Suriah: Rakyat
Tanpa Harapan, Presiden Tanpa Negara
(artikel ke 3000)
Aku tidak menemukan sesuatu yang lebih baik
untuk kuketengahkan di hadapan kalian, selain tulisan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika beliau mengomentari persekutuan pasukan
Ahzab dalam perang Khondaq. Beliau berkata, “Ringkasan cerita perang
Khondaq, bahwa kaum muslimin terkepung oleh seluruh kaum musyrikin di
sekeliling mereka. Mereka datang dengan bala tentaranya ke Madinah untuk
membasmi orang-orang beriman hingga ke akar-akarnya. Maka berkumpullah kaum
Quraisy dan sekutu-sekutunya dari Bani Asad, Asyja‘, Fazaroh, dan
kabilah-kabilah Nejd lainnya. Turut bergabung juga yahudi Bani Quroidzoh dan
Bani Nadzir. Pasukan sekutu ini berkumpul menjadi satu dan jumlah mereka jauh
berlipat ganda di atas jumlah kaum muslimin. Sampai-sampai Nabi Shollallohu
‘Alaihi Wa Sallam harus meng-ungsikan orang-orang lemah dari wanita dan
anak-anak ke benteng-benteng Madinah.
Sedangkan kejadian sekarang ini –maksudnya,
yang dialami Syaikhul Islam di zamannya—musuh kembali bersekutu, sejak dari
bangsa Mongol, berbagai suku Turki, Persia, orang-orang Arab pendatang,
orang-orang sejenis dengan mereka yang murtad, dari kalangan kristen Armenia
dan lain-lain. Musuh ini masuk ke sisi negeri kaum muslimin ketika kaum
muslimin tengah bimbang antara maju dan mundur, ditambah lagi dengan sedikitnya
jumlah kaum muslimin lain yang mau berhadapan dengan musuh, padahal musuh
hendak menguasai negeri dan mengambil alih daerah penduduknya sebagaimana musuh
dulu mengepung Madinah berhadapan dengan kaum muslimin. Dan ketika perang
Khondaq terjadi, suhu udara teramat dingin, tiupan angin begitu kencang dan
tidak seperti biasanya. Dengan itulah Alloh memalingkan pasukan Ahzab dari
Madinah, sebagaimana firman Alloh Ta‘ala ini:
“…maka Kami kirim kepada mereka angin dan
pasukan-pasukan yang tidak kalian lihat…” [1]
Demikian juga tahun ini di sini, Alloh
memperbanyak salju, hujan, dan hawa dingin tidak seperti biasanya,
sampai-sampai banyak orang yang tidak menyukai hal ini. Adapun kami, kami
katakan kepada mereka yang tidak suka: Jangan kalian benci hal itu, sebab Alloh
memiliki hikmah dan rahmat di dalamnya. Dan itu termasuk sebab terbesar di mana
dengannya Alloh mengusir musuh.
Alloh Ta‘ala berfirman mengenai kondisi
pasukan Ahzab:
“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu
dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan
hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Alloh
dengan bermacam-macam pur-basangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan
digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” [2]
Demikian juga tahun ini, musuh datang
dari atas daerah Syam, yaitu selatan sungai Eufrat…”
Syaikhul Islam melanjutkan, “…kemudian
manusia mulai berprasangka kepada Alloh dengan berbagai purbasangka;
–Ada
yang menyangka tidak ada lagi tentara Syam yang masih tegak berdiri, sehingga
musuh akan menguasai penduduk Syam
–Ada yang menyangka bahwa negeri Syam ma-sih tenang dan masih berada di bawah
kerajaan Islam.
–Ada yang menyangka kalau kaum muslimin mau menghadapi musuh, tentu akan bisa
merontokkan dan menguasai mereka seperti lingkaran cahaya bulan mengelilingi bulan.
–Ada yang memiliki persangkaan musuh akan menawan mereka dan membawanya ke Mesir
dan mengangkat sebagai penguasa di sana, sehingga orang-orang seperti ini tidak
ada yang teguh untuk berhadapan dengan musuh, ia lebih berniat untuk melarikan
diri ke Yaman atau yang lain.
–Ada juga yang melihat adanya gejala-gejala yang saling bertentangan dan
memiliki keinginan-keinginan yang saling tarik menarik, apalagi ia tidak bisa
membedakan mana kabar gembira yang benar dan yang dusta, tidak bisa membedakan
bisikan hati yang salah dan yang tepat; oleh karena itu, orang yang
bermain-main dalam urusan mengam-bil petunjuk akan diliputi kebingu-ngan dan
dipermainkan oleh berbagai pemikiran, seperti halnya anak kecil mempermainkan
kerikil bebatuan.
“…Di situlah diuji orang-orang mukmin dan
digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat…” ; Alloh menguji
mereka dengan ujian ini, yang dengannya Alloh mengha-puskan dosa-dosa mereka
dan mengangkat derajat mereka.
Kemudian Alloh Ta‘ala berfirman: “Dan
(ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: Hai penduduk Yatsrib
(Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu…” [3]
–Maka satu golongan kaum munafik itu ada yang mengatakan: Tidak ada tempat lagi
bagi kalian di sini, sebab musuh terlalu banyak, maka kembalilah ke Madinah.
–Ada yang mengatakan, “Tidak ada tempat bagi kalian untuk berperang, maka
kembalilah untuk meminta keamanan dan perlindungan kepada mereka.”
Demikian juga ketika musuh dari bangsa
Tartar datang, orang-orang munafik ada yang mengatakan:
–Negara Islam sudah tidak ada lagi, maka sudah selayaknya kita masuk di bawah
negara Tartar.
–Sebagian orang-orang khusus mengatakan, negara Islam masih bertahan.
–Sebagian lagi ada yang mengatakan, yang terbaik adalah menyerahkan diri kepada
mereka seperti penduduk Irak menyerahkan diri dan masuk di bawah kekuasaan
mereka.”
—hingga perkataan Syaikhul Islam—:
“Sesungguhnya peristiwa ini mengandung
perkara-perkara besar yang di luar batas ukuran serta keluar dari kebiasaan.
Bagi setiap yang berakal akan melihat bagaimana Alloh memperkokoh agama ini
dengan kejadian tersebut, dan perhatian-Nya terhadap umat ini setelah hampir
saja Islam tergulung, ketika sebab-sebab yang tampak secara lahiriyah sudah
terputus, musuh dari pasukan sekutu menyerang begitu cepat, hati kaum muslimin
melemah karena saling bermusuhan, sementara yang tetap teguh hanyalah satu
kelompok yang mau menolong agama Alloh, sehingga Allohpun membukakan
pintu-pintu langit-Nya untuk tentara-tentara-Nya yang kuat, Alloh menghinakan
orang-orang kafir dan munafik dan menjadikan semua itu sebagai tanda kekuasaan
Alloh bagi orang-orang beriman hingga hari perjumpaan dengan-Nya.”
Tatkala sampai berita bahwa pasukan
Tartar sudah menyiapkan semua persenjataan untuk menyerang Syam, orangpun pada
ketakutan, harga transportasi menjadi mahal; upah kuda dari Hamasah ke Damaskus
saja mencapai harga 200 dirham.
Ini terjadi tahun 699
H.
Sebagian gubernur berpanda-ngan untuk
menyerahkan benteng Al-Qol‘ah kepada Tartar, demi menjaga penduduk. Tetapi Ibnu
Taimiyah tetap bersikukuh untuk melawan mereka dan meminta penjaga benteng
untuk tidak menyerahkannya, walaupun tidak tersisa lagi selain satu bongkah
batu; maka penjaga bentengpun menyetujui pendapat Ibnu Taimiyah, dan ternyata
ada mashlahat yang baik bagi kaum muslimin dalam sikap ini.
Kemudian datang berita mengenai
kedatangan pasukan Mesir menuju Syam, maka Hulaghu bersama pasukan Tartarnya
keluar menuju Damaskus. Sementara Damaskus sendiri sudah kosong dari tentara
dan penjaga. Maka, seluruh penduduknya diseru untuk keluar membawa senjata
masing-masing dan bermalam di pagar-pagar benteng serta pintu-pintu masuk untuk
menjaga negeri, maka merekapun keluar menuju pagar benteng.
Ibnu Taimiyah sendiri berkeliling di
benteng setiap malam untuk memberikan semangat agar bersabar dan terus berperang,
serta membacakan ayat-ayat jihad dan ribath kepada mereka.
Ketika kehidupan di Damaskus kembali
normal, Ibnu Taimiyah dan pengikutnya berkeliling ke warung-warung, lalu
memecahkan bejana-bejana khomer. Setelah itu, Ibnu Taimiyah dengan didampingi
Al-Atsrom –gubernur Damaskus—keluar ke daerah Jubailah dan Kasrowan untuk
memberi pelajaran kepada kaum Rafidhoh (Syiah) dan Bathiniyah, karena
keterlibatan mereka membantu pasukan Tartar. Mereka juga ikut menyerang kaum
muslimin di malam hari. Maka para pemimpin mereka keluar menemui Ibnu Taimiyah
dan menampakkan ketaatan serta penyesalannya. Mereka juga mengembalikan semua
barang yang telah mereka ambil. Setelah selesai, Al-Atsrom kembali ke Damaskus
dan mengeluarkan perintah agar rakyat menggantungkan senjata-senjata di
toko-toko, dan memerintahkan mereka untuk belajar memanah. Akhirnya,
dibangunlah Al-Imajat –yaitu kamp-kamp latihan militer di Damaskus—. Ia juga
memerintahkan para ulama untuk turut belajar memanah, dalam rangka persiapan
menghadapi situasi apapun yang datang mendadak.
Demikianlah, umat ini wajib melakukan
persiapan di waktu senggang, supaya ketika terjadi peristiwa-peristiwa dahsyat,
ada anak-anak dari umat ini yang menghadapi, melindungi, serta menolak makar
musuh terhadapnya.
Pasukan Tartar masuk ke Syam pada tahun
702 H, manusiapun gempar ketakutan, mereka melaku-kan doa qunut dalam sholat,
dan itulah pertempuran pertama kali yang mereka alami, datanglah pasukan Tartar
yang didukung oleh 7000 personel, maka sekelompok pahlawan negeri Syam
berjumlah 1500 orang menghadapi mereka, dan Alloh pun memenangkan pasukan-Nya.
Ketika pasukan Tartar sudah semakin
dekat, dua pasukan –yaitu dari Himawi dan Al-Halbi— mundur ke Himsh, mereka
takut pasukan Tartar akan menyerang mereka secara tiba-tiba, maka merekapun
berjaga-jaga di daerah Marji Ash-Shuffar. Dan benar, pasukan Tartar sampai di
Himsh, kemudian merangsek ke Ba‘labak, manusia diguncang rasa takut luar biasa,
berita-berita negatif dan berbagai isu banyak sekali tersebar. Maka dalam hal
ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memiliki andil besar dalam menenangkan jiwa
orang-orang dan menjaga kestabilan kondisi intern kaum muslimin.
Beberapa waktu kemudian, orang mulai
meragukan sah tidaknya memerangi bangsa Tartar secara syar‘i; sebab mereka juga
berpenampilan Islam tulen. Keraguan ini sama dengan sikap orang-orang yang
kalah sebelum tempur hari ini, yang mana mereka meragukan sah tidaknya
memerangi tentara pemerintah Thoghut.
Ibnu Hazm berkata dalam
kitab Al-Muhallâ, “Tidak ada kejahatan yang lebih besar setelah kekafiran,
daripada melarang jihad di jalan Alloh dan menyuruh agar kehormatan kaum
muslimin diserahkan begitu saja kepada musuh-musuh Alloh.”
Kemudian, Ibnu Taimiyah tampil dan
mengeluarkan fatwa-fatwanya yang cukup terkenal mengenai wajibnya memerangi
pasukan Tartar. Beliau mematahkan semua syubhat yang banyak didengungkan
kaitannya dengan masalah ini. Beliau mengatakan kepada manusia, “Jika kalian
melihatku berada di fihak Tartar sementara di kepalaku ada mushaf Al-Quran,
maka bunuhlah aku,”
Mendengar fatwa ini, manusia-pun kembali
bersemangat untuk berperang, hati mereka kembali kuat.
Ketika pasukan Tartar semakin dekat, Ibnu
Taimiyah menoleh kepada salah seorang petinggi Syam, beliau berkata, “Hai
Fulan, tempatkan aku di posisi kematian,”
Petinggi itu berkisah, “Maka aku
menempatkan Ibnu Taimiyah di depan musuh persis, ketika itu mereka datang
berbondong bondong seperti aliran ombak dengan menenteng senjata-senjatanya
yang berkilauan di balik debu perang. Kukatakan: Tuanku, inilah posisi kematian
dan inilah musuh, mereka datang di balik debu itu.”
Syaikhul Islam pun mengangkat matanya ke
langit dan memejamkan pandangannya, dan menggerak-gerak kan kedua bibirnya
untuk berdoa kepada robbnya dalam waktu cukup lama. Maka beliau bertempur
melawan pasukan Tartar, perang berlangsung sangat-sangat sengit, api
pertempuran berkobar menyala-nyala, para pahwalan menunjukkan keperwiraannya,
dan pasukan Tartar dipaksa mundur ke gunung-gunung. Setelah hari mulai gelap,
kaum muslimin mengepung pegunungan di mana pasukan Tartar berada, sungguh hati
pasukan Tartar kala itu terhinggapi ketakutan luar biasa.
Syaikh Abû Mus‘ab Al-Zarq
[1] QS.
Al-Ahzab: 9.
[2] QS.
Al-Ahzab: 10 – 11.
[3] QS.
Al-Ahzab: 13.
Suriah; Rakyat Tanpa Harapan, Presiden
Tanpa Negara
Surat kabar Inggris, The Guardian,
menyebut rezim Bashar al-Assad telah kehilangan negaranya. Sementara itu, pihak
oposisi tak mampu lagi memenangkan perang. Sedangkan rakyat sipil, hidup tanpa
mampu berharap dari kedua pihak.
Dilansir Aljazeera.net,
laporan Guardian tersebut dimuat dalam rangka memperingati tujuh tahun sejak
meletusnya revolusi Suriah pada 2011 silam. Disebutkan, saat ini hanya
bayang-bayang negara di masa lalu yang tersisa di Suriah. Sementara kedaulatan
negara itu, hanya bersandar pada Rusia dan Iran.
Dukungan Rusia dan Iran itu memang mendorong pasukan al-Assad untuk memenangkan
perang. Namun hal itu harus dibayar dengan kehancuran sebagian besar kota-kota
di Suriah.
Selama tujuh tahun berlangsung, rakyat
sipil telah mengalami banyak hal mulai dari pembunuhan, penindasan, serta
meninggalkan rumah dan tatanan internasional. Padahal tatanan itu seharusnya
mencegah tragedi menyedihkan di abad lalu agar tidak terulang.
Memasuki tahun ke-8, jumlah korban
meninggal telah mencapai 500.000 jiwa. Kota-kota di seluruh penjuru negeri
hanya menyisakan reruntuhan. Harapan hidup masyarakat sipil semakin rendah.
Generasi penerus kehilangan hak pendidikan. Sementara setengah jumlah rakyat,
menggantungkan hidup pada bantuan kemanusiaan.
Sementara itu, laporan Guardian juga
menyebut mustahil untuk mempertahankan persatuan Suriah. Hal ini diperparah dengan
keengganan dua pertiga penduduk untuk kembali ke rumah mereka.
Lebih lanjut, laporan juga menyebut
perang di Suriah menjadi kompetisi sengit untuk pengaruh regional. Tentu saja
ini akan menyebabkan pertempuran langsung antara kekuatan-kekuatan yang didukung
Rusia dan AS untuk pertama kali sejak perang dingin berakhir.
Kondisi juga akan menyebabkan pertempuran
langsung antara kelompok lain seperti antara Iran dan Israel, Suriah dan
Israel, maupun antara Turki dan Kurdistan Suriah.
Kekuatan yang ada sejak awal konflik
semakin banyak dan semakin sulit ditundukkan. Seluruh pihak hanya melihat dan
mengutamakan kepentingannya saja. Sementara kepentingan rakyat Suriah sendiri,
mungkin dikesampingkan.
Sumber: Aljazeera
Revolusi Ibnu Taimiyah di Era Serbuan
Tartar
Sudah Sunatullah lahirnya para pembaharu
dalam Islam. Begitulah cara Allah memelihara agama dan umat Islam.
Di abad akhir abad 7 dan awsl 8 Hijriyah,
umat Islam terhina dihadapan bangsa Tartar. Tartar masuk bagaikan air bah yang
menerjang dan melumatkan umat Islam. Mengapa ?
Menurut imam Nawawi yang hidup diabad 7
Hijriyah, telah terjadi kemandekan pemikiran dan ijtihad. Menurut beliau sejak
abad ke 4 Hijriyah sudah tidak ada lagi mujtahid mutlak. Yang ada mujtahid
muqqayyad atau terbatas.
Mujtahid terbatas maksudnya, berijtihad
dalam skala madzhabnya saja dan tidak keluar dari kaidah-kaidahnya.
Imam Nawawi saat itu mencoba memulai
pembaharuan dengan kitabnya berjudul Majmu', namun belum selesai karena keburu
wafat.
Estapet ini dilanjutkan oleh Ibu
Taimiyah. Beliau melakukan dua revolusi sekaligus yaitu revolusi Jihad melawan
Tartar dan revolusi terhadap definisi cara beragama sesuai dengan kondisi yang
ada.
Revolusi Ibu Taimiyah sungguh berbeda
dengan revolusi seperti imam Syafii. Di masa imam Syafii, negara dalam keadaan
stabil, jadi yang dibutuhkan hanya definisi agama dalam menjawab persoalan
negara dan masyarakat. Oleh karena itu profesi Imam Syafii sebagai Hakim dan
Ulama.
Revolusi ibnu Taimiyah, disaat negara
hancur oleh serangan Tartar, lalu bagaimana memecahkan persoalan negara dan
masyarakat yang hidup ditengah kehancuran? Inilah peran para Pembaharu
Peran ibnu Taimiyah dalam jihad ada 3.
Yaitu, bernegoisasi dengan penguasa Tartar untuk menjaga keamanan dan
membebaskan tawanan dan masyarakat. Membangkitkan semangat jihad masyarakat dan
juga terjun ke medan Jihad. Terakhir, membangkitkan kesadaran jihad para
penguasa muslim dan membangun kerjasama antar penguasa.
Dalam bidang Fiqh, kaidah umum yang
digunakannya adalah "Permudah dan jangan persulit". Juga, hadist
Rasulullah saw," Rasulullah saw tidak disuruh memilih dua hal kecuali
memilih yang paling mudah selagi tidak ada dosa di dalamnya."
Konsep revolusi ibnu Taimiyah sangat
tepat mengingat kondisi keterpurukan yang membutuhkan gelora jihad dan solusi
mudah dan praktis dalam menjawab persoalan.
Dalam bidang Aqidah, bersama muridnya
ibnu Qayim, beliau memaparkan semua ideologi dan aliran menyesatkan yang meracuni
pemikiran dan hati kaum muslimin.
Lihatlah dalam kitab Ibnu Qayim yang
berjudul Madarijus Salikin, Ibnu Qayim memaparkan semua ideologi yang salah dan
menyesatkan lalu dijelaskan dengan gamblang tentang pemikiran Ahlus Sunah.
Demikianlah karakter para pembaharu
selalu memiliki dua prinsip yaitu kembali pada al Quran dan As Sunnah juga
memahami kondisi realitas masyarakat di zamannya.