Sunday, March 18, 2018

Kondisi Suriah Saat Ini, Hampir Sama Dengan Yang Dialami Syaikhul Islam Di Zamannya, Musuh Kembali Bersekutu, Sejak Dari Bangsa Mongol (Tar Tar), Berbagai Suku Turki, Persia, Orang-Orang Sejenis Dengan Mereka Yang Murtad, Dari Kalangan Kristen Armenia Dan Lain-Lain.

Hasil gambar untuk ibnu taimiyah tar tar

Suriah:  Rakyat Tanpa Harapan, Presiden Tanpa Negara

(artikel ke 3000)
Aku tidak menemukan sesuatu yang lebih baik untuk kuketengahkan di hadapan kalian, selain tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika beliau mengomentari persekutuan pasukan Ahzab dalam perang Khondaq. Beliau berkata, “Ringkasan cerita perang Khondaq, bahwa kaum muslimin terkepung oleh seluruh kaum musyrikin di sekeliling mereka. Mereka datang dengan bala tentaranya ke Madinah untuk membasmi orang-orang beriman hingga ke akar-akarnya. Maka berkumpullah kaum Quraisy dan sekutu-sekutunya dari Bani Asad, Asyja‘, Fazaroh, dan kabilah-kabilah Nejd lainnya. Turut bergabung juga yahudi Bani Quroidzoh dan Bani Nadzir. Pasukan sekutu ini berkumpul menjadi satu dan jumlah mereka jauh berlipat ganda di atas jumlah kaum muslimin. Sampai-sampai Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam harus meng-ungsikan orang-orang lemah dari wanita dan anak-anak ke benteng-benteng Madinah.
Sedangkan kejadian sekarang ini –maksudnya, yang dialami Syaikhul Islam di zamannya—musuh kembali bersekutu, sejak dari bangsa Mongol, berbagai suku Turki, Persia, orang-orang Arab pendatang, orang-orang sejenis dengan mereka yang murtad, dari kalangan kristen Armenia dan lain-lain. Musuh ini masuk ke sisi negeri kaum muslimin ketika kaum muslimin tengah bimbang antara maju dan mundur, ditambah lagi dengan sedikitnya jumlah kaum muslimin lain yang mau berhadapan dengan musuh, padahal musuh hendak menguasai negeri dan mengambil alih daerah penduduknya sebagaimana musuh dulu mengepung Madinah berhadapan dengan kaum muslimin. Dan ketika perang Khondaq terjadi, suhu udara teramat dingin, tiupan angin begitu kencang dan tidak seperti biasanya. Dengan itulah Alloh memalingkan pasukan Ahzab dari Madinah, sebagaimana firman Alloh Ta‘ala ini:
“…maka Kami kirim kepada mereka angin dan pasukan-pasukan yang tidak kalian lihat…” [1]
Demikian juga tahun ini di sini, Alloh memperbanyak salju, hujan, dan hawa dingin tidak seperti biasanya, sampai-sampai banyak orang yang tidak menyukai hal ini. Adapun kami, kami katakan kepada mereka yang tidak suka: Jangan kalian benci hal itu, sebab Alloh memiliki hikmah dan rahmat di dalamnya. Dan itu termasuk sebab terbesar di mana dengannya Alloh mengusir musuh.
Alloh Ta‘ala berfirman mengenai kondisi pasukan Ahzab:
“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Alloh dengan bermacam-macam pur-basangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” [2]
Demikian juga tahun ini, musuh datang dari atas daerah Syam, yaitu selatan sungai Eufrat…”
Syaikhul Islam melanjutkan, “…kemudian manusia mulai berprasangka kepada Alloh dengan berbagai purbasangka;
–Ada yang menyangka tidak ada lagi tentara Syam yang masih tegak berdiri, sehingga musuh akan menguasai penduduk Syam
–Ada yang menyangka bahwa negeri Syam ma-sih tenang dan masih berada di bawah kerajaan Islam.
–Ada yang menyangka kalau kaum muslimin mau menghadapi musuh, tentu akan bisa merontokkan dan menguasai mereka seperti lingkaran cahaya bulan mengelilingi bulan.
–Ada yang memiliki persangkaan musuh akan menawan mereka dan membawanya ke Mesir dan mengangkat sebagai penguasa di sana, sehingga orang-orang seperti ini tidak ada yang teguh untuk berhadapan dengan musuh, ia lebih berniat untuk melarikan diri ke Yaman atau yang lain.
–Ada juga yang melihat adanya gejala-gejala yang saling bertentangan dan memiliki keinginan-keinginan yang saling tarik menarik, apalagi ia tidak bisa membedakan mana kabar gembira yang benar dan yang dusta, tidak bisa membedakan bisikan hati yang salah dan yang tepat; oleh karena itu, orang yang bermain-main dalam urusan mengam-bil petunjuk akan diliputi kebingu-ngan dan dipermainkan oleh berbagai pemikiran, seperti halnya anak kecil mempermainkan kerikil bebatuan.
“…Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat…” ; Alloh menguji mereka dengan ujian ini, yang dengannya Alloh mengha-puskan dosa-dosa mereka dan mengangkat derajat mereka.
Kemudian Alloh Ta‘ala berfirman: “Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu…” [3]
–Maka satu golongan kaum munafik itu ada yang mengatakan: Tidak ada tempat lagi bagi kalian di sini, sebab musuh terlalu banyak, maka kembalilah ke Madinah.
–Ada yang mengatakan, “Tidak ada tempat bagi kalian untuk berperang, maka kembalilah untuk meminta keamanan dan perlindungan kepada mereka.”
Demikian juga ketika musuh dari bangsa Tartar datang, orang-orang munafik ada yang mengatakan:
–Negara Islam sudah tidak ada lagi, maka sudah selayaknya kita masuk di bawah negara Tartar.
–Sebagian orang-orang khusus mengatakan, negara Islam masih bertahan.
–Sebagian lagi ada yang mengatakan, yang terbaik adalah menyerahkan diri kepada mereka seperti penduduk Irak menyerahkan diri dan masuk di bawah kekuasaan mereka.”
hingga perkataan Syaikhul Islam—:
“Sesungguhnya peristiwa ini mengandung perkara-perkara besar yang di luar batas ukuran serta keluar dari kebiasaan. Bagi setiap yang berakal akan melihat bagaimana Alloh memperkokoh agama ini dengan kejadian tersebut, dan perhatian-Nya terhadap umat ini setelah hampir saja Islam tergulung, ketika sebab-sebab yang tampak secara lahiriyah sudah terputus, musuh dari pasukan sekutu menyerang begitu cepat, hati kaum muslimin melemah karena saling bermusuhan, sementara yang tetap teguh hanyalah satu kelompok yang mau menolong agama Alloh, sehingga Allohpun membukakan pintu-pintu langit-Nya untuk tentara-tentara-Nya yang kuat, Alloh menghinakan orang-orang kafir dan munafik dan menjadikan semua itu sebagai tanda kekuasaan Alloh bagi orang-orang beriman hingga hari perjumpaan dengan-Nya.”
Tatkala sampai berita bahwa pasukan Tartar sudah menyiapkan semua persenjataan untuk menyerang Syam, orangpun pada ketakutan, harga transportasi menjadi mahal; upah kuda dari Hamasah ke Damaskus saja mencapai harga 200 dirham.
Ini terjadi tahun 699 H.
Sebagian gubernur berpanda-ngan untuk menyerahkan benteng Al-Qol‘ah kepada Tartar, demi menjaga penduduk. Tetapi Ibnu Taimiyah tetap bersikukuh untuk melawan mereka dan meminta penjaga benteng untuk tidak menyerahkannya, walaupun tidak tersisa lagi selain satu bongkah batu; maka penjaga bentengpun menyetujui pendapat Ibnu Taimiyah, dan ternyata ada mashlahat yang baik bagi kaum muslimin dalam sikap ini.
Kemudian datang berita mengenai kedatangan pasukan Mesir menuju Syam, maka Hulaghu bersama pasukan Tartarnya keluar menuju Damaskus. Sementara Damaskus sendiri sudah kosong dari tentara dan penjaga. Maka, seluruh penduduknya diseru untuk keluar membawa senjata masing-masing dan bermalam di pagar-pagar benteng serta pintu-pintu masuk untuk menjaga negeri, maka merekapun keluar menuju pagar benteng.
Ibnu Taimiyah sendiri berkeliling di benteng setiap malam untuk memberikan semangat agar bersabar dan terus berperang, serta membacakan ayat-ayat jihad dan ribath kepada mereka.
Ketika kehidupan di Damaskus kembali normal, Ibnu Taimiyah dan pengikutnya berkeliling ke warung-warung, lalu memecahkan bejana-bejana khomer. Setelah itu, Ibnu Taimiyah dengan didampingi Al-Atsrom –gubernur Damaskus—keluar ke daerah Jubailah dan Kasrowan untuk memberi pelajaran kepada kaum Rafidhoh (Syiah) dan Bathiniyah, karena keterlibatan mereka membantu pasukan Tartar. Mereka juga ikut menyerang kaum muslimin di malam hari. Maka para pemimpin mereka keluar menemui Ibnu Taimiyah dan menampakkan ketaatan serta penyesalannya. Mereka juga mengembalikan semua barang yang telah mereka ambil. Setelah selesai, Al-Atsrom kembali ke Damaskus dan mengeluarkan perintah agar rakyat menggantungkan senjata-senjata di toko-toko, dan memerintahkan mereka untuk belajar memanah. Akhirnya, dibangunlah Al-Imajat –yaitu kamp-kamp latihan militer di Damaskus—. Ia juga memerintahkan para ulama untuk turut belajar memanah, dalam rangka persiapan menghadapi situasi apapun yang datang mendadak.
Demikianlah, umat ini wajib melakukan persiapan di waktu senggang, supaya ketika terjadi peristiwa-peristiwa dahsyat, ada anak-anak dari umat ini yang menghadapi, melindungi, serta menolak makar musuh terhadapnya.
Pasukan Tartar masuk ke Syam pada tahun 702 H, manusiapun gempar ketakutan, mereka melaku-kan doa qunut dalam sholat, dan itulah pertempuran pertama kali yang mereka alami, datanglah pasukan Tartar yang didukung oleh 7000 personel, maka sekelompok pahlawan negeri Syam berjumlah 1500 orang menghadapi mereka, dan Alloh pun memenangkan pasukan-Nya.
Ketika pasukan Tartar sudah semakin dekat, dua pasukan –yaitu dari Himawi dan Al-Halbi— mundur ke Himsh, mereka takut pasukan Tartar akan menyerang mereka secara tiba-tiba, maka merekapun berjaga-jaga di daerah Marji Ash-Shuffar. Dan benar, pasukan Tartar sampai di Himsh, kemudian merangsek ke Ba‘labak, manusia diguncang rasa takut luar biasa, berita-berita negatif dan berbagai isu banyak sekali tersebar. Maka dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memiliki andil besar dalam menenangkan jiwa orang-orang dan menjaga kestabilan kondisi intern kaum muslimin.
Beberapa waktu kemudian, orang mulai meragukan sah tidaknya memerangi bangsa Tartar secara syar‘i; sebab mereka juga berpenampilan Islam tulen. Keraguan ini sama dengan sikap orang-orang yang kalah sebelum tempur hari ini, yang mana mereka meragukan sah tidaknya memerangi tentara pemerintah Thoghut.
Ibnu Hazm berkata dalam kitab Al-Muhallâ, “Tidak ada kejahatan yang lebih besar setelah kekafiran, daripada melarang jihad di jalan Alloh dan menyuruh agar kehormatan kaum muslimin diserahkan begitu saja kepada musuh-musuh Alloh.”
Kemudian, Ibnu Taimiyah tampil dan mengeluarkan fatwa-fatwanya yang cukup terkenal mengenai wajibnya memerangi pasukan Tartar. Beliau mematahkan semua syubhat yang banyak didengungkan kaitannya dengan masalah ini. Beliau mengatakan kepada manusia, “Jika kalian melihatku berada di fihak Tartar sementara di kepalaku ada mushaf Al-Quran, maka bunuhlah aku,”
Mendengar fatwa ini, manusia-pun kembali bersemangat untuk berperang, hati mereka kembali kuat.
Ketika pasukan Tartar semakin dekat, Ibnu Taimiyah menoleh kepada salah seorang petinggi Syam, beliau berkata, “Hai Fulan, tempatkan aku di posisi kematian,”
Petinggi itu berkisah, “Maka aku menempatkan Ibnu Taimiyah di depan musuh persis, ketika itu mereka datang berbondong bondong seperti aliran ombak dengan menenteng senjata-senjatanya yang berkilauan di balik debu perang. Kukatakan: Tuanku, inilah posisi kematian dan inilah musuh, mereka datang di balik debu itu.”
Syaikhul Islam pun mengangkat matanya ke langit dan memejamkan pandangannya, dan menggerak-gerak kan kedua bibirnya untuk berdoa kepada robbnya dalam waktu cukup lama. Maka beliau bertempur melawan pasukan Tartar, perang berlangsung sangat-sangat sengit, api pertempuran berkobar menyala-nyala, para pahwalan menunjukkan keperwiraannya, dan pasukan Tartar dipaksa mundur ke gunung-gunung. Setelah hari mulai gelap, kaum muslimin mengepung pegunungan di mana pasukan Tartar berada, sungguh hati pasukan Tartar kala itu terhinggapi ketakutan luar biasa.
Syaikh Abû Mus‘ab Al-Zarq
[1] QS. Al-Ahzab: 9.
[2] QS. Al-Ahzab: 10 – 11.
[3] QS. Al-Ahzab: 13.

Suriah; Rakyat Tanpa Harapan, Presiden Tanpa Negara

Surat kabar Inggris, The Guardian, menyebut rezim Bashar al-Assad telah kehilangan negaranya. Sementara itu, pihak oposisi tak mampu lagi memenangkan perang. Sedangkan rakyat sipil, hidup tanpa mampu berharap dari kedua pihak.
Dilansir Aljazeera.net, laporan Guardian tersebut dimuat dalam rangka memperingati tujuh tahun sejak meletusnya revolusi Suriah pada 2011 silam. Disebutkan, saat ini hanya bayang-bayang negara di masa lalu yang tersisa di Suriah. Sementara kedaulatan negara itu, hanya bersandar pada Rusia dan Iran.


Dukungan Rusia dan Iran itu memang mendorong pasukan al-Assad untuk memenangkan perang. Namun hal itu harus dibayar dengan kehancuran sebagian besar kota-kota di Suriah.

Selama tujuh tahun berlangsung, rakyat sipil telah mengalami banyak hal mulai dari pembunuhan, penindasan,  serta meninggalkan rumah dan tatanan internasional. Padahal tatanan itu seharusnya mencegah tragedi menyedihkan di abad lalu agar tidak terulang.
Memasuki tahun ke-8, jumlah korban meninggal telah mencapai 500.000 jiwa. Kota-kota di seluruh penjuru negeri hanya menyisakan reruntuhan. Harapan hidup masyarakat sipil semakin rendah. Generasi penerus kehilangan hak pendidikan. Sementara setengah jumlah rakyat, menggantungkan hidup pada bantuan kemanusiaan.
Sementara itu, laporan Guardian juga menyebut mustahil untuk mempertahankan persatuan Suriah. Hal ini diperparah dengan keengganan dua pertiga penduduk untuk kembali ke rumah mereka.
Lebih lanjut, laporan juga menyebut perang di Suriah menjadi kompetisi sengit untuk pengaruh regional. Tentu saja ini akan menyebabkan pertempuran langsung antara kekuatan-kekuatan yang didukung Rusia dan AS untuk pertama kali sejak perang dingin berakhir.
Kondisi juga akan menyebabkan pertempuran langsung antara kelompok lain seperti antara Iran dan Israel, Suriah dan Israel, maupun antara Turki dan Kurdistan Suriah.
Kekuatan yang ada sejak awal konflik semakin banyak dan semakin sulit ditundukkan. Seluruh pihak hanya melihat dan mengutamakan kepentingannya saja. Sementara kepentingan rakyat Suriah sendiri, mungkin dikesampingkan.
Sumber: Aljazeera

Revolusi Ibnu Taimiyah di Era Serbuan Tartar

Sudah Sunatullah lahirnya para pembaharu dalam Islam. Begitulah cara Allah memelihara agama dan umat Islam.
Di abad akhir abad 7 dan awsl 8 Hijriyah, umat Islam terhina dihadapan bangsa Tartar. Tartar masuk bagaikan air bah yang menerjang dan melumatkan umat Islam. Mengapa ?
Menurut imam Nawawi yang hidup diabad 7 Hijriyah, telah terjadi kemandekan pemikiran dan ijtihad. Menurut beliau sejak abad ke 4 Hijriyah sudah tidak ada lagi mujtahid mutlak. Yang ada mujtahid muqqayyad atau terbatas.
Mujtahid terbatas maksudnya, berijtihad dalam skala madzhabnya saja dan tidak keluar dari kaidah-kaidahnya.
Imam Nawawi saat itu mencoba memulai pembaharuan dengan kitabnya berjudul Majmu', namun belum selesai karena keburu wafat.
Estapet ini dilanjutkan oleh Ibu Taimiyah. Beliau melakukan dua revolusi sekaligus yaitu revolusi Jihad melawan Tartar dan revolusi terhadap definisi cara beragama sesuai dengan kondisi yang ada.
Revolusi Ibu Taimiyah sungguh berbeda dengan revolusi seperti imam Syafii. Di masa imam Syafii, negara dalam keadaan stabil, jadi yang dibutuhkan hanya definisi agama dalam menjawab persoalan negara dan masyarakat. Oleh karena itu profesi Imam Syafii sebagai Hakim dan Ulama.
Revolusi ibnu Taimiyah, disaat negara hancur oleh serangan Tartar, lalu bagaimana memecahkan persoalan negara dan masyarakat yang hidup ditengah kehancuran?  Inilah peran para Pembaharu
Peran ibnu Taimiyah dalam jihad ada 3. Yaitu, bernegoisasi dengan penguasa Tartar untuk menjaga keamanan dan membebaskan tawanan dan masyarakat. Membangkitkan semangat jihad masyarakat dan juga terjun ke medan Jihad. Terakhir, membangkitkan kesadaran jihad para penguasa muslim dan membangun kerjasama antar penguasa.
Dalam bidang Fiqh, kaidah umum yang digunakannya adalah "Permudah dan jangan persulit". Juga, hadist Rasulullah saw," Rasulullah saw tidak disuruh memilih dua hal kecuali memilih yang paling mudah selagi tidak ada dosa di dalamnya."
Konsep revolusi ibnu Taimiyah sangat tepat mengingat kondisi keterpurukan yang membutuhkan gelora jihad dan solusi mudah dan praktis dalam menjawab persoalan.
Dalam bidang Aqidah, bersama muridnya ibnu Qayim, beliau memaparkan semua ideologi dan aliran menyesatkan yang meracuni pemikiran dan hati kaum muslimin.
Lihatlah dalam kitab Ibnu Qayim yang berjudul Madarijus Salikin, Ibnu Qayim memaparkan semua ideologi yang salah dan menyesatkan lalu dijelaskan dengan gamblang tentang pemikiran Ahlus Sunah.
Demikianlah karakter para pembaharu selalu memiliki dua prinsip yaitu kembali pada al Quran dan As Sunnah juga memahami kondisi realitas masyarakat di zamannya.