab
ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab
ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak
berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi
Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini
telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi
Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya
sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam
Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi
Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al
Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa
hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan
kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).
Banyak pula ulama yang menetapkan
keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun
mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan
ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui
bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar
A’lam Nubala19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali
Abdillah.
(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil
Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji
Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al
Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan
bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam.
Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim
Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus
Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang
cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di
Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di
antaranya:
Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu
Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang
lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan
pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka
adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat
diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala19/334).
Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar,
beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya
mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan
akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir
seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam
kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan
ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was
syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj
(pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh
dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau
mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum
mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat
kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam
Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di
dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat
kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara
jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi
dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).
Imam Subuki dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang
terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak
diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al
Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya
Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau
sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat
keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi
dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para
penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang
terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
(17) Al Munqidz Minad
Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat
kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As
Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/224-227.
Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang
bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al
Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk
buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama
Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan
pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah
terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela
Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang
menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut.
Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan
judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara
pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama
Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru
dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara
yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga
dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat
penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini
beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau
membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau
mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni
filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah
tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi
sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu
mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau
tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi
beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof
bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal.
110).
Adapun orang yang menelaah kitab dan
karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal,
Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul
Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa
tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman
bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa
kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap
orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan
yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu
yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali
teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi
khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian
singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian
membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung
kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya.
(Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih
Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran
Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab
Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam
agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan
Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi
Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929).
Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu
Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq
kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan
bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan
Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat
dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun
beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri.
Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang
yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan
bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash
dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash,
sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat
neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal.
111).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir
hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan
filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih
Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak
meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak
mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal
yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof
tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam.
Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga
wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”
Sumber: Majalah As Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
https://muslim.or.id/59-sejarah-hidup-imam-al-ghazali-1.html
https://muslim.or.id/60-sejarah-hidup-imam-al-ghazali-2.html
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
https://muslim.or.id/59-sejarah-hidup-imam-al-ghazali-1.html
https://muslim.or.id/60-sejarah-hidup-imam-al-ghazali-2.html
Oleh: Moh. Nasirul Haq
Syiah cenderung lebih licin dan penuh dengan taktik dalam mendoktrin ajarannya.
Secara singkat saja saya akan jelaskan sepuluh marhalah atau proses mereka
dalam merekrut pengikut madzhabnya.
1-2. Azzarq wa tafarrus : yaitu menipu semua orang dalam perkataannya.
3. Ta'nis : meng iyakan pendapat orang demi melesatkan pendapatnya sendiri.
4. Tashkik : membuat keraguan dalam keyakinan seseorang.
5. Ta'liq : menggantungkan hukum jika ia terdesak.
6. Robt : mengikat doktrinnya pada perasaan kita.
7. Tadlis : Merekonstruksi, menambah dan mengurangi dalil se enaknya.
8. Talbis : menyama nyamakan keyakinan kita sebelumnya dengan keyakinannya.
9. Khol'u : mempreteli dan menelanjangi keyakinan kita dari kita.
10. Salkh'u : melepaskan seutuhnya apa yang kita yakini dan diganti dengan
akidah Syiah !!
Keterangan selengkapnya bisa anda baca dan anda buka semua MODUS dan trik
syiah mendoktrin akidahnya pada orang lain dari kitab "FADLOIH
BATHINIYAH" Karya al imam hujjatul islam Muhammad al Ghozali.
Di kitab itu imam ghozali membuka tabir licik yang disembunyikan aliran Syiah
ini.
.
Taubatnya IMAM GHAZALI Dari FILSAFAT Atau
TASAWUF
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh fmFILSAFAT dalam diri beliau
begitu kentalnya.
Beliau menyusun buku yang berisi CELAAN
terhadap FILSAFAT, seperti kitab At Tahafut yang membongkar KEJELEKAN filsafat.
Akan tetapi beliau menyetujui mereka
dalam beberapa hal yang disangkanya benar.
Hanya saja kehebatan beliau ini tidak
didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat
menghancurkan filsafat.
Beliau juga gemar meneliti kitab
Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab IBNU SINA.
Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata,
“Al Ghazali dalam perkataannya sangat
dipengaruhi FILSAFAT dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah
Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya
Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada
umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa
filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’
Fatawa6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan
kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat
SEDIKIT pengetahuannya tentang ilmu HADITS dan SUNNAH Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallamyang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran.
Akibatnya beliau menyukai FILSAFAT dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan
membedah karya-karya IBNU SINA dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki
bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang
hakiki.
Adz Dzahabi berkata,
“Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab
dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka,
akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar
dan sesuai dengan agama.
Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang
atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal.
Beliau senang membedah dan meneliti kitab
Ikhwanush Shafa.
Kitab ini merupakan penyakit berbahaya
dan racun yang mematikan.
Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang
jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.”(Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Abu Hamid condong kepada filsafat.
Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i).
Oleh karena itu para ulama muslimin
membantahnya.
Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu
Bakar Ibnul Arabi mengatakan,“Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat,
kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta
dunia.
Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik
(perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan.
Sehingga menolak jabatan tinggi dan
kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun
488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai
penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota
Damaskus dan tinggal beberapa hari.
Kemudian menziarahi Baitul Maqdis
beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’
Damaskus.
Beliau banyak duduk di pojok tempat
Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang
dinamai Al Ghazaliyah).
Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya
Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthasdan kitab Mahakkun Nadzar.
Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para
ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid
rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Beliau menulis dan bermujahadah dan
tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi.
Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari
Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi
dalamSiyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan
dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi
pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H.
Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun
488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus
beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal
beberapa lama di Iskandariyah.
Kemudian kembali ke Thusi.”(Dinukil oleh
Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi
penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur.
Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur
dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun,
pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah.
Beliau mendirikan satu madrasah di
samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi.
Beliau habiskan sisa waktunya dengan
mengkhatam Al Qur’an , berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut
ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal
dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan
kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz
Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan
berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Seandainya beliau berumur panjang,
niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat
meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah
meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad
(saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat,
lalu berkata,
“Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu
beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan
berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau
meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit
menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam
Nubala 6/34).
Beliau wafat di kota Thusi, pada hari
Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath
Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
Taubatnya
Imam Al Ghazali Kejalan Yang Benar
Bismillahirrahmanirrahim,
Imam Al-Ghazali (Wafat 505 H, umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, ia berkata di akhir hidupnya : “ketahuilah bahwa kebenaran yang nyata yang tidak ada perdebatan di dalamnya menurut ahli ilmu yang dalam ilmunya adalah madzhab salaf, maksud saya madzhab para sahabat dan tabi’in”(lihat kitab al-iman wal islam karya Khalid al baghadi hal. 79)
Imam Al-Ghazali (Wafat 505 H, umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, ia berkata di akhir hidupnya : “ketahuilah bahwa kebenaran yang nyata yang tidak ada perdebatan di dalamnya menurut ahli ilmu yang dalam ilmunya adalah madzhab salaf, maksud saya madzhab para sahabat dan tabi’in”(lihat kitab al-iman wal islam karya Khalid al baghadi hal. 79)
“Ketika beliau meninggal, kitab shahih
bukhari tengah berada di atas dada beliau. Ini menunjukkan bahwa beliau
cenderung kepada thariqah ahli hadits”. (lihat kitab dar’u ta’arudhil aql wan
naql karya syaikhul islam ibnu taimiyah 1/162)
Pada akhir hidupnya Al Ghazali
menyibukkan dirinya mempelajari dua kitab shahih(Bukhari&Muslim)
sebagaimana diceritakan oleh muridnya yaitu Abdul Ghafir Al Farisi dgn
pernyataanya : " Dan akhir urusan beliau (Al Ghazali) adalah memperhatikan
hadits Al Musthafa shalallahu'alaihi wasallam, dan duduk dihadapan para
ahlinya. Serta menelaah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim --yang kedua orang ini
merupakan hujjatul islam--. Seandainya beliau masih hidup tentulah akan
mendahului setiap orang dalam cabang ilmu (hadits) ini dengan sedikit waktu
yang beliau curahkan untuk meraihnya. Dan tidak ada keraguan bahwa pada
waktu-waktu sebelumnya, beliau telah mendengar hadits-hadits. Dan pada akhir
usianya beliau menyibukkan diri dengan mendengarnya" [Lihat Manhaj Ahlis
Sunnah Wal Jama'ah Wa Manhaj Al Asya'irah Fii Tauhidillah, II/682, karya Khalid
bin Abdul Lathif bin Muhammad bin Nur].
"Bersyukurlah orang yang telah
mengenal jalan dan manhaj yang benar dalam beragama. Peganglah selalu hingga
maut menjemputmu." [Imam Al-Ghazali]
Al-Ghazali di akhir hidupnya menemukan
pentingnya arti hadits, karena itu ia singsingkan lengan bajunya mengejar apa
yang terlewatkan. Akan tetapi kematian menjemputnya sebelum ia dapat mewujudkan
tekadnya, dan ia wafat ketika sibuk mempelajari kitab Shahih Bukhari.
Potongan kalimat diatas, merupakan
sebagian kecil dari penjelasan tentang perjalan Al-Ghazali dengan kitabnya yang
terkenal Ihya Ulumudin, dimana buku ini (Ihya Ulumudin) sangat digemari di
sebagian kalangan muslim dan menjadi pegangan bagi orang-orang yang berminat
pada dunia tasawuf meskipun kandungannya jelas-jelas bertolak belakang dengan
masalah tauhid, kenabian dan hari kiamat.
Lengkapnya, penjelasan tersebut akan saya
salinkan secara ringkas dari kitab Jawabi' fi Wajhi As-Sunnah Qadiman wa
Haditsan, edisi Indonesia Bahaya Mengingkari Sunnah oleh Shalahuddin Maqbul
Ahmad.
IHYA' ULUMUDDIN KARYA ABU HAMID AL-GHAZALI
Syaikh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi (pada tahun 505H) menulis buku yang berjudul
'Ihya Ulumuddin. Buku ini sangat digemari di kalangan muslim dan menjadi
pegangan bagi orang yang berminat pada dunia tasawuf meskipun kandungannya
jelas-jelas bertolak belakang dengan masalah tauhid, kenabian dan hari kiamat.
Bahkan ada yang mengatakan, "Siapa yang tidak membaca Ihya', maka tidak
akan mendapatkan hakikat kehidupan".
Al-Ghazaali dalam Ihya' ini mengambil
berbagai pandangan dari buku-buku orang sufi [1] lain, karena ia telah menyatu
dengan Al-Quut karya Abu Thalib Al-Maki, dan Ar-Ri'ayah karya Harits
Al-Muhasibi.
Telah disebutkan bahwa Imam Ahmad
meninggalkan dan mewaspadai karya Al-Muhasibi. Begitu juga Abu Zur'ah.
Ibnu Al-Jauzi menggambarkan dengan cukup
buku Al-Quut sebagai berikut: 'Quut Al-Qulub karya Abu Thalib Al-Maki banyak
menyajikan hadits-hadits batil dan yang terputus sanadnya, misalnya hadits
tentang keutamaan shalat-shalat malam, serta hadits-hadits maudhu' lain. Ia
juga menyebutkan akidah yang rusak.[2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga
Allah merahmatinya- ditanya tentang buku Ihya' Ulumuddin dan Quut Al-Qulub, dia
menjawab, "Ihya' mengikuti seperti yang ada dalam Quut Al-Qulub dalam hal
pembahasan segala perbuatan hati dan sabar, syukur dan cinta, tawakal, tauhid
dan lain-lain. Sebab Abu Thalib lebih memahami ilmu hadits, atsar, kaum sufi
yang mendalami masalah hati daripada Abu Hamid Al-Ghazali. Perkataannya lebih
bagus dan tepat, serta jauh dari bid'ah, meskipun hadits yang terangkum dalam
Quut Al-Qulub termasuk hadits dha'if dan maudhu serta banyak yang
ditolak".
Sedangkan pembahasan tentang penyakit
hati yang ada dalam Ihya' seperti sombong, membagakan diri, riya, dengki dan
lain-lain, kebanyakan mengambil dari pendapat Harits Al-Muhasibi dalam buku
Ar-Ri'ayah. Ada yang diterima, ada yang di tolak dan ada yang masih
diperdebatkan.
Ihya' banyak memuat pelajaran bermanfaat,
tetapi mengandung juga materi-materi tercela dan rusak yang diambil dari
pandapang filosof mengenai hal yang berkaitan dengan tauhid, kenabian dan hari
pembalasan. Jika menyebutkan makrifat-makrifat, Al-Ghazali seperti mengambil
seorang musuh umat Islam dan memberinya pakaian muslim.
Para ulama menentang Abu Hamid dalam hal
ini dalam buku mereka. Mereka berkata, "Abu Hamid terjangkit
Asy-Syifa", maksudnya karya Ibnu Sina mengenai filsafat.
Dalam buku yang berjudul Al-Ihya'
terdapat banyak hadits dan atsar yang dhai'f (lemah), bahkan maudhu' (palsu).
Di dalam Al-Ihya' terdapat kesalahan dan
kebohongan para sufi. Meski demikian, terdapat juga kaum sufi yang arif dan
istiqamah dalam berbagai perbuatan hati yang selaras dengan Al-Qur'an dan
Sunnah, serta ibadah dan adab yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah.
Kandungan ini memang lebih banyak daripada kandungan yang ditolak. Itulah
sebabnya terjadi perbedaan ijhtihad mengenai Al-Ihya'[3].
Inilah gambaran yang tepat mengenai
Al-Ihya' dan isi-isinya, yang mencakup hak dan kewajban dengan segenap amanah
dan keinsafan.
Bila kita perhatikan Al-Ihya', maka akan
kita temukan sejumlah kekurangan yang dapat disimpulkan ke dalam point-point
sebagai berikut:[4]
- Banyak menampilkan hadits-hadits yang
dha'if dan maudhu', Al-Hafidhz Al-Iraqi telah mentakhrij hadits-hadits dalam
bukunya Al-Mugni 'an-Hamli Al-Safar fil Asfar fi Takhrij ma fil Ihya' minal
Akhbar.
* Al-Ghazali sendiri mengakui dalam
sebagian bukunya bahwa ia mempunyai sedikit pengetahuan tentang hadits. Ia
berkata, "Hadits yang ada padaku masih campur aduk"[5]
Al-Ghazali di akhir hidupnya menemukan
pentingnya arti hadits, karena itu ia singsingkan lengan bajunya mengejar apa
yang terlewatkan. Akan tetapi kematian menjemputnya sebelum ia dapat mewujudkan
tekadnya, dan ia wafat ketika sibuk mempelajari kitab Shahih Bukhari[6].
*Para ulama menjelaskan bahwa Al-Ghazali
terpengaruh oleh para filosof dan teolog, kemudian dengan cepat ia berpaling
kepada ahli sufi dan selanjutnya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman
mereka, akan tetapi ia tidak mampu.
Abu Bakar bin Al-Arabi yang hidup semasa
dengan Al-Ghazali berkata, "Guru kami Abu Hamid menyelami filsafat
kemudian ia ingin keluar darinya, namun ia tidak bisa"[7]
Ibn Al-Jauzi berkata, "Abu Hamid
mengarang kitab Al-Ihya' untuk mereka dengan metode yang familiar bagi
masyarakat waktu itu, dengan menyajikan hadits-hadits yang batil (sesat).
Padahal ia tidak mengetahui kebatilan hadits tersebut. Ia berbicara tentang
ilmu 'mukasyafah' dan tidak mengindahkan kaidah-kaidah fikih. Ia mengatakan,
maksud dari bintang, matahari, bulan yang dilihat oleh Ibrahim adalah cahaya
yang merupakan hijab Allah Subhanahu wa Ta'ala. Abu Hamid tidak memaksudkannya
sebagai benda yang kita kenal. Kalam ini termasuk kalam kebatinan" [8]
Kencaman keras Imam Syafi'i kepada para
ahli kalam :
حُـكْمِيْ فِيْ أَهْلِ الْكَلاَمِ أَنْ
يُضْرَبُوْا بِالْـجَرِيْرِ، وَيُـحْمَلُوْا عَلَى الإِبِلْ، وَيُطَافُ بِـهِـمْ
فِي الْعَشَائِرِ، يُنَادَى عَلَيْهِمْ: هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابِ
وَالسُّنَّةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلاَمِ
"Hukumanku bagi ahli kalam adalah
dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian dia
dikelilingkan ke kampung seraya dikatakan pada khalayak: 'Inilah hukuman bagi
orang yang berpaling dari al-Qur'an dan sunnah lalu menuju ilmu
kalam/filsafat.”[Manaqib Syafi'i al-Baihaqi 1/462].
Catatan kaki :
[1]Baca Al-Munqidz min Adh-Dhalal
[2]Talbis Iblis
[3]Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 10/551-552
[4]Baca kitab Muallafat Said Hawa, karya Al-Hilali, hal 32-39
[5]Qanun At-Ta'wil, Al-Ghazali, hal 16 ; dan Naqdh Al-Manthiq, karya Ibnu Taimiyah, hal. 52
[6] Muwafaqah Shahih Al-Manqul li Sharih Al-Ma'qul, Ibnu Taimiyah, 1/94, cetakan Kairo
[7]Ibid
[8]Baca perinciannya, Ibid, 1/196-197
[1]Baca Al-Munqidz min Adh-Dhalal
[2]Talbis Iblis
[3]Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 10/551-552
[4]Baca kitab Muallafat Said Hawa, karya Al-Hilali, hal 32-39
[5]Qanun At-Ta'wil, Al-Ghazali, hal 16 ; dan Naqdh Al-Manthiq, karya Ibnu Taimiyah, hal. 52
[6] Muwafaqah Shahih Al-Manqul li Sharih Al-Ma'qul, Ibnu Taimiyah, 1/94, cetakan Kairo
[7]Ibid
[8]Baca perinciannya, Ibid, 1/196-197
⋘Bahaya Mengingkari Sunnah, Hal 300-307, Pustaka
Azzam⋙
https://www.facebook.com/permalink.php?id=555638731129296&story_fbid=631727363520432
https://www.facebook.com/permalink.php?id=555638731129296&story_fbid=631727363520432
Imam Ghazali dan “Tahafut Falasifah”
Rasulullah SAW berjanji bahwa setiap abad
akan hadir pembaharu (mujadid) agama. Disepanjang sejarah, para intelektual,
penguasa, jenderal dan artis Muslim bermunculan untuk menggairahkan kembali
agama di dunia Islam dan membantu kaum Muslimin menghadapi pelbagai masalahnya
pada saat itu. Masing-masing sosok ini, konteks kesejarahan yang spesifik
dibutuhkan mereka untuk menyempurnakan apa yang telah mereka kerjakan.
Salah satu pembaharu terbesar Islam dalam
sejarah adalah Abu Hamid Al Ghazali. Dia sekarang dikenal dengan julukan
“Hujatul Islam”, Bukti Islam, karena upayanya yang tidak kenal lelah memerangi
secara intelektual beberapa pandangan yang berbahaya dan aliran filsafat yang
mempengaruhi dunia Islam pada saat itu. Dari kerumitan pandangan filsafat
Yunani hingga bangkitnya ekstrimisme Syiah. Upaya Imam Ghazali sukses menjaga
prinsip-prinsip dasar Islam ditengah maraknya ancaman keyakinan agama yang
bersifat heterodoks.
Awal Kehidupan
Abu Hamid Al Ghazali dilahirkan pada 1058
di Kota Tus, Iran. Dia berasal dari keluarga Persia yang cakap berbahasa Arab,
seperti halnya para ulama pada waktu itu. Dia belajar salah satu diantaranya
dengan ulama Syafii Al Juwayni.
Setelah menamatkan pendidikannya, dia
bergabung dengan pemerintahan wazir Seljuk, Nizam al Mulk di Isfahan pada 1058.
Nizam al Mulk dikenal karena usahanya untuk mendirikan pusat pendidikan
terkenal di dunia Islam. Dia mengangkat Ghazali sebagai guru di sekolah
Nizamiyah di Baghdad pada 1091. Di Baghdad, Al Ghazali menduduki jabatan
bergengsi dan kuliahnya mengundang banyak orang yang hadir.
Namun, pada 1095, Al Ghazali mengalami
krisis spiritual karena dia mulai meragukan ketulusannnya. Dia menyatakan dalam
otobiografinya bahwa keinginannya tidak semata untuk Allah, namun lebih kepada
pencarian ketenaran dan prestise. Menghadapi dilema tersebut, dia meninggalkan
jabatannya di Nizamiyyah dan kemudian mengembara ke Damaskus, Yerusalem dan
Hijaz. Selama pengembaraannya, dia memfokuskan diri kepada pembersihan jiwa dan
menganalisis pelbagai pendekatan terhadap Islam yang dikenal sekarang ini.
Dia pada akhirnya kembali lagi ke Baghdad
pada 1106 dan mulai mengajar lagi, Perjalanan dan pencarian jati dirinya
memiliki pengaruh besar dalam kehidupan selanjutnya. Dia kadang kali menghadapi
pelbagai kontroversi selama tinggal di Baghdad. Dia pada akhirnya kembali ke
kampung halamannya di Tus, disana dia kemudian wafat pada 1111.
Penolakan atas Filsafat
Dalam otobiografinya, Tahafut Falasifah,
Al Ghazali menjelaskan pendekatan pencarian kebenaran yang diikuti
orang. Salah satunya yang populer pada waktu itu adalah filsafat yang berdasar
model filsafat Yunani, Aristoteles, Para penganjur Muslim filsafat Arsitoteles
diantaranya adalah Ibnu Sina dan Al Farabi.
Bahaya logika dan filsafat Aristoteles
menurut Al Ghazali adalah adanya kesimpulan para filosof yang meyakni bahwa
hal-hal semacam keabadian alam, atau bahwa Tuhan tidak selalu Maha Tahu. Bagi
Al Ghazali dan para Muslim lainnya jelas mereka menolak pandangan ini karena
dapat merusak aqidah dan prinsip-prinsip dasar Islam.
Al Ghazali melihat sejauh ini belum ada
ulama yang secara efektif tampil menolak pandangan sesat ini. Karena kebanyakan
para filosof adalah orang yang jago dalam logika dan argumen sehingga
seolah-olah pandangan mereka masuk akal dan dapat diterima, meskipun dalam
kenyataannya bertentangan dengan keyakinan Islam.
Al Ghazali menantang pandangan tersebut
dan menunjukkan bahwa argumen para filosof dalam pandangannya disebut
sebagai“ketidakkonsistenan para filosof” (tahafut falasifah) yang
diterbitkan pada 1095. Dengan menggunakan logika mereka sendiri, Al Ghazali
membongkar celah-celah dalam argumen mereka sehingga takluk. Untuk
melakukanya, dia belajar serius dasar-dasar pandangan filsafat, langkah yang
dia sendiri tidak sarankan bagi kebanyakan orang. Melalui tulisannya
tersebut, dia menekankan pentingnya berpegang teguh kepada ajaran yang benar
sebelum terjerumus kepada keyakinan heterodoks.
Problem lainnya adalah bahwa Al Ghazali
harus menghadapi bangkitnya aliran Syiah Islamiliyyah yang menjadikan Imam yang
bersembunyi sebagai sumber valid aqidah dan hukum Islam. Bagi kalangan
Ismailiyyah, yang pada saat itu berkuasa di Mesir, Nabi Muhammad SAW bukan
kalam akhir dalam urusan agama. Oleh karena itu, sosok suci, yang dikenal
sebagai Imam dapat menjadi sumber bimbingan lain.
Al Ghazali membantah pandangan yang
menjadikan Imam sebagai dasar keyakinan dengan menunjukkan bahwa tidak ada
narasi otentik dari Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan imamah setelah
wafatnya. Dia juga menjelaskan bahwa untuk menjawab klaim tersebut secara
logika dapat dilakukan dengan menganalisis peran hukum Islam dan bagaimana
hukum tersebut diambil. Dia berkesimpulan tentang Ismailiyyah bahwa:
“Substansi doktrin mereka berasal dari
manipulasi pandangan kalangan awam dan orang bodoh dengan menunjukkan
pentingnya guru yang otoriter.”
Setelah menganalisis pendekatan Islam
melalui filsafat, Syiah dan sejenisnya, Al Ghazali sampai kepada kesimpulan
bahawa satu-satunya alat yang efektif untuk memahami dunia adalah melalui
ajaran otentik Islam seperti yang diajarkan Rasulullah dan generasi awal. Dalam
masanya, ajaran tersebut dipraktikkan oleh kelompok-kelompok Sufi, yang
membenci ketergantunga kepada dunia dan sepenuhnya memfokuskan diri kepada
pembersihan jiwa dalam rangka beribadah kepada Allah.
Al Ghazali dan Ilmu Pengetahuan
Pandangan umum yang dinisbatkan kepada
Imam Ghazali oleh para orientalis adalah penolakannya terhadap ilmu filsafat
membawa dunia Islam mengalami kemunduran ilmu pengetahuan. Mereka mendasarkan
klaimnya bahwa banyak orang yang dibantah oleh Al Ghazali seperti Ibnu Sina dan
Al Farabi adalah para ilmuwan terkemuka pada waktu itu.
Al Ghazali jelas berhadapan dengan
ide falsafat para ilmuwan yang juga pada waktu itu menulis karya-karya
matematik dan ilmu pengetahuan lainnya. Namun, dia sendiri sebenarnya
membedakan antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
“Siapa saja yang mengambil ilmu
matematika akan takjub karena keakuratan dalam detail dan kejelasan dalam
pembuktian. Karena itu, dia membentuk opini yang tinggi di kalangan para
filosof dan menganggap bahwa semua ilmu pengetahuan memiliki kejelasan
dan kesolidan yang sama seperti halnya ilmu matematika.”
Bahaya belajar matematika dan ilmu
pengetahuan lainnya, bantah Al Ghazali, bukanlah karena subyek tersebut
bertentangan dengan Islam dan oleh karena itu harus dihindari, namun lebih
karena seorang mahasiswa tidak hati-hati dalam menerima gagasan ilmiah para
ilmuwan tanpa membabi buta menerimanya seperti halnya filsafat dan subyek
bermasalah lainnya.
Dia menambahkan bahwa bahaya lainnya
adalah karena ada para pembelajar yang serba tidak peduli terhadap ilmu
pengetahuan dan bahwa penolakan atas semua penemuan ilmuwan para ilmuwan atas
dasar mereka juga para filosof dengan keyakinan heterodoks yang sesat. Dia
menyatakan:
“Benar adalah kejahatan atas agama yang
dilakukan oleh seseorang yang menganggap bahwa Islam dapat dimenangkan dengan
menolak ilmu matematika. Karena wahyu tidak mengambil atau menolak
ataupun menegaskan ilmu pengetahuan tersebut, dan tidak juga menganggap hal
tersebut sebagai urusan agama.”
Ketika orang membaca karya Imam Al
Ghazali bekerja pada tataran dangkal, orang bisa salah paham atas apa yang dia
katakan sebagai sikap anti ilmu pengetahuan. Yang benar adalah bahwa hal
tersebut menjadi peringatan Al Ghazali kepada para pembelajar untuk tidak
sepenuhnya menerima semua keyakinan dan gagasan bahwa ilmuwan hanya semata-mata
karena prestasinya dalam matematika dan ilmu pengetahuan. Dengan mengeluarkan
peringatan semacam itu, Al Ghazali dalam kenyataannya melindungi ilmu
pengetahuan bagi generasi sesudahnya dengan memisahkannya dengan filsafat
teoritis yang sering tercampur aduk satu sama lain.
Warisan
Artikel ini mencoba memberikan pandangan
komprehensif Imam Ghazali berikut gagasan dan kontribusinya karena membutuhkan
membaca semua karya dan menganalisis tulisan-tulisannya. Sebaliknya, bertujuan
menunjukkan dampak yang Al Ghazali tinggalkan dalam sejarah sesudahnya.
Imam Al Ghazali kini dikenal sebagai
hujjatul Islam yang berarti bukti Islam karena kontribusinya dalam melindungi
dunia Islam dari tantangan intelektual yang dihadapinya. Keyakinan dan praktik
Islam ditantang seiring kebangkitan filsafat nihilistik dan syiah ekstrim yang
mengancam merubah wajah ajaran Islam. Karena usahanya tersebut banyak para
ilmuwan setelahnya terinspirasi oleh Ghazali, sehingga mengembalikan kembali
ajaran Islam seperti yang diajarkan Nabi SAW serta bebas dari penyelewengan
selamanya. Kehidupannya juga sejalan dengan sabda Nabi SAW yang menjanjikan
bangkitnya pembaruh agama dalam seratus tahunnya, Al Ghazali tepat hidup 500
tahun setelah sabda Nabi SAW tersebut.
Kisah yang memilukan hati dari taubatnya
para ulama dari pengaruh ilmu filsafat
1.Imam abul- ma’ali ibn Al juwaini (478
H) yg bergelar imam haramain. Rahimahullah. Beliau berkata : “ wahai
sahabat-sahabatku, janganlah kalian menyibukkan diri dengan ilmu
kalam(filsafat). Seandainya aku mengetahui bahwa kalam membawaku kepada
keadaanku sekarang ini, niscaya aku tak akan menyibukkan diri dengannya” Dan
pada saat akan wafat beliau berkata : “aku telah menyelami lautan yang ganas,
dan aku telah meninggalkan(tidak perduli) ulama islam dan ilmu-ilmu mereka, dan
aku telah memasuki apa yang telah mereka melarangku daripadanya. Kini jika Allah
tidak menyusulku dengan rahmat-NYA sungguh celaka ibnu juwaini. Inilah aku mati
di atas aqidah ibuku, dan di atas aqidah wanita-wanita desa naisabur yang awam
(aqidah yang masih bersih) “ (lihat kitab syarh aqidah thahawiyah karya ibn
abil izzi al hanafi) 2. Imam fakhru ‘d-din ar razi (606 H) yang dikenal
dengan fakhrurrazi rahimahullah Beliau mengalunkan bait-bait syair yang
memilukan hati: “akhir perjalanan akal adalah jalan buntu Akhir upaya(akal)
manusia adalah sesat Roh-roh kita terasa asing (kesepian) dalam tubuh kita
Hasil dunia kita adalah penyakit dan musibah Kita tidak akan mendapatkan guna
dari penelitian kita selama ini Selain hanya mengumpulkan “katanya dan katanya”
Berapa banyak kami saksikan para tokoh dan Negara Mereka cepat sekali binasa dan
lenyap Berapa banyak orang-orang mendaki gunung-gunung yang tinggi Lalu mereka
lenyap, dan gunung tetap gunung Saya sudah merenungi seluruh aliran ilmu kalam
dan manhaj filsafat Ternyata tidak menyembuhkan orang yang sakit dan
menyegarkan orang yang kehausan..” Hingga akhirnya beliau berkata “ barangsiapa
pernah mencoba apa yang aku coba pasti mengetahui apa yang aku ketahui”….”andai
saja aku tidak meyibukkan diri dengan ilmu kalam”.lalu dia menangis “ (lihat
kitab dar’u ta’arudhil aql wan naql karya syaikhul islam ibnu taimiyah dan
syarh thahawiyah karya ibn abil izz al hanafi dan kitab tauhid asma wa shifat
karya Muhammad Ibrahim al hamd).
3. Imam asy syaukani (1250 H) Beliau
berkata : “aku melahap kitab-kitab karangan para ahli filsafat/kalam yang bermacam-macam
dengan harapan pulang dapat ilmu yang bermanfaat dan dapat keuntungan, ternyata
aku tidak mendapatkan apa-apa dari semua itu selain kekecewaan dan kebingungan.
Hal itulah yang menjadikan aku cinta (kembali) kepada madzhab salaf, setelah
dulunya aku pernah ada di salaf, tetapi saat itu aku ingin tambah memahami dan
menguasai (dengan belajar filsafat). Maka pada saat itu aku katakana: hasil
akhir dari penelitianku dari pandanganku setelah lama merenung, adalah berdiri
di antara persimpangan jalan yang bimbang, tidaklah ilmu orang yang belum
bertemu selain kebimbangan, padahal sebelumnya aku telah melau di
tengah-tengahnya. Dan tidaklah aku puas sebelum menyelami”(lihat kitab at-tuhaf
fii madzahib ‘s-salaf karya imam ay syaukani)
4. Syamsuddin al-khasrusyahi (625 H)
Sebagian ulama menjenguknya saat dia sakit, lalu bertanya : “ apa yang anda
yakini?” dia menjawab :“apa yang di yakini oleh kaum muslimin”, maka para tamu
ersebut bertanya karena penasaran : “dada anda merasa lapang dengan hal itu dan
sangat yakin?” dia menjawab: ”Ya”, kemudian ia berkata lagi : “saya bersyukur
kepada Allah atas nikmat (taubat) ini. Akan tetapi demi Allah saya tidak tau
apa yang saya yakini, demi Allah saya tidak tau apa yang saya yakini, demi
Allah saya tidak tau apa yang saya yakini” kemudian ia menangis hingga basah
jenggotnya. ( lihat tahqiq kitab al-lqdu ‘l-manzhum fii khusuusi wa’l-umuum li
syihabu dien al Qaerafi)
5. Imam ghazali (505 H)ia berkata di
akhir hidupnya : “ketahuilah bahwa kebenaran yang nyata yang tidak ada
perdebatan di dalamnya menurut ahli ilmu yang dalam ilmunya adalah madzhab
salaf, maksud saya madzhab para sahabat dan tabi’in”(lihat kitab al-iman wal
islam karya Khalid al baghadi hal. 79) “Ketika beliau meninggal, kitab shahih
bukhari tengah berada di atas dada beliau. Ini menunjukkan bahwa beliau
cenderung kepada thariqah ahli hadits”( lihat kitab dar’u ta’arudhil aql wan
naql karya syaikhul islam ibnu taimiyah 1/162) bersyukurlah yang telah mengenal
jalan dan manhaj yang benar dalam beragama..peganglah selalu hingga maut
menjemput.. {di saring dari buku abul hasan al-asy'ari imam yang terzhalimi
karya ut. agus hasan bashori Lc. M.Ag. hafizhohullah}
Penulis: Al-Ustadz Abu ‘Utsman ‘Ali, Lc.
Tak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumuddin,
kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran.
Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah
menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih
mengagungkannya.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk
komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk
penyimpangan atau upaya segolongan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah.
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda (yang artinya): “Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah
imam-imam yang menyesatkan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)
Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi
berkata: “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya memerintahkan untuk
memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap mereka, dan mengingkari
pemahaman kitab (Al-Qur`an, red.) dengan akal semata tanpa bersandar dengan
atsar (hadits, red.), melarang duduk bersama ahlul kalam (kaum filsafat), dan melihat
kitab-kitab ahlul kalam.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal.
322)
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
“Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka menyeru
kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke belakang
punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)
Mengingat hal ini, akan kami paparkan
secara ringkas tentang kitab Ihya` ‘Ulumuddin yang selalu dibanggakan
segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang sarat akan bimbingan
aqidah dan akhlak!
Berikut beberapa kesalahan yang terdapat
dalam kitab Ihya` ‘Ulumuddin dan bantahannya secara global.
1.Dalam pembahasan sifat-sifat Allah
Subhanahu Wata’ala, Al-Ghazali terkadang melakukan penakwilan ayat-ayat yang
berkenaan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah selalu meyakini
bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala tidak boleh disamakan dengan sifat
makhluk, tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana keadaannya, tidak boleh
menakwilkan dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir sebagaimana yang telah
diyakini salafus shalih, dan tidak boleh pula mengingkarinya. (lihat Fathur
Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah, hal. 27-28)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab
Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Tauhid asma wash shifat adalah mengesakan
Allah Subhanahu Wata’ala pada apa yang telah Dia namakan diri-Nya sendiri
dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam, dan mengesakan Allah kpada apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya
atau yang telah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sifatkan untuk-Nya,
tanpa mempertanyakan bagaimananya (kaifiyah), atau menyerupakannya dengan
makhluk, memalingkan maknanya, dan mengingkarinya. (Al-Qaulul Mufid fi
Adillatit Tauhid, hal. 81)
Sebagai contoh, Al-Ghazali telah
menakwilkan makna istiwa` (artinya naik di atas ‘Arsy) dengan istaula
(menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumuddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)
Hal ini telah menyelisihi Al-Qur`an,
As-Sunnah, dan ijma’ para salafush shalih. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman
(yang artinya):
“Sucikan Rabbmu yang Maha Tinggi.”
(Al-A’la: 1)
“Sesungguhnya Allah itu Maha Tinggi dan
Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas
‘Arsy-Nya.” (Thaha: 5)
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda (yang artinya):
“Ketika Allah menentukan ketentuan
makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-Nya, di atas ‘Arsy…”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
“Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa Allah k benar-benar
ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui adalah bagaimana cara
ber-istiwa`. Dan sungguh hal itu tidaklah diketahui hakekatnya.” (Muhammad bin
‘Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu Al-’Arsy, hal. 187)
2.Al-Ghazali berkata tentang ilmu kalam:
“Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang melindungi dari berbagai
kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam adalah seperti
penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 1/22)
Aqidah yang bersih akan selalu terbangun
di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan
pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu yang menjadikan
orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat kemurnian aqidah.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang
artinya): “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak
mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah: “Contoh
yang baik adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang yang mengambil
suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan yang akan menyampaikan
kepada kemuliaan Allah Subhanahu Wata’ala. Inilah jalan yang lurus.”
Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah:
“Ketahuilah –semoga Allah Subhanahu Wata’ala merahmatimu–, sungguh tidaklah
muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan
dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan
perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
“Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang nyata.
Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya berlumuran dengan
berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam Ahmad: ‘Tidaklah orang yang
melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan Jahmiyyah’. Beliau dan para
ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun (ahli
ilmu kalam itu) berniat membela As-Sunnah.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf,
hal. 43)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah
berkata: “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al-Imam Malik, Abu Hani-fah, Ahmad,
dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak akan mungkin menjadi penjaga
aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu sendiri adalah bid’ah.” (Abu
Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-uhu wa Tashawwufuhu hal. 9)
Sungguh malang nasib pengagum ilmu kalam.
Na’udzubillahi min dzalika (Kita berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala
dari hal itu).
3.Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua
bagian:
a. Ilmu zhahir: ilmu muamalah.
b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya`
‘Ulumuddin, 1/19-21)
Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupakan
puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut
keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga
dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa.
Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. (Ash-Shufiyah wa
Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114)
Sungguh menakutkan keadaan mereka.
Bukankah Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: ‘Tidak ada siapapun yang ada
di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.’”
(An-Naml: 65)
“(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara
ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang
telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan (dengan para malaikat)
dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh tidak ada
makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah k beritahukan
kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda (yang artinya): “Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh
Allah.” Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): “Sesungguhnya Allah, hanya
pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang
menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun
yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan
tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353.
Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil v dalam Shahihul Jami’, 6/361]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ilmu
ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah Subhanahu Wata’ala. Dan segala perkara
ghaib yang Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kabarkan merupakan sesuatu yang
dikabarkan Allah Subhanahu Wata’ala kepadanya. Dan tidaklah beliau mengetahui
dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203). Adanya keyakinan kasyaf merupakan
upaya penghinaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
4.Penafsiran ayat secara ilmu batin dan
keluar dari kaedah-kaedah salaf.
Sebagai contoh Al-Ghazali menafsirkan
firman Allah Subhanahu Wata’ala (yang artinya): “Dan jauhkan aku serta
keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.” (Ibrahim: 35)
Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud
berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak! (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/235)
Cara seperti ini merupakan tipudaya
setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan menyeleweng dari
pemahaman salafush shalih.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang
artinya):
“Katakanlah, jika kalian benar-benar
mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah
jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat
kembali.” (An-Nisa`: 115)
Ilmu batin menurut Shufiyyah adalah
rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui oleh orang-orang Shufi
yang berbicara dengan lisan yang abadi. (Majmu’ Fatawa, 13/231)
Keadaan ini menyerupai orang-orang
bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Qur`an secara ilmu batin, seperti
shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji bermakna safar dan
berkunjung kepada guru serta para syaikh. (Majmu’ Fatawa, 13/236)
5.Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk
orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/334)
Ia berkata: “Upaya para wali dalam
penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran
menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina.
Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi
ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang
Romawi.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/24)
Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah
dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku mempelajari
ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk ke dalam
tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)
Abdurrahman Al-Badawi berkata: “Sungguh,
kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk
mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin mereka
karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani. (Ash-Shufiyyah
wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)
Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan
hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala` wal-bara`.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang
yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka
sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
“Kemudian kami jadikan kamu berada di
atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda (yang artinya):
“Benar-benar kalian akan mengikuti
kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim
no. 2669)
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka
ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Adabuz Zifaf hal. 116)
Bahkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam dengan jelas menyatakan (yang artinya): “Tidak ada kependetaan dalam
Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7)
Sungguh perilaku Shufiyyah merupakan
virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan
berfikir tanpa batas (freedom of thinking is every-thing).
6.Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian
bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya.
(Ihya`, 3/18-19)
Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran
ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah Subhanahu Wata’ala, yang
tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur,
sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang
mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu
kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal
Yahudiyyah, hal. 114-115)
Bahkan Al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya
hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan.
Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati,
menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa
mengetahui apa yang akan terjadi.”
Kemudian beliau menambahkan: “Berbagai
urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati
mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang
diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/18-19)
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya
ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin atau
melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/ Lauhul
Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-muddin, 3/20)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah
berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepanjangan tangan
Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan: kekuatan
kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.” (Abu Hamid
Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah
menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: “Tidak ada
perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat
yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam hati kita
dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa
Tashawwufuhu hal. 38)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah bahwa berita-berita
dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidaklah berfaedah sedikitpun dalam
sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa diraih oleh setiap orang dengan
musyahadah [1], nur, dan kasyaf.” (Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, 5/347)
Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha
dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka
tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 1/18)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
“Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena para
fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan mereka.
Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” (Talbis Iblis hal.
374)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah
berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang zhahir dan
yang batin. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): “Akan tetapi
orang-orang munafiq tidaklah memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
Jikalau hati-hati mereka bersih dan
tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang memahami. Ingatlah
pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu yang didoakan oleh Nabi
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam: ‘Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan agama’.”
(Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)
Perilaku Shufiyyah merupakan pintu kesombongan,
kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri mereka. Mereka telah
melupakan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai seorang nabi yang
membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah Subhanahu Wata’ala
berfirman (yang artinya):
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama
kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai
Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
“Sungguh Allah telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang
Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat
Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan
Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)
7.Tentang ajaran wihdatul wujud, Al-Ghazali
berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin: “Mereka adalah segolongan
kaum yang melihat Allah Subhanahu Wata’ala dalam keesaan-Nya. Dengan-Nya,
mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat
selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia.
Inilah memperhatikan de-ngan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu
bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan
yang dicintai [2]. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah
ada di alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 4/86)
Bahkan terdapat keterikatan yang kuat
antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan
sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumuddin, 4/247)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata
membantah keyakinan yang bejat ini: “Para salaf mengkafirkan Jahmiyah karena
perkataan mereka bahwa Allah Subhanahu Wata’ala berada di semua tempat. Di
antara bentuk pengingkaran para salaf adalah: Bagaimana mungkin Allah Subhanahu
Wata’ala berada di perut, di tempat-tempat kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha
Tinggi Allah dari perkara tersebut! Lalu bagaimanakah dengan mereka yang
menjadikan perut, tempat-tempat kotor, tempat-tempat sunyi, barang-barang
najis, dan kotoran-kotoran sebagai bagian dari Dzat-Nya?” (Majmu’ Fatawa,
2/126)
Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah
Subhanahu Wata’ala ber-istiwa` di atas ‘Arsy dan Allah Subhanahu Wata’ala tidak
membutuhkan ‘Arsy. Dan Allah Subhanahu Wata’ala tidaklah serupa dengan makhluk
dalam segala sifat-Nya.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang
artinya):
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy.”
(Thaha: 5)
“Sesungguhnya Rabb kalian telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-istiwa` di atas Arsy.”
(Yunus: 3)
“Tidaklah Allah serupa dengan apapun dan
Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
8.Ajaran khalwat atau menyendiri dan
menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah. Al-Ghazali berkata: “Dalam ‘uzlah
(menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian). Adapun dalam
beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan
membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya
kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 2/228)
Bahkan dengan khalwat akan tersingkap
kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/78)
Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:
* Meminta bantuan dengan ruh para syaikh,
dengan perantara gurunya.
* Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga
nampak Allah Subahanahu Wata’ala baginya.
* Bertempat di ruangan yang gelap dan
jauh dari suara serta gerakan manusia.
* Tidak berbicara.
* Tidak memikirkan kandungan makna
Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.
* Tidak boleh masuk dan keluar dari
tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.
* Selalu mengikat hati dengan mengingat
syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal.
186)
Ini merupakan amalan-amalan yang akan
menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami ‘uzlah dan upaya
meniru gaya kependetaan.
Makna ‘uzlah bukanlah khalwat ala
Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak
menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila telah
hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi mungkar,
berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin
Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)
Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu
dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola
orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan)
9.Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’
(mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an.
Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata: “Dan apabila hati
telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, maka
untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa
dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 2/301)
Keganjilan kaum Shufi ini merupakan
sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat. Ibnu Taimiyyah Rahimahullah
berkata: “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang
diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak
pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah atau yang lainnya. Demikian
pula para tabi’in (tidak pernah melakukannya).” (Majmu’ Fatawa, 11/57)
Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata:
“Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul at-taghbir (dendang
kerohanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya menghalangi manusia dari
Al-Qur`an. Dan Yazid bin Harun berkata: “Tidaklah melakukan at-taghbir kecuali
orang fasiq.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Orang yang membiasakan mencari semangat dengan as-sama’
niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia tidak
akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika
mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan
mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.” (Majmu’ Fatawa, 11/568)
Orang-orang Shufi telah melupakan firman
Allah Subhanahu Wata’ala (yang artinya):
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan
mereka.” (Al-Anfal: 2)
“Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah
hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)
10.Kesalahan yang fatal
dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus
ditempuh. Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal: ‘Suatu
hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal
keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan,
engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau
menyangka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang
bekalku’.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 4/271)
Hal ini sangatlah berseberangan dengan
bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang
artinya):
“Hendaknya kalian mengambil bekal, dan
sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata:
“Allah Azza Wa Jalla memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang mubarak
(diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya
dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan.
Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.” Kemudian
beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia
dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.”
(Taisirul Karimirrahman hal. 74)
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa
menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka akan
terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang dijanjikan kepada
orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 4/276)
Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan
hadits bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam mempersiapkan makanan untuk
keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah keluar dari tingkatan orang-orang
yang bertawakkal, sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang
rusak dalam masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu
hal. 79)
Bahkan ketika orang-orang Nasrani
menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada berjihad.
(Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)
11.Menjauhi suatu yang
fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam,
seperti nikah.
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menikah
maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/101)
Hal ini sangat menyelisihi sabda
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): “Menikahlah kalian,
sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah
kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits
ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)
PERINGATAN ULAMA SALAF TERHADAP KITAB
IHYA` ‘ULUMUDDIN [3]
Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman
Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menulis
dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan
dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan
syariat. Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu Hamid telah memasuki ruang lingkup
ilmu filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu ‘Aqil menyatakan ilmu filsafat
sebagai bagian dari zindiq’."
Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali
mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat,
dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.” [4]
Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu
Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang besar.
Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk
membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang
berbagai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai
tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah
Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib
–berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi
karyanya.”
Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini penuh
dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”
Ahmad bin Shalih Al-Jaili: “(Al-Ghazali
adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di
dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara sesuatu yang
tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa yang dia nisbatkan
kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga
menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan para
wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat
dan yang berbahaya.”
Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu
Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak
kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah
Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah
sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan
khayalan.”
Kata al-Hafizd al-Imam Ibn Katsir (ulama
ahlul hadits sekaligus ahli tafsir yang terkenal dengan “Tafsir Ibnu
Katsir”nya, wafat 774H /1372 M) berkata dalam kitab Al-Bidayah wa Al-Nihayah:
“Ketika berada di Damsyik dan Baitulmaqdis, al-Ghazali mengarang kitabnya Ihya
Ulumuddin. Ia sebuah kitab yang ganjil. Ia mengandung ilmu yang banyak
berkaitan syara', bercampur dengan kehalusan tasawuf dan amalan hati. Namun
dalamnya “banyak hadis yang gharib (asing), mungkar dan palsu”.(Rujukan: Ibn
Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, 12/186, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. )
Tajudin As Subki (ulama ahlul hadits,
wafat 771H/1355 M), beliau berkata dalam kitab “Thobaqot Asy Sayafi’iyyah”
jilid 4 halaman 145 dalam bab mengenai biografi Al Ghozali : “Di bab ini aku
kumpulkan semua hadits2 yang ada di kitab Ihya Ulumuddin yang aku belum
dapatkan sanadnya, ternyata jumlah hadits2 itu sekitar 943 hadits yang tidak
ada asalnya. Sedangkan hadits yang punya sanad tetapi dho’if (lemah) atau
Maudlu’ (palsu) barangkali berlipat ganda dari jumlah ini.
Kata al-Hafizd al-Imam Ibnu Al Jauzi (wafat
597H/1200M): “Kemudian datang Abu Hamid al-Ghazali menulis untuk golongan sufi
kitab al-Ihya Ulumuddin berdasarkan pegangan mereka. Dia memenuhi bukunya
dengan hadis-hadis batil yang dia tidak tahu kebatilannya.” (Rujukan: Ibn
Jauzi, Talbis Iblis, hlm 190, Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah) .
Imam Nawawi (Ulama ahlus sunnah yang
sangat masyhur dikalangan penuntut ilmu, wafat 676 H/1277 M). Beliau pernah
ditanya tentang sholat Ragha’ib yang sering dilakukan orang di malam jum’at
pertama bulan Rajab, apakah amalan ini termasuk sunnah ataukah bid’ah?, maka
beliau menjawab :”Ia adalah bid’ah yang buruk lagi di ingkari dengan
pengingkaran yang sangat keras”. Kemudian ia berkata, “Janganlah kalian tertipu
dengan banyaknya orang yang melakukan amalan tersebut di banyak negri, meskipun
amalan tersebut di anjurkan di kitab Quth al Qulub atau Ihya Ulumudin dan
semisalnya, maka sesungguhnya sholat Ragha’ib itu adalah bid’ah yang bathil”
(Al Mi’rayul Maghrib (I/300) karya Al Wansyarisi)
Ibnu Taimiyah (ulama besar ahlus sunnah,
wafat 728H/1327M). Beliau berkata dalam kitab “Dar’ut Ta’aarudh jilid 7 hal 149
setelah beliau menukil tulisan panjang dari kitab Ihya Ulumudin, kemudian ia
mengkritik dan mengomentarinya : “Al Ghozali tidaklah memiliki pengetahuan
tentang atsar-atsar (riwayat2) Nabawi yang didasarkan pada pemahaman sahabat
yang dimiliki oleh ahli ilmu, yaitu orang2 yang membedakan/memilah mana yang
shahih dan yang dho’if (lemah). Oleh karena itu ia pun memasukkan hadits2 dan
atsar2 yang maudhu’ (palsu) dan dusta di dalam kitab “Ihya” nya yang apabila
beliau tau bahwa itu adalah palsu, niscaya beliau tidak akan memasukkannya”
Dan masih banyak lagi komentar2 dan
kritikan2 para ulama ahlus sunnah lainnya tentang kesalahan2 yang ada dalam
kitab Ihya Ulumudin ini.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu
menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.
Wallahu a’lam.
Foot Note :
[1] Musyahadah menurut kalangan Shufi
adalah melihat kehadiran Allah Subhanahu Wata’ala yang kemudian
memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
[2] Maksudnya dia telah bersatu dengan
Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.
[3] Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin
min Kitab Ihya` ‘Ulumuddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy
Syaikh
[4] Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali,
Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan: “…Oleh karena itu, menjadi jelas
baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah
menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui
hadits-hadits Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Mulailah ia menyibukkan diri
dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia meninggal di tengah kesibukannya
itu, dalam keadaannya yang paling baik. Beliau juga membenci apa yang terdapat
dalam bukunya berupa perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari
oleh orang-orang.” (‘Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed)
Judul Asli: "Mengurai Kesesatan
Ihya’ ‘Ulumuddin"
Sumber: www.asysyariah.com
Aliran sufi diingkari imam syafi’i
rahimahullah (Oleh Ustadz Abu Minhal, Lc )
Antara Zuhud Sunni dan Zuhud Sufi
Benarkah Kelompok Shufiyyah Termasuk
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Fenomena Ruwaibidhoh (Berbicara Agama
Tampa Ilmu)
Habib Luthfi Bin Yahya : Isu Syiah Ini
Dibuat Supaya Tidak Cinta Ahlul Bayt, Hah ?! Imam Mazhab Dan Imam Bukhari
Menyatakan Syi’ah Bukan Bagian Dari Islam ! Bantahan Beberapa Habib Ahlus
Sunnah Terhadapnya.
Hati Yang Bersih Dan Hakekat Cinta Kepada
Allah
Hakikat Shufiyyah di Mata Syi’ah
Imam Ja’far Bin Muhammad Ash-Shadiq
Menyebut Orang (Hatinya) Tidak Cinta Kepada Abu Bakar RA Dan Umar RA Adalah
Ahli Neraka ! Al-Imam Malik rahimahullaah berkata (murid Imam Ja’far
Ash-Shadiq): “Apa yang di jaman Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan
sahabatnya bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pun tak akan pernah
menjadi agama!”
Ilmu Dulu, Baru Amal (Ilmu Adalah
Pemimpin Amalan)
Ibadah Nyeleneh Sufi Di Indonesia Dan
Chechnya (Kebatilan Mazhab Sufi Berzikir Sambil Menari).
Ikhlas Dalam Beribadah Dan Tinggalkan
Syubhat (IT)
Konferensi “Bagaimana Cara Mengalahkan
Islam?” Rencana Mereka, Kyai-Kyai Kelompok Mayoritas Mengubah Tafsir Al-Qur`An
Dan Hadits-Hadits, Dengan Target Menghentikan Otoritas Ulama.
KH Afifuddin Muhajir: Pemikiran Said Aqil
Merusak NU, Imam Al-Ghazali Dicap Batil
Kenapa Ibadah Terasa Hambar? Keshalehan
Bathin, Tinggalkan Yang Haram Sekalipun Dalam Keadaan Terdesak Dan Riya’
Mengancam Kita
Membongkar Kedok Sufisme Di Hadramaut (
Penulis Dan Kata Pengantarnya Para Ahlul Bait)
Membongkar kesesatan sufi (bahagian I,
sejarah dan fitnah tasawwuf)
Membongkar kesesatan sufi (bahagian II,
sorotan terhadap sufi)
Membongkar kesesatan sufi (bahagian III,
Perbedaan pokok islam dan tasawwuf)
Membongkar kesesatan sufi (bahagian IV,
Definisi tarekat sufi)
Membongkar kesesatan sufi (bahagian V,
Kasyaf, khurafat dan shufi)
Http://saidaneffendi-darussalam.blogspot.co.id/2012/04/membongkar-kesesatan-sufi-bahagian-v.html?M=0
Mengoreksi ajaran tasawwuf
“Orang
yang mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam
golongan Islam (kafir)”
Perbedaan Pokok Ajaran Islam Dan Tasawuf
Pesta Tarekat Sufi (Tasawuf) Hilang
Kewarasan
Penyakit Riya Dan Gila Popularitas.
Mengapa Kita Tak Perlu Terkenal ? Mereka Orang Yang Shalih, Tapi Tidak Mau
Dikenal
Rahasia tipu muslihat dedengkot shufi
& syi’ah dibalik tudingan “wahabi” dalang paham takfir dan aksi
terorisme
Siapakah Sufi ? Paham Sufi Dalam
Timbangan Al-Qur’an Dan Assunnah
Sufi, Benarkah Itu Ajaran Nabi?
Syi'ah Sufistis
Standar Kebenaran Bukan Pada Amalan
Semata
Siapa Wali Kutub Dan Wali Ghauts?
Standarisasi Kebenaran Dalam Islam
Siapakah Wali Allah Subhanahu wa Ta'ala
Syara' Menggalakkan Zuhud Bukan Tasawuf
Tokoh Sufi Habib Luthfi Bin Yahya: Anti
Maulid Lebih Berbahaya Daripada Anti Sahabat. Sedangkan Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wa Sallam, Para Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Empat Mazhab,
Para Ulama Ahlul Hadits Seperti Imam Bukhari, Muslim dan lain-lain, Tidak Ada
Yang Pernah Satu Kalipun Mengadakan Perayaan Maulid Nabi....
Tafsir Orang Sufi Terhadap Al-Qur’an
Bukanlah Tafsir
Ucapan Jahil Habib Luthfi Bin Yahya
"Sedikit-Sedikit Mereka Katakan Yang Penting Al-Islam. Yang Penting
Ahlussunah Waljamaah. Tidak Perlu NU-NU An"? Perjanjian Faisal Bin Husein
(Putra Syarif Mekkah Husein Bin Ali, Penganut Sufisme, Hasyimiyah) Pintu Masuk
Yahudi Eropa Miliki Tanah Di Palestina.
Zuhud
"Dhirar" Chechnya
●Benarkah
Muktamar ( Shufi) Chechnya itu Ahlussunnah Wal Jama’ah ? Dimana kaum
Asy'ariyyah, kaum Maturidiyyah di masa-masa yang penuh dengan keutamaan (masa
shahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in). Di waktu itu belum ada kaum Asy'ariyyah
dan kaum Maturidiyyah.
●Mufti Besar Arab Saudi, Syaikh Abdulaziz Alu Syaikh : Pemimpin Iran Bukan Muslim! Gunakan Paspor Palsu, Milisi Pro-Iran ( Majusi) Susupi Jamaah Haji Irak Ingin Buat Teror Di Al-Haramain ! Ratusan Ulama Dunia Justru Puji Arab Saudi.
●Mufti Besar Arab Saudi, Syaikh Abdulaziz Alu Syaikh : Pemimpin Iran Bukan Muslim! Gunakan Paspor Palsu, Milisi Pro-Iran ( Majusi) Susupi Jamaah Haji Irak Ingin Buat Teror Di Al-Haramain ! Ratusan Ulama Dunia Justru Puji Arab Saudi.
Al-Muflis ( Bangkrut )
Apakah Anda Dicintai Rasulullah?
Al Quran : The Miracle Of Miracles. Allah
Tidak Sekali-Kali Menjadikan Seseorang Mempunyai Dua Hati Dalam Jiwanya. Masukilah
Islam Secara Kaffah (Not Less Than 100 % Kaffah !)
Hadist: Jika Engkau Tak Malu, Perbuatlah
Sesukamu
Benang Tipis: Antara Kemudahan Islam Dan
Bermudah-Mudahan Dalam Mengamalkan Syariat Islam
Habib Luthfi: Islam Nusantara Melindungi
Islam dari Arabisasi
Inilah Tanda-Tanda Bahwa Allah
Menghendaki Kebaikan Pada Anda (IT)
Kajian Lengkap Pro-Kontra Hakikat
Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dan Maulid Nabi. Sampai
Akhir Abad Ketiga Hijriyah Tidak Pernah Ada Perayaan Maulid. Pro-Maulid Merujuk
Pendapat Ulama Setelah Abad Kelima Hijriyah.
Pengikut Asy’ariyah ‘Meradang’ Hebat,
Mereka Mendatangkan Para Qadhi Dan Ulamanya Untuk Mendebat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rohimahullah Yang Menulis Aqidah Firqah Najiyah Dalam Kitab Al-Aqidah
Al-Wasithiyahnya.
Makhul As SYami dan lainnya berkata:
من عبد الله بالخوف وحده فهو حروري - يعني: من الخوارج -، ومن عبد الله بالرجاء وحده فهو مرجئي، ومن عبد الله بالحب وحده فهو زنديق، ومن عبد الله بالخوف والرجاء والحب فهو الموحد.
Siapa saja yang beribadah kepada Allah hanya berdasarkan rasa takut saja, maka ia adalah orang haruri (khowarij), sedangkan siapa saja yang beribadah kepada Allah hanya berdasarkan rasa harap saja, maka ia adalah orang murji'ah, dan orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta saja, maka ia menjadi orang zindiq (munafik). Adapun orang yang beribadah kepada Allah dengan menyatukan rasa takut, rasa harap dan rasa cinta, maka dialah orang yang benar benar bertauhid. (Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya')
من عبد الله بالخوف وحده فهو حروري - يعني: من الخوارج -، ومن عبد الله بالرجاء وحده فهو مرجئي، ومن عبد الله بالحب وحده فهو زنديق، ومن عبد الله بالخوف والرجاء والحب فهو الموحد.
Siapa saja yang beribadah kepada Allah hanya berdasarkan rasa takut saja, maka ia adalah orang haruri (khowarij), sedangkan siapa saja yang beribadah kepada Allah hanya berdasarkan rasa harap saja, maka ia adalah orang murji'ah, dan orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta saja, maka ia menjadi orang zindiq (munafik). Adapun orang yang beribadah kepada Allah dengan menyatukan rasa takut, rasa harap dan rasa cinta, maka dialah orang yang benar benar bertauhid. (Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya')
Kitab Ihya’ Ulumuddin Imam al-Ghazali
& Kritik Hadits Didalamnya
Tak ada gading yang tak retak. Begitu
kira-kira permisalan bagi kitab Ihya’ Ulumuddin karya Al Imam
al-Ghzali rahimahullah. Disamping kemasyhuran dan faidah yang terkandung
padanya, sayang di dalamnya banyak terselip hadits lemah, sangat lemah bahkan palsu.
Diakui, Imam al-Ghazali adalah seorang
ulama pemuka umat yang dihormati. Jasa dan sumbangsihnya dalam berbagai cabang
ilmu agama tidak dapat dipungkiri. Beliau adalah ahli fikir
dan ushul yang tersohor. Kendati dalam bidang hadits, beliau bukanlah
ahli di dalamnya, sebagaimana dinyatakan para pakar hadits. Makanya, mengkritik
hadits-hadits lemah dan palsu dalam kitab beliau, tidak berarti merendahkan
kedudukan al-Ghazali, karena kebenaran dan keselamatan agama berada di atas
segalanya.
Simaklah pernyataan al-Hafidz al-Dzahabi
kala menjelaskan kekeliruan yang ada dalam kitab al-Ihya’: “Aku katakan:
Al-Ghazali adalah imam yang besar, namun bukanlah menjadi syarat seorang alim
itu tidak melakukan kekeliruan’’. (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar Alam al-Nubala 19/339,
al-Maktabah al-Syamilah).
Bahkan Imam besar dalam Mazhab Syafi’i
yang selalu membela al-Ghazali, Imam Tajuddin al-Subki pun mengakui hal ini
dalam “Thabaqat”-nya: “Adapun apa yang dianggap cela pada kitab al-Ihya' berupa
kelemahan sebagian hadits-hadistnya, maka itu kerana al-Ghazali dikenal
bukanlah seorang pakar dalam bidang hadits’’. (Lihat: Tajuddin
al-Subki, Thabaqat al-Syafi’yyah al-Kubra, 6/249, al-Maktabah
al-Syamilah).
Nah, berikut beberapa komentar ulama
mu’tabar terkait kitab Ihya’ Ulumuddin:
Pertama: Imam al-Hafidz Ibnu Katsir
menyatakan: “Ketika berada di Damaskus dan Baitul Maqdis, al-Ghazali mengarang
kitabnya Ihya' Ulumuddin. Ia sebuah kitab yang luar biasa, mengandung banyak
ilmu yang berkaitan dengan syari’at, dan bercampur dengan kehalusan tasawuf
serta amalan hati. Namun sayang, di dalamnya banyak hadits yang gharib, mungkar
dan bahkan palsu’’. (Lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, 12/214,
al-Maktabah al-Syamilah).
Kedua: Imam Ibnul Jauzi berkata:
“Kemudian datang Abu Hamid al-Ghazali menulis untuk mereka (golongan sufi)
kitab al-Ihya' berdasarkan pegangan mereka. Dia memenuhi bukunya itu dengan
hadits-hadits batil yang dia tidak ketahui kebatilannya’’. (Lihat: Ibnul
Jauzi, Talbis Iblis, hlm 149, al-Maktabah al-Syamilah).
Ketiga: Imam al-Hafidz al-Dzahabi
mengomentari: “Adapun kitab al-Ihya’ di dalamnya terdapat sejumlah
hadits-hadits yang batil. Padanya terkandung kebaikan yang melimpah, andai saja
tidak ada padanya adab, cara dan zuhud yang diambil daripada ahli falsafah dan
golongan sufi yang menyeleweng. Kami memohon daripada Allah ilmu yang
bermanfaat". (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar ‘Alam al-Nubala’, 19/339,
Beirut: Dar al-Risalah, al-Maktabah al-Syamilah).
Keempat: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata: “Abu Hamid (Al-Ghazali) tidak memiliki pengalaman (kepasitas) dalam
atsar-atsar Nabi serta riwayat-riwayat salaf sebagaimana dimiliki oleh
ahli-ahli yang mengetahui perkara itu yang sanggup membedakan antara yang sahih
dan yang tidak sahih. Olehnya, al-Ghazali menyebut dalam kitab-kitabnya hadis
dan athar yang palsu dan dusta, dimana kalau ia mengetahuinya tentu dia tidak
akan menyebutnya” (Lihat: Ibn Taimiyyah, Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa
al-Naql, 3/370, al-Maktabah al-Syamilah).
Itulah Imam al-Ghazali dan
kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Tapi kebesaran dan kesohoran beliau di dunia
Islam, tidak menjadikan beliau tutup mata terhadap kekurangannya dalam bidang
ilmu hadits tersebut. Beliau mengakuinya, hingga di akhir-akhir hayatnya,
sebagaimana diceritakan oleh muridnya, Abul Hasan Abdul Ghafir al-Farisy, bahwa
beliau mulai melakukan kajian-kajian terhadap hadits-hadits Nabi saw, duduk
mendengar pelajaran dari ahli ilmu, serta mendalami kitab Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah, 4/111, dan
al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala, 19/325-326). Terbukti, saat ditemukan,
beliau wafat sambil memeluk kitab “Shahih al-Bukhari”. (Lihat: Ibnu Taimiyah,
Dar’u Ta’arudh al-Aql wa al-Naql, 1/162).
Semoga Allah merahmati al-Hafidz Abu
al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi atas kerja keras dan upaya beliau
melakukan pendalaman dan takhrij (penjelasan) bagi hadits-hadits
dalam kitab al-Ihya’, kemudian beliau namakan takhrijnya tersebut “Al-Mughni
‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ihya min al-Akhbar”, yang
dicetak bersamaan dengan kitab Ihya’ Ulumuddin tersebut.
*dari fb Rappung
Samuddin (Jumat,
28/8/2015)
Tinjauan
Kritis Terhadap Beberapa Pemikiran Imam Al Ghazali Dalam Kitabnya
Ihya’ Ulumiddin
oleh abuzahrahanifa
Pendahuluan
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al
Ghazali ath Thusi asy Syafi’i yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al Ghazali
dilahirkan di kota Thûs pada tahun 450 H (1058 M) dan meninggal di Thûs pada
tahun 505 H (1111 M). Dikenal di dunia Barat pada abad pertengahan dengan
Algazel.
Berkun-yah Abu Hamid, karena salah
seorang anaknya bernama Hâmid. Sementara gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi
berkaitan dengan pekerjaan ayahnya sebagai pemintal bulu kambing dan tempat
kelahirannya yaitu Ghazâlah di Bandar Thûs, Khurasân, Persia (Iran). Sedangkan
gelar asy-Syâfi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i.
Imam al-Ghazâli rahimahullah termasuk
penulis produktif, di antaranya menulis dalam bidang Ushûluddîn, Ushul Fiqh,
Fiqh, Mantiq, Tasawuf, dan lainnya. Tulisan dan kitab-kitab beliau tersebut
cukup banyak tersebar di kalangan kaum muslimin, meskipun di dalamnya banyak
terdapat substansi-substansi yang perlu dikoreksi dan diluruskan karena
penyelisihannya dari pemahaman yang benar.
Pada tulisan ini, akan sedikit diuraikan
beberapa pemikiran dan pemahaman Imam al- Ghazâli rahimahullah yang perlu
dikritisi, dalam rangka meluruskan kesalahan dan sebagai bentuk nasihat kepada
kaum umat Islam. Pembahasan ini diangkat dari kitab berjudul Waqafat ma’a Kitab
Ihya’ ‘Ulumiddîn lil Ghazali karya Sa’d bin ‘Abdirrahman al-Hushayyin.
PANDANGAN AL-GHAZALI rahimahullah DALAM
MASALAH KHOLWAT [1].
Beliau mengatakan,
“Adapun kehidupan berkholwat, maka di
antara faidahnya adalah meninggalkan kesibukan, menguatkan pendengaran dan
penglihatan, karena sesungguhnya keduanya (pendengaran dan penglihatan) adalah
saluran menuju ke hati. Dan tidaklah hal itu bisa sempurna kecuali dengan
berkholwat (menyendiri) di rumah yang gelap. Dan jika tidak ada tempat yang
gelap, maka hendaklah ia memasukkan kepalanya ke dalam baju, atau berselimut
dengan baju atau sarungnya, maka dalam keadaan ini ia akan mendengar seruan
kebenaran dan menyaksikan keagungan rubûbiyyah Allâh Azza wa Jalla .” [2].
Beliau berdalil dengan firman Allah Azza
wa Jalla:
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
“Hai orang yang berkemul (berselimut)”.
[al-Muddatstsir/74 :1]. Dan Firman Allah Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
“Hai orang yang berselimut (Muhammad)”.
[al-Muzzammil/73 :1].
Sanggahan :
Apakah Allâh Azza wa Jalla menurunkan
ayat-ayat tersebut sebagai dasar untuk merealisasikan jenis kholwat semacam
itu, ataukah ayat tersebut menjelaskan perintah meninggalkan tempat tidur dalam
rangka berdakwah mengajak ke jalan Allâh Azza wa Jalla dengan diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dan apakah jenis kholwat semacam itu
diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan dicontohkan oleh Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?.
Al-Ghazali rahimahullah juga mengatakan
tentang kholwat,
“Dan hendaklah ia menyendiri di ruangan
khusus, dengan hanya melaksanakan perkara-perkara yang wajib, dan tidak
mengiringi keinginannya untuk membaca al-Qur’ân, tidak pula menelaah tafsirnya,
serta tidak pula menulis Hadits.” [3].
Sanggahan :
Pernahkah Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi
wa sallam , para Sahabat, dan para imam (panutan) beribadah kepada Allâh Azza
wa Jalla dengan meninggalkan membaca al-Qur`ân, mentadabburinya, dan
menyebarkan Sunnah (Hadits)?.
Al-Ghazali rahimahullah menambahkan
mengatakan,
“Ketahuilah bahwa orang yang masih dalam
tahapan awal [4] , hendaklah tidak menikah terlebih dahulu. Karena, hal itu
(pernikahan) merupakan urusan yang mendatangkan kesibukan dan akan
menghalanginya dari menempuh perjalanan (suluk). Demikian pula, hal itu akan
mengantarkannya untuk berkasih-sayang dengan istrinya. Dan barangsiapa
berkasih-sayang dengan selain Allâh Azza wa Jalla , itu akan melalaikannya dari
Allâh Azza wa Jalla . Janganlah ia tertipu dengan keberadaan Rasûlullâh
Ahallallahu ‘alaihi wa sallam yang mempunyai banyak isteri. Karena beliau
adalah orang yang hatinya tidak terlalaikan dari mengingat Allâh Azza wa Jalla
dengan seluruh yang ada di dunia. Jadi, tidaklah bisa dikiaskan antara malaikat
dengan tukang besi……..Oleh karena itulah, Abu Sulaimân ad-Dârâni berkata, “Barangsiapa
yang menikah, maka ia telah cenderung (tertarik) kepada dunia.” [5].
Sanggahan :
Lihatlah pertentangan perkataan tersebut
dengan firman Allah Azza wa Jalla berikut :
وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
“Dan dari padanya Dia menciptakan
isterinya, agar dia merasa senang kepadanya”. [ al-A’raf/7:189].
Juga berseberangan dengan perintah
Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ ، لِأَنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
“Barang siapa di antara kalian yang
mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah karena hal itu bisa menundukkan
pandangan dan menjaga kemaluan” [HR. al-Bukhari Muslim].
PANDANGAN AL-GHAZALI BERKAITAN DENGAN
AL-QUR’AN.
1). Ta’wil Batiniyah
Para pengikut tharekat Sufiyah
berpendapat seperti yang menjadi pendapat kaum batiniyah secara umum, yaitu
membagi ilmu syar’i menjadi ilmu yang bersifat lahir dan ilmu yang bersifat
batin, atau ilmu thariqah (jalan) dan ilmu hakikat. Dan al-Ghazâli rahimahullah
termasuk pemandu mereka dalam masalah ini, sebagaimana kenyataan yang ada,
dimana beliau telah mambuka pintu ajaran tasawuf kepada para pengikut yang
datang setelahnya. Dan juga memudahkan sarana untuk menjadikan ajaran ini
nampak, padahal sebelumnya ajaran ini tersembunyi dan tidak terang-terangan.
Berikut ini contoh penafsiran al-Ghazali
rahimahullah terhadap beberapa ayat al-Quran :
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ
“Maka tanggalkanlah kedua terompahmu.
[Thaha/20:12].
Al-Ghazâli rahimahullah menafsirkan ayat
di atas dengan berkata, “Aku mengatakan bahwa Musa memahami perintah untuk
menanggalkan kedua terompahnya, yang maksudnya adalah menanggalkan kedua alam.
Maka Musa melaksanakan perintah secara lahir dengan menanggalkan terompah dan
secara batin dengan menanggalkan kedua alam.”[6].
Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. tahun 728
H) mengomentari penafsiran tersebut dengan menyatakan, “Ini adalah kebiasaan
ahli takwil, ahli filsafat….shabiah dan orang-orang yang mengikuti mereka dari
kalangan Qaramithah, Bathiniyah dan para pengikut aliran tasawuf”[7].
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Dan
dari sisi inilah orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahlul hulûl, ahlul
wihdah, dan ahlul ittihâd [8]”[9].
Ibnul Jauzi rahimahullah (w. tahun 597 H)
juga menukil perkataan al-Ghazâli rahimahullah, “Yang dimaksudkan dengan
bintang-bintang dan bulan (yang dilihat Nabi Ibrâhîm) [10] adalah
cahaya-cahaya, yaitu hijab Allâh Azza wa Jalla , dan bukanlah yang dimaksudkan
adalah matahari dan bulan yang sudah dimaklumi.” Maka, Ibnul Jauzi rahimahullah
mengomentari perkataan ini dengan mengatakan, “Ini termasuk jenis perkataan
orang-orang Batiniyah.”[11].
Demikian pula,
Allah Azza wa Jalla berfirman :
فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا
إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. [an-Nisâ/4:6].
Al-Ghazali rahimahullah menafsirkan
firman Allâh Azza wa Jalla tersebut dengan mengatakan bahwa, orang yang sudah
cukup bekal ilmunya, hendaklah dibukakan kepadanya hakikat-hakikat ilmu, dan ia
naik dari pengetahuan yang sifatnya lahiriyah dan nampak kepada pengetahuan
yang sifatnya rinci, tersembunyi, dan batin.” [12].
2). Membandingkan al-Quran dan Nyanyian
Al Ghazali rahimahullah menyebutkan dalam
al-Ihya’ satu bab tentang al-ghina (nyanyian). Secara panjang-lebar, beliau
membicarakan tentang kondisi orang-orang yang menekuninya, dan juga perasaan
gembira yang mereka rasakan. Dan beliau menyebutkan dalil-dalil orang yang
berpendapat akan haramnya nyanyian, kemudian membantahnya. Dan menyebutkan
orang-orang yang berpendapat akan bolehnya nyanyian dan kemudian mendukungnya.
Kemudian beliau menjawab pertanyaan
berkaitan dengan hal ini, yaitu pertanyaan, “Jika sudah diketahui bahwa
mendengar al-Quran jelas memberikan manfaat kepada jiwa, maka mengapakah mereka
masih berkumpul untuk mendengarkan nyanyian dari orang-orang yang ahli dalam
pembicaraan, bukan mendengar dari para pembaca al-Quran ?”.
Maka al- Ghazali -rahimahullah-
menjawabnya langsung,
“Ketahuilah, sesungguhnya nyanyian lebih
memberikan dorongan kepada jiwa daripada al-Qur’an ditinjau dari tujuh sisi”
(?!)[13] :
Sisi pertama : Sesungguhnya tidak semua
ayat-ayat al-Quran sesuai dengan kondisi orang yang mendengarkannya. Orang yang
ditimpa kesedihan, rasa rindu, atau penyesalan, dari sisi mana kondisinya
sinkron dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Allah mensyari’atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan [an-Nisa/4:11].
Dan dari sisi mana kondisinya sesuai
dengan firman Allah Azza wa Jalla :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik. [an-Nûr/24:4]. Jadi, yang bisa menggerakkan
perasaan dalam hati ialah hal-hal yang sesuai dengannya.
Sisi kedua : Bahwasanya al-Quran telah
banyak orang yang menghafalnya, sering didengar, dan sering diresapi dalam
hati. Ketika pertama kali didengar, maka pengaruhnya terasa besar pada kalbu.
Setelah mendengar kedua kalinya, pengaruhnya akan menurun. Dan pada kali yang
ketiga, seolah-olah pengaruhnya lenyap. Berkaitan dengan apa yang kami sebutkan
itu, Abu Bakr ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu telah mengisyaratkan kenyataan
tersebut ketika ia melihat beberapa orang arab Badui datang mendengarkan al-Qur`ân
kemudian mereka menangis, maka ia berkata,“Dahulunya kami juga menangis seperti
kalian, akan tetapi sekarang sudah keras hati kami.” Akan tetapi,
berulang-ulangnya hati menelaah al-Qur`ân mengakibatkan kerasnya hati, dan
sedikitnya pengaruh yang dirasakan, disebabkan kebiasaan dan seringnya
mendengar al-Qur`ân. Menurut kebiasaan, tidak mungkin seseorang mendengar satu
ayat yang belum pernah didengar sebelumnya lalu ia menangis, dan ia
terus-menerus bisa menangis karenanya dalam jangka dua puluh tahun, kemudian
setiap kali ia mengulang ia selalu menangis” [14].
Sanggahan :
Sangat mengherankan, bukankah alGhazali
rahimahullah telah mengatakan tidak hanya sekali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin
bahwa al Quran tidaklah usang dengan banyaknya diulang ? Dan bahwa hati
tidaklah bosan dengannya?[15].
Dari manakah beliau mendatangkan kisah
palsu yang dihikayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu tersebut? Sedangkan
telah diriwayatkan dalam hadits yang shahîh dari ‘Aisyah Radhyallahu anhuma ,
bahwasanya ia berkata :
إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيْقٌ إِذَا قَرَأَ
غَلَبَ عَلَيْهِ الْبُكَاءُ
“Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang
sangat lembut hatinya, jika ia membaca al Quran, maka ia tidak bisa menahan
tangisnya [16].
Ini adalah riwayat yang jelas menunjukkan
kedustaan kaum yang menganggap telah sampai pada tingkatan ma’rifah dan wushûl,
dan mereka lebih mengedepankan nyanyian daripada al Quran, dan berdalil dengan
riwayat yang dibuat-buat (dipalsukan) atas nama Abu Bakar Radhiyallahu anhu.
PANDANGAN AL-GHAZALI DALAM ROJA DAN KHAUF
[17].
Al-Ghazali rahimahullah menyebutkan
beberapa perkataan kaum Sufi dan pendapat-pendapat mereka dalam masalah roja’
dan khauf. Di antaranya beliau mengatakan,
“Adapun orang yang beramal karena
mengharapkan surga dan takut neraka maka dia adalah seorang yang mukhlis
(ikhlas) jika ditinjau dari bagian yang didapatkannya segera. Jika tidak
demikian, maka hakikatnya dia sedang mencari pemenuhan kebutuhan perut dan
farji (kemaluan). Dan sesungguhnya yang benar-benar dituntut dari orang-orang
yang berakal adalah mengharapkan wajah Allâh Azza wa Jalla semata (bukan
berharap surga dan takut dari neraka, pent)” [18].
Kemudian beliau menukil perkataan Rabi’ah
al ‘Adawiyah kepada Sufyân ats-Tsauri rahimahullah,
“Aku tidaklah beribadah kepada-Nya karena
takut dari neraka-Nya, tidak pula karena menginginkan surga-Nya. Jika seperti
itu, tentulah aku termasuk kuli yang buruk (mengharap upah dam takut kena
marah, pent). Akan tetapi, aku beribadah kepada-Nya karena cinta dan rindu
kepada-Nya”.[19].
Beliau juga menceritakan bahwa Isa
Alaihissallam pernah melewati sejumlah orang ahli ibadah dan mereka sedang
tekun beribadah. Mereka berkata,
“Kami takut akan neraka dan kami
mengharapkan surga.” Maka Isa Alaihissallam berkata, “Mengapa kalian takut
kepada makhluk (neraka) dan mengharapkan makhluk (surga)?”. Kemudian Isa
Alaihissallam melewati sekelompok orang lain yang mengatakan,“Kami beribadah
karena cinta kepada-Nya dan mengagungkan kebesaran-Nya.”Maka Isa Alaihissallam
berkata, “Kalian adalah wali-wali Allâh Azza wa Jalla yang sejati, dan bersama
kalian lah aku diperintahkan untuk tinggal.”[20].
Sanggahan :
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam
rangka menyampaikan tarhib [21]:
فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ
“Peliharalah dirimu dari neraka yang
bahan bakarnya manusia dan batu”. [al-Baqarah/2:24].
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam
rangka menyampaikan targhib [22] :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. [Ali ‘Imran/3:133].
Maka, bagaimanakah seseorang bisa disebut
sebagai orang yang mengagungkan Allah Azza wa Jalla , sedangkan ia mendengar
firman Allah Azza wa Jalla tersebut, kemudian ia tidak mau memperhatikan
ancaman yang menjadikan seseorang takut dari-Nya, dan tidak pula mengharapkan
kenikmatan yang telah Allâh Azza wa Jalla janjikan ( dalam surga)?.
Apakah ia berkeyakinan bahwa ia lebih
dicintai Allâh Azza wa Jalla dan lebih dekat kepada-Nya daripada para Nabi yang
telah dipuji oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :
وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا
“Mereka berdoa kepada kami dengan harap
dan cemas [al-Anbiya/21:90].
Dan apakah ia menganggap bahwa dirinya
lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada para malaikat yang telah Allâh Azza
wa Jalla puji dalam firman-Nya :
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ
“Mereka takut kepada Rabb mereka yang di
atas mereka” [an-Nahl/16:50].
Bukankah hakekat pengagungan dan makna
ketakwaan dengan seluruh maknanya adalah seseorang takut akan hal-hal yang
menjadi ancaman Allâh Azza wa Jalla , dan seseorang mengharapkan kenikmatan
yang telah dijanjikan Allâh Azza wa Jalla .
Tidakkah ia mendengar firman Allâh Azza
wa Jalla :
ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا
عِبَادِ فَاتَّقُونِ
“Demikianlah Allâh mempertakuti hamba-hamba-Nya
dengan adzab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku
[az-Zumar/39:16].
Simaklah pernyataan al-Qusyairi –seorang
tokoh Sufi dan termasuk peletak pokok-pokok ajaran Tasawuf – yang diriwayatkan
dari perkataan Abu Sulaimân ad Darani, “Yang dimaksud dengan ridha adalah
engkau tidak meminta surga kepada Allâh Azza wa Jalla, dan tidak memohon
perlindungan dari neraka.” [23].
Tidakkah ia mengetahui bahwa
ketidaktakutan seseorang terhadap ancaman Allâh Azza wa Jalla termasuk sifat
orang-orang yang melampaui batas, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا
طُغْيَانًا كَبِيرًا
“Dan kami menakut-nakuti mereka, tetapi
yang demikian itu hanyalah menambah besar besar kedurhakaan mereka”
[al-Isrâ/17:60].
Sifat thughyan (melampai batas) ini telah
menimpa kaum Sufi dengan penyimpangan mereka dari sunnah (petunjuk) Rasûlullâh
Ahallallahu ‘alaihi wa sallam , dan meremehkan pahala dan siksaan di sisi Allâh
Azza wa Jalla . Mereka berpandangan bahwa apabila seseorang takut akan neraka
dan adzab Allâh Azza wa Jalla berarti ia telah takut kepada selain Allâh Azza
wa Jalla , dan bahwasanya hal itu termasuk kategori syirik. Dalam hal ini,
mereka telah melalaikan akan perintah Allah Azza wa Jalla :
وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا
“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut dan harapan” [al-A’raf/7:56].
Dengan demikian, mereka tidak meminta
surga kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak pula berlindung dari neraka karena
menganggap bahwa hal itu adalah tingkatan ridha kepada Allâh Azza wa Jalla .
Al-Ghazali Mengutip Kisah Tokoh-Tokoh
Tasawuf.
Al-Ghaza li rahimahullah mengatakan,
“Dan diriwayatkan bahwa Abu Turab
an-Nakhsyabi, suatu ketika ia merasa kagum terhadap seorang pengikut tarekat
Sufi. Ia pun mendekatinya dan menyediakan segala kebutuhannya, sementara orang
tersebut tetap sibuk dalam ritual ibadahnya. Kemudian Abu Turab berkata
kepadanya, “Seandainya engkau mau melihat Abu Yazid!” Maka orang itu menjawab,
“Celaka kamu, apa yang aku butuhkan dari Abu Yazid? Aku telah melihat Allâh
Azza wa Jalla (!?), maka aku tidak butuh kepada Abu Yazid.” Abu Turab berkata,
“Maka bergoncanglah perasaanku, dan aku pun tidak bisa menguasai jiwaku, lalu
aku pun berkata kepadanya, “Celakalah engkau, engkau telah terpedaya dengan
Allâh Azza wa Jalla . Kalau lah engkau melihat Abu Yazid sekali saja, maka itu
lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah Azza wa Jalla tujuh puluh kali
(!?)” [24].
Sanggahan :
Perkataan yang buruk ini tidak perlu lagi
untuk dikomentari, kecuali kita hanya berlindung kepada Allah Azza wa Jalla
dari penyimpangan setelah datangnya hidayah. Namun demikian, al-Ghazâli
rahimahullah tidak mengingkari perkataan tersebut, demikian pula cerita-cerita
lainnya dari tokoh-tokoh Sufi. Justru berkomentar positif, “Ini adalah bagian
awal dari perjalanan mereka (menuju Allah), sekecil-kecil kedudukan mereka, dan
semulia-mulia orang yang bertakwa(?! ).” [25].
Imam al-Ghazali rahimahullah juga
menceritakan dari Ibnu al-Kuraibi bahwa ia berkata,
“Aku mendatangi suatu tempat dimana
penduduknya mengenalku sebagai orang shalih. Di situ, hatiku menjadi gundah.
Lalu aku masuk ke kamar mandi dan aku melihat ada sehelai baju yang mewah. Aku
mencurinya dan kemudian mengenakannya. Lalu aku pakai pakaianku yang penuh tambalan
di atas baju tersebut, kemudian aku keluar. Aku pun berjalan pelan-pelan.
Orang-orang pun menemuiku dan melepaskan baju luarku. Selanjutnya, mereka
mengambil pakaian yang mewah itu dan menampari dan menyakitiku dengan pukulan.
Sejak itu, aku dikenal sebagai seorang pencuri barang-barang yang tertinggal di
kamar mandi. Namun, dengan kasus itu lah jiwaku menjadi tenang (?!).” [26].
Sanggahan :
Perkara ini jelas menyelisihi syariat
Allâh Azza wa Jalla dan sunnah (petunjuk) Nabi-Nya. Karena pencurian termasuk
perbuatan dosa besar.Allâh Azza wa Jalla menggandengkan penyebutan tindak
pencurian dengan dengan perbuatan zina yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla atas
orang-orang beriman laki-laki maupun perempuan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ
“Tidak akan mencuri dan tidak akan
berzina”. [al-Mumtahanah/60:12]. Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang mukmin”. [an-Nûr/24: 3].
TAUHID AL-GHAZALI DAN KEYAKINAN AL-HALLAJ
[27].
Para ulama telah mengingkari pendapat
al-Ghazali rahimahullah yang membagi tauhid menjadi empat, yaitu :
Tingkatan pertama: Seseorang mengucapkan
kalimat La Ilaha illallah dengan lisannya, namun hatinya ghoflah (lalai)
darinya atau mengingkarinya, seperti tauhid orang-orang munafik”. [28].
Sanggahan :
Telah dimaklumi bahwa nifaq (kemunafikan)
bukanlah satu tingkatan dari tauhid menurut para Ulama Salaf. Bahkan
sebaliknya, termasuk tingkaran kekufuran paling tinggi. Sementara ghoflah
(kelalaian) itu berbeda dengan inkâr (pengingkaran).
Tingkatan kedua: “Seseorang membenarkan
makna kalimat ini dengan hatinya sebagaimana umumnya kaum Muslimin
membenarkannya. Ini adalah keyakinan orang-orang awam”.[29].
Tingkatan ketiga : “Seseorang menyaksikan
(alam semesta) dengan jalan al-kasyf (penyingkapan) melalui perantara cahaya
dari Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah tingkatan muqorrabîn (orang-orang yang
didekatkan kepada-Nya). Yaitu, dengan melihat benda-benda yang banyak, disertai
keyakinan bahwa semuanya itu muncul dari satu Dzat Yang Maha Mulia”.
“Maka, orang yang menyaksikan adalah
orang yang bertauhid, karena ia tidak menyaksikannya kecuali (bersumber) dari
perbuatan satu Dzat……dan tidak melihat satu pun perbuatan secara hakiki kecuali
(bersumber) dari yang satu.[30].
Tingkatan keempat: “Seseorang tidak
melihat apa yang ada ini kecuali semuanya itu hakikatnya adalah satu. Ini
adalah yang disaksikan oleh shiddîqîn. Para pengikut Tasawuf menamainya dengan
fanâ (melebur) dalam tauhid. Inilah puncak tertinggi dalam tauhid.”[31].
Sanggahan :
Di sini kita sampaikan satu pertanyaan,
yaitu di manakah letak tauhid (aqidah) yang diserukan oleh Rasûlullâh
Ahallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya (mengesakan Allâh Azza wa
Jalla dalam seluruh ibadah) di antara empat tingkatan tauhid yang disebutkan
tersebut, mengapa tidak ada bagiannya di sana?.
Dan apa benar puncak tertinggi dalam
tauhid diwujudkan dengan melihat segala apa yang ada sebagai sesuatu yang hakikatnya
satu? Apakah yang dimaksudkan satu tersebut adalah Allâh Azza wa Jalla ? Jika
demikian, maka ini adalah pemahaman wihdatul wujud. [32].
Al-Ghazali rahimahullah telah
mengisyaratkan hal itu [33] ketika beliau mengatakan dalam kitab Misykatul
Anwar, “La ilaha illallah adalah tauhid (keyakinan) orang-orang awam, dan ‘La
huwa illa huwa’ (tidak ada dia kecuali dia) adalah tauhid (keyakinan)
orang-orang khusus.”[34].
Ketika al-Ghazâli rahimahullah
menyebutkan tingkatan keempat dari tauhid tersebut, beliau mengatakan, “Jika
engkau bertanya, “Bagaimana dapat dibayangkan seseorang tidak melihat kecuali
satu, padahal ia melihat langit, bumi, seluruh benda-benda yang bisa dijangkau
oleh panca indera, dan jumlahnya sangat banyak, maka bagaimana bisa dikatakan yang
banyak tersebut sebagai sesuatu yang satu ?”.
Maka beliau menjawab pertanyaan tersebut
dengan membuat permisalan yang mengherankan, dan tidak terbayang bahwa itu
muncul dari seorang yang alim (berilmu) terhadap syariat Allâh Azza wa Jalla ,
yang mestinya mengembalikan perkara ketika terjadinya perselisihan kepada
nash-nash wahyu dari Allâh Azza wa Jalla . Beliau menjawab pertanyaan tersebut
dengan mengatakan,
“Hal itu seperti pada diri seorang insan,
ia bisa dikatakan banyak jika ditinjau dari ruhnya, jasadnya, anggota badannya,
urat-uratnya, tulang-tulangnya, dan juga lambungnya. Dan ditinjau dari sisi
lainnya, ia juga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu. Betapa banyak orang
yang melihat orang lain, namun tidak terlintas di dalam benaknya tentang banyaknya
usus orang itu, urat-uratnya, anggota badannya, rincian ruh dan jasadnya,
demikian pula anggota tubuhnya yang lain. Demikian pula segala sesuatu yang ada
ini dari al- Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dan seluruh makhluk mempunyai
sisi penyaksian yang banyak dan beraneka ragam. Maka, ditinjau dari satu sisi,
semuanya itu bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu, dan ditinjau dari sisi
lainnya bisa dikatakan sebagai sesuatu yang banyak, sebagiannya lebih banyak
dari sebagian yang lain.“[35].
Maka, makna dari perkataan al-Ghazali
rahimahullah tersebut bahwa puncak tertinggi tauhid adalah wihdatul wujud dan
bersatunya al-Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dengan makhluk-Nya.
Inilah beberapa kekeliruan dari
kekeliruan Abu Hamid al-Ghazali yang banyak dalam kitabnya yang sangat terkenal
. Namun pemaparan yang sedikit ini kiranya dapat memberikan gambaran tentang
bahaya besar yang tidak (belum) disadari dari kitab Ihya’ ‘Ulumiddin.
Tulisan ini bukanlah untuk mencela
ataupun menghina Imam al-Ghozali yang termasuk Ulama Islam yang masyhur. Namun
tujuannya sebagaimana disampaikan Syaikh Sa’d al-Hushayyin dalam muqoddimah
kitab yang menjadi sumber naskah ini, ”Kami memandang pentingnya menyebarkan
tulisan ini secara terpisah karena banyak orang yang menjadikan Ihyâ’
‘Ulumiddîn sebagai bahan rujukan namun tidak selektif. Kitab ini meskipun juga
memang memuat kebaikan, kebenaran dan petunjuk (yang benar), akan tetapi juga
berisi gulungan kejelekan dan kebatilan serta kesesatan, jauh dari petunjuk
al-Qur`ân dan Sunnah. Hanya saja, orang-orang yang fanatik kepada beliau, tetap
menyebarkan kekeliruan dan kesalahan beliau di dalamnya. Kewajiban kita tiada
lain, memohon ampunan kepada Allâh Azza wa Jalla bagi beliau dan kita semua,
dan menjelaskan penyimpangan-penyimpangan pemikirannya yang bertentangan dengan
syariat, dalam rangka menjaga Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para penguasa dan
kaum Muslimin pada umumnya”.
PENUTUP.
Di akhir pembahasan ini, setelah kami
menyebutkan beberapa pendapat dan pemikiran al-Ghazâli rahimahullah yang
dinukil dari kitab-kitab beliau sendiri, demikian pula dari kitab-kitab yang
menjelaskan biografi beliau, maka perlu kami sampaikan bahwa telah disebutkan
pernyataan tentang taubat beliau dari kesalahan-kesalahan tersebut. Dan di
akhir-akhir kehidupannya, beliau menyibukkan diri dengan menekuni hadits dan
ilmu-ilmunya. Sampai-sampai disebutkan bahwa beliau meninggal dengan kitab
Shahih al-Bukhâiari berada di atas dadanya. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196].
Footnote
1.Kholwat adalah menyendiri dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , pent)
2.al-Ihyâ’ 3/76
3.al-Ihyâ (3/19).
4.Dalam tahapan awal dalam menempuh
tarekat Sufi, Pent)
5.al-Ihyâ 3/110
6.Misykâh al-Anwâr, hlm. 30
7.Majmû Fatâwâ 6/180
8.Maksudnya adalah orang-orang yang berkeyakinan
bersatunya Rabb dengan makhluk, Pen)
9.Dâr-u at-Ta’ârudh al-‘Aql wa an-Naql
1/318
10Sebagaimana disebutkan dalam QS. al
An’âm : 77-78, Pen)
11.Talbîs Iblîs, hlm. 166
12.Mizân al-‘Amâl, hlm. 111
13.Di sini kami hanya menyebutkan dua
sisi yang disebutkan al-Ghazâli karena keterbatasan tempat. (Pent)
14.al-Ihyâ (2/299).
15.al-Ihyâ (1/272-289).
16.HR. al-Bukhâri (1/162, 165, 167) dalam
Kitâb al-Adzân
17.Rojâ maknanya mengaharpkan pahala dan
surge Allâh Azza wa Jalla , sedangkan khauf maknanya takut dari adzab dan
neraka Allâh Azza wa Jalla . (Pen)
18.al-Ihyâ 4/381
19.al-Ihyâ 4/310
20.al-Arba’în min Ushûl ad-Dîn 192
21.Tarhîb adalah hal-hal yang menyebabkan
seseorang takut akan ancaman dan siksaan Allâh Azza wa Jalla (Pent)
22.Targhîb adalah hal-hal yang
menyebabkan seseorang bersemangat untuk mendapatkan pahala dan kenikmatan yang
dijanjikan Allâh Azza wa Jalla (Pent)
23.ar-Risâlah al-Qusyairiyah hlm. 90
24.al-Ihyâ 4/356, Bab Hikâyatu
al-Muhibbin wa Aqwâlihum wa Mukasyafâtihim
25.al-Ihyâ 4/357
26.al-Ihyâ 4/358
27.Al-Hallâj adalah tokoh pemahaman
wihdatul wujûd (segala yang ada di semesta merupakan perwujudan Allâh Azza wa
Jalla , Pent).
28.Al-Ihyâ 4/245
29.Al-Ihyâ 4/245
30.Idem.
31.Idem.
32.Yaitu pemahaman bahwa segala yang ada
di semesta merupakan perwujudan Allâh Azza wa Jalla , Pent)
33.Yaitu pemahaman wihdatul wujud. (Pen)
34.Misykâh al-Anwâr (19/20).
35.Al-Ihyâ 4/246-247.
Kesesatan
Al Ghazali & Ihya Ulumuddin
Tak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumiddin,
kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran.
Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah
menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih
mengagungkannya.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan suatu
umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta
bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang
yang akan mengaburkan As-Sunnah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي اْلأَئِمَّةَ
الْمُضِلِّيْنَ
“Yang paling aku takutkan menimpa umatku
ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)
Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi
berkata: “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya memerintahkan untuk
memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap mereka, dan mengingkari
pemahaman kitab (Al-Qur`an, red.) dengan akal semata tanpa bersandar dengan
atsar (hadits, red.), melarang duduk bersama ahlul kalam (kaum filsafat), dan
melihat kitab-kitab ahlul kalam.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal
Jama’ah, hal. 322)
Ibnu Mas’ud z berkata: “Kalian akan
mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka menyeru kepada
Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke belakang
punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)
Mengingat hal ini, akan kami paparkan
secara ringkas tentang kitab Ihya` ‘Ulumiddin yang selalu dibanggakan
segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang sarat akan bimbingan
aqidah dan akhlak!
Berikut beberapa kesalahan yang terdapat
dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin dan bantahannya secara global.
1. Dalam pembahasan sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, Al-Ghazali terkadang melakukan penakwilan ayat-ayat yang
berkenaan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah selalu meyakini
bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk,
tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana keadaannya, tidak boleh menakwilkan
dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir sebagaimana yang telah diyakini
salafus shalih, dan tidak boleh pula mengingkarinya. (lihat Fathur Rabbil
Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah, hal. 27-28)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab
Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Tauhid asma wash shifat adalah mengesakan
Allah Subhanahu wa Ta’ala pada apa yang telah Dia namakan diri-Nya sendiri
dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada apa yang Dia sifatkan
terhadap diri-Nya atau yang telah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sifatkan untuk-Nya, tanpa mempertanyakan bagaimananya (kaifiyah), atau
menyerupakannya dengan makhluk, memalingkan maknanya, dan mengingkarinya.
(Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 81)
Sebagai contoh, Al-Ghazali telah
menakwilkan makna istiwa` (artinya naik di atas ‘Arsy) dengan istaula
(menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumiddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)
Hal ini telah menyelisihi Al-Qur`an,
As-Sunnah, dan ijma’ para salafush shalih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى
“Sucikan Rabbmu yang Maha Tinggi.”
(Al-A’la: 1)
إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Sesungguhnya Allah itu Maha Tinggi dan
Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya.”
(Thaha: 5)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لَمَّا قَضَى اللهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِيْ
كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
“Ketika Allah menentukan ketentuan
makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-Nya, di atas ‘Arsy…”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
“Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala benar-benar ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui
adalah bagaimana cara ber-istiwa`. Dan sungguh hal itu tidaklah diketahui
hakekatnya.” (Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu Al-’Arsy, hal.
187)
2. Al-Ghazali berkata tentang ilmu kalam:
“Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang melindungi dari berbagai
kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam adalah seperti
penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/22)
Aqidah yang bersih akan selalu terbangun
di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan
pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu yang menjadikan
orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat kemurnian aqidah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوُلِ اللهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ
اللهَ كَثِيْرًا
“Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah
dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah: “Contoh
yang baik adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang mengambil
suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan yang akan menyampaikan
kepada kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah jalan yang lurus.”
Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah:
“Ketahuilah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu–, sungguh tidaklah
muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan dalam
agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan
perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
“Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang nyata.
Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya berlumuran dengan
berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam Ahmad: ‘Tidaklah orang yang
melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan Jahmiyyah’. Beliau dan para
ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun (ahli
ilmu kalam itu) berniat membela As-Sunnah.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf,
hal. 43)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah
berkata: “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al-Imam Malik, Abu Hani-fah, Ahmad,
dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak akan mungkin menjadi penjaga
aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu sendiri adalah bid’ah.” (Abu
Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-uhu wa Tashawwufuhu hal. 9)
Sungguh malang nasib pengagum ilmu kalam.
Na’udzubillahi min dzalika (Kita berlindung kepada Allah k dari hal itu).
3. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua
bagian:
a. Ilmu zhahir: ilmu muamalah.
b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya`
‘Ulumiddin, 1/19-21)
Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupakan
puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut
keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga
dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa.
Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. (Ash-Shufiyah wa
Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114)
Sungguh menakutkan keadaan mereka.
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ
وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakanlah: ‘Tidak ada siapapun yang ada
di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.’”
(An-Naml: 65)
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ
أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara
ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang
telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan (dengan para malaikat)
dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh tidak ada
makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)
Rasulullah n bersabda:
خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى
“Ada lima perkara yang tidak diketahui
kecuali oleh Allah.”
Kemudian beliau membaca ayat:
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ
وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا
تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ
عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya
sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang
dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh
Muqbil rahimahullah dalam Shahihul Jami’, 6/361]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ilmu
ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan segala perkara
ghaib yang Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam kabarkan merupakan sesuatu yang
dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Dan tidaklah beliau mengetahui
dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203)
Adanya keyakinan kasyaf merupakan upaya
penghinaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Penafsiran ayat secara ilmu batin dan
keluar dari kaedah-kaedah salaf.
Sebagai contoh Al-Ghazali menafsirkan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ
اْلأَصْنَامَ
“Dan jauhkan aku serta keturunanku dari
penyembahan terhadap berhala.” (Ibrahim: 35)
Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud
berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak! (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/235)
Cara seperti ini merupakan tipudaya
setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan menyeleweng dari
pemahaman salafush shalih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ
فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ
غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah, jika kalian benar-benar
mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ
مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah
jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat
kembali.” (An-Nisa`: 115)
Ilmu batin menurut Shufiyyah adalah
rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui oleh orang-orang Shufi
yang berbicara dengan lisan yang abadi. (Majmu’ Fatawa, 13/231)
Keadaan ini menyerupai orang-orang
bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Qur`an secara ilmu batin, seperti
shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji bermakna safar dan
berkunjung kepada guru serta para syaikh. (Majmu’ Fatawa, 13/236)
5. Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk
orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/334)
Ia berkata: “Upaya para wali dalam
penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran
menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina.
Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi
ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang
Romawi.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/24)
Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah
dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku mempelajari
ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk ke dalam
tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)
Abdurrahman Al-Badawi berkata: “Sungguh,
kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk
mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin mereka
karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani. (Ash-Shufiyyah
wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)
Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan
hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala` wal-bara`.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ
فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang
yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka
sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ
اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Kemudian kami jadikan kamu berada di
atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لَتَتْبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ …
“Benar-benar kalian akan mengikuti
kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim
no. 2669)
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka
ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Adabuz Zifaf hal. 116)
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan jelas menyatakan:
لاَ رَهْبَانِيَّةَ فَي اْلإِسْلاَمِ
“Tidak ada kependetaan dalam Islam.”
(Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7)
Sungguh perilaku Shufiyyah merupakan
virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan
berfikir tanpa batas (freedom of thinking is every-thing).
6. Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian
bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya.
(Ihya`, 3/18-19)
Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran
ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang tercurahkan
dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur, sehingga
terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang mereka
namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu kepada
para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal.
114-115)
Bahkan Al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya
hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan.
Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati,
menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa
mengetahui apa yang akan terjadi.”
Kemudian beliau menambahkan: “Berbagai
urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati
mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang
diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/18-19)
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya
ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin atau
melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/ Lauhul
Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-middin, 3/20)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah
berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepanjangan tangan
Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan: kekuatan
kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.” (Abu Hamid
Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah
menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: “Tidak ada perbedaan
sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat yang
memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam hati kita dengan
perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal.
38)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah bahwa berita-berita
dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam tidaklah berfaedah sedikitpun dalam
sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa diraih oleh setiap orang dengan
musyahadah1, nur, dan kasyaf.” (Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, 5/347)
Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha
dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka
tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/18)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
“Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena para
fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan mereka.
Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” (Talbis Iblis hal.
374)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah
berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang zhahir dan
yang batin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَفْقَهُوْنَ
“Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah
memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
Jikalau hati-hati mereka bersih dan
tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang memahami.
Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang didoakan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan
agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)
Perilaku Shufiyyah merupakan pintu
kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri mereka.
Mereka telah melupakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang
nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama
kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai
Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ
بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“Sungguh Allah telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang
Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat
Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan
Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)
7. Tentang ajaran wihdatul wujud,
Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin: “Mereka adalah
segolongan kaum yang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keesaan-Nya.
Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam
dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain
Dia. Inilah memperhatikan dengan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu
bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan
yang dicintai2. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada
di alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/86)
Bahkan terdapat keterikatan yang kuat
antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan
sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/247)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata
membantah keyakinan yang bejat ini: “Para salaf mengkafirkan Jahmiyah karena
perkataan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di semua tempat. Di
antara bentuk pengingkaran para salaf adalah: Bagaimana mungkin Allah Subhanahu
wa Ta’ala berada di perut, di tempat-tempat kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha
Tinggi Allah dari perkara tersebut! Lalu bagaimanakah dengan mereka yang
menjadikan perut, tempat-tempat kotor, tempat-tempat sunyi, barang-barang
najis, dan kotoran-kotoran sebagai bagian dari Dzat-Nya?” (Majmu’ Fatawa,
2/126)
Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala ber-istiwa` di atas ‘Arsy dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
tidak membutuhkan ‘Arsy. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah serupa dengan
makhluk dalam segala sifat-Nya.
Allah k berfirman:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy.”
(Thaha: 5)
إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِيْ سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Rabb kalian telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-istiwa` di atas Arsy.”
(Yunus: 3)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ
الْبَصِيْرُ
“Tidaklah Allah serupa dengan apapun dan
Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
8. Ajaran khalwat atau menyendiri dan
menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah.
Al-Ghazali berkata: “Dalam ‘uzlah
(menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian). Adapun dalam
beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan
membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya
kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/228)
Bahkan dengan khalwat akan tersingkap
kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/78)
Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:
* Meminta bantuan dengan ruh para syaikh,
dengan perantara gurunya.
* Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga
nampak Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya.
* Bertempat di ruangan yang gelap dan
jauh dari suara serta gerakan manusia.
* Tidak berbicara.
* Tidak memikirkan kandungan makna
Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.
* Tidak boleh masuk dan keluar dari
tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.
* Selalu mengikat hati dengan mengingat
syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal.
186)
Ini merupakan amalan-amalan yang akan
menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami ‘uzlah dan upaya
meniru gaya kependetaan.
Makna ‘uzlah bukanlah khalwat ala
Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak
menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila telah
hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi mungkar,
berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin
Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)
Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu
dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola
orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan)
9. Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’
(mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an.
Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata: “Dan apabila hati
telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa
dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/301)
Keganjilan kaum Shufi ini merupakan
sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang diiringi
tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah atau yang lainnya. Demikian pula
para tabi’in (tidak pernah melakukannya).” (Majmu’ Fatawa, 11/57)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul at-taghbir (dendang
kerohanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya menghalangi manusia dari
Al-Qur`an.
Dan Yazid bin Harun berkata: “Tidaklah
melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Orang yang membiasakan mencari semangat dengan as-sama’
niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia tidak
akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika
mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan
mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.” (Majmu’ Fatawa, 11/568)
Orang-orang Shufi telah melupakan firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا
ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan
mereka.” (Al-Anfal: 2)
أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
“Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah
hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)
10. Kesalahan yang fatal dalam memahami
makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus ditempuh. Al-Ghazali
berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal: ‘Suatu hari saya dalam
perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal keperluanku. Datanglah
kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan, engkau adalah tukang
pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau menyangka bahwa Dia
tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang bekalku’.” (Ihya`
‘Ulumiddin, 4/271)
Hal ini sangatlah berseberangan dengan
bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى
“Hendaknya kalian mengambil bekal, dan
sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata:
“Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang mubarak
(diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya
dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan.
Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.” Kemudian
beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia
dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.”
(Taisirul Karimirrahman hal. 74)
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa
menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka akan
terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang dijanjikan kepada
orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/276)
Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan
hadits bahwa Rasulullah n mempersiapkan makanan untuk keluarganya selama satu
tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam telah keluar dari tingkatan orang-orang yang bertawakkal,
sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam
masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 79)
Bahkan ketika orang-orang Nasrani
menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada berjihad.
(Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)
11. Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan
yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti nikah.
Al-Ghazali berkata: “Barang siapa menikah
maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/101)
Hal ini sangat menyelisihi sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
تَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى
“Menikahlah kalian, sesungguhnya aku
berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah kalian meniru
kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah
Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits ini diriwayatkan
Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)
Peringatan Ulama Salaf terhadap Kitab
Ihya` ‘Ulumiddin3
Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman
Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menu-lis
dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan
dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan
syariat. Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu Hamid telah memasuki ruang lingkup
ilmu filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu ‘Aqil menyatakan ilmu filsafat
sebagai bagian dari zindiq’.
Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali
mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat,
dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.”4
Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu
Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang besar.
Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk
membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang
berbagai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai
tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah
Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib
–berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi
karyanya.”
Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini penuh
dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”
Ahmad bin Shalih Al-Jaili: “(Al-Ghazali
adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di
dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara sesuatu yang
tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa yang dia nisbatkan
kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga
menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan para
wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat
dan yang berbahaya.”
Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu
Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak
kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah
Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah
sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan
khayalan.”
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu
menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.
Wallahu a’lam.
1 Musyahadah menurut kalangan Shufi
adalah melihat kehadiran Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kemudian
memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
2 Maksudnya dia telah bersatu dengan
Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.
3 Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin
min Kitab Ihya` ‘Ulumiddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy
Syaikh
4 Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali,
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “…Oleh karena itu, menjadi jelas
baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah
menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui
hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulailah ia menyibukkan diri
dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia meninggal di tengah
kesibukannya itu, dalam keadaannya yang paling baik. Beliau juga membenci apa
yang terdapat dalam bukunya berupa perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara
yang diingkari oleh orang-orang.” (‘Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed)
http://asysyariah.com/print.php?id_online=325
https://abihumaid.wordpress.com/2008/06/10/al-ghazali-ihya-ulumiddin/
https://abihumaid.wordpress.com/2008/06/10/al-ghazali-ihya-ulumiddin/