Sunday, April 22, 2018

Ibnu Abi Duad, Potret Ulama Su’ Zaman Imam Ahmad. Sejarah Berulang, Saat Ini “Abi Duad Zaman Now (Keturunannya)” Masih Sefaham Dengan Dia Dan Gemar Menghujat “Manhaj Salaf (Salafi)”

Hasil gambar untuk ulama su'

Bahasan Keempat (Rangkuman), Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Menurut Ulama Tiga Abad Pertama Hijriyah Dan Ulama Al-Syafi‘Iyyah : Bahwasanya Al-Qur’an Adalah Firman Allah, Lafal-Lafalnya Dari Allah, Merupakan Kalamullah, Bukan Makhluk.

Di antara manusia ada menjadi pembuka jalan kebaikan dan ada pula yang menjadi gerbang keburukan. Adalah Ahmad bin Farj bin Jarir bin Malik, atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Abi Duad. Ia merupakan sosok yang telah membuka gerbang keburukan untuk para penguasa zaman Imam Ahmad bin Hambal. Ia mendapatkan sebuah kedudukan tinggi di sisi tiga khalifah Abbasiyah; Al-Ma‘mun, Al-Mu‘tashim, dan Al-Watsiq.
Disebutkan bahwa Ahmad bin Abi Duad merupakan salah satu dedengkot kelompok Mu‘tazilah. Saat itu, mereka sangat antusias untuk mempengaruhi para khalifah yang berkuasa. Ia menyebutkan bahwa Al-Qur‘an adalah bagian dari makhluk Allah bukan Kalamullah. Seruan ini pun diimani oleh khalifah. Bahkan, ia memaksa rakyatnya untuk menerima pendapat tersebut.
Ketika itu Ibnu Abi Duad melihat bahwa musuh besarnya adalah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Agar tersinggkir dari kepercayaan masyarakat, ia menuduh Imam Ahmad orang sesat lagi menyesatkan.” Ia menghasut para khalifah agar menyiksa beliau. Jadi, setiap siksaan yang dialami Imam Ahmad, tidak lepas dari peran orang hina tersebut. Hingga terlafaz lah sebuah doa dari lisan Imam Ahmad:
“Ya Allah sesungguhnya dia telah menzalimiku, dan tidak ada penolong bagiku kecuali Engkau. Ya Allah tahanlah dia pada kulitnya sendiri dan siksalah dia.”
Ibnu Abi Duad bisa merasakan kenikmatan hidup pada masa pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Al-Mu‘tashim dan Al-Watsiq. Benar, Allah Ta’ala memberi tangguh waktu bagi orang yang zalim. Hingga jika Dia mengadzabnya, ia tidak bisa meloloskan diri.
Akhirnya, Ibnu Abi Duad mengalami lumpuh. Tubuhnya terbagi menjadi dua bagian. Satu bagian yang jika digergaji atau digunting, ia tidak merasakannya. Sebab, tubuh tersebut telah mati dan lumpuh. Dan satu bagian lagi jika ada seekor lalat yang hinggap, hal itu akan sangat menyakitkannya. Sehingga ia selalu berada dalam adzab tersebut.
Di samping itu, Allah juga telah memberikan kuasa kepada khalifah Al-Mutawakil untuk menundukkan Ibnu Abi Duad. Seluruh hartanya disita hingga ia menjadi fakir dan membuatnya mengemis kepada menusia. Para pendukung yang ada di sekitarnya, yang dahulu selalu membantu kezalimannya, pun bercerai-berai.
Di sisi lain, sang khalifah juga membebaskan Imam Ahmad, memuliakan dan menghormati beliau. Sehingga, Allah memberikan balasan kepadanya dengan sebaik-baik balasan sebagai ganti kebaikannya terhadap Islam dan kaum muslimin.
Tersisalah diri Ibnu Abi Duad merasakan perbuatannya dalam keadaan terlulai di atas ranjang kematian dan  mengalami penderitaan, kesedihan, kesempitan, serta kegembiraan musuh-musuhnya atas musibah yang menimpanya.
Abdul Aziz bin Yahya Al-Kinany, salah satu murid Imam Asy-Syafi‘i, pernah menemuinya dan berkata, “Wahai musuh Allah, demi Allah, kedatanganku bukanlah untuk menjengukmu, melainkan untuk memuji Zat Yang Maha Tunggal lagi Mahakuasa yang telah memenjarankanmu di dalam kulitmu sendiri, yang merupakan hukuman yang lebih menyakitkan bagi dirimu daripada semua penjara.” Beliau kemudian menadahkan kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, tambahilah sakitnya dan janganlah Engkau kurangi.” (Siyaru A‘lâmin Nubalâ‘ XI)
Maka, sakitnya pun semakin bertambah hingga akhirnya dia mati pada bulan Muharram tahun 240 Hijriyah.
Dalam kitab Al-Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir menyebutkan, seseorang berkata, “Pada suatu malam aku bermimpi Ibnu Abi Duad mati. Seakan-akan terdengar suara nyala api dengan suara yang begitu keras, kemudian keluar darinya kobaran api. Aku pun bertanya, ’Apa ini?’ Ada yang  menjawab, “Ini adalah balasan bagi Ibnu Abi Duad.”
Fitnah Ibnu Abi Duad merupakan akar dari fitnah-fitnah sesudahnya.” Semoga Allah melindungi kita dari fitnah-fitnah tersebut.
Penulis : Fakhruddin
Sumber : Buku “Hati-hati Doa Orang Terzalimi” karya Saad bin Said Al Hajuri, Penerbit Aqwam Solo.

Kisah Imam Ahmad Menghadapi Isu Bahwa ‘Al-Qur’an Makhluq’

Posted on 06/11/2016 by Arinal Haq in Tarikh
Nama beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Beliau sering pula dijuluki dengan kunyah beliau yaitu ‘Abu Abdillah’ Karena putra beliau bernama Abdillah.
Beliau adalah salah satu dari Imam yang empat yang merupakan panutan kaum muslimin dari kalangan ahlussunnah wal jamaah khususnya dalam bidang fiqih.
Beliau lahir pada tahun 164 Hijriah di Kota Baghdad.
Biografi Imam Ahmad begitu terkenal, hampir tidak ada kitab yang menuliskan biografi para ulama kecuali menyebutkan biografi beliau. Bahkan tak jarang diatara para ulama yang menulis buku khusus tentang biografi beliau, seperti buku yang berjudul ‘Manaqib Al-Imam Ahmad’ yang ditulis oleh Imam Ibnul Jauzi yang wafat pada tahun 597.
Ujian Berat yang menimpa Imam Ahmad
Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu’anhubahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat cobaannya?” Rasulullah menjawab, “para nabi, kemudian orang-orang shaleh, kemudian orang-orang yang seperti mereka kemudian orang yang seperti mereka. Seseorang akan diberi cobaan sesuai dengan kadar agamanya, jika ia kuat memegang agamanya maka ia akan ditambahkan cobaannya, dan jika ia lemah memegang agamanya  maka iapun akan dirignankan cobaannya. Dan seseorang akan senantiasaa diberi cobaan sampai ia berjalan diatas muka bumi tanpa menanggung dosa.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan beliau menilanya sebagai hadits hasan shahih.
Diriwayatkan juga bahwa Imam Ahmad bin Hanbal pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam mimpi seraya berkata, “wahai Ahmad, engkau akan diberi cobaan maka bersabarlah, niscaya Allah akan menaikkan bendera untukmu di hari kiamat.”
Cobaan berat ini berawal dari masa kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun bin Harun Ar-Rasyid. Di zaman Al-Ma’mun orang-orang mu’tazilah yang menggunakan akal sebagai ukuran dan dalil dalam segala hal berhasil menyebarkan ajarannya dalam cakupan yang cukup luas, bahkan mereka berhasil mempengaruhi dan mengambil hati Khalifah Al-Ma’mun, sehingga ia menjadi condong dan terpengaruh oleh pemikiran mereka yang seringkali berdalil dengan akal dan logika serta menundukkan Al-Qur’an dan hadits dihadapan akal mereka.
Al-Ma’mun semakin dekat dengan tokoh-tokoh mu’tazilah, ia mendekatkan mereka kesisinya dan mengangkat kedudukan mereka. Diantara tokoh terbesar mu’tazilah saat itu adalah Bisyr bin Ghiyats Al-Marrisiy. Ia menyebarkan paham bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluq, dan ia menguatkan argumennya tersebut dengan beberapa dalil dari Al-Qur’an yang ia tafsirkan sesuai kemauannya.
Al-Ma’mun semakin termakan oleh pemikiran-pemikiran orang mu’tazilah, sampai pada akhirnya ia menganut akidah mu’tazilah dan meyakini bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluq. Pada awalnya ia masih ragu untuk mewajibkan rakyatnya meyakini bahwasanya Al_Qur’an adalah makhluq, namun Ibnu Abi Du’ad salah seorang gembong mu’tazilah meyakinkannya. Akhirnya iapun mengambil pendapat tersebut dan mengirim surat kepada gubernur Baghdad saat itu yang bernama Ishaq bin Ibrahim agar ia mengumpulkan para ulama Baghdad dan mewajibkan mereka untuk menyuarakan bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluq, dan siapa saja yang menolak akan dihukum penjara, atau disiksa, atau dibunuh.
Mulai saat itu api fitnah berkobar di saentero Iraq, banyak orang yang disiksa dan dibunuh karena tidak mau mengikuti perkataan mereka bahwa Al-Qur’an adalah Makhluq. Cobaan ini semakin berat, banyak orang yang terpaksa mengikuti perkataan mereka, yang tersisa menolak bahwa Al-Qu’ran makhluq hanyalah empat, Imam Ahmad, Muhammad bin Nuh, dan dua orang lagi namun keduanya tidak kuat menahan beratnya siksaan, akhirnya mereka menyerah dan mengikuti apa yang mereka inginkan.
Imam Ahmad tetap menolak untuk mengatakan bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluq, beliau bersikeras mengatakan perkataan yang haq bahwasaya Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluq. Beliau mempertahankan akidah kaum muslimin agar tidak ternodai oleh pemikiran-pemikiran orang-orang mu’tazilah walaupun beliau harus menerima berbagai konsekuensi.
Di zaman Al-Ma’mun, orang-orang mu’tazilah memiliki posisi yang kuat karena saat itu mereka didukung oleh sang Khalifah. Pemaksaan terhadap para ulama dan kaum muslimin untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq semakin menjadi-jadi. Banyak dari mereka yang disiksa, dipenjara, bahkan dibunuh karena menolak untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq. Kebanyakan mereka menyerah dan mengikuti apa yang diinginkan oleh sang khalifah yang telah terpengaruh oleh kaum Mu’tazilah.
Tingallah Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh yang terang-terangan menolak pernyataan bahwa Al-Qur’an makhluq, mereka berdua menyadari bahwa mereka adalah panutan kaum muslimin saat itu, jika mereka mengalah dihadapan kemauan Al-Ma’mun sebagaimana yang lainnya maka akan diikuti oleh kaum muslimin. Oleh karena itu mereka memilih untuk tetap bersikukuh menolak kesesatan mu’tazilah tersebut agar akidah kaum muslimin tetap terjaga walaupun konsekuensinya adalah penjara dan siksa.
Akhirnya mereka dipanggil ke singgasana Al-Ma’mun dalam keadaan terikat. Selama perjalanan Imam Ahmad senantiasaa berdoa untuk tidak dipertemukan dengan Al-Ma’mun. Allah mengabulkan doanya dan Al-Ma’mun wafat sebelum keduanya sampai kepada Al-Ma’mun. Ditengah perjalanan Muhammad bin Nuh meninggal, sedang Imam Ahmad setelah itu dipenjara. Sebelum meninggal Al-Ma’mun berwasiat kepada penggantinya yaitu Al-Mu’tashim agar tetap mendekatkan Ibnu Abi Du’ad kesisinya. Al-Mu’tashim melaksanakan wasiat tersebut dan Ibnu Abi Duad tetap memiliki kedudukan yang tinggi disisi khalifah.
Di zaman Al-Mu’tashim Imam Ahmad disiksa dan dipenjara dan hamper dibunuh, namun ketika ia hendak membunuhnya Imam Ahmad mengingatkannya kepada hadits; لا يحل دم امرئ مسلم إلا بإحدى ثلاث… الحديث (tidak halal menumpahkan darah seorang muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara…) akhirnya Al-Mu’tashim tidak membunuhnya namun tetap memenjara dan menyiksanya, sampai Imam Ahmad tak sadarkan diri karena pedihnya cambukan yang ia terima. Akhirnya Imam Ahmad dikeluarkan dari cengkraman penjara dan dibawa kerumahnya untuk berobat. Setelah Imam Ahmad sembuh ia kembali mengajar di masjid.
Setelah beberapa lama, Al-Mu’tashim meniggal dan digantikan oleh Al-Watsiq yang juga berkeyakinan dengan keyakinan mu’tazilah. Ia juga sama dengan dua khalifah sebelumnya, memaksakan rakyatnya terutama para ulama untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq atas dorongan dari tokoh-tokoh mu’tazilah yang berada disisinya. Namun, pada masa kepemerintahan Al-Mu’tashim, Imam Ahmad menghindar dan beliau tidak terkena ancamannya.
Di akhir kehidupannya, Al-Watsiq memanggil seorang Syekh Al-Adzrumiy dalam keadaan terikat karena ia sependapat dengan Imam Ahmad dan menentang bahwa Al-Qur’an makhluq dan bahwasanya ia adalah kalamullah bukan yang yang lain. Al-Watsiq memanggil Ibnu Abi Duad dan memerintahkannya untuk bberdialog dan mendepat Syekh Al-Adzrumi tersebut sedang ia menyimak. Akhirnya Syekh Al-Adzrumiy tersebut berhasil mengalahkan dan mendiamkan Ibnu Duad dan menjadikannya bungkam tak bisa menjawab setelah berdialog dengannya dengan beberapa lama.
Setelah dialog yang terjadi antara Ibnu Abi Duad dan Syekh Al-Adzrumi, Al-Watsiq menyendiri dan menimbang-nimbang argumen masing-masing dari keduanya, akhirnya ia condong kepada pendapat Al-Adzrumi yang berhasil mengalahkan Ibnu Abi Duad, sehingga di akhir hayatnya ia bertaubat dari perkataan bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluq. Dan setelah memerintah selama kurang lebih lima tahun, Al-Watsiq meninggal dunia.
Al-Watsiq diganti oleh Khalifah Al-Mutawakkil, seorang khalifah yang sholeh dan berakidah ahlussunnah wal jama’ah. Ia menuliskan surat kepada wilayah-wilayah untuk melarang siapapun untuk mengatakan bahwasanya Al-Qur’an makhluq. Akhirnya menanglah ahlussunnah dan selesailah cobaan yang menimpa kaum muslimin.
Setelah itu Imam Ahmad meneruskan dakwahnya dan menyebarkan ilmunya kepada murid-murid beliau yang dipelajari oleh kaum muslimin hingga saat ini. Beliau juga meninggalkan kitab ‘Al-Musnad’ yang menghimpun kurang lebih 20.000 hadits yang bab-babnya disusun berdasarkan urutan nama sahabat.
Imam Ahmad meninggal pada hari jum’at 14 Rabi’ul Awal, tahun 241 H.
Semoga Allah merahmati beliau dan menjadikan ilmu yang beliau wariskan kepada kaum muslimin sebagai timbangan amal baik bagi beliau.
Dipetik dan diterjemahkan dari web: https://islamqa.info/ar/153333

Perdebatan Imam Ahmad Dengan Ibnu Abi Duwwad

Berkata Al Muhtadi Billah Muhammad bin Al Watsiq (anak dari sang khalifah Al Watsiq):
“Dahulu ayahku (khalifah Al Watsiq) bila hendak membunuh seseorang, ia mengajak kami menyaksikannya. Suatu saat dihadapkan kepadanya seorang tua yang disemir rambutnya dalam keadaan terikat”. (Orang tua ini adalah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal atau Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah).
Ayahku itu berkata: “Ijinkan Abu Abdillah (yaitu Ibnu Abi Duwwad, seorang ulama dan tokoh Mu’tazilah yang menyakini bahwa Al Qur’an adalah makhluk, kuniyahnya/julukannya sama dengan imam Ahmad) beserta para sahabatnya untuk masuk”.
Maka masuklah orang tua itu (Imam Ahmad).
Orang tua itu berucap: “Assalamu’alaika Yaa Amiral Mukminin”. (semoga keselamatan atas dirimu).
Beliau (Al Watsiq) menjawab: “Laa Sallamallahu ‘Alaika.” (semoga Allah tidak memberikan keselamatan atas kamu).
Lelaki itu kontan menanggapi: “Sungguh jelek cara kamu memberikn salam. Padahal Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An Nisaa’ : 86).
Dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan kita membalas salam!”
Ayahku pun membalas salamnya:”Wa Alaikas salam!” balasnya, kemudian berkata kepada Ibnu Abi Duwwad: ”Tanyalah kepadanya!”
Syaikh itu berkata: ”Wahai Amirul Mukminin, saya dalam keadaan terikat seperti ini, saya mengerjakan shalat dalam sel penjara dengan bertayamum, saya tidak diberi air. Lepaskanlah dahulu ikatan saya ini dan berilah saya air agar saya dapat bersuci dan mengerjakan shalat setelah itu tanyalah apa yang ingin ditanyakan padaku.”
Lalu ayahku memerintahkan para pengawal agar melepas ikatannya dan memberinya air. Syaikh itupun berwudhu lalu mengerjakan shalat. Kemudian ayahku berkata kepada Ibnu Abi Duwad: “Tanyalah kepadanya!”
Ibnu Abi Duwwad berkomentar: “ Lelaki itu (Imam Ahmad) pandai bersilat lidah.”
Maka ayahku berkata: “Ajaklah ia bicara.”
Ibnu Abi Duwwad bertanya: “ Apa pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Lelaki tua itu menjawab: “Dia tidak bersikap adil terhadapku. Aku yang seharusnya bertanya.”
Ayahku (Al Watsiq) berkata: “Tanyalah ke Ibnu Abi Duwwad.”
Lelaki itu bertanya: “Apa pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “ Al Qur’an itu makhluk (bukan kalam Illahi)!”
Syaikh (lelaki tua) itu bertanya lagi: “Apakah ucapan itu adalah sesuatu yang sudah diketahui oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Al Khulafa’ Ar Rasyidun yang lain atau belum?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: ”Belum.”
Lelaki itu berkata: “Maha Suci Allah, sesuatu (masalah agama) yang tidak diketahui Nabi, namun kamu mengetahuinya?!”
Ibnu Abi Duwwad menjadi malu. Lalu ia berkata: “Beri aku kesempatan lagi!”
Lelaki tua itu berkata lagi: “Pertanyaannya tetap sama.”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Ya, mereka telah mengetahuinya.”
Lelaki tua itu bertanya lagi: “Mereka mengetahuinya, namun tidak mendakwahkannya kepada manusia?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Iya”.
Lelaki tua itu bertanya lagi: “Apakah yang cukup mereka lakukan tidak cukup bagimu?”
Syaikh itu berkata lagi : “Suatu perkara yang tidak didakwahkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam ,tidak pula Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu anhum, lalu Anda mendakwahkannya kepada umat manusia?? Tidak bisa tidak Anda harus berkata: ”Mereka (Para shahabat) mengetahuinya atau mereka tidak mengetahuinya”. Jika Anda katakan :”Mereka mengetahuinya! Namun mereka tidak menyuarakannya, maka cukuplah bagi kita semua apa yang telah cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya!!  Jika Anda katakan: ”Mereka tidak mengetahuinya! Tetapi sayalah yang mengetahuinya! Maka sungguh celaka Anda ini!! Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan para khulafaur Rasyidin radhiallahu anhum tidak mengetahuinya sementara Anda dan rekan-rekan Anda mengetahuinya!!”
Al Muhtadi berkata: ”Saya lihat ayahku langsung berdiri dan masuk ke dalam taman, ia tertawa sambil menutup wajahnya dengan bajunya dan berkata: ”Benar juga, tidak bisa tidak, kita harus mengatakan: ”Mereka mengetahuinya atau mereka tidak mengetahuinya”. Jika kita katakan: ”Mereka mengetahuinya! Namun mereka tidak menyuarakannya, maka cukuplah bagi kita semua apa yang telah cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya! Jika kita katakan: “Mereka TIDAK mengetahuinya! Andalah yang mengetahuinya, maka sungguh celaka kita ini!! Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin radhiallahu anhum tidak mengetahuinya sementara Anda dan rekan Anda mengetahuinya?!”
Kemudian ayahku berkata: ”Hai Ahmad!”
“Laabaika! Jawabnya.
“Bukan kamu yang saya maksud,tapi Ahmad bin Abi Duwad! sahut ayahku.
Maka Ibnu Abi Duwad pun segera mendatanginya, ayahku berkata: ”Berilah Syaikh ini nafkah dan keluarkanlah dari negeri kita!”
[Dalam riwayat as Siyaar: ”Beliau lalu menyuruh orang membuka ikatan lelaki tua itu dan memberikan kepadanya 400 dinar,lalu mengijinkannya pulang. Semenjak itu Ibnu Abi Duwad dipandang sebelah mata (jatuh pamor) oleh Khalifah Al Watsiq, dan setelah itu ayahku tidak pernah menguji orang dengan keyakinan sesat tersebut.]
Dalam riwayat lain: Al Muhtadi berkata: sayapun insyaf dari keyakinan sesat tersebut dan saya kira semenjak saat itu ayah sayapun insyaf darinya”
(Imam Adz Dzahabi meriwayatkan kisah ini dari Al Muhtadi Billah Muhammad bin Al Watsiq, anak sang khalifah Al Watsiq di kitabnya Siyaru A’laamin Nubalaa’ juz XI :312)
EPISODE SEBELUMNYA:
Berkata Sulaiman bin ‘Abdillah As Sijziy : “Saya pernah mendatangi pintu gerbang kediaman Al Mu’tashim –Billah-, dan waktu itu banyak orang yang berdesakan didepan gerbang kediamannya, bagaikan hari Besar/Ied. Maka sayapun bergegas memasuki kediaman-nya, dan terlihat olehku hamparan permadani dan singgasana yang diletakkan diatasnya. Lantas sayapun berdiri di salah satu sisi singgasana itu. Sewaktu saya telah berdiri, datanglah Al Mu’tashim lalu duduk diatas singgasananya. Dan ia melepaskan sebuah sandalnya dan meletakkan salah satu kakinya diatas kaki lainnya, lalu ia berkata : “Datangkan Ahmad bin Hanbal!”. Maka didatangkanlah beliau. Sewaktu beliau telah dihadapkan didepan Al Mu’tashim, beliau mengucapkan salam kepadanya.
Berkatalah Al Mu’tashim kepada beliau : “Wahai Ahmad berbicaralah dan jangan takut”.
Imam Ahmad bin Hanbal berujar : “Demi Allah! Wahai Amirul Mu’minin, saya telah menghadap kepada engkau, dan tiada sedikitpun walau sebesar biji didalam hati ku rasa takut”.
Berkata Al Mu’tashim : “Bagaimanakah pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Imam Ahmad menjawab : “Kalamullah, sifat yang terdahulu pada dzat Allah dan bukanlah makhluk. Firman Allah –’azza wajalla-
( ?? ???? ?????? ???? ?????????????? ???????????? ?????????? ?????? ???????? ??????? ????? )
“Dan jika salah seorang dari kalangan musyrikin berada disampingmu, maka beradalah disampingnya hingga ia mendengarkan Kalamullah”
Berkata Al Mu’tashim kepada beliau : “Adakah hujjah yang engkau ketahui selainnya?”
Berkata Imam Ahmad : “Masih, wahai Amirul Mu’minin, firman Allah;
( ??????????? ???????? ????????? )
“Ar Rahman dialah Dzat yang mengajarkan Al Qur’an )”
Dan Allah tidak berfirman : (Ar Rahman yang menciptakan Al Qur’an)
Dan firman Allah –’azza wajalla- ;
( ??? ??????????? ?????????? )
“Yasiin. Demi Al Qur’an yang Hakiim”
Dan Allah tidaklah berfirman : (yasiin. Demi Al Qur’an yang dia itu makhluq)
Berkata Al Mu’tashim : “Kalian penjarakanlah ia !”.
Maka beliau dipenjarakan, dan akhirnya orang-orang pada berpencar. Keesokan harinya saya-pun menuju kekediaman Al Mu’tashim. Orang-orang telah dipersilahkan memasuki kediamannnya, dan saya pun masuk bersama dengan mereka. Dan Al Mu’tashim pun datang dan segera duduk di singgasananya.
Ia berkata : “Datangkan kemari Ahmad bin Hanbal!”
Maka dihadapkanlah Imam Ahmad bin Hanbal, sewaktu beliau telah berada dihadapan Al Mu’tashim, berkata Al Mu’tashim kepada beliau : “Bagaimana keadaanmu semalam wahai Ahmad di tempat peristirahatan engkau?”
Beliau menjawab : “Dalam keadaan baik Alhamdulillah, hanya saja wahai Amirul Mu’minin saya mendapati hal yang mengherankan ditempat peristirahatanku”.
Berkata Al Mu’tashim kepada beliau : “Apa yang engkau dapati?”.
Berkata Imam Ahmad : “Saya malam itu terbangun, lalu bergegas berwudhu’ untuk melaksanakan sholat, dan saya pun melaksanakan sholat dua raka’at. Pada raka’at pertama saya membaca ; ( ???????? ????? ) dan ( ???? ???????? ??????? ???????? ) dan pada raka’at kedua saya membaca ; ( ???????? ???? ) dan (???? ???????? ??????? ???????? ) lalu saya duduk dan bertasyahud hingga saya salam. Setelah itu saya melanjutkannya untuk sholat, lalu saya bertakbir dan membaca; ( ???????? ???? ) dan ketika saya berkehendak membaca ( ???? ???? ????? ????? ) tidaklah saya sanggup melakukannya, lantas saya mencoba membaca ayat selainnya dari bacaan Al Qur’an dan sayapun tidak sanggup. Maka saya hamparkan pandanganku setiap sudut penjara, dan ternyata saya dapati di salah satu sudutnya Al Qur’an tergeletak telah meninggal, maka saya memandikannya dan saya kafani setelah itu saya shalati dan menguburkannya”.
Berkata Al Mu’tashim kepada beliau : “Celakalah engkau wahai Ahmad! Al Qur’an meninggal?”.
Berkata Imam Ahmad kepadanya : “Demikian juga halnya denganmu, engkau mengatakan: “Bahwa Al Qur’an makhluk dan setiap makhluk tentulah akan meninggal”.
Berkatalah Al Mu’tashim : “Ahmad telah memojokkan kami, Ahmad telah memojokkan kami!”.
Berkata Ibnu Abi Duwad dan Bisyr Al Mirrisiy : “Bunuhlah ia, agar kita terbebas darinya”.
Berkata Al Mu’tashim : “Sungguhlah saya bersumpah kepada Allah tidak akan saya membunuhnya dengan pedang dan tidak juga menyuruh seorangpun membunuhnya dengan pedang”.
Berkata Ibnu Abi Duwad kepada Amirul Mu’minin : “Deralah dia dengan cambuk!”.
Berkata Al Mu’tashim : “Baiklah”, Lalu Ia berkata : “Datangkanlah para tukang dera!”.
Maka didatangkanlah mereka. Lantas berkata Al Mu’tashim kepada salah seorang dari mereka : “Berapa kali cambukan engkau dapat membunuhnya?”. Ia menyahut : “Sepuluh kali wahai Amirul Mu’minin”.
Berkatalah Al Mu’tashim : “Ambillah ia bagimu”.
Berkata Sulaiman As Sijzi : “Maka ditanggalkanlah pakaian Imam Ahmad bin Hanbal, dan tinggallah beliau hanya mengenakan sarung dari kain katun, dan kedua tangan beliau diikat dengan dua tali yang masih baru. Lalu Algojo itu mengambil cambuk pada kedua tangannya sembari berkata : “Apakah saya boleh memulai mencambuknya, Amirul Mu’minin?”.
Berkata Al Mu’tashim : “Cambuklah ia!”. Lalu Algojo itu mencambuk Imam Ahmad…
(Ath Thabaqat 1/ 163 – 167 dan juga 1/ 335 – 336).
Sumber: http://gizanherbal.wordpress.com/2011/11/18/perdebatan-imam-ahmad-dengan-ibnu-abi-duwwad/
Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

Do’a Al Imam Ahmad Terhadap Ibnu Abi Duad Al Mu’tazili

Posted by abu sa'ad al faruq januari 31, 2015
ﺇﻥ ﺍﻟﻤﺘﺪﺑﺮ ﻓﻲ ﻣﺼﺎﺭﻉ ﺍﻟﻈﺎﻟﻤﻴﻦ ﻭﺍﻟﻤﺒﺘﺪﻋﻴﻦ ﻟﻴﻌﻠﻢ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﺃﻱ ﻣﻨﻘﻠﺐ ﻳﻨﻘﻠﺒﻮﻥ ﻭﻓﻲ ﺃﻱ ﻭﺍﺩ ﻳﻬﻠﻜﻮﻥ ﻭﺃﻱ ﺧﺰﻱ ﻳﺠﻠﻠﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻟﻀﺎﻝ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﻉ ﺍﻟﺬﻱ ﻇﻞ ﻳﻔﺘﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺳﻨﻮﺍﺕ ﻃﻮﻳﻠﺔ ﻭﻳﺴﺘﻐﻞ ﻣﻨﺼﺒﻪ ﻓﻲ ﺇﺿﻼﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺻﺪﻫﻢ ﻋﻦ ﺩﻳﻨﻬﻢ

ﻳﻈﻞ ﻓﻲ ﻋﻠﻮﻩ ﻭﺗﻜﺒﺮﻩ ﻭﺗﺠﺒﺮﻩ ﺣﺘﻰ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﺔ ﺍﻟﻤﺘﻮﻛﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻛﺎﻥ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﻭﻳﺤﺐ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺃﻫﻠﻬﺎ ﻓﻌﺰﻝ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺅﺍﺩ ﻭﺃﻣﺮ ﺑﻤﺼﺎﺩﺭﺓ ﺃﻣﻮﺍﻟﻪ ﻭﺃﻣﻮﺍﻝ ﻭﻟﺪﻩ ﻣﺤﻤﺪ

ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﻇﻬﺮﺕ ﺧﻴﺎﻧﺔ ﻣﺤﻤﺪ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﻭﺳﻴﺮﺗﻪ ﺍﻟﻘﺒﻴﺤﺔ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ , ﻭﻳﺼﺎﺏ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺅﺍﺩ ﺑﻤﺮﺽ ﺍﻟﻔﺎﻟﺞ ‘ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺸﻠﻞ ‘ ﻣﺪﺓ ﺃﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻭﺑﻘﻲ ﻃﺮﻳﺤﺎً ﻓﻲ ﻓﺮﺍﺷﻪ ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺃﻥ ﻳﺤﺮﻙ ﺷﻴﺌﺎً ﻣﻦ ﺟﺴﺪﻩ ﻭﺣﺮﻡ ﻛﻞ ﻟﺬﺍﺕ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ

ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻋﻦ ﻣﺮﺿﻪ
ﺇﻥ ﻟﻲ ﺷﻘﺎً ﻟﻮ ﻗﺮﺽ ﺑﺎﻟﻤﻘﺎﺭﻳﺾ ﻣﺎ ﺷﻌﺮﺕ ﺑﻪ ﻭﺁﺧﺮ ﻟﻮ ﻭﻗﻌﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺫﺑﺎﺑﺔ ﻓﻜﺄﻧﻪ ﺍﻟﺠﺤﻴﻢ’ ﻭﻗﺪ ﺩﺧﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻘﺎﻝ : “ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﺟﺌﺘﻚ ﻋﺎﺋﺪﺍً ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺟﺌﺘﻚ ﻷﻋﺰﻳﻚ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻚ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﺳﺠﻨﻚ ﻓﻲ ﺟﺴﺪﻙ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﺃﺷﺪ ﻋﻠﻴﻚ ﻋﻘﻮﺑﺔ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺳﺠﻦ

ﻓﺰﺍﺩﻩ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺣﺰﻧﺎً ﻭﻏﻤﺎً, ﻭﺍﻟﺠﺪﻳﺮ ﺑﺎﻟﺬﻛﺮ ﺃﻥ ﻣﺮﺿﻪ ﺟﺎﺀ ﺍﺳﺘﻔﺘﺎﺡً ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻋﻨﺪﻣﺎ ﺩﻋﻰ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻳﻮﻡ ﺃﻥ ﻗﺘﻞ ﺇﻣﺎﻡ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻧﺼﺮ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻠﺨﻠﻴﻔﺔ ﺍﻟﻮﺍﺛﻖ : ‘ﺣﺒﺴﻨﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺟﻠﺪﻱ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻗﺘﻠﻪ ﺧﻄﺄ’ ﻓﺠﺎﺀﺕ ﺍﻹﺟﺎﺑﺔ ﺍﻟﺮﺑﺎﻧﻴﺔ ﺍﻟﻜﺮﺍﻣﺔ ﺍﻟﺴﻤﺎﻭﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﺻﺪﻕ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺿﻼﻝ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ،

ﻭﻫﻠﻚ ﺍﻟﻀﺎﻝ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﻉ ﻓﻲ 23 ﺣﺮﻡ ﺳﻨﺔ 240 ﻫـ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﻋﺎﻧﻰ ﺍﻷﻣﺮﻳﻦ ﺍﻟﻤﺮﺽ ﻭﺍﻟﻄﺮﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﺼﺐ ﻭﻟﻘﺪ ﺭﺅﻳﺖ ﻟﻪ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﺎﻣﺎﺕ ﺍﻟﺴﻴﺌﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﻮﺀ ﺧﺎﺗﻤﺘﻪ

ﻭﻟﻘﺪ ﺃﺣﻞ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺫﺍﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺤﻨﺔ ﺇﻻ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺅﺍﺩ ﻓﻼ ﺟﺰﺍﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮﺍً .
ﻭﻗﺪ ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻭﻳﺎﺕ ﺃﻧﻪ ﻋﻨﺪﻣﺎ ﺣﻜﻢ ﺃﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺅﺁﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﻣﺜﻼ ﺃﻣﺎﻡ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﻪ ﺩﻋﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺭﻓﻊ ﻳﺪﻳﻪ ﻭﻗﺎﻝ:

‏(ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺇﻧﻪ ﻇﻠﻤﻨﻲ ﻭﻣﺎﻟﻲ ﻣﻦ ﻧﺎﺻﺮٍ ﺇﻻ ﺃﻧﺖ،ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﺣﺒﺴﻪُ ﻓﻲ ﺟﻠﺪﻩ ﻭﻋﺬِﺑﻪ ‏) .

ﻓﻤﺎ ﻣﺎﺕَ ﻫﺬﺍ ﺣﺘﻰ ﺃﺻﺎﺑﻪ ﺍﻟﻔﺎﻟﺞ ﻓﻴﺒﺲ ﻧﺼﻒ ﺟﺴﻤﻪ ﻭﺑﻘﻲ ﻧﺼﻒ ﺟﺴﻤﻪ ﺣﻲ.ﺩﺧﻠﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻫﻮ ﻳﺨﻮﺭُ ﻛﻤﺎ ﻳﺨﻮﺭ ﺍﻟﺜﻮﺭ ﻭﻳﻘﻮﻝ:

ﺃﺻﺎﺑﺘﻨﻲ ﺩﻋﻮﺓُ ﺍﻹﻣﺎﻡِ ﺃﺣﻤﺪ، ﻣﺎﻟﻲ ﻭﻟﻺﻣﺎﻡِ ﺃﺣﻤﺪ، ﻣﺎﻟﻲ ﻭﻟﻺﻣﺎﻡِ ﺃﺣﻤﺪ . ﺛﻢ ﻳﻘﻮﻝ ﻭﺍﻟﻠﻪِ ﻟﻮ ﻭﻗﻊَ ﺫﺑﺎﺏُ ﻋﻠﻰ ﻧﺼﻒِ ﺟﺴﻤﻲ ﻟﻜﺄﻥَ ﺟﺒﺎﻝ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺿﻌﺖ ﻋﻠﻴﻪ، ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻵﺧﺮ ﻓﻠﻮ ﻗﺮﺽَ ﺑﺎﻟﻤﻘﺎﺭﻳﺾ ﻣﺎ ﺃﺣﺴﺴﺖُ ﺑﻪ.

_____________________

Sesungguhnya yang langsung terlintas pada bergugurannya orang-orang yang zhalim dan mubtadi’ (ahli bid’ah), agar diketahui dengan ilmu yaqin tentang kemana mereka kembali, dalam lembah apa mereka binasa, dan dalam kehinaan apa yang menimpa mereka di dunia, sebelum di akhirat. Ini ada (kisah) seorang sesat mubtadi’ yang merusak agama orang-orang bertahun tahun yang sangat lama dan menggunakan kedudukannya untuk menyesatkan orang-orang dan menghalangi mereka dari agama mereka.

Dia terus dalam kecongkakannya, kesombongannya dan kesewenangannya sampai masa khalifah Al Mutawakkil yang membenci bid’ah dan mencintai sunnah dan ahli sunnah. Sehingga beliau mencopot Ahmad bin Abi Duad (seorang tokoh Mu’tazilah) dan memerintahkan untuk menyita harta Ahmad bin Abi Duad dan anaknya Muhammad (bin Ahmad bin Abi Duad),

Setelah jelas terlihat pengkhianatan Muhammad (bin Ahmad bin Abi Duad) dalam masalah hukum dan kehidupannya yang jelek terhadap kaum muslimin. Kemudian Ahmad bin Abi Duad terkena sakit lumpuh selama empat tahun dan tergeletak di tempat tidurnya, tidak mampu untuk menggerakkan sesuatupun dari jasadnya dan terhalang untuk menikmati semua keledzatan dunia.

Dia berkata tentang sakitnya:
“Sesungguhnya aku mempunyai satu belah badan yang kalau dipotong dengan gunting, aku tidak merasakannya dan satu belah yang lain kalau dihinggapi lalat, seakan-akan berasal dari neraka jahannam.” Satu orang pernah masuk menemuinya, dan berkata: “Demi Allah, tidaklah aku datang untuk menjengukmu, tapi aku datang untuk membuatmu berkabung atas dirimu, dan aku memuji Allah yang telah memenjarakanmu dalam tubuhmu sendiri yang lebih menyiksamu daripada penjara apapun.”

Sehingga ucapan itu menambahnya kesedihan dan gundah gulana, yang sangat pantas untuk diceritakan bahwa awal penyebab sakitnya adalah dari dirinya, ketika dia mendoakan kejelekan untuk dirinya pada hari terbunuhnya seorang imam ahli sunnah Ahmad bin Nasher, dia berkata kepada Khalifah Al Watsiq: “Semoga Allah menahanku dalam kulitku sendiri bila dia dibunuh karena sebuah perkara yang salah.” Sehingga pengijabahan doa datang yang menunjukkan karamah langit atas kebenaran sunnah dan kesesatan bi’dah.

Ahmad bin Abi Duad –si sesat dan mubtadi’-meninggal pada 23 Muharram 240 H setelah dia terkena sakit dan dicopot dari
kedudukannya. Dan telah diriwayatkan banyak mimpi jelek yang menunjukkan dia suul khatimah.

Imam Ahmad telah memaafkan setiap orang yang menyakitinya ketika terjadi fitnah (dipaksanya orang untuk meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhluk oleh Mu’tazilah dan dibunuhnya atau disiksanya orang-orang yang tidak menurutinya) kecuali Ahmad bin Abi Duad.

Telah datang riwayat yang tsabit ketika terjadi penghakiman Ahmad bin Abi Duad terhadap Imam Ahmad bin Hanbal di depan khalifah, Imam Ahmad mengangkat kedua tangannya dan mendoakan kejelekan untuk Ahmad bin Abi Duad:

“Ya Allah sesungguhnya dia menzhalimiku, dan tidak ada penolong bagiku kecuali Engkau. Ya Allah tahanlah dia pada kulitnya sendiri dan siksalah dia.”

Sehingga Ahmad bin Abi Duad tidaklah mati sampai dia ditimpa sakit lumpuh, dan mengering setengah tubuhnya dan setengah yang lainnya tetap hidup. Banyak orang masuk menemuinya, ketika dia melenguh seperti sapi dan berkata:

“Aku ditimpa doanya Imam Ahmad. Apa urusanku dengan Imam Ahmad. Apa urusanku dengan Imam Ahmad.” Kemudian dia berkata: “Demi Allah kalau ada lalat hinggap di setengah badanku, seakan-akan satu gunung dunia ditaruh di atasnya. Sedangkan setengah badan yang lain, kalau dipotong, aku tidak merasakannya.”
———————
WhatsApp ‘Allamaniy Diniy

علمني ديني
Ahmad Al Makassari