لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ
مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه
“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna
imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk
dirinya”.
Ratusan Akademisi Amerika Kecam Penahanan
Massal Muslim Uighur Oleh Rezim Tiongkok
Negara-negara harus memberi sanksi pada
Cina atas penahanan massal etnis Uighur, ratusan akademisi mengatakan pada
Senin (26/11/2018). Mereka juga memperingatkan bahwa kegagalan untuk bereaksi
akan menandakan penerimaan atas “penyiksaan psikologis terhadap warga sipil
yang tidak bersalah”.
Beijing dalam beberapa bulan terakhir
menghadapi kecaman dari para aktivis, akademisi, dan pemerintah asing atas
penahanan massal dan pengawasan ketat terhadap minoritas Muslim Uighur dan
kelompok etnis lainnya di wilayah barat Xinjiang yang bergolak.
Pada bulan Agustus, panel hak asasi
manusia PBB mengatakan telah menerima banyak laporan yang dapat dipercaya bahwa
satu juta atau lebih orang Uighur dan minoritas lainnya ditahan di dalam “kamp
interniran masif yang diselimuti rahasia” di wilayah tersebut.
Perwakilan dari kelompok 278 akademisi di
berbagai disiplin ilmu dari puluhan negara menyerukan pada sebuah jumpa pers di
Washington agar Cina mengakhiri kebijakan penahanannya, dan agar negara-negara
memberi sanksi yang ditujukan pada para pemimpin kunci Cina dan perusahaan
keamanan yang terkait dengan pelanggaran.
Negara-negara harus mempercepat
permintaan suaka dari minoritas Muslim Xinjiang, serta “memelopori sebuah
gerakan di tingkat PBB yang ditujukan untuk menyelidiki sistem interniran
massal ini dan menutup kamp-kamp tersebut”, demikian diungkap pernyataan itu.
Cina menolak kritik atas tindakannya di
Xinjiang, mengatakan bahwa pihaknya melindungi agama dan budaya minoritas, dan
bahwa tindakan keamanannya diperlukan untuk memerangi pengaruh kelompok
“ekstrimis” yang menghasut kekerasan di sana.
Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, telah
mengatakan bahwa dunia seharusnya mengabaikan “gosip” tentang Xinjiang dan
mempercayai pemerintah.
Tapi setelah penolakan awal tentang kamp-kamp
tahanan, para pejabat Cina mengatakan beberapa orang bersalah atas pelanggaran
kecil dikirim ke pusat pelatihan “kejuruan”, di mana mereka diajarkan
keterampilan kerja dan pengetahuan hukum yang bertujuan untuk membatasi
militansi.
Juru bicara kementerian luar negeri Cina,
Geng Shuang, mengatakan pada Selasa (27/11) bahwa kebijakan Xinjiang Cina
bersumber sepenuhnya dari kebutuhan untuk memerangi ‘terorisme’.
“Kami dengan tegas menentang kekuatan
asing yang mencoba mengganggu urusan Xinjiang dan politik domestik Cina,”
katanya pada konferensi pers reguler di Beijing. (Althaf/arrahmah.com)
Tak Tahan Disiksa Pemerintah China,
Wanita Muslim Uighur Minta Dibunuh
Seorang perempuan etnis Muslim Uighur
membeberkan perlakuan Pemerintah China terhadap mereka. Ia mengaku kerap
menjadi korban penyiksaan dan pernah berpikir untuk minta dibunuh.
Mihirigul Tursun saat berada di Amerika
Serikat menceritakan penyiksaan yang diterimanya saat berada di kamp detensi
yang khusus dibuat untuk menahan warga Uighur.
Selama berada di sana, wanita 29 tahun
itu menyebut dirinya diperiksa selama empat hari tanpa tidur. Rambutnya pun
dicukur hingga gundul.
Tak hanya itu, berulang kali badannya
disetrum. Usai menerima berbagai macam siksaan, Tursun pernah dipaksa ikut
pemeriksaan medis yang aneh dan tanpa tujuan jelas.
Ia mengatakan, dirinya tiga kali
ditangkap dan dibawa ke detensi. Semakin sering ditangkap, semakin sadis pula
penyiksaan yang diterima.
"Saya pikir saya lebih baik mati
dari pada melewati segala siksaan itu, dan saya memohon kepada mereka untuk
membunuh saya," ujar Tursun seperti dikutip AP dalam forum National Press
Club di Washington DC, AS, Kamis (29/11).
Tursun merupakan wanita yang lahir dan
besar di China. Saat dewasa ia pergi ke Mesir untuk melanjutkan studi. Di
Mesir, Tursun bertemu suaminya. Bersama sang suami, Tursun memiliki tiga anak.
Ketika kembali ke China 2015 lalu, Tursun
dipenjara untuk pertama kalinya tanpa mengetahui dengan jelas alasan
penangkapan tersebut. Ia dipisahkan paksa dengan anak dan bayinya.
Ketika lepas dari penjara, seorang
anaknya ternyata telah meninggal dunia. Sementara dua lainnya menderita masalah
kesehatan.
Ketika berada di kamp, Tursun melihat
beberapa kejadian penyiksaan aneh terhadap warga Uighur lain. Salah satunya,
ketika seorang kerabatnya diminta minum pil yang membuatnya langsung pingsan.
Tursun menegaskan, selain siksaan fisik,
petugas keamanan China juga kerap melontarkan ucapan diskiriminatif.
"Saya tidak ingat pasti, tapi pernah
mulut saya berbusa dan saya mulai hilang kesadaran. Kata terakhir yang saya
ingat dari mereka adalah menjadi Uighur adalah tindakan kriminal," kata
dia.
Kesaksian Tursun disampaikan seiring
membesarnya kekhawatiran dunia mengenai perlakuan China terhadap etnis Muslim
Uighur yang mayoritas tinggal di Xinjiang.
China dituding menahan dua juta etnis
Uighur di detensi yang mereka sebut kamp re-edukasi. Kamp itu adalah bagian
program persatuan etnis yang digaungkan Pemerintah China di Xinjiang. [kum]
Kenapa Negara-Negara Islam Tidak Membela
Muslim Uighur?
Penindasan pemerintah China terhadap
Muslim di Xinjiang sudah bukan rahasia lagi. Ada satu juta lebih warga Muslim
China ditahan di kam-kamp pendidikan ulang, kebanyakan dari etnis Muslim Uighur.
Tapi kenapa belum ada negara-negara Islam atau dengan penduduk mayoritas Muslim
angkat bicara dan menentang China?
Oleh: Sophie Richardson (Hong Kong Free
Press)
Menurut seorang diplomat senior China yang
berbicara di Dewan HAM PBB dalam peninjauan berkala universal, Selasa (6/11),
Xinjian adalah “tempat yang sangat bagus” dan “sangat indah, aman, dan stabil.”
Jika saja itu benar!
Peninjauan atas aksi dan kebijakan hak
asasi manusia China menampilkan sejumlah besar klaim bohong. Mereka berbohong
tentang kegagalannya meratifikasi inti dari perjanjian hak asasi manusia dan
banyak pelanggaran dihukum dengan hukuman mati, penangkapan pembela hak asasi,
dan catatan panjangnya menghalau badan-badan hak asasi internasional.
Namun gelombang tidal dokumentasi dari
akademisi, jurnalis dan organisasi hak asasi manusia soalnya besarnya
pelanggaran HAM di provinsi Xinjiang menunjukkan bahwa betapa tidak jujurnya
klaim delegasi China tersebut mengenai Xinjiang. Hanya ada sedikit
“stabilitasi” atau “keamanan” untuk sekitar satu juta Turkic Muslim yang secara
arbitrari ditahuan di dalam kamp-kamp “pendidikan politik di Xinjiang. Setiap
harinya menerima indoktrinasi dalam Pikiran Xi Jinping.
Mereka yang berada di luar kamp tidak
memiliki pilihan kecuali “menyambut” petugas pemerintah dan Partai Komunis ke
dalam rumah mereka, di mana perilaku anggota keluarga berada dalam pengawasan
ketat.
Human Rights Watch melakukan riset
mencatat menyebarnya larangan terhadap praktik-praktik agama Islam di wilayah
itu, berkisar dari menyita Al-Quran sampai melarang salat.
Pada Peninjauan Berkala Universal, 13
negara meminta China untuk menutup kamp-kamp itu, dan beberapa lainnya
menggemakan permintaan Majelis Tinggi PBB untuk Hak Asasi, agar diberikan izin
masuk ke Xinjiang untuk menginvestigasi luasnya penindasan. Yang lainnya
menyampaikan kekhawatiran mereka atas kebebasan beragama dan terhadap kelompok
minoritas etnis.
Namun tidak ada satu pemerintahan pun
dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) secara terang-terangan memprotes China
atas penindasan mereka yang mengejutkan terhadap Muslim. Hal itu memudahkan
China untuk menggambarkan kritikan itu sebagai konspirasi “Barat” lainnya.
Hanya Turki yang mengakui masalah
tersebut, berbicara tentang “penahanan individu tanpa landasan hukum,” tapi
tanpa referensi spesifik tentang Xinjiang. Dan beberapa negara telah menjadi
antek-antek kampanye “Serangan Keras” Beijing—memaksa pengembalian Muslim
Turki, terutama Uighur, ke China, menolak memberikan mereka jalur aman menuju
negara ketiga, memberikan informasi tentang identitas mereka kepada pemerintah
China.
Hanya sedikit yang menentang Beiking
karena telah menghukum orang-orang Muslim TUrki yang telah mengunjungi, belajar
atau memiliki anggota keluarga yang beremigrasi ke negara mereka.
Tidak jelas kenapa pembelaan Muslim di
China dilakukan hampir eksklusif oleh pemerintah Barat. Namun untuk mengakhiri
krisis pada komunitas itu akan memerlukan intervensi dari kelompok yang besar.
Mungkinkan negara dengan mayoritas Muslim melakukannya?
Sophie Richardson adalah Direktur Human
Rights Watch di China.
Keterangan foto utama: Polisi bersenjata
di Urumqi, Xinjiang. (Foto: Wikicommons)
Situasi Mengerikan Muslim Uighur China: Bencana Kemanusiaan yang Diabaikan Dunia
Dunia kembali mengabaikan salah satu bencana kemanusiaan besar lainnya: situasi mengerikan yang dialami oleh Muslim Uighur China. Penduduk Muslim Uighur China dimasukkan ke dalam kamp-kamp pengasingan massal, dilarang mempraktikkan agama mereka, dan dijadikan target indoktrinasi. Namun, sebagian besar dunia tetap tidak menyadari kengerian yang terjadi di Xinjiang. Kali ini, kita harus bertindak sebelum terlambat.
Oleh: Khaled A Beydoun (Al Jazeera)
Rwanda. Timor Timur. Myanmar. Dunia memiliki kebiasaan yang kejam dengan mengabaikan bencana kemanusiaan sampai terlambat. Kebiasaan lama memang sulit dihilangkan, dan orang-orang telah ditargetkan oleh program pembersihan etnis yang dipimpin negara bahkan lebih kejam.
Tetapi laporan-laporan kamp konsentrasi massal dan kriminalisasi Islam yang ditimpakan pada Muslim Uighur di China harus membuat was-was siapa pun dan semua orang. Sekarang juga.
Pada bulan Agustus, sebuah panel hak asasi manusia PBB melaporkan bahwa hingga satu juta Muslim Uighur dipaksa masuk ke tempat yang menyerupai kamp pengasingan besar di Xinjiang—daerah otonom di China barat yang menjadi rumah bagi sekitar 10 juta Muslim Uighur.
Gay McDougall, yang menjabat di Komite PBB terkait Penghapusan Diskriminasi Rasial, mengklaim bahwa hingga dua juta orang Uighur dan minoritas Muslim lainnya dipaksa masuk ke “kamp-kamp politik untuk (dijadikan target) indoktrinasi.”
Skala pengintaian China mengejutkan, di mana setidaknya satu dari setiap 10 Muslim Uighur yang tinggal di Xinjiang “menghilang ke dalam kamp pengasingan.” Angka ini bahkan lebih mengejutkan bagi mereka yang memiliki keluarga atau teman yang ditangkap tanpa melakukan tindak kriminal; hanya sekadar mempraktikkan sebuah keyakinan—Islam—di wilayah di mana agama ini secara kategoris terkait dengan subversi, separatisme, dan terorisme.
Tetapi pengasingan satu juta orang di Xinjiang hanyalah sebagian kecil dari rencana buruk negara tersebut terkait pembersihan etnis terhadap Muslim Uighur. Ungkapan-ungkapan “penahanan” dan “kamp konsentrasi” secara langsung menyulap gambar-gambar Holocaust atau pengepungan orang Amerika-Jepang selama Perang Dunia II.
Analogi kuat tersebut memicu The New York Times, The Atlantic, dan The Intercept untuk menerbitkan potongan-potongan berita baru-baru ini yang mendokumentasikan penyebutan China untuk Islam sebagai “penyakit mental,” dan tujuannya yang tanpa ampun untuk memusnahkan Islam dengan cara menyapu bersih melalui pembersihan etnis, salah satu caranya dengan kamp pengasingan massal.
Namun, sebagian besar dunia tetap tidak menyadari kengerian yang terjadi di Xinjiang. Dan bahkan, sepenuhnya tidak mengetahui tentang orang-orang yang terperangkap di dalam cengkeraman kekuasaan ‘kekuatan super’ yang bertekad menghancurkan mereka.
Para aktivis Uighur memprotes kunjungan
pemimpin rezim China Hu Jintao di luar Gedung Putih di Washington, DC, pada
tanggal 19 Januari 2011. Sebuah laporan mengatakan bahwa Uighur di seluruh
dunia—termasuk banyak di Amerika Serikat—dimata-matai oleh dinas intelijen
China. (Foto: AFP/Getty Images/Nicholas Kamm)
SIAPAKAH KAUM UIGHUR?
Sebuah potret sejarah dan identitas Muslim Uighur menyoroti mengapa China—negara komunis yang mengabadikan atheisme dan hak istimewa mayoritas penduduk etnis Han—berkomitmen untuk melenyapkan orang-orang ini.
Kaum Uighur adalah minoritas yang dicap dengan stigma di dua bidang: etnis dan agama, dan terperangkap dalam pengawasan polisi Orwellian yang memandang Islam sebagai penghinaan terhadap atheisme yang didukung negara, dan identitas Uighur sebagai penghalang bagi supremasi etnis Han.
Muslim Uighur berasal dari Xinjiang—wilayah otonomi di barat laut China yang berbatasan dengan Mongolia di timur laut—dan segudang negara mayoritas Muslim di sebelah kirinya.
Setelah mendeklarasikan kemerdekaan secara singkat pada awal abad ke-20, Xinjiang—dan populasi Muslim Uighur yang cukup besar—dianeksasi oleh China komunis pada tahun 1949, dan tetap berada di bawah kendali otoriternya sampai hari ini.
Selain afinitas keagamaan, etnis Uighur menyerupai dan tumpang tindih dengan tetangga-tetangga Asia Tengah, seperti Kirgistan, Kazakhstan, dan negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas suku Turki.
Wilayah ini masih disebut Turkistan Timur oleh Muslim Uighur. Sejalan dengan imajinasi nasionalis ini, Muslim Uighur juga memiliki bahasa mereka sendiri, Uighur—sebelumnya dikenal sebagai Turki Timur—yang hanya dituturkan oleh penduduk Uighur Xinjiang dan penduduk di diaspora mereka.
Unsur-unsur dalam populasi Uighur di China telah berusaha untuk merebut kembali kemerdekaan mereka, mengklaim keaslian dan penindasan sebagai basis untuk memisahkan diri dari China.
Sebagai tanggapannya, China mempromosikan gerakan massa Han China untuk masuk ke pedalaman negara itu—termasuk Xinjiang—yang telah secara efektif mengurangi jumlah Muslim Uighur hingga menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri, dan secara strategis mencegah kemungkinan adanya gerakan kemerdekaan.
Serangan teror 9/11 di Amerika Serikat menciptakan kemungkinan baru bagi China untuk menekan populasi Muslim Uighur di luar demografi. Sama halnya, Beijing mengadopsi Islamofobia Amerika yang diabadikan oleh pemerintahan Bush, dan menggunakan “Perang Melawan Teror” untuk menyatukan Islam dengan terorisme.
Dengan sebagian besar dunia curiga terhadap Islam dan Perang Global Melawan Teror yang sepenuhnya dikerahkan, China memanfaatkan lanskap geopolitik yang matang yang memungkinkan tindakan keras tanpa henti dan kuat terhadap Muslim Uighur—menargetkan Islam sebagai cara untuk menghancurkan orang-orang yang menolak mengubah keyakinan, bahasa, dan adat-istiadat, mereka dengan pilihan yang dipaksakan kepada mereka oleh Beijing.
KRIMINALISASI ISLAM
Islam adalah pusat identitas Uighur, dan ekspresi keagamaan sangat terkait dengan bahasa dan budaya. Tetapi Perang Melawan Teror memungkinkan Beijing untuk menargetkan identitas agama Muslim Uighur agar tidak hanya menghambat aspirasi kemerdekaan, tetapi juga mendorong pembersihan etnis skala penuh.
Muslim Uighur bersimpuh di atas sajadah
di luar Masjid Id Kah pada akhir bulan Ramadan di Kashgar, Provinsi Xinjiang,
China barat. (Foto: Shutterstock/Pete Niesen)
Pelarangan universal terhadap Muslim yang mengekspresikan (identitasnya)—di negara-negara Barat dan Timur—memungkinkan China untuk “mengorbankan Uighur di bawah skema geopolitik” sebagai langkah awal. Dan dalam beberapa tahun terakhir, China sepenuhnya menjalankannya dengan serangkaian kebijakan yang saling berkaitan, yang membuat Islamofobia di Amerika atau Prancis terlihat seperti tak ada apa-apanya.
Namun, memahami skala luas dan kedalaman penindasan China terhadap Muslim Uighur, sepenuhnya terungkap oleh tujuan aslinya: yaitu transformasi dan pemusnahan, bukan untuk menyingkirkan teroris. Memidanakan dan memenjarakan Islam—pengelompokan identitas Uighur yang paling mencolok dan sakral—adalah cara Beijing untuk mewujudkan tujuan itu.
Pada tahun 2015, China membatasi siswa, guru, dan pegawai negeri Uighur Muslim di Xinjiang dalam menjalankan puasa selama bulan Ramadan—tidak hanya di tempat-tempat publik—dengan adanya intimidasi dan pengawasan polisi di dalam rumah-rumah warga selama bulan suci itu.
Menurut Human Rights Watch, larangan ini diperketat dengan pemeriksaan rutin terhadap imam Uighur, pengawasan ketat terhadap masjid, pemindahan guru agama dan siswa dari sekolah, larangan Muslim Uighur untuk berkomunikasi dengan keluarga atau teman yang tinggal di luar negeri, dan pemutaran literatur yang diwajibkan untuk siswa di sekolah-sekolah di Xinjiang.
Walau Xinjiang telah dengan cepat berubah menjadi penjara terbuka untuk Muslim Uighur dalam beberapa tahun terakhir, namun ketaatan terbuka dalam menjalankan Islam akan membawa seseorang langsung ke penjara China yang paling keji: sebuah kamp pengasingan yang dirancang untuk “menyembuhkan” seseorang dari Islam dan menghancurkan Orang Uighur.
KAMP PENGASINGAN: PELARANGAN IBADAH DAN PEMAKSAAN KONSUMSI DAGING BABI & ALKOHOL
Menekan ketaatan beribadah pada bulan Ramadan mengirim pesan yang jelas kepada orang Uighur selama periode paling penting dalam kehidupan Muslim: bahwa ekspresi agama Islam akan dihukum dengan kekebalan hukum (bagi para penegak hukumnya).
Pada gilirannya, larangan negara atas ibadah di bulan Ramadan memojokkan landasan budaya Uighur dan kehidupan mereka—dan bahkan setelah bulan suci itu—yang menunjukkan pandangan negara China bahwa Islam adalah “penyakit ideologis” yang harus lebih dari sekadar dituntut secara kriminal, tetapi disembuhkan secara patologis seperti penyakit.
Kamp-kamp pengasingan—yang disebut “pusat pendidikan ulang” oleh negara—dibangun dalam berbagai ukuran dan jumlah yang dimulai pada tahun 2013. Di dalam kamp-kamp yang kelebihan penduduk ini, agen-agen negara ditugaskan untuk menyembuhkan penyakit (Islam) melalui serangkaian prosesi mengerikan, termasuk memaksa Muslim Uighur untuk makan daging babi dan minum alkohol (keduanya dilarang oleh Islam), menghafal dan membaca lagu-lagu Partai Komunis, dipaksa bekerja keras, mendaftar di kursus bahasa Mandarin, dan pelatihan komprehensif yang dirancang untuk mengeluarkan agama dan budaya mereka dari kepala mereka.
Seorang anak beristirahat di dekat pintu
masuk sebuah masjid, di mana spanduk bertuliskan “Cintailah partai, Cintailah
negara” di distrik kota tua Kashgar di wilayah Xinjiang, China barat, 4
November 2017. (Foto: AP Photo/Ng Han Guan)
Terkunci, jauh dari rumah dan keluarga, 10-20 persen populasi Muslim Uighur di Xinjiang saat ini mengalami kengerian dalam kamp pengasingan terbesar sejak Perang Dunia II. Mereka yang menolak patuh ketika berada di dalam kamp akan disiksa, dan laporan tentang kematian dari anggota keluarga dan penghilangan paksa didokumentasikan secara luas.
Mayoritas orang yang diasingkan adalah laki-laki, dan pihak berwenang China telah melengkapi pemenjaraan yang tidak proporsional terhadap laki-laki dengan kebijakan yang memaksa perempuan Muslim Uighur menikahi laki-laki Han (non-Muslim). Ini adalah upaya lebih lanjut dalam mengurangi populasi Muslim Uighur dan memperkuat hegemoni Han.
Ancaman pengasingan adalah ketakutan yang melayang di atas Xinjiang seperti awan hitam, dan membayang di pikiran setiap Muslim Uighur. Memang, “penahanan dan ketakutan akan penahanan telah menjadi fakta yang tidak dapat dihindarkan dari kehidupan sehari-hari.”
Ketakutan ini adalah senjata yang digunakan pemerintah China untuk menghalangi dan mengintimidasi warga Uighur untuk mencegah mereka menjalankan keyakinan mereka, yang ditegakkan dengan cara menempatkan polisi di mana-mana di komunitas Muslim Uighur, menghubungi tetangga, teman sekelas dan kolega dari Muslim Uighur sebagai pengumpul data dan mata-mata, dan mungkin yang paling jahat, menggunakan anak-anak Uighur untuk memantau dan melaporkan orang tua mereka sendiri.
Big Brother (dalam buku George Orwell) tidak ada apa-apanya, karena otoritas China di Xinjiang telah mendaftarkan siapa saja dan semua orang di dalam komunitas Muslim Uighur untuk mengambil bagian dalam proyek penghapusan Islam ini.
INTI DARI PEMBERSIHAN ETNIS: CUCI OTAK ANAK-ANAK
Pekan lalu di The Atlantic, Sigal Samuel menulis, “Tindakan keras China membuat beberapa warga Uighur di Xinjiang khawatir bahwa anak-anak mereka sendiri akan memberatkan mereka, baik secara tidak sengaja atau karena para guru mendesak anak-anak untuk memata-matai orang tua mereka.”
Karya Samuel ini membantu mendorong diadakannya diskusi tentang kengerian yang terjadi di Xinjiang di luar kamp-kamp pengasingan, yang menciptakan jalan masuk untuk memahami tujuan lain dari program pembersihan etnis China; terutama mereka yang menargetkan anak-anak Uighur.
Proyek China untuk menghancurkan unit keluarga—blok bangunan masyarakat Muslim Uighur di Xinjiang—dicapai melalui program rutin untuk mengumpulkan anak-anak untuk melaporkan kegiatan keagamaan orang tua mereka kepada para guru (yang dikendalikan negara). Begitu juga lembaga formal panti asuhan yang dikelola negara, di mana putra dan putri dari orang-orang Uighur yang diasingkan menjalani program pencucian otak dan asimilasi budaya yang dirancang untuk anak-anak.
Di dalam tembok panti asuhan ini, di mana “(anak-anak) antara usia enam bulan hingga 12 tahun dikurung seperti hewan ternak,” Otoritas China melakukan apa yang mungkin menjadi inti dari program pembersihan etnis mereka: rekayasa seluruh generasi Uighur Muslim untuk berpaling melawan orang tua mereka, melawan agama dan budaya, mendukung atheisme, bahasa Mandarin, dan adat istiadat Han yang diistimewakan oleh Beijing.
Pada gilirannya, program ini akan melucuti orang Uighur dari garis kehidupannya, memisahkan anak-anaknya, dan membuka jalan menuju penghancuran total terhadap 10 juta Muslim Uighur, dan sebuah bangsa yang ada sebelum penciptaan negara China modern.
Warga Uighur di Kashgar, Xinjiang,
membawa bendera Partai Komunis China dan berjalan melewati papan iklan yang
bergambar wajah Presiden China Xi Jinping, bulan Juni 2017. (Foto: Kevin
Frayer/Getty Images)
MENUNGGU PERTOLONGAN DUNIA
Pada Selasa, 4 September 2018, saya merilis tweet tentang penasingan satu juta Muslim Uighur yang menjadi viral, tetapi yang lebih penting, menarik perhatian Muslim Uighur yang tersebar di seluruh dunia.
Seorang mahasiswa pascasarjana Uighur (yang namanya tidak akan saya bagikan karena takut China mengincar dia atau keluarganya) di Inggris menghubungi saya, membagikan kisah-kisah personal tentang cobaan yang dialami anggota keluarga dan teman-temannya di kamp pengasingan.
Seperti begitu banyak orang lainnya, saya mengangkat tentang krisis ini karena sederet berita yang mendokumentasikan pengasingan satu juta Muslim Uighur, khawatir dengan betapa sedikitnya liputannya di media arus utama—dan bagaimana dunia tidak hanya diam tanpa merespons, tetapi sebagian besar bahkan tidak sadar.
“Kami sedang menunggu dunia,” kata mahasiswa itu kepada saya di Twitter, yang mencontohkan pernyataan yang akan mengungkap betapa beratnya kekerasan negara terhadap rakyatnya: “Kami sedang menunggu dunia untuk mengetahui siapa kami,” ujarnya.
Itu adalah permohonan dasar yang secara efisien ingin disembunyikan China, sementara negara tersebut secara sistematis mengawasi dan menghukum setiap jejak kehidupan Muslim Uighur. Untuk memahami rancangan pemusnahan Cina yang telah ditempatkan pada Muslim Uighur, pertama-tama kita harus tahu siapa mereka sebagai manusia.
Mereka adalah orang-orang yang bangga, yang satu-satunya kejahatan yang mereka lakukan hanyalah hidup di tanah yang memang sejak awal merupakan milik mereka, dan mengekspresikan keimanan dan budaya yang berakar di tanah itu.
Mengakui keberadaan mereka, sebagai komunitas global, menghalangi inti dari program pembersihan etnis China: yang menolak identitas Muslim Uighur, dan menghapusnya dari ingatan. Masih belum terlambat bagi kita, kita semua, untuk mengetahui siapa orang Uighur, dan selanjutnya, membantu mencegah bencana kemanusiaan berikutnya di dunia.
Khaled A Beydoun adalah seorang profesor hukum dan penulis American Islamophobia: Understanding the Roots and Rise of Fear.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.
Keterangan foto utama: Umat Muslim Uighur sedang beribadah di Masjid Kashgar Idgah di provinsi Xinjiang. Foto diambil pada tanggal 5 Agustus 2008. (Foto: Reuters/Nir Elias)
AS Siap Sanksi China Terkait Muslim
Uighur
Amerika Serikat (AS) sedang memantau
lebih dekat tindakan keras pemerintah China terhadap minoritas Muslim di
wilayah Xinjiang. Hal itu dikatakan seorang pejabat ekonomi AS saat Washington
mempertimbangkan sanksi terhadap pejabat senior China dan perusahaan terkait
pelanggaran hak asasi manusia.
"Kami sedang melihat situasinya, dan Global Magnitsky adalah alat yang
kami gunakan untuk mengekang pelanggaran hak asasi manusia di seluruh
dunia," ujar Asisten Menteri Luar Negeri AS, Manisha Singh, pada sidang
kongres seperti dikutip dari Reuters, Jumat (14/9/2018).
Singh menanggapi pertanyaan tentang kemungkinan sanksi terhadap China atas
perlakuannya terhadap etnis Uighur dan kelompok Muslim lainnya.
Global Magnitsky Act memungkinkan pemerintah AS untuk memberlakukan larangan
visa dan sanksi yang ditargetkan pada individu di mana pun di dunia yang
bertanggung jawab melakukan pelanggaran hak asasi manusia atau tindakan korupsi
yang signifikan.
Panel hak asasi manusia PBB bulan lalu mengatakan telah menerima laporan yang
dapat dipercaya bahwa hingga satu juta etnis Uighur mungkin ditahan di
penahanan di luar hukum di Xinjiang, dan menyerukan agar mereka dibebaskan.
Departemen Luar Negeri pekan ini mengakui penerimaan surat dari kelompok
bipartisan anggota parlemen AS yang meminta Menteri Luar Negeri Mike Pompeo
untuk menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pejabat China yang dituduh mengawasi
kebijakan di Xinjiang.
Para pejabat termasuk Chen Quanguo, ketua Partai Komunis di Xinjiang dan juga
anggota politbiro partai.
Keputusan sanksi apa pun akan menjadi langkah langka dengan dasar hak asasi
manusia oleh pemerintah Trump terhadap China di tengah perang dagang keduanya.
Namun di sisi lain, AS membutuhkan bantuan Beijing untuk menyelesaikan
kebuntuan atas senjata nuklir Korea Utara (Korut).
Menindak pejabat senior seperti Chen Quanguo belum pernah terjadi sebelumnya
dan akan sangat membuat marah Beijing.
Pada hari Selasa, Departemen Luar Negeri
AS menyatakan keprihatinan mendalam atas "tindakan keras" China yang
memburuk pada Muslim di Xinjiang, sementara sumber kongres AS mengatakan
diskusi tentang kemungkinan sanksi telah mendapatkan momentum dalam pemerintah
AS, meskipun pembebanan langkah-langkah tidak muncul dalam waktu dekat.
Juga yang menjadi pertimbangan adalah sanksi yang dicari para anggota parlemen
terhadap beberapa perusahaan China yang terlibat dalam membangun kamp tahanan
dan menciptakan sistem pengawasan yang digunakan untuk melacak dan memantau
warga Uighur.
Beijing mengatakan, Xinjiang menghadapi ancaman serius dari gerilyawan dan
separatis Islam yang merencanakan serangan serta memicu ketegangan antara
minoritas Uighur yang sebagian besar Muslim dengan anggota mayoritas etnis Han
Cina.
https://international.sindonews.com/read/1338120/42/as-siap-sanksi-china-terkait-muslim-uighur-1536878786
https://international.sindonews.com/read/1338120/42/as-siap-sanksi-china-terkait-muslim-uighur-1536878786
Negara-negara Barat Mulai Serang China
Soal Penindasan Muslim Uighur
Negara-negara Barat mulai menyerang China
terkait penindasan yang dilakukan pemerintah China terhadap Muslim Uighur di
Xinjiang. Empat belas duta besar dari negara-negara Barat—yang dipimpin oleh
Kanada—datang bersama-sama untuk melawan China atas penindasan massal yang
dilakukan China, dan menandatangani sebuah rancangan surat. Seorang
diplomat Barat yang melihat adanya ujian prinsip yang tegas, bertanya: jika
kita tidak protes ketika satu juta orang ditahan tanpa pengadilan, kapan kita
akan berbicara?
Oleh: The Economist
Beberapa pemerintah mengirim duta besar
mereka ke China untuk mempertanyakan tentang hak asasi manusia. Utusan-utusan
yang dikirim ke Beijing adalah pakar realisme, pikiran mereka diterapkan pada
tugas yang rumit: mengelola hubungan yang menguntungkan dengan kediktatoran
yang bergelimang uang dan tak kenal ampun.
Oleh karena itu, merupakan masalah besar
ketika setidaknya 14 duta besar dari negara-negara Barat—yang dipimpin oleh
Kanada—datang bersama-sama untuk melawan China atas penindasan massal terhadap
kaum Muslim di wilayah Xinjiang yang jauh di barat laut, kebanyakan dari mereka
adalah etnis Uighur.
Para pejabat China mengatakan bahwa tujuannya
adalah untuk menghapus ekstremisme. Dalam sebuah surat yang bocor ke Reuters,
para duta besar itu telah meminta bertemu dengan Chen Quanguo, bos Partai
Komunis di Xinjiang. Sebagai seorang pejuang garis keras yang dipindahkan dari
Tibet, Chen mengawasi kamp-kamp di mana mungkin sejuta Uighur telah dikirim ke
sana untuk melakukan “transformasi-melalui-pendidikan,” banyak dari mereka
ditahan untuk waktu yang tidak terbatas tanpa pengadilan.
Jutaan orang lebih telah diawasi oleh
kamera pengenalan wajah, pemindai smartphone, dan patroli polisi di setiap
kesempatan. Beberapa orang harus menampung petugas pemerintah untuk tinggal di
rumah mereka, dikirim untuk menilai kesetiaan mereka terhadap negara. China
menyebut langkah-langkah ini penting setelah serangan teroris yang dilakukan
dalam beberapa tahun terakhir oleh para fanatik Uighur.
Hal ini mengungkap bahwa China tampaknya
terkejut menemukan bahwa mereka berada di bawah pengawasan ketat. Ada beberapa
alasan untuk itu. Para pejabat China secara sinis percaya—dan akan mengatakan
secara pribadi—bahwa para pemimpin dan utusan Barat mengangkat isu hak asasi
manusia karena adanya rasa kewajiban, untuk menenangkan para aktivis dan opini
publik di negara asal mereka.
Kali ini, bagaimanapun, tuduhan itu
dilayangkan terutama oleh para duta besar, bukan publik. Utusan di Beijing
mengakui bahwa kebanyakan orang di negara mereka belum pernah mendengar tentang
Xinjiang atau Uighur. Mereka juga mengakui bahwa beberapa orang yang pulang ke
rumah mungkin memiliki perasaan campur aduk bahwa mereka mengetahui bahwa orang
Uighur dituduh memiliki kecenderungan teroris.
MEMPROTES PENINDASAN MUSLIM, DI MANA PUN
ITU TERJADI
Penderitaan di Xinjiang hampir bukan
menjadi kepentingan nasional yang vital bagi negara-negara pertama yang
menandatangani rancangan surat tersebut—Australia, Belgia, Inggris, Kanada,
Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Irlandia, Belanda, Norwegia,
Swedia, dan Swiss, yang diikuti oleh Uni Eropa. Sebaliknya, seorang diplomat
Barat yang melihat adanya ujian prinsip yang tegas, bertanya: jika kita tidak
protes ketika satu juta orang ditahan tanpa pengadilan, kapan kita akan
berbicara?
Itu menunjukkan alasan lain mengapa China
terkejut. Sudah bertahun-tahun sejak hak asasi manusia secara serius mengganggu
kebijakan luar negeri China. China meraih kemenangan besar pada tahun
1994 ketika Presiden Amerika saat itu, Bill Clinton, mengabaikan komitmen
sebelumnya untuk memberikan akses China ke pasar Amerika, tergantung pada
catatan hak asasi manusianya.
“Kami tidak melihat kegunaan dari
kebijakan itu,” gumam Clinton, sebelum mengungkapkan harapan bahwa China akan
diubah oleh keterlibatannya dengan dunia. Untuk alasan-alasan baik yang egois
dan mulia, pemerintah lain memiliki rencana yang sama: bertaruh bahwa China
yang makmur pasti akan cocok dengan sebuah tatanan internasional yang dibuat
oleh kekuatan Barat setelah perang dunia kedua, berdasarkan pada perdagangan
global, hak-hak universal, dan aturan hukum.
China belum bisa menyatu. Sementara itu,
hukum berbasis aturan pasca-perang jarang terasa begitu rapuh, sebagian berkat
terpilihnya populis seperti Presiden Donald Trump. Kerapuhan itu menjelaskan
mengapa pemerintah yang dulunya bersikap diam, menemukan suara mereka.
Itulah sebabnya mengapa Xinjiang jatuh ke
dalam agenda Forum China Stockholm—pertemuan dua kali setahun para duta besar,
diplomat, akademisi, politisi, dan pemimpin bisnis Amerika, China, dan Eropa,
yang diselenggarakan baru-baru ini oleh Kementerian Luar Negeri Swedia dan
German Marshall Fund of the United States, sebuah wadah pemikir. Seorang
pembicara memprediksi bahwa kesengsaraan Xinjiang akan “meledak dalam opini
publik.”
Walau biasanya tidak memihak, namun forum
tersebut menjadi ajang perdebatan tajam tentang Xinjiang. Para pembicara
menggambarkan sidang di Washington di mana para senator negara bagian yang
penghasilan utamanya berasal dari pertanian—yang pernah bergembira atas
perdagangan dengan China—menggunakan ungkapan-ungkapan seperti “Orwellian” dan
“kamp konsentrasi.”
Tercatat bahwa polisi China dengan
teknologi tinggi mengejutkan negara-negara Eropa—yang takut akan pengawasan
pemerintah, terutama di Jerman. Pembela China menuduh Barat munafik,
mengatakan: “Ini bukan Guantanamo.” (Benar: hanya ada 40 narapidana di
Guantanamo.)
Yang pasti, Barat tidak bersatu untuk
menemukan cara dalam membela tatanan berbasis aturan. Semua penandatangan surat
duta besar tersebut kebanyakan berasal dari Eropa bagian utara. Dari kelompok
“16 plus one” yang dipimpin China dari negara-negara bekas komunis di Eropa,
satu-satunya penandatangan pada saat publikasi tulisan ini adalah Estonia.
Australia—eksportir besar yang menjual barang ke China—menandatanganinya.
Selandia Baru, eksportir besar lainnya, tidak menandatangani.
Posisi Amerika sulit diprediksi. Dalam
pidato baru-baru ini, Wakil Presiden Mike Pence tegas soal Xinjiang. Sekelompok
anggota Kongres yang bipartisan ingin para pejabat China menghadapi sanksi
berdasarkan Global Magnitsky Act, sebuah undang-undang yang menargetkan para
pelaku pelanggaran hak asasi manusia.
Tetapi utusan Amerika di Beijing tidak
menandatangani surat yang disusun Kanada. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa
Trump akan tetap memegang sikap pemerintahannya ketika ia menemui rekannya, Xi
Jinping, akhir bulan ini pada pertemuan G20 di Argentina, alih-alih menunjukkan
bahwa China bertindak pintar dengan bersikap keras terhadap teroris Muslim.
Dunia yang lebih luas tidak bersatu.
Turki—yang merasa ada ikatan kekeluargaan dengan orang Uighur, orang-orang
beretnis Turki—adalah satu-satunya negara Muslim yang menegur China pada pertemuan
baru-baru ini di Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa. Negara Muslim lainnya,
banyak dari mereka yang menerima pinjaman China, memuji rekor hak asasi manusia
China.
Argumen global atas Xinjiang kemungkinan
akan semakin ganas. Hal-hal mengerikan sedang terjadi. Investor internasional
makin gelisah tentang saham di perusahaan yang menjual alat keamanan yang
digunakan di sana. Itu penting bahwa poin-poin pembicaraan China sangat sinis.
Pernyataan-pernyataan China yang diuji di Stockholm mencakup klaim bahwa
kamp-kamp itu melindungi hak-hak orang Uighur yang dibesarkan di daerah-daerah
terpencil, terutama Muslim.
Kamp-kamp itu menawarkan keterampilan
pekerjaan modern, menurut penjelasannya, dan hak—yang dijamin dalam konstitusi
China—untuk memilih agama Anda sendiri atau tidak percaya sama sekali. Lebih
banyak propaganda seperti itu, dan para duta besar bukan satu-satunya yang
mengajukan pertanyaan sulit.
Keterangan foto utama: Ilustrasi
penindasan Uighur di Xinjiang, China. (Foto: via The Economist)
Beijing Akan Balas Jika AS Berlakukan
Sanksi Terhadap Cina Terkait Xinjiang
Cina akan memberi balasan setimpal jika
AS menjatuhkan sanksi pada pejabat puncaknya di wilayah Xinjiang barat-jauh
atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, kata duta besar Cina untuk AS
pada Reuters, Rabu (28/11/2018).
Duta Besar Cina, Cui Tiankai, membandingkan
tindakan rezim Tiongkok di Xinjiang dengan pasukan AS yang memerangi Negara
Islam Irak dan Levant (ISIL, juga dikenal sebagai ISIS). Menurutnya, upaya
pihak internasional terhadap Cina untuk memerangi ‘terorisme’ diimbasi dengan
standar ganda.
“Bisakah Anda bayangkan [jika] beberapa
pejabat Amerika yang bertanggung jawab atas perang melawan ISIS akan dijatuhi
sanksi?” ujar Cui, menambahkan “jika tindakan seperti itu diambil, kita harus
membalas”.
Cui tidak menjelaskan tindakan khusus
yang mungkin diambil Cina.
Beijing telah menghadapi kecaman dari
aktivis, akademisi, pemerintah asing dan PBB atas penahanan massal dan
pengawasan ketat terhadap minoritas Uighur dan kelompok Muslim lainnya di
Xinjiang.
Pada bulan Agustus, panel hak asasi
manusia PBB mengatakan telah menerima banyak laporan yang dapat dipercaya bahwa
satu juta atau lebih Muslim Uighur ditahan dalam “kamp interniran besar yang
diselimuti rahasia”.
Para pejabat AS telah mengatakan
administrasi Trump sedang mempertimbangkan sanksi yang menargetkan perusahaan
dan pejabat terkait dengan tindakan keras Cina terhadap minoritas Muslim,
termasuk Sekretaris Partai Xinjiang, Chen Quanguo, yang merupakan anggota
pengambil kebijakan di Partai Komunis dan di tingkat atas kepemimpinan Cina.
Cui membandingkan tindakan AS yang
dinilainya lebih brutal karena menggunakan rudal dan drone untuk membunuh
‘teroris’.
“Kami mencoba untuk mendidik kembali
sebagian besar dari mereka, kami mencoba mengubahnya menjadi orang normal
[yang] dapat kembali ke kehidupan normal”.
“Kami akan melihat apa yang akan terjadi.
Kami akan melakukan semuanya secara proporsional,” katanya, menanggapi
pertanyaan tentang bagaimana Tiongkok akan membalas sanksi AS yang mungkin
terhadap Chen.
Komentar Cui merupakan tanggapan paling
tegas terhadap ancaman AS terkait masalah ini.
Sanksi AS dapat dikenakan
berdasarkan Global Magnitsky Act, undang-undang federal yang memungkinkan
pemerintah AS untuk menargetkan pelanggar hak asasi manusia di seluruh dunia
dengan membekukan aset, memberlakukan larangan perjalanan dan larangan terhadap
warga Amerika untuk melakukan bisnis dengan mereka.
Pihak berwenang Cina menyangkal melakukan
represi etnis atau agama di Xinjiang. Mereka mengatakan langkah-langkah
keamanan ketat – disamakan oleh para kritikus dengan kondisi darurat militer,
dengan pos pemeriksaan polisi, pusat penahanan, dan pengumpulan DNA massal –
diperlukan untuk memerangi pengaruh kelompok ‘ekstremis’.
Sementara itu, pada briefing di
Washington, Senin (26/11), seorang wanita Uighur, Mihrigul Tursun (29),
mengatakan kepada wartawan bahwa dia mengalami penyiksaan fisik dan psikologis,
termasuk sengatan listrik saat diikat ke kursi, selama 10 bulan di tahanan di
Xinjiang.
Membantah pemerintah Cina yang mengklaim
bahwa fasilitas penahanan melayani tujuan kejuruan, dia mengatakan banyak dari
wanita lain di selnya adalah “profesional yang terdidik, seperti guru dan
dokter”.
Kedutaan Cina di Washington tidak segera
menanggapi permintaan untuk mengomentari pernyataan Tursun.
Penilaian independen terhadap kondisi di
Xinjiang hampir tidak mungkin karena pembatasan terhadap wartawan untuk
pelaporan secara terbuka dari wilayah tersebut.
Kepala hak asasi manusia PBB, Michelle
Bachelet, telah meminta Cina untuk mengizinkan pemantau di Xinjiang, tetapi
Beijing telah menanggapi dengan mengatakan kepadanya untuk menghormati
kedaulatan Tiongkok.(Althaf/arrahmah.com)
China Buat Panduan bagi Google untuk
Mempersekusi Warga Muslim
Pejabat China: ’Sinicization’ Muslim di
Xinjiang Harus Berlanjut
Ditahan agar Tak Lagi ‘Kecanduan’ Agama,
China Perlakukan Muslim bak Pengguna Narkoba