“Muslim moderat menurut Barat, adalah
dengan ciri-ciri Muslim yang tidak anti semith (tidak anti Yahudi), kritis
terhadap Islam dan menganggap Nabi Muhammad tidak mulia dan tidak perlu
diikuti, pro kesetaraan gender, menentang jihad, menentang kekuasaan Islam, pro
pemerintahan sekuler, pro Israel, pro kesamaan agama-agama, tidak merespons
terhadap kritik-kritik kepada Islam dan Nabi Muhammad, anti pakaian Muslim,
tidak suka jilbab, anti syariah dan anti terorisme. Inilah arti moderat menurut
Barat,” tegas Hamid.
Jadi, syariah itu tidak moderat bagi
Barat. Tapi moderat perspektif Barat itu adalah yang percaya pada demokrasi,
toleransi, pendekatan politik tanpa kekerasan, perlakuan yang sama terhadap
wanita dalam hukum.Kesimpulannya, moderat dalam pikiran Barat itu identik dengan
liberal. Sehingga tidak sama dengan wasathiyah.
Jadi, ada keterkaitan pelaksanaan KTT
tersebut dengan berbagai kekerasan yang terjadi, di mana salah satu yang
dianggap pemicunya adalah cara umat Islam dalam memaknai dan melaksanakan agama
yang dipeluknya.
Kita memang tidak bisa menafikan berbagai
kejadian yang disebut sebagai kekerasan yang terjadi dengan agama Islam sebagai
latarnya. Namun berbagai pembicaraan seputar Islam dan kekerasan selalu
mendudukkan Islam dan kaum Muslimin sebagai “aktor.” Karenanya, kemudian pelaku
dan pikirannya yang perlu diubah.
Pembicaraan sama sekali tidak pernah
menyentuh faktor “penyebab.” Hampir seluruh agenda yang diadakan seputar
masalah ini selalu berkutat pada faktor “api,” dan berusaha memadamkannya,
tanpa pernah menyinggung dari mana sekam, minyak dan korek yang memantiknya.
Istilah yang selalu dikemukakan adalah
“kekerasan.” Padahal, hampir dari seluruh kejadian yang ada, apa yang dilakukan
umat Islam adalah reaksi dari penindasan dan tindak kezaliman yang terjadi
sebelumnya. Siapa yang menindas, siapa yang menzalimi, apa tindakan yang harus
diberikan kepada penindas dan penzalim, meminjam iklan mobil diesel era 90-an:
nyaris tak terdengar.
Catatan kritis itu perlu kita sodorkan
pada KTT ini, agar tidak mubazir, terkesan hanya formalitas dan basa-basi
semata. Apalagi kalau definisi “Wasathiyah” ini dimaknai dengan pendekatan
berbagai agama dengan cara menganggap benar semuanya (taqrib).
Sebab, cara seperti ini sudah usang.
Usang, karena dahulu Abu Thalib juga mempraktikkannya. Ia tidak membantah
kebenaran Islam yang dibawa keponakannya, Muhammad SAW. Namun ia juga enggan
mengingkari keyakinan syirik kaum Quraisy sebagai kebatilan yang harus
ditinggalkan.
Pada akhirnya, sebagai tuan rumah, kita
patut berharap bahwa KTT ini bukan merupakan jelmaan baru dari “muktamar” abad
ke-17 yang kemudian akhirnya “mereformasi” ajaran Kristen.
Ahlus
Sunnah Adalah Ahlul Wasath
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Ahlul
Wasath (ummat yang pertengahan di antara firqah-firqah [1] yang menyimpang)
[2]. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan ummat (Islam) ini
sebagai ummat pertengahan (ummat yang adil dan terpilih), di kalangan semua
ummat manusia, sebagaimana firman-Nya:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian pula telah Kami jadikan
kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.” [Al-Baqarah: 143]
Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan
di antara firqah-firqah (golongan-golongan) yang sesat. Menurut penjelasan Imam
‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) dan Yusuf al-Asbath (wafat th. 195 H)
bahwa golongan yang binasa (sesat) banyak jumlahnya, akan tetapi sumber
perpecahannya ada empat firqah (golongan), yaitu:
1. Rafidhah.
2. Khawarij.
3. Qadariyyah.
4. Murji’ah.
Ada orang yang bertanya kepada ‘Abdullah
Ibnul Mubarak tentang golongan Jahmiyyah, maka beliau menjawab: “Mereka itu
bukan ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [3]
Di antara keyakinan dan manhaj Ahlus
Sunnah yang merupakan pertengahan adalah:
1. Mereka (Ahlus Sunnah) adalah
pertengahan dalam masalah Sifat-Sifat Allah antara golongan Jahmiyyah dan
Musyabbihah.
Jahmiyyah adalah aliran yang sesat dan
dikafirkan oleh para ulama. Muncul pada akhir kekuasaan Bani Umayyah. Disebut
demikian karena dikaitkan dengan nama tokoh pendirinya, yaitu Abu Mahraz Jahm
bin Shafwan at-Tirmidzi yang dibunuh pada tahun 128 H. Di antara pendapat
aliran ini adalah mengingkari Asma’ dan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Al-Qur-an adalah makhluk (barang ciptaan) dan bahwa iman itu adalah hanya
sekedar mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka berkeyakinan bahwa Surga dan
Neraka itu fana (akan binasa) dan lain-lain.[4]
Musyabbihah yaitu aliran yang sesat dan
termasuk ahlul bid’ah. Mereka menyamakan atau menyerupakan Sifat Allah dengan
sifat makhluk-Nya. Termasuk dalam golongan tamtsil ini adalah Jawaliqiyyah,
Hisyamiyyah dan Jawaribiyyah.[5]
Sedangkan pandangan Ahlus Sunnah tentang
Sifat Allah dapat dilihat dalam pembahasan Tauhid Asma’ wash Shifat.
2. Ahlus Sunnah pertengahan antara aliran
Jabariyyah dan Qa-dariyyah dalam masalah af’alul ‘ibad (perbuatan hamba-Nya).
Jabariyyah adalah aliran yang sesat dan
termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘jabr’ artinya paksaan. Dan mereka
mempunyai pandangan bahwa manusia dalam segala perbuatan, gerak-gerik dan
tingkah lakunya adalah dipaksa, tidak memiliki kekuasaan dan kebebasan. Mereka
menafikan perbuatan hamba secara ha-kikat dan menyandarkannya kepada Allah.
Termasuk dalam aliran ini adalah Jahmiyyah, mereka berpandangan seperti itu.
Menurut Syahrastani bahwa Jabariyyah ada dua golongan: Jabariyyah Khalishah dan
Jabariyyah Mutawassithah. [6]
Qadariyyah adalah aliran yang sesat dan
termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘qadar’, artinya ketentuan Ilahi.
Aliran ini tidak mengakui adanya qadar tersebut dan mengatakan manusialah yang
menentukan nasibnya sendiri dan dialah yang membuat perbuatannya, terlepas dari
kodrat serta iradat Ilahi. Termasuk dalam aliran ini adalah Mu’tazilah yang
juga berpan-dangan sama.[7]
Pandangan Ahlus Sunnah Tentang Perbuatan
Hamba adalah:
Pertama : Perbuatan hamba pada hakekatnya
adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla.
Kedua : Yang melaksanakan perbuatan
tersebut adalah hamba itu sendiri secara hakiki.
Ketiga : Seorang hamba mempunyai
kekuasaan (kemampuan) untuk melaksanakan perbuatannya secara hakiki dan
mempunyai pengaruh atas terjadinya perbuatan tersebut. Dan Allah-lah yang
memberi kemampuan kepada mereka untuk melakukan perbuatan tersebut.[8]
Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th.
499 H) rahimahullah berkata: “Pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
keyakinan bahwa perbuatan hamba adalah diciptakan Allah Azza wa Jalla. Dan
mereka tidak ada yang membantah serta tidak ada keraguan sedikit pun.
Sebaliknya, mereka menganggap orang yang mengingkari dan tidak menerima
kenyataan itu sebagai orang yang menyimpang dari petunjuk dan kebenaran.” [9]
3. Mereka (Ahlus Sunnah) pertengahan
dalam masalah ancaman Allah [10], antara Murji’ah dan aliran Wa’idiyyah, dari
kalangan Qadariyyah dan selain mereka.
Murji’ah adalah aliran yang sesat dan
termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata irja’ yang berarti pengakhiran, sebab
mereka mengakhirkan (memisahkan) amal dari iman. Mereka mengatakan: “Suatu dosa
tidak membahayakan selama ada iman, sebagai-mana suatu ketaatan tidak berguna
selama ada kekafiran.” Menurut mereka, amal tidaklah termasuk dalam kriteria
iman, serta iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.[11]
Wa’idiyyah adalah aliran yang sesat dan
termasuk ahlul bid’ah, berasal dari kata wa’iid yang berarti ancaman. Mereka
berpendapat bahwa Allah harus melaksanakan ancaman-Nya, sebagaimana yang
disebutkan dalam Al-Qur-an. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa pelaku
dosa besar, apabila ia wafat tanpa bertaubat, maka ia akan kekal di dalam
Neraka, sebagaimana yang diancamkan oleh Allah terhadap mereka, sebab Allah
tidak akan menyalahi janji-Nya.[12]
Sedangkan menurut pandangan Ahlus Sunnah
bahwasanya seorang Muslim yang berbuat dosa besar akan mendapat ancaman dengan
Neraka apabila ia tidak bertaubat, jika Allah menghendaki, Dia akan
mengampuninya, dan jika Allah menghendaki, Dia akan menyiksanya di dalam
Neraka, akan tetapi ia tidak kekal di Neraka.[13]
4. Ahlus Sunnah pertengahan dalam hal
nama-nama iman dan agama, antara golongan Haruriyyah dan Mu’tazilah, serta
antara kaum Murji’ah dan Jahmiyyah.
Haruriyyah adalah aliran sesat dan
termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata haruura’ (حَرُوْرَاءُ), yaitu suatu
tempat di dekat Kufah. Haruriyyah termasuk salah satu sekte dalam aliran
Khawarij. Dinamakan demikian karena di tempat itulah mereka ber-kumpul ketika
mereka keluar (memberontak) dari kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
anhu. Menurut mereka, pelaku dosa besar ada-lah kafir dan di akhirat ia kekal
di dalam Neraka.[14]
Mu’tazilah adalah aliran yang sesat dan
termasuk ahlul bid’ah. Mereka adalah pengikut Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin
‘Ubaid. Dikatakan Mu’tazilah karena mereka mengeluarkan diri (‘itizal) dari
kelompok kajian al-Hasan al-Bashri (wafat tahun 110 H) rahimahullah, atau
karena mereka mengisolir diri dari pandangan sebagian besar ummat Islam ketika
itu dalam hal pelaku dosa besar, karena menurut Washil bin ‘Atha’, pelaku dosa
besar berada dalam status antara iman dan kafir, tidak dikatakan beriman dan
tidak pula dikatakan kafir, atau disebut dengan istilah mereka: manzilah bainal
manzilatain (tempat di antara dua kedudukan, tidak mukmin dan tidak kafir). Dan
jika tidak bertaubat, maka ia di akhirat akan kekal dalam Neraka.[15]
Adapun menurut Ahlus Sunnah, pelaku dosa
besar dari kaum Muslimin masih tetap disebut Mukmin karena imannya, hanya saja
ia itu fasiq karena perbuatan dosa besarnya. Atau dikatakan ia itu Mukmin yang
kurang imannya, sedang urusannya di akhirat -apabila belum bertaubat- adalah
terserah Allah, jika Allah Azza wa Jalla menghendaki, akan disiksa-Nya (sesuai
dengan keadilan-Nya) dan jika Dia menghendaki akan diampuni-Nya (sesuai dengan
sifat kasih-Nya).[16]
5. Ahlus Sunnah juga pertengahan antara
golongan Rafidhah dan Khawarij, dalam masalah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Rafidhah adalah aliran yang sesat dan
termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘Rafadha’, artinya menolak. Salah satu
sekte di dalam aliran Syi’ah. Mereka bersikap berlebih-lebihan terhadap ‘Ali
dan Ahlul Bait, serta mereka menyatakan permusuhan terhadap sebagian besar
Sahabat, khususnya Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Disebut Rafidhah,
karena mereka menolak untuk membantu serta mendukung Zaid bin ‘Ali bin
al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib pada masa kepemimpinan Hisyam bin ‘Abdil
Malik. Sebabnya, karena mereka meminta kepada Zaid supaya menyatakan tidak
berpihak kepada Abu Bakar dan ‘Umar, beliau menolak dan tidak mau sehingga
mereka pun menolak untuk mendukungnya. Oleh karena itu mereka disebut
Rafidhah.[17]
Khawarij adalah aliran yang sesat dan
termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Suatu
aliran yang menyempal dari agama Islam dan mereka keluar dari para Imam pilihan
dari kaum Muslimin. Bahkan mereka mengkafirkan ‘Ali dan Mu’awiyah serta para
pendukung keduanya. Mereka (Khawarij) disebut demikian karena menyatakan keluar
dari kekhalifahan ‘Ali setelah peristiwa Shiffin. Prinsip Khawarij yang paling
mendasar ada tiga, yang mereka telah menyimpang, sesat dan menyesatkan kaum
Muslimin:
Pertama : Mengkafirkan ‘Ali bin Abi
Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan dan dua hakim [18] Radhiyallahu anhum.
Kedua : Wajib keluar (berontak) dari
penguasa yang zhalim.
Ketiga: Pelaku dosa besar adalah kafir
dan di akhirat kekal dalam Neraka.[19]
Firqah yang pertama kali keluar dari
ummat Islam adalah Khawarij, merekalah yang pertama kali mengkafirkan kaum
Muslimin dengan sebab dosa besar, dan mereka juga yang meng-halalkan darah kaum
Muslimin dengan sebab itu.[20]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
Footnote
Footnote
[1]. Firqah adalah kelompok atau
golongan, aliran, pemahaman yang menyimpang dari pemahaman para Sahabat
Radhiyallahu anhum. Mereka mempunyai prinsip dan kaidah da-lam beragama yang
berbeda dengan prinsip ‘aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[2]. Untuk lebih jelas tentang
pertengahan Ahlus Sunnah di antara firqah-firqah yang sesat, bacalah kitab
Wasathiyyah Ahlus Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Bakarim Muhammad
Ba’abdullah, cet. I- Daarur Rayah, th. 1415 H.
[3]. Majmuu’ Fataawaa (III/350) oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[4]. Lihat Maqaalaat Islamiyyiin (juz I)
oleh Abul Hasan al-Asy’ari, al-Farqu bainal Firaq (hal. 158), al-Milal wan
Nihal (hal. 86-88) oleh Syahrastani, Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 185)
oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 296).
[5]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah
al-Waasithiyyah (hal. 185) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, al-Farqu
bainal Firaq (hal. 170-174) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 317-318).
[6]. Lihat Maqaalaatul Islamiyyiin
(I/338), al-Milal wan-Nihal (hal. 85) oleh Syah-rastani dan Wasathiyah Ahlis
Sunnah (hal. 374-375).
[7]. Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal.
79) oleh al-Khatib al-Baghdadi, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, al-Milal
wan-Nihal (hal. 43-45) oleh Syahrastani dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal.
378).
[8]. Lihat Wasathiyyah (hal. 379) dan
Minhaajus Sunnah (II/298).
[9]. ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits
(hal. 90 no. 118).
[10]. Lihat pembahasan tentang al-Wa’du
wal Wa’iid pada buku ini (hal. 374-380).
[11]. Lihat al-Milal wan-Nihal (hal. 139)
oleh Syahrastani, Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 294-295).
[12]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah
al-Waasithiyyah (hal. 188) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf dan Wasathiyyah
Ahlus Sunnah (hal. 355-356).
[13]. Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal.
357).
[14]. Lihat Maqaalaatul Islamiyyiin
(I/167) oleh Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, Majmu’
al-Fataawaa (VII/481-482) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syarhul
‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 190) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf.
[15]. Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal.
15), Wasathiyyah (hal. 296-297, 341-343).
[16] Lihat Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal.
346) dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 191) oleh Khalil Hirras, tahqiq
as-Saqqaf.
[17]. Lihat Minhaajus Sunnah (I/34-36) oleh
Syaikhul Islam, tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim, Maqaalaatul Islamiyyiin
(I/65, 88, 136) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 405-418).
[18]. Yang dimaksud dengan dua hakim
adalah dua orang utusan untuk melerai perselisihan antara ‘Ali dan Mu’awiyah.
Dari pihak ‘Ali diutus Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Mu’awiyah diutus ‘Amr
bin al-‘Ash, رضوان الله
عليهم أجمعين.
[19]. Lihat Maqaalaatul Islaamiyyiin
(I/167-168), al-Milal wan-Nihal (hal. 114-115) oleh Syahrastani, Fat-hul Baari
(XII/283-284) dan Wasathiyyah (hal. 290-291).
[20]. Majmuu’ Fataawaa (III/349 dan
VII/481) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
https://almanhaj.or.id/3177-ahlus-sunnah-adalah-ahlul-wasath.html
https://almanhaj.or.id/3177-ahlus-sunnah-adalah-ahlul-wasath.html
Hanya Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa
Jalla
Mana Jalan Yang Harus Ditempuh ? Antara
Jalan Allah Atau Jalan Iblis Dan Pengikutnya.
Jika Beragama Mengikuti Kebanyakan Orang
Subhanallah, Terbukti Dua Karakteristik
Ucapan Rasulullah SAW : Keimanan Ada Pada Penduduk Al Haramain, Yaman Dan Syam
Serta Kelak Sumber Malapetaka (Tanduk Setan) Ada Di 'Iraaq (Najd, Kufah, Basrah
Dan Timur Lainnya). Terbukti Benar : Sekte Sesat-Kejam Syiah Ismailiyah,
Qaramithah, Itsna Asyariyah, Al-Jarudiyah, An-Nushairiyah, Mu'tazillah,
Khawaarij, Thoriqoh-thoriqoh Ahlul-Bid'ah Shufiyyah Dan Kerusakan Aqidah
Lainnya Lahir Dari Sini (Timur) !
Al Aqidah Al Wasitiyah Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah
[Kitab “Al-Aqidah Al Wasithiyah” tulisan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala, adalah Aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah].
Apakah
Wasathiyah itu?
Dakwah Salafiyah Dakwah Wasathiyah
(Pertengahan)
Manhaj dan dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah bersifat wasathiyah (pertengahan) antara dua sisi: yang ekstrem dan
yang meremehkan (teledor). Sifat ini adalah sifat yang lazim dan
terus-menerus ada pada dakwah dan manhaj mereka, karenanya mereka menjadi umat
yang terbaik.
Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا كُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan.” (QS Al Baqarah:
143)
Karenanya, mereka mencela orang-orang
yang ekstrem dalam beragama, sebab hal tersebut adalah sunnahnya ahlul kitab.
Sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’alanyatakan, “Wahai Ahli
Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” (QS An-Nisa`: 171,
Al Maidah: 77)
Allah ‘azza wa jalla juga telah
menegaskan, “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melampauinya (melanggarnya).” (QS Al Baqarah: 229)
Pimpinan mereka juga telah bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ
أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada
seseorangpun yang ekstrem (dalam beragama), kecuali dia sendiri yang akan
terkalahkan”. (HR Al Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala
‘anhu)
Beliau juga bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ
فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Waspadalah kalian dari ghuluw (ekstrem)
dalam agama, karena tidaklah menghancurkan orang-orang sebelum kalian kecuali
ghuluw dalam beragama.” (HR An Nasa`i, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ta’ala ‘anhu dan dishahihkan oleh Al Albani dalam
Ash Shahihul Jami’ no. 2680)
Di sisi lain, mereka juga menegur dan
memperingatakan orang-orang yang meremehkan perkara agama, karena
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya.” (QS Al Baqarah: 187)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallambersabda:
وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ
خَالَفَ أَمْرِي
“Telah dijadikan kehinaan dan kerendahan
bagi siapa saja yang menyelisihi perintahku.” (HR Ahmad dari Ibnu
‘Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhuma dan dishahihkan oleh Al Albani
dalam Ash Shahihul Jami’ no. 2831)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata dalam Al ‘Aqidatul
Wasithiyyah, “Bahkan mereka (Ahlussunnah wal Jama’ah) bersikap pertengahan
di antara kelompok-kelompok umat ini (Islam) sebagaimana umat (Islam) ini
bersikap pertengahan di antara umat-umat yang lain (non muslim). Maka mereka
bersikap pertengahan dalam masalah sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala antara
ahlut ta’thil (orang-orang yang menafikan sifat Allah) dan Jahmiah dengan ahlut
tamtsil (orang-orang yang menyerupakan dengan makhluk) dan musyabbihah. Mereka
bersikap pertengahan dalam masalah perbuatan-perbuatan hamba, antara Jabriyah
dengan Qadariyah dan selain mereka. Dalam masalah ancaman Allah (mereka
pertengahan), antara Murji’ah dan Al Wa’idiah dari kalangan Qadariyah dan
selain mereka. Dalam masalah penamaan iman dan agama, antara Haruriyah
(Khawarij) dengan Mu’tazilah dan antara Murji’ah dengan Jahmiyah. Dalam
(masalah) sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam antara
Rafidhah (Syi’ah) dengan Khawarij.”
Mereka juga berada di pertengahan dalam
masalah bersikap terhadap pemerintah yang zhalim, antara Khawarij yang
mengkafirkannya dan Murji’ah yang mengatakannya sebagai mu’min sejati. Dalam
masalah bersikap kepada para ulama, mereka berada antara para muqallid (tukang
taqlid) yang mengambil semua ucapan imam mazhab mereka, tanpa terkecuali; dan
antara Sururiyah dan Haddadiyah yang mencerca, meremehkan dan menganggap rendah
para ulama.
“Islam”
Washatiyah
Ala Abu Thalib
Para “tokoh” agama, mufti dan cendekiawan
dari 43 negara berkumpul di Bogor (01/05). Selama tiga hari, mereka akan
mengikuti High Level Consultation of World Muslim Scholars On Wasatiyyat
Islam (HLC-WMS). Sebuah konferensi tingkat tinggi (KTT) yang membahas “konsep
baru” dalam ber-Islam yang disebut “Islam Wasathiyah.”
Grand Syaikh Al-Azhar, Prof Dr Ahmed
Mohamed Ahmed Altayeb hadir pada acara tersebut. Ia didampingi Rektor
Universitas Al-Azhar, Prof. Dr. Muhammad Husin Abdelaziz Hassan. Nama lain
muncul dalam daftar peserta, Muhammad Ali Taskhiri dan Qari Muhammad Ashim.
Taskhiri adalah tokoh Syiah asal Iran
yang dikenal dengan “Taqrib Baina Al-Adyan,”semacam kampanye dialog
antaragama dengan menganggap semua agama itu benar. Ia pernah hadir dalam
perayaan Asyura yang digelar ABI (Ahlul Bait Indonesia). Sedangkan Muhammad
Ashim dikenal aktif dalam program PVE (Prevent Violent Extremism) di negara
asalnya, Inggris.
Secara ringkas, PVE adalah program
bikinan PBB untuk mencegah ekstremisme dan kekerasan dengan cara memberikan
panduan bagaimana cara ber-Islam yang benar (menurut PBB). Asumsinya, terorisme
muncul dari ekstremisme dan kekerasan, yang salah satunya dipicu oleh pemikiran
atau agama tertentu.
Anehnya, Islam menjadi satu-satunya
keyakinan yang menjadi objek garap PVE. Tidak ada agama lain dalam PVE, selain
Islam, yang hendak diberikan tafsir baru, atau ditonjolkan bagian tertentu
dengan menegasikan bagian lain agar muncul cara wajah dan ajaran sesuai yang
diinginkan.
Utusan Khusus Presiden RI Untuk Dialog
dan Kerja Sama Antar Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP), Prof. Dr. M. Din
Syamsuddin saat membuka acara tersebut menyinggung ketidakteraturan dan
kerusakan global di tengah masyarakat dunia sebagai pemicu kekerasan. Atas
dasar itulah, menurut Din, perlunya menyodorkan gagasan Islam Wasathiyah yang
di Indonesia berhasil mewujudkan Pancasila sebagai dasar negara.
Jadi, ada keterkaitan pelaksanaan KTT
tersebut dengan berbagai kekerasan yang terjadi, di mana salah satu yang
dianggap pemicunya adalah cara umat Islam dalam memaknai dan melaksanakan agama
yang dipeluknya.
Kita memang tidak bisa menafikan berbagai
kejadian yang disebut sebagai kekerasan yang terjadi dengan agama Islam sebagai
latarnya. Namun berbagai pembicaraan seputar Islam dan kekerasan selalu
mendudukkan Islam dan kaum Muslimin sebagai “aktor.” Karenanya, kemudian pelaku
dan pikirannya yang perlu diubah.
Pembicaraan sama sekali tidak pernah
menyentuh faktor “penyebab.” Hampir seluruh agenda yang diadakan seputar
masalah ini selalu berkutat pada faktor “api,” dan berusaha memadamkannya,
tanpa pernah menyinggung dari mana sekam, minyak dan korek yang memantiknya.
Istilah yang selalu dikemukakan adalah
“kekerasan.” Padahal, hampir dari seluruh kejadian yang ada, apa yang dilakukan
umat Islam adalah reaksi dari penindasan dan tindak kezaliman yang terjadi
sebelumnya. Siapa yang menindas, siapa yang menzalimi, apa tindakan yang harus
diberikan kepada penindas dan penzalim, meminjam iklan mobil diesel era 90-an:
nyaris tak terdengar.
Catatan kritis itu perlu kita sodorkan
pada KTT ini, agar tidak mubazir, terkesan hanya formalitas dan basa-basi
semata. Apalagi kalau definisi “Wasathiyah” ini dimaknai dengan pendekatan
berbagai agama dengan cara menganggap benar semuanya (taqrib).
Sebab, cara seperti ini sudah usang.
Usang, karena dahulu Abu Thalib juga mempraktikkannya. Ia tidak membantah
kebenaran Islam yang dibawa keponakannya, Muhammad SAW. Namun ia juga enggan
mengingkari keyakinan syirik kaum Quraisy sebagai kebatilan yang harus
ditinggalkan.
Pada akhirnya, sebagai tuan rumah, kita
patut berharap bahwa KTT ini bukan merupakan jelmaan baru dari “muktamar” abad
ke-17 yang kemudian akhirnya “mereformasi” ajaran Kristen.
Penulis: Tony Syarqi
Hamid Fahmy Zarkasyi: Moderat Beda dengan
Wasathiyah
Senin, 27 November 2017 - 19:12 WIB
Ternyata istilah moderat ini muncul dari
Barat, dengan definisi sendiri, arti sendiri, dan pemahaman sendiri
Istilah moderat atau Islam moderat
belakangan ini sering didengar di media. Jika dicermati, istilah moderat
sesungguhnya tidak persis identik dengan istilah wasathiyah.
Wasathiyah itu identik dengan
keadilan, menunjukkan kemuliaan, kebaikan, keseimbangan dunia-akhirat, tidak
berlebihan tidak juga meremehkan ibadah atau perintah agama.
Sehingga wasathiyahmerupakan sifat dari Islam itu.
Demikian dikatakan oleh Dr Hamid Fahmy
Zarkasyi, Direktur Pascasarjana Unida Gontor, dalam Rakerda MUI Provinsi Jawa
Timur di Aula Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Jawa Timur, pekan
kemarin, Kamis (23/11/2017).
Menurut Hamid, lawan
istilah wasathiyah adalah ghuluw (berlebih-lebihan atau
ekstrem). Contoh praktik keagamaan yang ekstrem dicontohkan dalam al-Qur’an
adalah apa yang telah dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani.
“Contoh, dalam tradisi agama Nasrani,
kesucian itu dengan menghindari seks. Artinya, orang yang suci itu tidak
menikah. Tetapi di dalam Islam, tidak ada batasan kalau paling suci paling alim
itu yang tidak menikah. Ternyata Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wassalam menyatakan sendiri, ‘saya Nabi tapi saya menikah, makan, pergi ke
pasar’,” jelasnya.
Hamid juga
menambahkan, ghuluw itu adalah melampaui atau melewati batas yang
ditentukan. Yang diharamkan dihalalkan. Yang dihalalkan agama diharamkan.
“Contoh ghuluw dalam akidah
misalnya berlebihan dalam masalah imamah. Seperti berlaku dalam Syiah. Sikap
yang tidak wasathiyah. Jadi para imam itu (dianggap) maksum seperti Nabi,”
tambahnya.
Dalam diri umat Islam saat ini muncul
tantangan, yaitu populernya istilah Islam moderat. Ternyata istilah moderat ini
muncul dari Barat, dengan definisi sendiri, arti sendiri, dan pemahaman
sendiri.
“Muslim moderat menurut Barat, adalah
dengan ciri-ciri Muslim yang tidak anti semith (tidak anti Yahudi), kritis
terhadap Islam dan menganggap Nabi Muhammad tidak mulia dan tidak perlu
diikuti, pro kesetaraan gender, menentang jihad, menentang kekuasaan Islam, pro
pemerintahan sekuler, pro Israel, pro kesamaan agama-agama, tidak merespons
terhadap kritik-kritik kepada Islam dan Nabi Muhammad, anti pakaian Muslim,
tidak suka jilbab, anti syariah dan anti terorisme. Inilah arti moderat menurut
Barat,” tegas Hamid.
Jadi, syariah itu tidak moderat bagi
Barat. Tapi moderat perspektif Barat itu adalah yang percaya pada demokrasi,
toleransi, pendekatan politik tanpa kekerasan, perlakuan yang sama terhadap
wanita dalam hukum.
Kesimpulannya, moderat dalam pikiran
Barat itu identik dengan liberal. Sehingga tidak sama dengan wasathiyah.*
Hamid
Fahmi: “Penggunaan Istilah ‘Moderat, ‘Radikal’
dan ‘Toleran’ Sarat Kepentingan
Barat”
Dr Hamid Fahmy Zarkasyi MA
Ahad, 5 November 2017
'Nah, di antara ciri dari orang moderat
(menurut orang-orang umumnya tidak suka dengan Islam itu), adalah, pertama,
orang yang apabila agamanya dihina, dia tidak boleh marah.'
Kasus penistaan agama yang dilakukan
mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melahirkan aksi
massa yang berujung gerakan Aksi Bela
Qur’an 411 (4 November 2016) dan Aksi 212 (02
Desember 2016).
Pasca aksi yang kabarnya mampu menyatukan
lebih dari dua juta umat Islam tanpa adanya kerusakan, istilah-istilah
‘intoleran’, ‘radikal’, dan ‘moderat’ makin sering digunakan kelompok-kelompok
tertentu untuk memberi stigma kepada kelompok Islam. Belakangan, istilah ‘anti
Pancasila’ ‘anti Bhinneka’ juga digunakan kelompok anti gerakan-gerakan Islam
melakukan stigma-stigma buruk.
Redaksi mewawancarai Dr Hamid Fahmy
Zarkasyi MA, cendekiawan yang intens memberi kajian Islamic
worldview di berbagai seminar pemikiran baik di dalam negeri maupun luar
negeri.
Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2005
Direktur Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) yang serius mengkaji
masalah-masalah ini. Salah satu hasilnya, sebuah buku pemikiran yang cukup
renyah berjudul ‘Misykat:
Refleksi tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi’ (Penerbit:
INSISTS).
“Istilah moderat ini sudah dibajak orang
kemana-mana. Sebagian orang mendefinisikan dengan sesuka hatinya makna moderat
itu,” ujar master bidang filsafat di University of Birmingham United Kingdom
(1998) dan PhD bidang pemikiran Islam di International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC) IIUM Malaysia (2006) ini.
Apa maksudnya? Baca lebih lengkap
wawancara berikut ini.
Beberapa pihak menggunakan definisi
intoleran dan radikal, dengan ciri anti LGBT bahkan anti Ahok, bagaimana
pendapat Anda?
Pertama, kriteria radikal dan ekstremis
itu sangat sepihak. Dan itu juga terjadi dengan istilah moderat. Saya ikut
mengkaji sejak tahun 2005 itu istilah moderat ini sudah dibajak orang
kemana-mana. Sebagian orang mendefinisikan dengan sesuka hatinya makna moderat
itu. Dan sudah tentu ini hasil dari definisi moderat itu pasti akan memunculkan
makna radikal.
Seolah kalau tidak moderat dia pasti
menjadi radikal. Nah, di antara ciri dari orang moderat (menurut orang-orang
umumnya tidak suka dengan Islam itu), adalah, pertama, orang yang apabila
agamanya dihina, dia tidak boleh marah. Kedua, orang taat menjalankan syariat
(Islam, red) itu dianggap tidak moderat, karena syariat itu sendiri
dianggap mengajarkan kekerasan. Dan banyak lagi definisi itu.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa orang
yang menganggap orang lain kafir itu tidak moderat. Nah, gejala ini tentu harus
kita respons dengan definisi juga. Jadi definisi yang selama ini dipakai LSM
dan kelompok-kelompok HAM ini adalah definisi yang sangat tidak akademis dan
tidak bertanggung jawab. Itu sangat sepihak.
Kalau kita ingin membuat definisi kita
dengan standar kita, tentu definisi dia itu adalah definisi radikal. Jadi ada
orang yang mendefinisikan makna moderat itu secara radikal, dan ada orang yang
mendefinisikan radikal itu secara radikal juga.
Artinya?
Jadi, bagaimana orang harus bertoleransi
terhadap sesuatu yang oleh agamanya dilarang; Islam diminta toleransi jika
saudaranya melakukan perzinaan, misalnya. Ini jelas suatu yang tidak bisa
diterima oleh HAM sekalipun. Ndak bisa diterima. Itu bertentangan
dengan juga hak masing-masing orang, kan.
Haknya (umat Islam) adalah tidak setuju
dengan perbuatan yang ada di dalam domain agamanya, karena perzinaan dalam
Islam itu haram. Kalau saya mengharamkan perzinaan kemudian orang lain
menghalalkan, dan saya dianggap radikal, itu salah menurut HAM.
Nah ini, makanya perlu menggunakan akal
sehatlah. Orang mengatakan radikal dan ndak radikal ujungnya dia bisa
kebablasan. Misalnya, yang disebut radikal adalah yang tidak toleran terhadap
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), ini definisi yang
sangat-sangat western sekali, sangat Barat sekali.
Saya pernah bertemu orang Barat dan
bertanya dengan nada heran. “Katanya di Indonesia orang
LGBT enggak diterima ya?” Saya jawab, “Di negara Islam manapun, LGBT
tidak diterima.”
Nah, definisi yang seperti ini perlu kita
sesuaikan dengan Pancasila. Pancasila ini, kan, asasnya adalah Ketuhanan. Orang
yang paling dekat pada Tuhan di Indonesia ini justru yang Pancasilais. Di sini
kita sebenarnya tidak bisa mentolerir orang-orang yang jauh dari Tuhan. Dan
tidak ada hak orang yang tidak ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak
menjalankan kepercayaannya itu dalam kehidupan sehari-hari untuk hidup di
Indonesia [penuh penegasan, red].
Ini interpretasi paling logis terhadap
ideologi Pancasila. Sama misalnya, orang yang anti komunis dianggap tidak
toleran. Padahal jika kita toleran terhadap komunisme, berarti kita tidak
Pancasilais. Jadi sangat logis sekali itu.
Singkatnya, definisi radikal, intoleran,
moderat itu sarat masalah ya?
Sarat masalah dan sangat bermasalah. Dari
perspektif Islam sangat bermasalah, dari perspektif HAM juga bermasalah, dari
perspektif Pancasila apalagi, bermasalah.
Apakah ada kesamaan pendapat terkait
definisi dalam istilah-istilah itu di selusuh dunia?
Ya kesamaan tadi, kesamaannya dengan
orang-orang Barat yang islamphobia, banyak itu. Saya bisa menyebutkan siapa
orangnya di Barat yang memahami moderat dalam pengertian yang sangat radikal
itu.
Menurut Anda, apakah penggunaan
istilah-istilah yang dibahas tadi ada kepentingan pendonor (asing)?
Saya rasa memang ada karena bunyinya.
Maknanya sih sama dengan apa yang diucapkan oleh orang-orang di Barat. Saya
curiga bahwa itu sejalan dengan orang di luar Indonesia dan di luar Islam, bisa
jadi dia jadi ke sana. Saya tidak bisa melacak. Yang pasti, itu ada kepentingan
asingnya.
Jika ciri radikal dan intoleran itu
sebagaimana digambarkan kelompok-kelompok anti Islam itu, berarti isi kandungan
al-Qur’an itu intoleran?
Oh iya, itu indikasinya luas sekali.
Pertama kali ajaran Islam itu sendiri ‘tidak toleran’. Misalnya, kita melarang
orang Muslimah menikah dengan non-Muslim. Itu Qur’an itu. Dan
itu ndak bisa ditawar. Tapi kemudian orang-orang ini mengatakan, ‘ah
itu ndak ada masalah’, lho, berarti dia tidak toleran terhadap Islam.
Tidak ada dalam Islam yang namanya pria
menikah dengan pria atau perempuan dengan perempuan. Bahkan dalam Islam itu
dikutuk, dan dilaknat oleh Allah. Kita dilarang itu. Artinya Islam tidak
toleran dengan hal itu. Tapi yang begini ini dianggap radikal dan intoleran.
Jelas, lagi-lagi, mereka memusuhi Islam.
Artinya mereka secara tidak langsung
menganggap isi al-Qur’an intoleran gitu ya?
Ya betul! Mereka ini secara definitif
menurut saya adalah orang-orang yang sebenarnya anti Islam. Jadi tidak suka
dengan ajaran Islam. Nah, kalau Islam ini dibenturkan dengan HAM, hal ini akan
membenturkan sebuah peradaban yang besar. Dan itu tidak produktif, sama halnya,
mereka sedang mencari gara-gara.
Kalau kita mau berbicara seperti begitu,
banyak sekali peradaban sikap, konsep, dan perilaku masyarakat modern ini yang
bertentangan dengan Islam.
Dalam pengertian Islam, mereka itu
melanggar kemanusiaan secara radikal. Ini kemanusiaan lho, kita tidak bicara
Islam. Sebab Islam itu agama yang paling manusiawi.*
Membahas
Ulang Konsep Moderat (Wasathiyah)
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
BELAKANGAN ini, kata-kata “moderat”
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
menjadi wasathiyyahmenjadi kata-kata yang bertendensi mengangkat satu
kelompok tertentu dan menjatuhkan sekelompok yang lain. Kata-kata ini biasanya
digunakan sebagai antonim bagi fundamentalisme dan absolutisme. Bahkan, secara
salah kaprah, wasathiyyah digunakan untuk mengkategorikan orang-orang
yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama. Sementara kelompok
yang secara konsisten menjalankan ajaran Islam dianggap sebagai tidak moderat
(wasathiyyah).
Istilah wasathiyah ini biasanya
digunakan dengan menggunakan dasar dalil dari Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
143. Dalam ayat itu disebutkan wa kadzâlika ja‘alnâkum ummatan washatan…
(Dan demikianlah kami jadikan kalian sebagai umat yang “wasath”…).
Ayat inilah yang seringkali dieskploitasi
tidak pada tempatnya sehingga mengesankan bahwa mereka yang dicap radikal,
fundamentalis, literalis, dan label-label stigmatis dan stereotyping lain yang
memojokkan sebagian gerakan Islam dianggap telah melanggar ayat ini. Padahal,
kalau ditelusuri secara saksama, kata-kata washatandalam ayat tersebut
memiliki arti yang sangat tidak tepat bila digunakan sebagai cap-cap di atas.
Tulisan ini akan menelusuri makna dari washatan dalam ayat tersebut dan
relevansinya dalam kehidupan kontemporer berdasarkan penelusuran terhadap
kitab-kitab tafsir mu‘tabar.
Makna Al-Wasath
Secara bahasa, kata wasath berarti
sesuatu yang ada di tengah. Dalam Mufradât Al-fâzh Al-Qur’ân Raghib
Al-Isfahani (Jil. II; entri w-s-th) menyebutkan secara bahasa bahwa
kata wasath ini berarti, “Sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang
ukurannya sebanding.”
Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang
terjaga, berharga, dan terpilih. Sebab, sesuatu yang ada di tengah-tengah tidak
mudah untuk dijangkau secara langsung sehingga memungkinkannya untuk menjadi
tempat menyimpan hal-hal yang berharga dan baik. Seperti kata “tengah kota”. Kata
ini menunjukkan tempat yang paling baik dan paling berharga dari suatu kota.
(Al-Tahrir wa Al-Tanwîr Jil. II hal. 17).
Sementara itu,
makna wasath dalam ayat di atas terdapat beberapa penjelasan.
Fakhrudin Al-Râzi menyebutkan ada
beberapa makna yang satu sama lain saling berdekatan dan saling melengkapi.
Pertama, wasath berarti adil.
Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan beberapa
penjelasan dari sya’ir Arab mengenai makna ini. Berdasarkan riwayat Al-Qaffal
dari Al-Tsauri dari Abu Sa’id Al-Khudry dari Nabi Saw. bahwa
ummatan wasathan adalah umat yang adil.
Kedua, wasath berarti pilihan.
Al-Râzi memilih makna ini dibandingkan dengan makna-makna lainnya, karena
beberapa alasan antara lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan
makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya
yaitu ayat, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tangah manusia…” (QS
Ali Imrân [3]: 110).
Ketiga, wasath berarti yang
paling baik.
Keempat, wasath berarti
orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrâth
(berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang bbaru dalam agama) dan tafrîth
(mengurang-ngurangi ajaran agama). (Tafsîr Al-Rârî, Jil. II hal. 389-390).
Makna-makna di atas tidak bertentangan
satu sama lain. Oleh sebab itu, Al-Sa’di menyimpulkan bahwa
ummatwasath yang dimaksud adalah umat yang adil dan terpilih. Allah
Subhanahu Wata’ala telah menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala
urusan agama (dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian,
syari’at, dan lainnya.
Umat islam ini adalah umat yang paling
sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah Subhanahu
Wata’ala telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan
kebaikan (ihsân) yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka
menjadi “ummatan wasathan”, umat yang sempurna dan adil agar “mereka
menjadi saksi bagi seluruh manusia.” (Taisîr Al-Karîm Al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm
Al-Mannân Jil. I hal. 70).
Dari penjelasan para ahli tafsir mengenai
makna wasath dalam ayat di atas dapat disimpulkan bahwa
sifat wasathyang disematkan pada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wassalam adalah sesuatu yang melekat sejak umat ini menerima berbagai petunjuk
dari Nabi-Nya. Ini merupakan karunia Allah Subhanahu Wata’ala . kepada mereka.
Saat mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah Subhanahu Wata’ala .,
maka saat itulah mereka menjadi umat terbaik dan terpilih. Oleh sebab itu,
Rasyid Ridha mengaitkan kata ummatan wasathan ini dengan ayat sebelumnya,
yaitu “…yahdî man yasyâ’u ilâ shirâth al-mUstadaqîm (…Dialah yang akan
memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya menuju jalan yang
lurus). Bila dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka umat terbaik, terpilih, dan
moderat adalah mereka yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu Wata’ala ke
jalan yang lurus (Tafsîr Al-Manâr Jil. II hal 4).
Jalan yang lurus (sirâth al-mUstadaqîm)
ini, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Fatihah, adalah jalan tengah di
antara jalan orang-orang yang dibenci (Yahudi) dan orang-orang yang sesat
(Nashrani).
Aktualisasi Makna Al-Wasath
Setelah memperhatikan makna ummh
al-wasath yang berarti umat yang secara konsisten perpegang pada petunjuk
Allah Subhanahu Wata’ala . (al-shirâth al-mUstadaqîm), dapat kita fahami bahwa
makna dari wasath ini sifatnya sesuatu yang sudah dipatenkan dalam
Al-Quran sendiri, bukan makna yang diberi sifat baru, bukan dari Al-Quran.
Dalam hal ini, Al-Quran telah menetapkan
bahwa ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah adalah
ajaran yang adil, terbaik, terpilih, dan moderat sehingga umat yang secara
konsisten melaksanakannya, maka secara otomatis dia akan menjadi umat yang
sifatnya sama dengan ajaran yang dilaksanakannya.
Ali Muhammad Shallaby dalam
Al-Wasathiyyah fî Al-Qur’ân cukup ekstensif membahas
aspek-aspek wasathiyyahdalam berbagai ajaran Islam.
Dari Akidah sampai Poligami
Ia menganalisis seluruh segi ajaran Islam
dan di mana letak wasathiyyah-nya dibandingkan dengan ajaran yang lain.
Banyak hal yang dibahasnya, mulai dari masalah akidah sampai masalah-masalah
fikih sehari-hari (tasyrî’). Dengan cara seperti itu, Shallaby ingin
menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang murni dan bersumber pada Al-Quran
dan Al-Sunnah adalah ajaran yang memang layak disebut wasath dengan
berbagai pengertiannya.
Mengambil salah satu bahasan Shallaby
dalam penelitiannya itu, kita ambil contoh mengenai masalah poligami yang
sering menjadi sasaran tuduhan ketidakadilan ajaran Islam. Dalam kesan yang
muncul dari mereka yang mendapuk diri sebagai Muslim yang berpandangan moderat,
poligami justru dianggap sebagai sesuatu yang semestinya
“diharamkan” karena dianggap tidak adil kepada wanita.
Pandangan seperti ini jelas sudah
bertentangan dengan ijmâ’ para ulama mujtahidîn sejak empat
abad lalu yang bersepakat akan kehalalan poligami.
Kehalalan poligami dalam Islam yang
disepakati para ulama itu justru memperlihatkan bagaimana Islam telah berlaku
adil, moderat, dan wasath bila dibandingkan dengan ajaran-ajaran dan
kepercayaan-kepercayaan lain yang berkembang di dunia hingga saat ini.
Dalam kepercayaan dan tradisi besar dunia
terdapat dua ekstrim yang sama-sama berlebihan. Ekstrim pertama membolehkan
laki-laki menikahi banyak wanita tanpa batas. Wanita diletakkan hanya sebagai
hamba dan pemuas bagi laki-laki. Ketentuan ini dikenal dalam tradisi China
Kuno, India Kuno, Persia Kuno, Yahudi, dan kepercayaan Arab Jahiliyyah. Dalam
beberapa tradisi seperti China Kuno dan India Kuno, bahkan ada kepercayaan
bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya harus membakar diri untuk
menyatakan penghambaannya kepada laki-laki yang dinikahi. Dalam hal ini jelas
sekali, posisi wanita menjadi sangat terhina. Tidak ada penghormatan sama
sekali atas mereka.
Sementara itu, pada titik ekstrim yang
lain akan ditemukan aturan dalam agama Kristen yang telah dipengaruhi
kepercayaan Pagan masyakarat Eropa yang mengharamkan sama sekali laki-laki
menikahi lebih dari satu istri.
Pada titik ekstrim ini, kelihatannya ada
pemihakan yang adil terhadap wanita. Akan tetapi jutsru di sinilah permasalahan
bermula.
Dalam ketentuan Islam poligami dibolehkan
namun bukan tanpa aturan. Ia diperbolehkan hanya maksimal dengan empat wanita.
Selain itu, dipersyaratkan kepada laki-laki yang berpoligami untuk berlaku
adil. Bila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, maka laki-laki sebaiknya
cukup mengambil satu istri atau budaknya. (QS. Al-Nisâ’ [4]: 3).
Ketentuan Islam ini adalah ketentuan yang
moderat dibandingkan dengan kedua ekstrim di atas. Apabila ketentuan poligami
tidak dibatasi seperti yang terjadi dalam berbagai tradisi, posisi perempuan
menjadi sangat termarjinalkan dan terhinakan. Dampak sosial dari sana sungguh
sangat besar seperti yang diperlihatkan dalam sejarah poligami tanpa aturan
yang terjadi di berbagai belahan dunia sepanjang sejarahnya. Lebih dari itu,
mengambil istri dalam jumlah yang sangat banyak pasti akan membuat laki-laki
tidak akan memenuhi hak-hak semua istrinya secara adil.
Sementara apabila poligami diharamkan
akan banyak persoalan-persoalan mendesak yang tidak bisa diatasi kecuali dengan
cara-cara poligami. Misalnya ada laki-laki yang secara fisik dan finansial
mampu dan butuh terhadap poligami karena berbagai alasan. Seandainya tidak ada
kelonggaran poligami, maka masalah seperti ini tidak akan terselesaikan. Sangat
mungkin inilah yang menjadi salah satu penyebab maraknya praktik perzinahan
terselubung. Fenomena pejabat yang punya istri simpanan, perselingkuhan,
pelacuran, kawin kontrak, dan semisalnya adalah salah efek yang tidak bisa
dihindarkan dari tidak diperbolehkannya laki-laki berpoligami.
Dalam Islam, apabila kebutuhan memang
mendesak, maka poligami diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan di atas. Akan
tetapi, Islam amat menyadari bahwa tidak setiap laki-laki siap dan butuh istri
lebih dari satu. Oleh sebab itu, dalam kasus ini, tidak ada celaan bagi mereka
untuk hanya mengambil satu istri saja. Di sinilah letak keadilan
dan wasathiyyah-nya ajaran Islam dibandingkan dengan ajaran lain.
(Al-Wasathiyyah fî Al-Qur’ân, hal. 512-525).
***
Berdasarkan penjelasan dan contoh singkat
di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bertindak moderat (wasathiyah)
sesuai dengan petunjuk al-Quran adalah dengan cara secara konsisten mengikuti
hidayah (petunjuk) yang diajarkan oleh Allah Subhanahu
Wata’ala melalui Nabi-Nya dan ditransmisikan melalui para ulama yang
saleh. Semakin kita taat dan tunduk pada ajaran Allah Subhanahu Wata’ala .,
maka kita sebetulnya semakin moderat. Sebab, ajaran Islam itu sendiri telah
membawa karakternya yang moderat sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wassalam.
Siapa yang mengikuti ajaran-ajaran yang
moderat ini secara konsisten, maka dialah yang layak disebut sebagaiummatan
washathan (umat moderat). Wallâhu A’lam. *
Penulis adalah peneliti Insitute for the
Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)
Moderat
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Istilah moderat akhir-akhir ini mencuat
menjadi jawaban terhadap stigmatisasi umat Islam dengan fundamentalisme dan
terrorisme. Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan
fungsi sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme. Tahun 2008
Sebuah symposium digelar di Tokyo Jepang. Isunya adalah tentang arti Muslim
moderat dan masa depan politik Islam.
Karena pentingnya istilah ini maka pada
edisi tahun 2000 keatas American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat
tema ini secara serial. Sedikitnya ada tiga kelompok yang memperebutkan arti
moderat ini yaiu mereka yang anti-Islam, orang Barat dan orang Islam.
Definisi Islam moderat yang anti Islam
dapat dilihat pada situs “muslimsagainstshariah”. Disitu ditulis begini
diantaranya: moderat adalah yang tidak anti bangsa semit, menentang
kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu
ditiru, pro kebebasan beragama, pro-kesetaraan gender, menentang jihad,
menentang supremasi Islam, pemerintah sekuler, pro atau netral terhadap Israel,
tidak bereaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian
Islam, syariah, dan terorisme serta pro-humanisme universal.
Andrew McCarthy dalam National Review
Online, August 24, 2010 justru dengan tegas menyatakan siapapun yang membela
syariat tidak dapat dikatakan moderat. (No one who advocates shariah can be a
moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.
Islam moderat dalam perspektif Barat
hampir seragam. Muslim moderat, kata Graham Fuller adalah yang menolak
literalisme dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan
menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama
lain.
Inilah yang ditirukan orang liberal di
Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah yang mendukung kebijakan dan
kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel
Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak
menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak
percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau
orientalismenya.
Bagi Rabasa moderat adalah mereka yang
dapat menerima kultur demokratik, mendukung demokrasi dan menerima HAM
internasional, termasuk mengakui kesetaraan gender, kebebasan beribadah),
menghormati pluralitas, menerima sumber hukum yang tidak sectarian, dan
memusuhi terrorisme dan segala bentuk kekerasan.
Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen
memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan
“nothing wrong”. Tapi justru yang menemukan kesalahannya adalah John L.
Esposito. Dengan bijak dan adil dia kritik begini: Pertama, Jika definisi Barat
itu diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak moderat.
Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Salat Jumat menjadi kriteria
moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk
Paus John Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk kriteria moderat.
Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh
Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang pro-Barat
ataupun yang anti Islam sama saja.
Seorang Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara
publik. Tapi masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang
harus mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari
kitab sucinya. Padahal kitab suci itulah yang menjadi penyebab klaim negara
Israel dan pendudukan tanah Palestina.
Kerancuan lain juga ditemukan Safi.
Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di Barat adalah “a person who is not
comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and openly hostile to
Islam, and eager to transcend all Islamic norms”. Contoh yang nyata, katanya
ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariat
(Bukunya: The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith),
tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini
oleh Barat dianggap sebagai “the voice of moderation”.
Bagi Muqtedar Khan, cendekiawan Muslim
asal Canada moderat itu adalah yang berpikiran terbuka, kritis, menghormati
semua orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi munkar (QS. 5 : 48, 3 : 110), tidak
ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan menambahkan, Muslim
yang menolak ketidakadilan atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih
dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan.
Jadi, istilah moderat bisa diplesetkan
menjadi sama arti dengan liberal. Atau bahkan bisa menjadi anti Islam dan
pro-Barat. Inilah alat untuk mengalahkan apa yang mereka sebut radikalisme.
Padahal untuk mengalahkan bayang-bayang fundamentalisme tidak perlu liberalism.
Dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme.
Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus.
Syarah
Aqidah Al Wasithiyah
Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthaniy
Mukadimah Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah
Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyah Rahimahullah
Segala puji bagi Allah, Rab semesta alam.
Shalawat dan salam yang lengkap dan sempurna semoga dilimpahkan kepada Nabi dan
Rasul paling mulia, Nabi dan Imam kita, Muhammad bin Abdullah, juga kepada
segenap keluarga, shahabatnya, dan siapa saja yang mengikuti jejak mereka
dengan baik, hingga Hari Kiamat. Amma ba’du.
Kitab “Al-Aqidah Al Wasithiyah” tulisan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala, adalah Aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah. Adapun latar belakang penulisan, dan penamaannya dengan Al
Wasithiyah, ialah : Bahwa seorang Qadhi dari negeri Wasith yang sedang
melaksanakan haji datang kepada Syaikhul Islam dan memohon beliau untuk menulis
tentang Aqidah Salafiyah yang beliau yakini. Maka, beliau Rahimahullah
menulisnya dalam tempo sekali jalsah, (sekali duduk), seusai shalat ‘Ashar. Ini
merupakan bukti nyata bahwa beliau Rahimahullah memiliki ilmu yang luas dan
dikaruniai oleh Allah kecerdasan dan keluasan ilmu yang mengagumkan. Dan itu
tidak aneh, karena karunia Allah itu diberikan dan diharamkan bagi siapa saja
yang Dia kehendaki. Kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Agung, kita memohon akan
keutamaan dan kemuliaan-Nya.
Ketika saya mengetahui betapa pentingnya
kandungan Kitab “Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah” tersebut, saya berkeinginan untuk
membuat syarah -penjelasan- ringkas tentang kitab Aqidah ini. Saya memohon
kepada Allah agar hal itu saya laksanakan semata-mata untuk mencari ridha-Nya.
Tidak diragukan lagi bahwa banyak ulama telah melakukan upaya yang besar untuk
menjaga, mengajarkan, mengulas, dan mensyarah, terhadap kitab “Al-.’Aqidah
Al-Wasithiyah” ini dan di antara yang aku ketahui dari syarah-syarah tersebut
antara lain : “Ar-Raudhah An-Nadiyyah, Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah” tulisan
Syaikh Zaid bin Fayadh, “Al-Kawasyif Al-Jaliyyah ‘An- Ma’ani Al-Aqidah
Al-Wasithiyah” tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad [1], “Syarh Al-‘Aqidah
Al-Wasithiyah” tulisan Muhammad Khalil Al-Haras, dan “At-Ta’liqat Al-Mufidah
‘ala Al-”Aqidah Al-Wasithiyah” tulisan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Asy-Syarif. Beberapa syarah tersebut cukup baik dan berhasil menjelaskan
makna-makna aqidah tersebut. Adapun dalam syarah ringkas yang saya susun ini,
saya melakukan hal-hal sebagai berikut:
Saya mentakhrij hadist-hadits Rasulullah
dan menisbahkannya, kadang-kadang kepada sumber aslinya, tapi kadang-kadang
cukup saya tunjukkan sumber aslinya tanpa teks. Saya juga menisbahkan ayat-ayat
kepada surah dan nomornya, selain saya juga memberikan judul yang sesuai untuk
setiap tema, misalnya : “Definisi Al-Firqah An-Najiyah:, “Madzhab Ahlus Sunnah
wal Jama’ah tentang Sifat-sifat Allah”, “Rukun Iman menurut Firqah Najiyah”,
Metode Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Menafikan dan Menetapkan Asma’ dan
Sifat-sifat Allah”, “Madzhab Mereka dan Ayat-ayat serta hadits-hadits tentang
Asma’ dan Sifat-sifat Allah”. Kemudian saya membuat judul sendiri untuk
masing-masing sifat, tapi kadang-kadang saya gabungkan beberapa sifat dalam
satu judul. Ini tidak saya maksudkan untuk membatasi, melainkan untuk
menyebutkan sifat-sifat yang telah disebutkan oleh penulis. Penulis juga
menyebutkan banyak ayat dan hadits, akan tetapi saya hanya menyebutkan satu
dalil untuk setiap sifat, dari ayat atau hadits, sementara yang lain saya
hapuskan untuk meringkaskan syarah ini. Kemudian saya menyebutkan “Sikap
pertengahan Ahlus Sunnah dalam masalah sifat Allah” di antara golongan-golongan
lain yang ada. Sikap pertengahan mereka dalam masalah perbuatan manusia, Sikap
pertengahan mereka dalam masalah ancaman Allah”, Sikap pertengahan mereka
mengenai nama-nama Iman dan Dien”, “Sikap pertengahan mereka mengenai
shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Iman kepada Hari
Akhir dan hal-hal yang berkaitan dengannya”, “Takdir dengan keempat
tingkatannya”, “Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang Iman dan Dien,
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Karamah para wali”,
serta “Akhlak mulia Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. Semoga Allah memberikan taufik
kepada saya dalam melaksanakan apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat,
salam, dan barakah, semoga dilimpahkan Allah kepada hamba dan Rasul-Nya,
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , juga kepada segenap keluarga dan
shahabatnya.
——————————————————————————–
Foote Note
[1] As Salman, Al-As ilah wal Ajwibah al-Ushuliyyah Al-Aqidah Al-washithiyyah
yang juga tulisan beliau.
page 2
Definisi Al-Firqah An-Najiyah [Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah]
Firqah (dengan huru fa’ dikasrahkan)
artinya sekelompok manusia. la disifati dengan an-najiyah, (yang selamat), dan
Al-Manshurah, (yang mendapat pertolongan), berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Akan senantiasa ada sekelompok
umatku yang tegar di atas al-haq, yang tidak akan terkena mudharat dari orang
yang enggan menolong atau menentang mereka, sehingga datanglah keputusan Allah
sedangkan mereka tetap dalam keadaan begitu.”[1]
Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah
merupakan pengganti atau nama lain dari kelompok tersebut. Yang dimaksud dengan
As-Sunnah adalah Thariqah (cara/jalan ) yang dianut oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti jejak
mereka hingga Hari Kiamat.
Adapun al-jama’ah, makna asalnya adalah
sejumlah orang yang mengelompok. Tetapi, yang dimaksud dengan al-jama’ah dalam
pembahasan aqidah ini adalah Salaf (pendahulu) dari umat ini dari kalangan
shahabat dan orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka, sekalipun hanya
seorang yang berdiri di atas kebenaran yang telah dianut oleh jama ‘ah
tersebut. [2]
Abdullah bin Mas’ud Radhiyalahu anhu
berkata :
“Artinya : Jama’ah adalah apa yang
selaras dengan kebenaran, sekalipun engkau seorang diri.
Dari ‘Auf bin Malik yang berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Umat Yahudi berpecah menjadi
tujuh puluh satu golongan, satu golongan di jannah sedangkan tujuh puluh
golongan di naar. Umat Nasrani berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, tujuh
puluh satu golongan di naar sedangkan satu golongan di jannah. Demi Allah, yang
jiwaku di tangan-Nya, umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan,
satu golongan di jannah sedangkan tujuh puluh dua golongan di naar.”[3]
——————————————————————————–
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dengan lafazhnya dari Mughirah RA, IV/187 dan
Muslim III/1523.
[2]. Ar-Raudah An-Nadiyyah Syarh Al-Aqidah Al-Washitiyyah, hal. 14 Zaid bin
Fayyadh dan Muhammad Khalil Al-Haras, hal 16.
[3]. Ibnul Qayyim, ighasatul Lahfan Min Mashayid Asy-Syaithan, I/70
page 3
Rukun Iman Menurut Al-Firqah An-Najiyah
[1]. Iman Kepada Allah Ta’ala
Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah adalah Rabb dan Raja
segala sesuatu; Dialah Yang Mencipta, Yang Memberi Rezki, Yang Menghidupkan,
dan Yang Mematikan, hanya Dia yang berhak diibadahi. Kepasrahan, kerendahan
diri, ketundukan, dan segala jenis ibadah tidak boleh diberikan kepada
selain-Nya; Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan kemuliaan;
serta Dia bersih dari segala cacat dan kekurangan.[1]
[2]. Iman Kepada Para Malaikat Allah
Iman kepada malaikat adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah memiliki
malaikat-malaikat, yang diciptakan dari cahaya. Mereka, sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Allah, adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan. Apapun yang
diperintahkan kepada mereka, mereka laksanakan. Mereka bertasbih siang dan malam
tanpa berhenti. Mereka melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan yang
diperintahkan oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat
mutawatir dari nash-nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Jadi, setiap gerakan di
langit dan bumi, berasal dari para malaikat yang ditugasi di sana, sebagai
pelaksanaan perintah Allah Azza wa Jalla. Maka, wajib mengimani secara tafshil,
(terperinci), para malaikat yang namanya disebutkan oleh Allah, adapun yang
belum disebutkan namanya, wajib mengimani mereka secara ijmal (global).[2]
[3]. Iman Kepada Kitab-kitab
Maksudnya adalah, meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Allah memiliki
kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya; yang
benar-benar merupakan Kalam, (firman, ucapan),-Nya. la adalah cahaya dan
petunjuk. Apa yang dikandungnya adalah benar. Tidak ada yang mengetahui
jumlahnya selain Allah. Wajib beriman secara ijmal, kecuali yang telah
disebutkan namanya oleh Allah, maka wajib untuk mengimaninya secara tafshil,
yaitu: Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an. Selain wajib mengimani bahwa
Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah, wajib pula mengimani bahwa Allah telah
mengucapkannya sebagaimana Dia telah mengucapkan seluruh kitab lain yang
diturunkan. Wajib pula melaksanakan berbagai perintah dan kewajiban serta
menjauhi berbagai larangan yang terdapat di dalamnya. Al-Qur’an merupakan tolok
ukur kebenaran kitab-kitab terdahulu. Hanya Al-Qur’an saja yang dijaga oleh
Allah dari pergantian dan perubahan. Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang
diturunkan, dan bukan makhluk, yang berasal dari-Nya dan akan kembali
kepada-Nya.[3]
[4]. Iman Kepada Para Rasul
Iman kepada rasul-rasul adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah telah mengutus
para rasul untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya.
Kebijaksanaan-Nya telah menetapkan bahwa Dia mengutus para rasul itu kepada
manusia untuk memberi kabar gembira dan ancaman kepada mereka. Maka, wajib
beriman kepada semua rasul secara ijmal (global) sebagaimana wajib pula beriman
secara tafshil (rinci) kepada siapa di antara mereka yang disebut namanya oleh
Allah, yaitu 25 di antara mereka yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an.
Wajib pula beriman bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi selain
mereka, yang jumlahnya tidak diketahui oleh selain Allah, dan tidak ada yang
mengetahui nama-nama mereka selain Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Wajib
pula beriman bahwa Muhammad SAW. adalah yang paling mulia dan penutup para nabi
dan rasul, risalahnya meliputi bangsa jin dan manusia, serta tidak ada nabi setelahnya.[4]
[5]. Iman Kepada Kebangkitan Setelah Mati
Iman kepada kebangkitan setelah mati adalah keyakinan yang kuat tentang adanya
negeri akhirat. Di negeri itu Allah akan membalas kebaikan orang-orang yang
berbuat baik dan kejahatan orang-orang yang berbuat jahat. Allah mengampuni
dosa apapun selain syirik, jika Dia menghendaki. Pengertian al-ba’ts,
(kebangkitan) menurut syar’i adalah dipulihkannya badan dan dimasukkannya
kembali nyawa ke dalamnya, sehingga manusia keluar dari kubur seperti
belalang-belalang yang bertebaran dalam keadaan hidup dan bersegera mendatangi
penyeru. Kita memohon ampunan dan kesejahteraan kepada Allah, baik di dunia
maupun di akhirat.[5]
[6]. Iman Kepada Takdir Yang Baik Maupun
Yang Buruk Dari Allah Ta’ala.
Iman kepada takdir adalah meyakini secara sungguh-sungguh bahwa segala kebaikan
dan keburukan itu terjadi karena takdir Allah. Allah Subhanallahu wa ta’ala
telah mengetahui kadar dan waktu terjadinya segala sesuatu sejak zaman azali,
sebelum menciptakan dan mengadakannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya, sesuai
dengan apa yang telah diketahui-Nya itu. Allah telah menulisnya pula di Lauh
Mahfuzh sebelum menciptakannya.[6]
Banyak sekali dalil mengenai keenam rukun
Iman ini, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Di antaranya adalah firman
Allah Ta’ala :
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ
قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu
ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian
itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, dan
Nabi-nabi…”[Al-Baqarah : 177]
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Artinya : Sesungguhnya Kami menciptakan
segala sesuatu menurut qadar (ukuran).”[Al-Qamar : 49]
Juga sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi
wassalam dalam hadits Jibril :
“Artinya : Hendaklah engkau beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan hari
akhir. Dan engkau beriman kepada takdir Allah, baik maupun yang buruk.”[7]
——————————————————————————–
Foote Note.
[1].Ar-Raudah An-Naiyah Syarh Al-Aqidah Al-Washithiyah, hal. 15; Al-Ajwibah
Al-Ushuliyyah, hal. 16; dan At-Thahawiyah, hal. 335. Iman kepada Allah Ta’ala
meliputi empat perkara : (1). Iman kepada wujud-Nya Yang Maha Suci. (2). Iman
kepada Rububiyyah-Nya.(3). Iman kepada Uluhiyyah-Nya.(4). Iman kepada Asma dan
sifat-sifat-Nya.
[2]. Ar-Raudhah An-Nadiyah, hal. 16 dan Al-Aqidah At-Thahawiyyah, hal. 350.
[3]. Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 16 dan 17.
[4]. Lihat Al-Kawasyif Al-Jaliyah An Ma’ani Al-Wasithiyah, hal 66.
[5]. Ibid
[6]. Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Muhammad Khalil Al-Haras, hal. 19.
[7]. Dikeluarkan oleh Muslim, I/37 no.8
page 4
Metode Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam
Meniadakan Dan Menetapkan Asma’ Dan Sifat Bagi Allah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan apa
yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya secara tafshil, dengan landasan
firman Allah :
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Artinya : Dan Dia Maha Mendengar dan
Maha Melihat.” [Asy-Syura : 11]
Karena itu, semua nama dan sifat yang
telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya atau oleh Rasulullah Sallallahu
alaihi wassalam, mereka tetapkan untuk Allah, sesuai dengan keagungan
sifat-Nya. Sebaliknya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menafikan apa yang telah
dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh rasul-Nya, dengan penafian secara
ijmal, berdasarkan kepada firman Allah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang
menyerupai-Nya…” [Asy-Syura : 11]
Penafian sesuatu menuntut penetapan
terhadap kebalikannya, yaitu kesempurnaan. Semua yang dinafikan oleh Allah dari
diri-Nya, berupa kekurangan atau persekutuan makhluk dalam hal-hal yang
merupakan kekhususan-Nya, menunjuk-kan ditetapkannya kesempurnaan-kesempurnaan
yang merupakan kebalikannya. Allah telah memadukan penafian dan penetapan dalam
satu ayat. Maksud saya penafian secara ijmal dan penetapan secara tafshil yaitu
dalam firman Allah Subhanallahu wa ta’ala :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
البَصِيرُ
“Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang
menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syura: 11]
Ayat ini mengandung tanzih, -penyucian-
Allah dari penyerupaan dengan makhluk-Nya, baik dalam dzat, sifat, maupun
perbuatan-Nya. Bagian awal ayat di atas merupakan bantahan bagi kaum
Musyabbihah (yang menyerupakan Allah), yaitu firman Allah Ta’ala:
“Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan-Nya …”
Adapun bagian akhir dari firman Allah tersebut
merupakan bantahan bagi kaum Mu’athilah -yang melakukan ta’thil-, yaitu firman
Allah:
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِير
“Artinya : Dan Dia Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” [Asy-Syura : 11]
Pada bagian pertama terkandung penafian
secara ijmal sedangkan pada bagian terakhir terkandung penetapan secara
tafshil. Ayat di atas juga mengandung bantahan bagi kaum Asy’ariyah yang
mengatakan bahwa Allah mendengar tanpa pendengaran dan melihat tanpa
penglihatan. [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Ta’ala mencantumkan ayat diatas, berikut surah Al-Ikhlas dan ayat Al-Kursi,
karena surah Al-Ikhlas dan ayat-ayat tersebut mengandung penafian dan
penetapan. [2] Surah Al-Ikhlas memiliki bobot yang sebanding dengan sepertiga
Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam
[3] Para Ulama menyebutkan penafsiran sabda beliau itu, bahwa Al-Qur’an
diturunkan dengan tiga macam kandungan, yaitu : Tauhid, kisah-kisah, dan
hukum-hukum, sedangkan surah Al-Ikhlas ini mengandung tauhid dengan ketiga
macamnya, yaitu: Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat.
Karena itulah ia dikatakan sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an. [4]
Ayat Al-Kursi adalah ayat yang agung,
bahkan merupakan ayat yang paling agung di dalam Al-Qur’an.[5] Itu disebabkan,
ia mengandung nama-nama Allah Yang Maha Indah dan sifat-sifat-Nya Yang Maha
Tinggi. Nama-nama dan sifat-sifat tersebut terkumpul di dalamnya, yang tidak
terkumpul seperti itu dalam ayat lainnya. Karena itu, ayat yang mengandung
makna-makna agung ini layak untuk menjadi ayat yang paling agung dalam
Kitabullah. [6]
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. Al-Ajwibah Al-Ushuliyah ‘ala Al-Aqidah Al-Wasithiyah, hal.26
[2]. Ar-Raudah An-Nadiyah, hal. 120 dan Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah,
Al-haras, hal.31
[3]. Al-Bukhari, lihat Fathul BariXIII / 347 dan Muslim I/556 no.811.
[4]. Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Al-Haras, hal.21
[5]. Muslim I/556 no.810, Ahmad V/142, dan lain-lain.
[6]. Al-Ajwibah Al-Ushuliyah ‘ala Al-Aqidah Al-Wasithiyah, hal.40
page 5
Madzhab Ahluss Sunnah Wal Jama’ah Secara
Ijmal Mengenai Sifat-Sifat Allah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan
sifat-sifat Allah Ta’ala, tanpa ta’thil, tamtsil, tahrif, dan takyif[1]. Mereka
mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits.
[1]. Tahrif
Tahrif secara bahasa berarti merubah dan mengganti. Menurut pengertian syar’i
berarti: merubah lafazh Al-Asma’ul Husna dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi,
atau makna-maknanya. Tahrif ini dibagi menjadi dua:
Pertama:
Tahrif dengan cara menambah, mengurangi, atau merubah bentuk lafazh. Contohnya
adalah ucapan kaum Jahmiyah, dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka,
bahwa istawa [2] Adalah istaula [3] Disini ada penambahan huruf lam. Demikian
pula perkataan orang-orang Yahudi, “Hinthah [4] ketika mereka diperintah untuk
mengatakan “Hiththah[5]” Contoh lain adalah perkataan Ahli Bid’ah yang
memanshubkan[6] lafazh Allah dalam ayat :
وَكَلَّمَ اللّهُ مُوسَى تَكْلِيماً
“Artinya : Dan Allah berbicara kepada
Musa dengan langsung.”[An-Nisa’ : 164].
Kedua:
Merubah makna. Artinya, tetap membiarkan lafazh sebagaimana aslinya, tetapi
melakukan perubahan terhadap maknanya. Contohnya adalah perkataan Ahli Bid’ah
yang menafsirkan Ghadhab (marah), dengan iradatul intiqam (keinginan untuk
membalas dendam); Rahmah (kasih sayang), dengan iradatul in’am (keinginan untuk
memberi nikmat); dan Al-Yadu (tangan), dengan an-ni’mah (nikmat).
[2]. Ta’thil
Ta’thil secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i
adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari
keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian
darinya. Jadi, perbedaan antara tahrif dan ta’thil yaitu : ta’thil adalah
penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah,
sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
interpretasi yang bathil.
Macam-Macam Ta’thil
Ta’thil ada bermacam-macam.
[a]. Penolakan terhadap Allah atas
kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara meniadakan Asma’ dan
Sifat-sifat-Nya, atau sebagian dari-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh para
penganut paham Jahmiyah dan Mu’tazilah.
[b]. Meninggalkan muamalah dengan-Nya,
yaitu dengan cara meninggalkan ibadah kepada-Nya, baik secara total maupun
sebagian, atau dengan cara beribadah kepada selain-Nya di samping beribadah
kepada-Nya.
[c]. Meniadakan pencipta bagi makhluk.
Contohnya adalah pendapat orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya, alamlah
yang menciptakan segala sesuatu dan yang mengatur dengan sendirinya.
Jadi, setiap orang yang melakukan tahrif
pasti juga melakukan ta’thil, akan tetapi tidak semua orang yang melakukan
ta’thil melakukan tahrif. Siapa yang menetapkan suatu makna yang batil dan
menafikan suatu makna yang benar, maka ia seorang pelaku tahrif sekaligus
pelaku ta’thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka ia seorang mu’athil
(pelaku ta’thil), tetapi bukan muharif (pelaku tahrif).
[3]. Takyif
Takyif artinya bertanya dengan kaifa (bagaimana). Adapun yang dimaksud takyif
di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan
bentuk/ keadaan tertentu untuknya. Meniadakan bentuk/ keadaan bukanlah berarti
masa bodoh terhadap makna yang dikandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab
makna tersebut diketahui dari bahasa Arab. Inilah paham yang dianut oleh kaum
Salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam Malik Rahimahullahu Ta’ala ketika
ditanya tentang bentuk/ keadaan istiwa’, -bersemayam-. Beliau Rahimahullah
menjawab :
“Istiwa’ itu telah diketahui (maknanya),
bentuk/ keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya
adalah bid’ah.”[7]
Semua sifat Allah menunjukkan makna yang
hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah,
akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat
tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun
maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/ keadaannya. Tidak
sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu terhadap makna-maknanya.
[4]. Tamtsil
Tamtsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai
Allah Ta’ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya.
Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu :
Pertama :
Menyerupakan makhluk dengan Pencipta. Misalnya orang-orang Nasrani yang
menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta’ala dan orang-orang Yahudi
yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah pula. Maha Suci Allah dari itu semua.
Kedua :
Menyerupakan Pencipta dengan makhluk. Contohnya adalah orang-orang yang
mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki oleh
makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh
makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk,
serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka ucapkan.[8]
Ilhad Terhadap Asma’ Dan Sifat-Sifat
Allah
Pengertian ilhad terhadap Asma’ dan
Sifat-sifat Allah adalah menyimpangkan nama-nama dan sifat-sifat Allah,
hakekat-hakekatnya, atau makna-maknanya, dari kebenarannya yang pasti.
Penyimpangan ini bisa berupa penolakan terhadapnya secara total atau
pengingkaran terhadap makna-maknanya, atau pembelokannya dari kebenaran dengan
menggunakan interpretasi yang tidak benar, atau penggunaan nama-nama tersebut
untuk menyebut hal-hal yang bid’ah, sebagaimana yang dilakukan oleh para
penganut paham “Ittihad”. Jadi, yang termasuk dalam kategori ilhad adalah
tahrif, ta’thil, takyif, tamtsil dan tasbih. [9]
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. Serta tanpa tafwidh
[2]. Istawa artinya berada di atas; (setelah dahulunya tidak)
[3]. Istaula artinya menguasai
[4]. Hinthat artinya gandum
[5]. Hiththah artinya bebaskan kami dari dosa
[6]. Maksudnya, lapazh Allah dibaca dengan harakat akhir fathah, padahal
semestinya harakat akhirnya dibaca dengan dhammah . Dengan dimanshubkan, maka
kedudukan lapazh Allah dalam ayat tersebut menjadi obyek, sehingga arti ayat
tersebut berubah menjadi, Dan Musa berbicara kepada Allah secara langsung.
[7]. Fatawa Ibnu Taimiyyah, V/144
[8]. Al-Kawasyif Al-jaliyah an Ma’ani Al-Wasithiyah, hal.86.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz hafizhahullah berkata : Ada tasybih jenis ketiga,
yaitu menyerupakan Sang Pencipta dengan madumat, (sesuatu yang tidak ada),
tidak sempurna dan benda-benda mati. Inilah tasybih yang dilakukan oleh
orang-orang yang menganut paham Jahmiyah dan Mu’tazilah.
[9]. Lihat Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 32 dan Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah,
Al-Haras, hal. 24.
page 6
Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Tentang
Asma’ Dan Sifat-Sifat Allah Secara Tafshil
Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
madzhab kaum salaf Rahimahumullah Ta’ala. Mereka beriman kepada apa saja yang
disampaikan oleh Allah mengenai diri-Nya di dalam kitab-Nya dan oleh Rasulullah
Sallallahu ‘alaihi wassalam dengan keimanan yang bersih dari tahrif dan ta’thil
serta dari takyif dan tamtsil. Mereka menyatukan pembicaraan mengenai
sifat-sifat Allah dengan pembicaraan mengenai Dzat-Nya, dalam satu bab. Pendapat
mereka mengenai sifat-sifat Allah sama dengan pendapat mereka mengenai
Dzat-Nya. Bila penetapan Dzat adalah penetapan tentang keberadaannya, bukan
penetapan tentang bagaimananya, maka seperti itu pulalah penetapan sifat.
Menurut mereka, wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah
ditegaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau oleh salah satu dari keduanya.
Nama-nama dan sifat-sifat tersebut wajib diimani sebagaimana yang disebutkan
dalam nash, tanpa takyif, wajib diimani berikut makna-makna agung yang
terkandung didalamnya yang merupakan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Wajib
mensifati Allah dengan makna sifat-sifat tersebut, dengan penyifatan yang layak
bagi-Nya, tanpa tahrif, ta’thil, takyif, atau tamtsil [1]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak
mengkiaskan Allah dengan makhluk-Nya, karena mereka tidak memperbolehkan
penggunaan berbagai kias (analogi) yang mengandung konsekuensi penyerupaan dan
penyamaan antara apa yang dikiaskan dengan apa yang menjadi obyek pengkiasan
dalam masalah-masalah Ilahiyah. Karena itu mereka tidak menggunakan kias,
tamtsil dan kias syumul/ menyeluruh terhadap Allah Ta’ala. Terhadap Allah SWT
mereka menggunakan kias aula/ yang lebih utama. Inti kias ini adalah bahwa
setiap kesempurnaan yang terdapat pada makhluk, tanpa kekurangan dipandang dari
berbagai segi, maka Al-Khaliq lebih layak untuk memilikinya, sebaliknya setiap
sifat kekurangan dihindari oleh makhluk, maka Al-Khaliq lebih layak untuk
terhindar darinya.
Ayat-Ayat Dan Hadits-Hadits Tentang
Sifat-Sifat Allah
Setelah Syaikhul Islam Rahimahullah
Ta’ala menyebutkan akidah Firqah Najiyah secara ijmal, yaitu: Iman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan
takdir yang baik maupun yang buruk dari Allah, maka beliau mulai menjelaskan
hal itu secara mendetail. Beliau Rahimahullah menyebutkan bahwa di antara
manifestasi iman kepada Allah adalah iman kepada apa yang disifatkan oleh-Nya
untuk diri-Nya, atau oleh rasul-Nya Sallallahu ‘alaihi wassalam, tanpa tahrif,
ta’thil, takyif atau tamtsil.
Beliau Rahimahullah lalu menyebutkan
sejumlah ayat dan hadits sahih yang di situ Rasulullah Sallallahu ‘alaihi
wassalam menetapkan Sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla, dengan penetapan yang
layak bagi-Nya. Dalam hal ini, beliau Rahimahullah bermaksud menegaskan bahwa
tidak ada jalan bagi seorang muslim untuk mengetahui Sifat-sifat Rabbnya yang
Maha Tinggi dan Asma’-Nya yang Maha Indah, melainkan melalui perantaraan wahyu.
Asma’ dan Sifat-sifat Allah itu bersifat tauqifiyah (hanya bisa diketahui dari
Allah). Maka, apapun yang ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya, atau oleh
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam, kita meyakininya. Demikian pula, apa
yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh Rasulullah Sallallahu
‘alaihi wassalam, kita menafikannya. Cukuplah bagi kita informasi yang datang
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih ini.
Di antara ayat dan hadits yang disebutkan
oleh beliau Rahimahullah adalah sebagai berikut:
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. Lihat “Al-Aqidah Asy-Shahihah wa maa Yudhaadhuha”, Syaikh Abdul Aziz bin
Abdulah bin Baz, hal 7 dan ‘Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah”, Al-Haras hal. 25
page 7
AYAT-AYAT DAN HADITS-HADITS TENTANG
SIFAT-SIFAT ALLAH
Sifat: Al-Izzah, Al-ihathoh, Al-Ilmu,
Al-Hikmah, Al-Khibrah, Ar-Rizq, Al-Quwwah, As-Sam’u, Al-Bashar
[1]. Sifat Al-‘Izzah (Perkasa)
١٨٠. سُبْحَانَ
رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ. ١٨١. وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ.
١٨٢. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Artinya : Maha Suci Rabbmu, Yang
Memiliki Keperkasaan (lzzah), dari apa yang mereka katakan. Keselamatan semoga
dilimpahkan kepada para rasul. Dan segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian
alam.” [Ash-Shafat : 180-182]
Dalam ayat ini, Allah me-Mahasucikan
diri-Nya dari apa yang disifatkan, oleh orang-orang yang menyelisihi para
rasul, kepada-Nya, serta memberikan keselamatan kepada para rasul dikarenakan
perkataan mereka bersih dari kekurangan dan cela.
[2]. Sifat Al-Ihathah (Meliputi)
٣. هُوَ
الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Artinya : Dialah yang Awal dan Yang
Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Mulia Mengetahui segala
sesuatu.”[Al-Hadid : 3]
Firman Allah di atas ditafsirkan dengan sabda
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam :
“Artinya : Ya Allah, Engkaulah Al-Awwal,
maka tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu; Engkaulah Al-Aakhir, maka tidak ada
sesuatu pun sesudah-Mu; Engkaulah Azh-Zhahir, maka tidak ada sesuatu pun di
atas-Mu, dan Engkaulah Al-Bathin, maka tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu.”[1]
Ayat dan hadits di atas menunjukkan sifat
Al-Ihathah Az-Zamaniyah (meliputi waktu) yaitu pernyataan, “Dialah Al-Awwal dan
Al-Akhir; serta Al-Ihathah Al-Makaniyah (meliputi tempat), yaitu pernyataan,
“Dan Azh-Zhahir dan Al-Bathin.”
[3]. Sifat Al-Ilmu (Mengetahui) [4].
Sifat Al-Hikmah (Bijaksana) [5]. Sifat Al-Khibrah (Mengetahui)
١٠٠. إِنَّهُ
هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Artinya : Sesungguhnya, Dialah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Yusuf : 100].
“Artinya : Dan Dialah yang Maha Bijaksana
lagi Maha Mengetahui.” [Al-An’am : 18]
Al-Ilmu merupakan salah satu sifat
Dzatiyah yang tidak akan pernah lepas dari Allah Ta’ala. Ilmu Allah meliputi
segala sesuatu, secara global maupun terperinci. Kebijaksanaan Allah berlaku di
dunia maupun di akhirat. Apabila Allah menyempurnakan sesuatu, maka sesuatu itu
tidak mengandung kerusakan. Allah telah menciptakan manusia dan Dia Maha Suci,
Maha Bijaksana, lagi Maha Mengetahui. [2]
[6]. Sifat Ar-Rizq (Memberi Rezki) [7] .
Al-Quwwah (Kuat) [8]. Al-Matanah (Kokoh)
٥٨. إِنَّ
اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Artinya : Sesungguhnya Allah Maha
Pemberi Rezki, Yang Mempunyai Kekuatan, dan Yang Sangat Kokoh.” [Adz-Dariat :
58]
Ar-Razzaq artinya Yang banyak memberi
rezki secara luas (sebagaimana ditunjukkan oleh shighah mubalaghah bentuk kata
yang menyangatkan. Apapun rezki yang ada di alam semesta ini berasal dari Allah
Ta’ala. Rezki itu ada dua :
Pertama : Rezki yang manfaatnya berlanjut
sejak di dunia hingga di akhirat, yaitu rezki hati. Contohnya : Ilmu, iman, dan
rezki halal.
Yang kedua : Rezki yang secara umum
diberikan kepada seluruh manusia, yang shalih maupun yang jahat, termasuk
binatang dan lain-lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat
Al-Quwwah (Kekuatan), Al-Qawiy artinya adalah Syadidul Quwwah (Sangat Kuat).
Maka, Al-Qawiy merupakan salah satu nama-Nya, yang berarti Yang Memiliki Sifat
Kuat. Adapun Al-Matin berarti Yang Memiliki Puncak Kekuatan dan Kekuasaan.[3].
[9]. As-Sam’u (Mendengar) [10]. Al-Bashar
(Melihat)
١١. لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Sura: 11]
Di antara sifat-sifat Dzatiyah Allah
adalah As-Sam’u dan Al-Bashar. Jadi, Allah memiliki sifat mendengar dan
melihat, sesuai dengan keagungan-Nya, tidak sebagaimana mendengar dan
melihatnya makhluk-Nya. Bahkan, pendengaran-Nya meliputi segala hal yang
terdengar, dan Dia Melihat dan menyaksikan segala sesuatu, sekalipun sesuatu
tersebut tersembunyi secara lahir maupun batin. [4]
Seorang penyair berkata :
Duhai Dzat Yang Melihat nyamuk, ketika
mengembangkan sayapnya
Di kegelapan malam yang pekat dan kelam
Dan Melihat urat syaraf di lehernya
Juga otak yang didalam tulang-tulang nan amat mungil itu
Berikanlah kepadaku, ampunan yang menghapuskan
Dosa-dosa yang kulakukan, sejak kali pertama
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. Shahih Muslim†IV/2084. Lihat juga Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah,
Al-Haras, hal. 42.
[2]. Lihat Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal.42
[3]. Ar-Raudhah An-Nadiyah, hal. 74
[4]. Lihat Ar-Raudhah An-Nadiyah, hal. 74 dan 112
page 8
Ayat-Ayat Dan Hadits-Hadits Tentang
Sifat-Sifat Allah
Sifat : Al-Iradah, Al-Masyi’ah,
Al-Mahabbah, Al-Mawaddah, Ar-Rahmah, Al-Maghfirah
[11]. Sifat Al-Iradah Dan [12]. Sifat
Al-Masyi’ah (Menghendaki)
٢٥٣. وَلَوْ
شَاء اللّهُ مَا اقْتَتَلُواْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Artinya : Seandainya Allah menghendaki,
tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”
[Al-Baqarah : 253]
١٢٥. فَمَن
يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ أَن
يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي
السَّمَاء َ
“Artinya : Siapa yang Allah berkehendak
untuk memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk
(memeluk) Islam. Dan siapa yang Allah berkehendak untuk menyesatkannya, niscaya
Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke
langit.”[Al-An’am : 125]
Iradah (kehendak) Allah terbagi menjadi
dua :
[1]. Al-Iradah Al-Kauniyah
Al-Iradah Al-Kauniyah ini bersinonim dengan Al-Masyi’ah. Iradah Kauniyah atau
Masyi’ah ini berkenaan dengan apa saja yang hendak dilakukan dan diadakan oleh
Allah Subhanallahu wa ta’ala Apabila Allah Subhanallahu wa ta’ala menghendaki
terjadinya sesuatu, maka sesuatu itu terjadi begitu. Dia menghendakinya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
٨٢. إِنَّمَا
أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Artinya : Sesungguhnya perintah-Nya,
apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya “Kun” (Jadilah),
maka jadilah ia.” [Yasin : 82]
Jadi, apapun yang dikehendaki oleh Allah,
niscaya terjadi, sedangkan apapun yang dikehendaki Allah untuk tidak terjadi,
niscaya tidak terjadi.
[2]. Al-Iradah Asy-Syar’iyah
Iradah ini berkaitan dengan apa saja yang diperintahkan oleh Allah kepada
hamba-hamba-Nya, berupa hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya. Iradah ini
disebutkan, misalnya, dalam firman Allah Ta’ala :
١٨٥. يُرِيدُ
اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Artinya : Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqarah : 185]
Perbedaan Antara Kedua Iradah Ini.
Al-Iradah Al-Kauniyah Al-Qadariyah
bersifat umum, meliputi seluruh peristiwa dan apapun yang terjadi di jagad raya
ini, entah berupa kebaikan maupun keburukan, kekafiran maupun keimanan, dan
ketaatan maupun kemaksiatan.
Adapun Al-Iradah Ad-Diniyah Asy-Syar’iyah bersifat khusus berkaitan dengan apa
saja yang dicintai dan diridhai oleh Allah, yang dijelaskan di dalam Al-Kitab
dan As-sunah.
Kedua Iradah di atas berpadu pada diri
seorang hamba yang taat. Adapun orang yang bermaksiat dan kafir hanya mengikuti
Al-Iradah Al-Kauniyah Al-Qadariyah. Artinya, ketaatan seseorang itu sesuai
dengan iradah (kehendak) Allah, baik Al-Iradah Ad-Diniyah Asy-Syar’iyah maupun
Al-Iradah Al-Kauniyah Al-Qadariyah. Adapun orang kafir, perbuatannya itu sesuai
dengan iradah kauniyah qadariyah, tetapi tidak sesuai dengan iradah diniyah
syar’iyah. [1]
[13]. Sifat Al-Mahabbah (Cinta) [14].
Al-Mawaddah (Cinta yang Murni)
١٩٥. وَأَحْسِنُوَاْ
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Artinya : Dan berbuat baiklah,
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” [Al-Baqarah : 195]
Cinta Allah itu merupakan sifat yang
sesuai dengan keagungan-Nya, sebagaimana telah dijelaskan di muka. la merupakan
sifat Fi’liyah, yang muncul disebabkan dilaksanakannya perintah Allah, yaitu
ibadah kepada Allah dengan baik dan perbuatan baik kepada hamba-hamba-Nya.
Demikian halnya sifat Mawaddah. Karena Allah berfirman :
١٤. وَهُوَ
الْغَفُورُ الْوَدُودُ
“Artinya : Dan Dia Maha Pengampun dan
Maha Pencinta dengan kecintaan yang murni.” [Al-Buruj : 14]
Al-Wudd artinya kecintaan yang bersih dan
murni.
[15]. Sifat Ar-Rahmah (Kasih Sayang),
[16]. Al-Maghfirah (Mengampuni)
٧. رَبَّنَا
وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْماً
“Artinya : Wahai Rabb kami, rahmat dan
ilmu Engkau meliputi sesutu.” [Ghafir : 7]
١٠٧. وَهُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Artinya : Dan Dia Yang memberikan
ampunan dan sayang.” [Yunus : 107]
Pada ayat pertama, Allah menetapkan sifat
rahmah bagi diri-Nya, sedangkan pada ayat kedua, Allah Subhanallahu wa ta’ala
menetapkan sifat Maghfirah. Kita menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah bagi diri-Nya, dengan artian yang layak bagi-Nya
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. “Al-Aqidah Ath-Thawiyah, hal.116, Syarh Al-Wasithiyah Al-Haras,
hal. 52 dan Al-Ushuliyah, hal.48
page 9
Ayat-Ayat Dan Hadits-Hadits Tentang
Sifat-Sifat Allah
Sifat : Ar-Ridha, Al-Ghadhab. As-Sukht,
Al-La’n, Al-Karahiyah, Al-Wajhu, Al-Yadain, Al-Ainain
[17]. Sifat Ar-Ridha [18]. Al-Ghadhab
(Marah) [19]. As-Sukht (Murka)
[20]. Al-La’an (Melaknat) [2l].
Al-Karahiyah (Benci) [22]. Al-Asaf (Marah) [23]. Al-Maqt (Murka)
٨. رَّضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Artinya : Allah meridhai mereka dan
mereka pun ridha kepada-Nya.” [Al-Bayyinah : 8]
٩٣. وَمَن
يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ
اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ
“Artinya : Dan siapa membunuh seorang
mukmin secara sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya,
sedangkan Allah marah dan melaknatnya.” [An-Nisa’ : 93]
٢٨. ذَلِكَ
بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ
“Artinya : Itu dikarenakan mereka
mengikuti apa yang menjadikan Allah murka dan mereka membenci keridhaan-Nya.”
[Muhammad : 28]
٥٥. فَلَمَّا
آسَفُونَا انتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ
“Artinya : Maka ketika mereka telah
menyebabkan Kami marah, maka Kami menghukum mereka.” [Az-Zukhruf : 55]
٣. كَبُرَ
مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Artinya : Amat besarlah kemurkaan di
sisi Allah, jika kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” [Ash-Shaf :
3]
٤٦. وَلَـكِن
كَرِهَ اللّهُ انبِعَاثَهُمْ
“Artinya : Tetapi Allah membenci
keberangkatan mereka.” [At-Taubah : 46]
Dalam ayat-ayat ini, Allah menetapkan
bagi diri-Nya sifat Al-Ghadhab, marah, As-Sukht, murka, Ar- Ridha, Al-La’an
(melaknat), Al-Karahiyah (benci), Al- Asaf (marah), serta Al-Maqt (murka). Ini
semua merupakan sifat-sifat Af’al (perbuatan) yang dilakukan oleh Allah ‘Azza
wa Jalla, bila Dia menghendaki. Selain menetapkan sifat-sifat Dzatiyah bagi
Allah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga menetapkan sifat-sifat Fi’liyah-Nya yang
bersifat ikhtiyari (pilihan), dengan makna yang layak dengan keagungan-Nya.
[24]. Al-Maji’ (Tiba) [25]. Al-Ityan
(Datang)
٢١٠. هَلْ
يَنظُرُونَ إِلاَّ أَن يَأْتِيَهُمُ اللّهُ فِي ظُلَلٍ مِّنَ الْغَمَامِ
وَالْمَلآئِكَةُ وَقُضِيَ الأَمْرُ
“Artinya : Tiada yang mereka
nanti-nantikan melainkan kedatangan Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam
naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya.” [Al-Baqarah : 210]
٢١. كَلَّا
إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكّاً دَكّاً. ٢٢. وَجَاء رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً
صَفّاً
“Artinya : Jangan (berbuat demikian).
Apabila bumi digoncangkan berturut-turut. Dan tibalah Rabbmu sedangkan malaikat
berbaris-baris.” [Al-Fajr : 21-22]
Ayat-ayat yang disebutkan oleh penulis
ini, juga ayat-ayat yang lain, memuat penetapan sifat Al-Maji’ (tiba’) dan
Al-ltyan (datang), demikian pula sifat An-Nuzul (turun), sesuai dengan makna
yang layak dengan keagungan Allah Ta’ala. Perbuatan-perbuatan ikhtiari ini
dilakukan berkaitan dengan Al-Masyi’ah (kehendak) dan Al-Qudrah (kemampuan)
Allah.
[26]. Sifat Al-Wajhu (Wajah), [27].
Al-Yadain (Dua Tangan), [28]. Al-‘Ainain (Dua Mata)
٢٧. وَيَبْقَى
وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Artinya : Dan tetap kekal Wajah Rabbmu
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” [Ar-Rahman : 27]
٤٨. وَاصْبِرْ
لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
“Artinya : Dan bersabarlah dalam menunggu
ketetapan Rabbmu, sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Mata Kami”
[Ath-Thur : 48]
٧٥. مَا
مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
“Artinya : Apakah yang menghalangi kamu
sujud kepada (Adam) yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” [Shad : 75]
Dalam ayat-ayat ini terkandung penetapan
wajah, dua tangan, dan dua mata bagi Allah Ta’ala, dengan sifat yang sesuai
dengan kebesaran-Nya. Adapun hadits yang menunjukkan sifat dua mata ini, adalah
sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam :
Artinya : Sesungguhnya Rabbmu tidak buta
sebelah matanya.” [1]
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. Fathul Bari XII/91 dan Muslim IV/2248
page 10
Ayat-Ayat Dan Hadits-Hadits Tentang
Sifat-Sifat Allah
Sifat : Al-Makru, Al-Kaid, Al-‘Afwu,
Al-Maghfirah, Al-Izzah Dan Al-Qudrah
[29]. Sifat Al-Makru (Makar) [30].
Al-Kaid (Tipu Daya)
٥٤. وَمَكَرُواْ
وَمَكَرَ اللّهُ وَاللّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Artinya : Mereka (orang-orang kafir itu)
membuat makar, dan Allah membalas makar mereka. Dan Allah sebaik-baik pembuat
makar.” [Ali Imran : 54]
١٥. إِنَّهُمْ
يَكِيدُونَ كَيْداً. ١٦. وَأَكِيدُ كَيْداً
“Artinya : Sesungguhnya mereka
(orang-orang kafir itu) merencanakan tipu daya yang jahat dengan
sebenar-benarnya. Dan Aku pun merencanakan tipu daya pula, dengan
sebenar-benarnya.” [Ath-Thariq : 15-16]
١٣. وَهُوَ
شَدِيدُ الْمِحَالِ
“Artinya : Dan Dia-lah Dzat Yang Maha
keras tipu daya-Nya.” [Ar-Ra’d : 13]
Allah telah menetapkan bagi diri-Nya
sifat-sifat yang tersebut dalam ayat-ayat tersebut, yaitu : Makar, Al-Kaid
(tipu daya), dan Al-Mumahalah (tipu daya). Ini semua merupakan sifat Fi’liyah
yang ada pada Allah, dengan makna yang sesuai dengan kebesaran dan
keagungan-Nya. Namun, dari sifat-sifat Fi’liyah ini tidak boleh diambil nama,
sehingga tidak boleh mengatakan : bahwa salah satu nama-Nya adalah Al-Makir
(Maha Makar), atau Al-Kaaid (Yang Maha Menipu Daya), karena nama tersebut tidak
disebutkan. Kita berhenti pada apa yang tersebut saja, yaitu bahwa Dia
Subhanallahu wa ta’ala adalah sebaik-baik pembuat makar dan bahwa Dia
merencanakan tipu daya terhadap musuh-musuh-Nya yang kafir itu. Jadi Allah
mensifati diri-Nya dengan sifat makar dan menipu daya sebagai balasan,
sebagaimana dalam firman-Nya :
٤٠. وَجَزَاء
سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا
“Artinya : Dan balasan suatu kejahatan
adalah kejahatan yang serupa.” [Asy-Syura : 40]
Sifat tersebut termasuk dalam kategori
ini, yaitu menimpakan makar dan tipu muslihat kepada siapa yang layak, sebagai
hukuman baginya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengakui untuk diri-Nya
perbuatan-perbuatan, akan tetapi Dia tidak menamai diri-Nya dengan isim fa’il
dari perbuatan-perbuatan tersebut. Misalnya : Araada, -menghendaki- , syaa’a,
-menghendaki-, ahdatsa, -mengadakan- , akan tetapi Allah tidak menyebut
diri-Nya dengan nama Asy-Syaa’i (Yang Menghendaki), Al-Murid (Yang
Menghendaki), Al-Muhdits (Yang Mengadakan). Dia juga tidak menyebut diri-Nya
dengan nama Ash-Shani’ (Yang Membuat), Al-Fail (Yang Berbuat), Al-Mutqin (Yang
Membuat dengan kokoh), dan nama-nama lain yang diambil dari perbuatan-perbuatan
yang dinyatakan Allah sebagai perbuatan diri-Nya. Jadi, bab Af’al
(perbuatan-perbuatan), lebih luas daripada bab Asma’ (nama-nama). Tetapi, apa
yang dinyatakan oleh Allah untuk diri-Nya, maka kitapun meyakininya, misalnya
firman-Nya :
١٦. فَعَّالٌ
لِّمَا يُرِيدُ
“Artinya : Maha Kuasa berbuat apa yang
dikehendaki-Nya [Al-Buruj : 16]
٨٨. صُنْعَ
اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ
Artinya : Begitulah perbuatan Allah yang
membuat dengan kokoh segala sesuatu.” [An-Naml : 88]
[31]. Sifat Al-‘Afwu (Memaafkan) [32].
Al-Maghfirah (Mengampuni) [34] Al-‘Izzah (Mulia) Dan Al- Qudrah (Kuasa, Mampu)
١٤٩. إِن
تُبْدُواْ خَيْراً أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُواْ عَن سُوَءٍ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ
عَفُوّاً قَدِيراً
“Artinya : Jika kamu menyatakan sesuatu
kebaikan, menyembunyikan, atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” [An-Nisa’ : 149]
٨. وَلِلَّهِ
الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
“Artinya : Padahal, kemuliaan hanyalah
bagi Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman.” [Al-Munafiqun : 8]
٢٢. أَلَا
تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Artinya : Apakah kamu tidak ingin bahwa
Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nur :
22]
Dalam ayat-ayat di atas, Allah
Subhanallahu wa ta’ala menetapkan bagi diri-Nya sifat Al-‘afwu (memaafkan),
Al-maghfirah (mengampuni), Al-‘Jzzah (mulia), dan Al-Qudrah (kuasa, mampu),
karena itu kita pun meyakininya sebagai sifat Allah, dengan makna yang layak
bagi-Nya, tidak ada satupun dari makhluk-makhluk-Nya yang menyerupai
sifat-sifat tersebut.[1]
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. Ar-Raudhah An-Nadiyah, hal.115, Al-Kawasyif Al-Jaliyah, hal.267,
dan Mukhtashar Ash-Shawaiq Al-Mursalah Ala Al-Jahmiyahwal Mu’athilah, Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah II/31-35
page 12
AYAT-AYAT DAN HADITS-HADITS TENTANG
SIFAT-SIFAT ALLAH
Sifat : Al-Istiwa, Al-Uluw, Al-Maiyah Dan
Al-Kalam
[35]. Sifat Al-Istiwa’ (Bersemayam) [36].
Al-‘Uluw (Tinggi)
٥. الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Artinya : Allah Yang Maha Pemurah, Yang
bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thaha : 5]
Sifat itu disebutkan oleh Allah
Subhanallahu wa ta’ala di tujuh tempat dalam kitab-Nya dan kita meyakini apa
yang telah ditegaskan oleh Allah bagi diri-Nya. Kita mengatakan bahwa Dia
benar-benar bersemayam, dengan sifat bersemayam yang layak dengan
kebesaran-Nya. Bersemayam itu telah diketahui artinya, bagaimananya tidak
diketahui, mengimaninya merupakan kewajiban, sedangkan bertanya mengenainya
adalah bid’ah, dan inilah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.[1]
١٠. إِلَيْهِ
يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Artinya : Kepada-Nyalah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” [Fathir :
10]
Al-Uluw (Tinggi) merupakan sifat Dzatiy
bagi Allah Ta’ala. dia memiliki ketinggian absolut : ketinggian dzat,
ketinggian kekuasaan, dan ketinggian pemaksaan [2] dalam hadits disebutkan :
“‘Artinya : Arsy itu -di atas air,
sedangkan Allah di atas ‘Arsy dan Dia mengetahui apa yang kamu di atasnya.” [3]
[37]. Sifat Al-Ma’iyah (Kebersamaan) Bagi
Allah Ta’ala
٤. هُوَ
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى
عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا
يَنزِلُ مِنَ السَّمَاء وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Artinya : Dialah yang menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia
rnengetahui apa yang rnasuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya, juga apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di
mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Meihat apa yang kamu kerjakan.” [Al-Hadid
: 4]
١٢٨. إِنَّ
اللّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَواْ وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
“Artinya : Sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang bertakwa ‘dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” [An-Nahl :
128]
Dalam ayat-ayat ini, kita menemukan bahwa
Allah Ta’ala telah menetapkan bagi diri-Nya sifat Al-Ma’iyah (kebersamaan).
Ma’iyah ini terbagi menjadi dua macam :
[1]. Kebersamaan Allah dengan seluruh makhluk,
yang konsekuensinya berupa sifat Al-llmu (mengetahui), Al-lhathah (meliputi),
dan Al-Ithla’ (melihat). Dalil kebersamaan ini adalah apa yang terkandung dalam
surah Al-Hadid di depan.
[2]. Kebersamaan Allah khusus dengan
orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang konsekwensinya berupa penjagaan,
perhatian, dan pertolongan. Kebersamaan yang umum, termasuk salah satu sifat
Dzatiyah, sedangkan kebersamaan yang khusus, termasuk salah satu sifat
Fi’liyah. Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya, bila seseorang
dari kamu berdiri dalam shalatnya, maka ia sesungguhnya bermunajat kepada
Rabbnya. Rabbnya berada diantara dirinya dan kiblat. Karena itu, janganlah
salah seorang dari kamu meludah di hadapan wajahnya, tetapi hendaklah ia meludah
di sebelah kirinya atau di bawah kedua telapak kakinya.” Dalam riwayat lain, “…
atau di bawah telapak kaki kirinya.”[4]
” Artinya : Yang kamu seru dalam doamu
lebih dekat kepada salah seorang dari kamu, daripada leher kendaraan tunggangan
salah seorang dari kamu.” [5]
[38]. Sifat Al-Kalam (Berbicara)
١٦٤. وَكَلَّمَ
اللّهُ مُوسَى تَكْلِيماً
“Artinya : Dan Allah berbicara kepada
Musa dengan langsung.” [An-Nisa’ : 164]
Ayat ini, juga ayat-ayat lain yang
disebutkan oleh penulis, menunjukkan bahwa Allah benar-benar berbicara dengan
pembicaraan yang sesuai dengan kebesaran-Nya. Dia berbicara bila Dia
menghendaki, tentang apa yang Dia kehendaki, dan kapan saja Dia menghendaki.
Dia, benar-benar telah berbicara dengan Al-Qur’an dan kitab-kitab lain yang
diturunkan kepada para nabi ‘alaihimush shalatu wassalam. Al-Qur’an adalah
kalam-Nya Subhanahu wa Ta’ala , dirurunkan, bukan makhluk, bermula dari-Nya dan
akan kembali kepada-Nya. Bila manusia menulis Al-Qur’an di mushaf atau
membacanya, maka hal itu tidak merubah keberadaannya sebagai Kalam Allah.
Karena perkataan itu disandarkan kepada siapa yang mengatakannya pertama kali,
bukan kepada siapa yang menyampaikannya. Allah telah berbicara dengan
huruf-hurufnya dan makna-maknanya, dengan lafazh dari diri-Nya sendiri, tidak
sedikit pun dari hal itu yang berasal dari selain-Nya. Jadi, Allah Subhanahu wa
Ta’ala berbicara dengan perkataan yang dari segi jenisnya adalah Qodim , akan
tetapi dari segi satu persatunya adalah Hadits (baru), dan Dia terus-menerus
berbicara dengan huruf, suara, dan perkataan yang didengar oleh siapa saja di
antara makhluk-Nya yang Dia kehendaki. Dia akan berbicara kepada orang-orang
mukmin pada Hari Kiamat dan sebaliknya mereka berbicara kepada-Nya.
Pembicaraan-Nya terjadi dengan dzat-Nya dan merupakan sifat Dzat sekaligus
sifat perbuatan, karena itu ia masih dan akan terus berbicara apabila la
menghendaki, dengan pembicaraan yang sesuai dengan kebesaran-Nya [6] Nabi
Sallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda :
“Artinya : Tidak ada seorang pun di
antara kamu, kecuali Rabb-nya akan berbicara dengannya, tanpa perantara seorang
penerjemah.[7]
Beliau juga bersabda : Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman :
” Artinya : Wahai Adam! “Adam
alaihissalam menjawab, “Ku-penuhi panggilan-Mu, saya sangat berbahagia
menjumpai-Mu, dan segala kebaikan berada di kedua tangan-Mu.”Nabi bersabda :
Lalu Allah berfirman, “Keluarkanlah utusan naarl” Adam bertanya, “Apakah utusan
naar itu !” Allah menjawab, “Untuk setiap seribu orang, ada 999 orang.” Nabi
bersabda, “Itulah hari dimana anak kecil beruban, setiap wanita yang hamil melahirkan
kandungannya, dan kamu melihat manusia mabuk padahal mereka tidak mabuk, akan
tetapi siksa Allah itu sangat keras.” [8]
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. “Fatawa” Ibnu Taimiyah V/144
[2]. “Ar-Raudhah An-Nadiyah”, hal.131
[3]. Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud. Lihat “Aunul Ma’bud” XIII/14. Hadits
ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam”Mukhtashar Al-‘Uluw lil “Aliyyi
Al-Ghaffar”, hal.103
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, “Fathul Bari” I/84 dan Muslim IV/2303
[5]. Fathul Bari XI/500 dan Muslim IV/2077, lafazh ini milik Muslim. Lihat
Fatawa Ibnu Taimiyah V/103
[6]. “Ar-Raudhah An-Nadiyah”, 146, “Al-Ajwibah Al-Ushuliyah”, 93, dan “Syarh
Al-Wasithiyah”, Al-Haras, hal.96
[7]. Diriwayatkan Al-Bukhari, “Fathul Bari” XI/377 dan Muslim I/201
[8]. Diriwayatkan Al-Bukhari, “Fathul Bari” XI/377 dan Muslim I/201
Referensi Menarik untuk Dibaca :
Silsilah Penjelasan Al Aqidah Al Washithiyah 1/-
Penjelasan Silsilah Aqidah Al
Wasithiyah 2/-
Firqah Sesat, Al-Firqatun An-Najiyyah
(Golongan Yang Selamat) Dan Kapan Keluar Dari Ahlus-Sunnah ?
Pengikut Asy’ariyah ‘Meradang’ Hebat,
Mereka Mendatangkan Para Qadhi Dan Ulamanya Untuk Mendebat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rohimahullah Yang Menulis Aqidah Firqah Najiyah Dalam Kitab Al-Aqidah
Al-Wasithiyahnya.
Sebagian Besar Isi Deklarasi Pemimpin
Munafiqun Moderat Semata-Mata Kedengkian Kepada Saudi Dan Salafi /Ahlus Sunnah
( Terutama Point 8,9,10,11 ). Imam Masjidil Haram: Tidak Ada Islam Moderat Atau
Islam Ekstrem, Munculnya Klasifikasi Karena Kepentingan Kelompok Tertentu Yang
Membenci Islam Sebagai Agama Yang Benar (Manhaj Yang Satu) Dan Tetap (Al-Haq) !
“Islam Moderat” Dan Misi Barat
Imam Besar Al-Azhar Serukan Eropa Dukung
Lembaga Islam Moderat. Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi: Islam Moderat Isinya Ya
Liberalisasi , sesat !
Alwi Shihab ar Rafidhi : Iran dan
Indonesia Siapkan “Islam yang Benar dan Moderat ” ? !
Azyumardi Azra: Islam Indonesia beda
dengan Islam Arab [ Banyak Statemennya menunjukan Kedengkian Luar Biasa
Terhadap Bangsa Arab, Agama di Akal-akalin ]
Menag: Kita Adalah Orang Indonesia Yang
Islam, Bukan Orang Islam di Indonesia
Sumber Agama Islam itu Alquran dan Hadis,
bukan Nusantara. Terima Saja Bahwa Islam Itu ya Arab
Islam Nusantara Didesain untuk
Mengobok-Obok Islam
Menanggapi Tulisan Ali Masykur Musa
“Etika Sosial Islam Nusantara” yang Dimuat di Harian Republika Kamis 9 Juli
2015
Pilih Islam Yang Mana ? “Nusantara”
Ataukah “Timur Tengah” ? Fitnah Ulama Sū’ (Jahat) Perusak Umat
Siapa yang Merusak Sejarah Islam?
Kenapa Di Indonesia Marak Aliran Sesat
Dan Ormas-Ormas Islam Yang Menakutkan, Di Negeri “Wahhabi” Saudi Tidak Ada ?
Su'per Cendekiawan Muslim Sunni Abu-Abu
Didikan Orientalis Terpedaya Syiah, Pendengki Salafi “ Wahabi ”
Mewaspadai Upaya Barat Membasmi Kekuatan
Islam
Berkedok Risalah Amman Syiah Siap
Membantai Muslim Indonesia
AWAS!! Risalah Amman - Seruan Sesat
Penyatuan Semua Madzhab Sahihah & Sesat
Masukan Untuk Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin Terkait Risalah Amman
Konferensi “Bagaimana Cara Mengalahkan
Islam?” Rencana Mereka, Kyai-Kyai Kelompok Mayoritas Mengubah Tafsir Al-Qur`An
Dan Hadits-Hadits, Dengan Target Menghentikan Otoritas Ulama.
Kemana Umat Islam Akan Dibawa? Ke Blok
Putin (Komunis) Dan Ini Berarti Dukung Syi’ah Iran Dan Rezim (Pembantai)
Suriah, Atau Pilih Blok Salafi, Yang Berarti Ke Blok Saudi ( Tempat
Al-Haramain, Al-Haq) ? Pecah Belah, Strategi Kuno Tapi Tetap Efektif.
Penyalahgunaan Kata Teroris,
Fundamentalis & Khawarij Untuk Melampiaskan Kebencian" By
@Syarifbaraja
Sekjen Ulama Sedunia: Pemikiran Radikal
tidak mungkin bisa diperbaiki dengan Pemikiran Liberal
Prof.Dr.Kh Said Agil Siraj : Islam Saja
Belum Tentu Bisa Menyatukan Umat, Di Timur Tengah Tidak Ada Ulama Yang
Nasionalis ( Tapi Al-’Ulama Waratsatil Anbiya ) ! Ulama Di Indonesia Top
Markotop !
Hasyim Muzadi “Kita menanamkan Pancasila
ke seluruh dunia, karena inti Islam ada di Pancasila,” Hah ?! Berbicara Tentang
Allah ( Agama ) Tanpa Ilmu" Lebih Besar Dosanya Dari Dosa Syirik. Rakyat
Rusak karena Ulamanya Menyimpang.
[OOT] Kaidah dan Landasan Para Juru
Dakwah
Ciri-ciri Aqidah dan Karakteristik
Pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah
Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i
Standarisasi Kebenaran Dalam Islam
Mungkinkah Membela Nabi Shallallahu
Alaihi Wa Sallam Tapi Tidak Mentaati Beliau ??
Mendahulukan Akidah Sebelum Ukhuwah
Perselisihan Adalah Rahmat? Yang Benar
Saja!
Solusi Di Tengah Kondisi Keterpurukan Dan
Perpecahan Ummat Islam.
Tantangan Aktual Ahlusunnah Wal Jama’ah
Tong Sampah
Ahlus Sunnah Untuk Keutuhan NKRI
Al Aqidah Al Washithiyah: Penjelasan
Aqidah Islam
Nasehat Menggugah Hadratus Syaikh Kh.
Hasyim Asy’ari Untuk Menjaga Persatuan
Apa karakteristik firqah najiyah yang
paling menonjol?
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
Mengikuti Manhaj Salaf Dalam Segala Hal
Persatuan, Dengan Syarat Tak Mengusik
(Mengkritik) 'Aqidah Dan Amalan Mereka ? Tidak Akan Terwujud Diatas Perbedaan Manhaj
Dan Akidah (Manhaj Bunglon, Mutalawwin)