Tuesday, September 2, 2014

Bagaimana paham Syiah laku dan berkembang?

KAMIS, MARET 06, 2014
A. Z. Muttaqin Kamis, 4 Jumadil Awwal 1435 H / 6 Maret 2014 16:00

Pengikut sesat Syiah dalam suatu acara mereka di Balai Samudera, Jakarta Utara beberapa waktu lalu
(Arrahmah.com) – Ulama Syiah, Mullah Ahmad Kasravi dalam bukunya “Ulama Syiah menghujat Syiah” menguraikan beberapa alasan mengapa paham Syiah laris dan berkembang di beberapa negeri Muslim. Berikut ini kami sadurkan beberapa poin dari buku yang diterjemahkan oleh Ustadz Muhammad Thalib Al Yamani tersebut disertai dengan catatan kaki dari ulama Ahlus Sunnah. (halaman 93-104)
Ada banyak alasan mengapa paham Syiah laris dan berkembang di berbagai negeri. Kami berpendapat bahwa paham Syiah dalam pengertian umum (baca: pengikut keturunan Ali) telah tersebar di kalangan kaum Muslimin dan melahirkan sikap fanatisme pada sebagian besar kalangan mereka, disebabkan Ja’far ash-Shadiq telah membangun dengan berbagai doktrin khurafat. Juga, dengan cara memanfaatkan sikap berlebih-lebihan sebagian dari masyarakat Muslim dalam mencintai Ali dan kebenciannya kepada yang lain dan juga ditopang oleh keputus asaan, kejenuhan, kebobrokan moral serta rusaknya niat para pengikut Syiah.
Selain itu Ja’far dan para penggantinya telah memanfaatkan semua peluang yang ada, antara lain:
1.    Kedekatan hubungan kekerabatan mereka dengan NabiShallalahu alaihi wa sallam, bahkan hal ini merupakan peluang utama mereka.
2.    Memanipulasi posisi (keutamaan) Ali dan Hasan di mata masyarakat dan merekapun turut menunggangi posisi tersebut demi kepentingan mereka.
3.    Memanipulasi terbunuhnya Husein dan keluarganya serta pengaruh peristiwa tersebut dalam hati umat Islam.
4.    Memanipulasi kisah khurafat tentang al-Mahdi dan segala kisah tentangnyayang tidak masuk akal.
Kemudian diantara kesesatan mereka, yakni mereka menamakan para pengikut aliran tersebut sebagai “Golongan Ali”, padahal sebenarnya mereka tidak lain hanyalah “Golongan Ja’far”. Sebab bagaimana mungkin seorang yang sangat shalih dan bertakwa seperti Ali punya kaitan kelompok yang sesat lagi menyesatkan tersebut.
Selain itu, golongan Syiah juga sangat terbiasa menyepelekan ajaran agama Islam. Syiah menganggap bahwa prinsip beragama adalah berwilayah kepada Ali (meyakini bahwa Ali adalah wali/penguasa mereka). Siapa yang menerimanya maka maka kelak ia akan beruntung dan selamat serta dapat melebihi yang lain, dan tidak akan tertimpa hal yang buruk selama cinta kepada Ali. Karena Ali kelak pada hari kiamat akan memberikan penyelamatan terhadap manusia yang banyaknya semisal dengan jumlah penduduk suku Rabi’ah dan suku Mudhar. Hal-hal inilah yang menjadi penyebab lakunya paham Syiah.
Mengenai hal ini ada pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa sebagian besar golongan Syiah meyakini bahwa cinta kepada Ali adalah amal kebajikan yang tidak akan terhapus oleh dosa (Minhajus-Sunnah: 1/31). Pernyataan ini dibantah oleh sebagian ulama dan tokoh Syiah pada abad ini, bahwa menisbatkan perkataan tentang cinta kepada Ali adalah amal salih yang tidak akan terhapus oleh perbuatan-perbuatan dosa kepada hanya sebagian besar pengikut Syiah adalah bohong, tetapi justru semua Syiah telah sepakat dengan pendapat tersebut, maka mengecualikan aqidah tersebut dari sebagian orang Syiah adalah dusta. (Muhammad Mahdi al-Kazhimi dalam Minhajusy Syarifah fir Raddi ‘Ala Ibni Taimiyah, 1/98).
Dapat kita lihat bagaimana mereka menawarkan (melariskan) paham mereka dengan pernyataan semacam itu dan yang serupa untuk menipu para pengikut hawa nafsu dan untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang bermaksud mencari-cari alasan berlepas diri dari hukum dan syariat. Mereka telah berhasil menyesatkan banyak orang, disamping batilnya aqidah tersebut telah sangat jelas bagi mereka yang telah memiliki mata sehat, yaitu telah merusak keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, seluruh ajaran aqidah dalam Islam, serta seluruh hukum-hukum syariat. Syekh Suaedi menyatakan bahwa jikalau cinta kepada Allah dan Rasul-Nya saja belum cukup menyelamatkan seseorang dari adzab bila tidak dibarengi dengan iman dan amal salih, bagaimana dengan sekedar mencintai Ali saja dianggap cukup untuk menyelamatkan seseorang dari adzab? Aqidah semacam ini jelas bertentangan denga firman Allah Ta’ala:
“Siapa saja yang tetap melakukan dosa sampai sakaratul maut, pasti dia diberi hukuman…” (Qs. An Nisa’, 4:123).
Dan firman Nya: “Siapa saja yang berbuat dosa walaupun sebesar debu , ia juga akan menyaksikan hukumannya kelak di akhirat.” (Qs. Az Zalzalah, 99:8).
Bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip dan riwayat-riwayat mereka sendiri. Yang dimaksud bertentangan dengan prinsip-prinsip mereka sendiri yakni seorang Syiah yang berbuat dosa besar, sedang Allah Ta’ala tidak menghukumnya atas perbuatannya itu, maka Allah Ta’ala juga tidak akan memberikan apa yang Allah wajib berikan kepadanya.
Sedangkan yang dikatakan bertentangan dengan riwayat-riwayat mereka, karena mereka telah meriwayatkan dari Ali, tokoh-tokoh mereka yang salih, dan para imam lainnya, disebutkan dalam lafal-lafal doa mereka yang martabatnya shahih, mereka menangis dan memohon agar dilindungi dari ‘adzab Allah Ta’ala. Jika para imam mereka yang mulia merendahkan diri dan penuh rasa takut dari adzab Allah Ta’ala , maka bagaimana mungkin selain merek mencukupkan diri dengan sekedar cinta kepada Ali serta meninggalkan amal salih dan bergantung kepada para imam mereka (Batalnya Aqidah Syiah, oleh Waraqah hlm.34-35)
(azmuttaqin/arrahmah.com)
Komentaku ( Mahrus ali ):
Landasan lakunya ajaran Syi`ah adalah karena  ajaran cinta kepada Ali bin Abi Thalib akan membikin mereka masuk surga tak perduli dosa dan  noda yang mereka jalankan. Ini mirip  sekali dengan ajaran ahli bid`ah cinta pada  Syaikh Abd Qadir al Jailani yang katanya bisa memberikan safaat kepada pecintanya dan memasukkannya ke surga sekalipun  menjalankan  berbagai macam dosa. Ia  juga mirip dengan ajaran kristen yang katanya Yesus penebus dosa dan memasukkan orang kristen ke Surga sekalipun berlumuran dengan noda dan dosa. Apakah tidak ingatdengan ayat:
أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِْلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Artinya : Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali apa yang telah ia usahakan” [An-Najm : 38-39]
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ(7)
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ(8)
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.[1]