http://miumipusat.org/wp/kesesatan-syiah-menurut-ibnu-khaldun/
Akhir-akhir ini, para
penganut, pendukung, dan pejuang Syiah di Indonesia merasa di atas angin.
Selain terbitnya buku “Syiah Menurut Syiah, 2014″ oleh organisasi resmi Syiah,
Ahlul Bait Indonesia (ABI) yang diberi kata pengantar oleh Bapak Menteri Agama,
Drs. H. Lukman Hakim Saefuddin, juga dihelatnya sebuah acara Konferenasi Internasional
Gerakan Ekstrimisme dan Takfiri dalam Pandangan Ulama Islam “World Congress on
Extremist and Takfiri Movements in the Islamic Scholar’s View” (23-24/11/2014)
di Kota Qum Iran yang dihadiri 80 negara yang disaring dari 2000 tokoh di
seluruh dunia, lalu dipilah dan diundang sekitar 420, dan akhirnya yang hadir
315 orang, dengan prosentase 40% Syiah dan 60% Ahlussunnah, tokoh-tokoh
tersebut diambil dari mereka yang punya pengaruh dari kalangan ulama,
intelektual, dan akademisi, yang memiliki semangat persatuan dan kesatuan serta
melawan segala bentuk ekstrimisme takfiri, (www.abna.com. 23/11/2014).
Dari Sulawesi, ada
beberapa tokoh akademis dan ulama yang turut diundang ke acara konferensi
internasional tersebut. Melihat tema konferensinya, secara substansial pasti
kita setuju semuanya, karena menekankan persatuan (al-ittihad), persaudaraan
antarsesama muslim (ukhuwwah islamiyah), mereduksi segala bentuk kekerasan
tanpa alasan syar’i, bahkan mengkafirkan sesama muslim tanpa merujuk pada
ketetapan dalil baik Al-Qur’an, sunnah, dan fatwa para ulama muktabar.
Namun persoalannya tidak sampai di situ. Kedatangan para ulama dan
akademisi dari kalangan Ahlussunnah ke Qom, Iran untuk menghadiri konferensi
internasional tersebut menjadi bahan jualan para penganut dan pejuang Syiah
Indonesia, lebih khusus yang kuliah di Iran dan mendapat beasiswa.
Ismail Amin misalnya, selain menulis artikel di koran-koran lokal Makassar,
Ulama Susel dan Islam Rahmatan Lil-Alamin,(Tribun Timur. 28/11/2014); Pesan
Perdamaian dari Rakyat Persia, (Harian Fajar, 29/11/2014) dengan menyebut
sederet tokoh lintas organisasi dan lembaga pendidikan di Susel yang turut
hadir dalam perhelatan ilmiah tersebut. Umpama nama-nama, Prof. Dr. Qadir
Gassing sebagai Rektor UIN Alauddin Makassar Prof. Dr. Arifuddin Ahmad, sebagai
Dekan Fak. Ushuluddin dan Filsafat, Dr.KH. Mustamin Arsyad, atas nama MUI
Makassar, dan seabrak nama tokoh lainnya, lokal maupun nasional.
Persoalannya semakin rumit, karena ia memaksakan kehendak–setidaknya dalam
berbagai pernyataannya di media sosial, Facebook–bahwa kedatangan para ulama
dan tokoh tersebut sebagai bentuk kekagumannya atas para ulama di Iran, bahkan
menurut pria yang mengaku kuliah di Mostafa University of Iran, banyak dari
ulama kita yang antre untuk hanya sekadar cipika-cipiki dengan para Ayatollah.
Kekaguman para ulama dan tokoh akademis, baik lokal (Makassar) maupun
nasional, kepada ulama Syiah Iran dimanfaatkan sebagai legitimasi keshahihan
ajaran Syiah, sekaligus sebagai propaganda penyebaran Syiah di Indonesia. Dan
ini memang sudah menjadi taktik Syiah dalam melanggengkan penyebaran faham
mereka di tengah masyarakat Ahlussunnah. Bahkan, nama saya pun dibawa-bawa yang
konon sangat tertarik untuk berkunjung ke Iran, namun karena permasalahan visa
sehingga tidak dapat mengunjungi negeri para mullah itu. Tentu saja, ini adalah
tuduhan tak berdasar rekaan Ismail Amin.
Padahal sejatinya, para ulama, terutama dari Makassar yang berangkat ke
Iran untuk menghadiri konferensi Internasional tersebut tidak ada sangkut-pautnya
dengan legitimasi ajaran Syiah dan dukungan penyebarannya di kalangan
masyarakat berpaham Ahlussunnah. Kedatangan mereka jelas dengan tujuan mulia, ukhuwah
islamiyah dan mereduksi kekerasan atas nama agama.
Karena itu, perbuatan konyol, bahkan sebuah fitnah yang keji jika harus
menjual nama para tokoh dan ulama kita untuk melegitimasi ajaran sesat Syiah,
yang sudah difatwakan kesesatannya, mulai dari Imam Syafi’i pada abad ke-3
Hijriah hingga penganut mazhab Syiafi’i abad ke-15 Hijriah ini.
***
Karena para pengusung dan pengasong aliran sesat Syiah di Indonesia banyak
menjual nama-nama tokoh dan ulama untuk melegitimasi dan menjustifikasi
kebenaran ajaran mereka, supaya dapat disebarkan dengan mudah dan diterima
masyarakat umum. Maka ada baiknya jika kita kembali menoleh ke masa lalu.
Khususnya mengangkat pemikiran dan pemahaman ulama muktabar kita, yang telah
diakui kepakarannya oleh para ilmuan, Timur maupun Barat. Salah satunya
adalah Ibnu Khaldun (1332-1406 M).
Dalam Magnum Opusnya, yang diberi judul “Al-Muqaddimah” sebagai pengantar kitab
induknya “Al-Ibar, wa Diwan Al-Mubtada’ wa Al-Khabar, fi Ayyam Al-’Arab wa
Al-’Ajam wa Al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi As-Sulthani Al-Akbar”.
Tentang kehebatan dan
derajat keilmuan Ibnu Khaldun, saya kutip perkataan seorang orientalis
sekaligus pakar sejarah, Arnold Toynbee, “In the Prolegomena [Almuqaddimat] to
his Universal History he has conceived and formulated a philosophy of history
which is undoubtely the greatest work of its kind that has ever yet been
created by any time or place.” (Lihat, A Study of History: The Growths of
Civilization [New York: Oxford University Press, 1962]). Syamsuddin Arif
menyebutnya, Kitab “Al-Mukaddimah” Karya Ibnu Khaldun tak ubahnya bagaikan
kapsul yang memuat ekstrak prinsip-prinsip yang bekerja di balik aneka
manifestasi ilmu pengetahuan, pencapaian, dan pengalaman manusia dari masa ke
masa, (Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008).
Kepakaran Ibnu Khaldun
dari berbagai disiplin ilmu, terutama sosiologis sudah diakui oleh jumhur ulama
dan ilmuan, karena itulah dia mendapat gelar “Bapak Sosiologi”. Kali ini saya
tidak mengangkat masalah sosiologis dalam kitab Al-Muqaddimah, melainkan
pemaparan dan pandangannya terhadap aliran sesat Syiah.
Pada Pasal ke-27, Kitab
“Kerajaan-Kerajaan Secara Umum, Kerajaan, Kekhalifahan, Jabatan Kepemimpinan,
dan Semua yang Berhubungan dengannya.”. Dengan tema “Aliran-aliran Syiah dan
Hukum Menegakkan Imamah”, Ibnu Khaldun memulai pembahasannya dengan memaparkan
arti Syiah dari segi etimologi dan terminologi.
Katanya, Asy-Syi’ah secara
etimologi berarti sahabat dan pengikut. Sedangkan dalam terminologi, para pakar
hukum Islam dan pakar ilmu kalam, baik klasik maupun kontemporer diartikan
sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib. Seluruh aliran Syiah bersepakat bahwa
imamah bukanlah kepentingan umum, yang persoalannya diserahkan pada pilihan
masyarakat dan pengangkatannya tergantung mereka. Imamah merupakan salah satu
rukun Islam dan perinsip dalam Islam menurut Syiah.
Tidak seorang Nabi
pun–lanjut Ibnu Khaldun–bagi Syiah boleh melalaikannya dan tidak pula
melimpahkannya kepada masyarakat. Mereka harus mengangkat pemimpin dari
golongan mereka sendiri, dan imam yang diangkat sebagai pemimpin itu harus
bersifat ma’shum atau terbebas dari dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil.
Syiah meyakini, terang
Ibnu Khaldun, bahwa Ali bin Abi Thalib telah diangkat Rasulullah menjadi imam
berdasarkan teks-teks yang mereka kutif dan mereka takwilkan sesuai kehendak,
yang sama sekali tidak dikenal oleh para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, dan
tidak pula terdapat dalam kitab hadis. Teks-teks yang mereka kutip sebagian
besar adalah maudhu’ alias palsu belaka, terdapat cela dalam sanadnya, atau
terjadi penakwilan yang menyimpang terlalu jauh. Bagi orang Syiah, teks-teks
tersebut terbagi menjadi dua bagian, jali atau tersurat dan khafi atau
tersirat, (Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, [terj.], Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2001). Penjelasan Ibnu Khaldun terkait kesesatan Syiah begitu panjang,
gamblang, dan sistematis.
Pernyataan di atas sudah
cukup memadai untuk menetapkan bahwa epistemologi akidah syiah sangat rapuh
bahkan tidak berdasar karena berpijak di atas dalil yang absurd.
Segenap ajaran agama Syiah
tidak terbangun di atas Al-Qur’an dan hadis sebagaimana dipahami Ahlussunnah,
melainkan membangun ajaran sendiri dari dalil yang mereka tafsirkan secara
serampangan, dan pada tahap tertentu menciptakan ayat dan hadis palsu untuk
menjustufikasi ajaran mereka.
Wajar saja, jika
pembahasan masalah Syiah, dalam Al-Muqaddimah, ditutup oleh Ibnu khaldun dengan
perkataan, Allah berkuasa menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk menuju jalan yang lurus kepada siapa saja yang dikehendakinya.
Maksudnya, Allah
menyesatkan Syiah dan membiarkan mereka terus berkubang dalam kesesatan, dan
Allah senantiasa memberi petunjuk dan jalan yang lurus kepada golongan
Ahlussunnah wal-Jamaah.Wallahu A’lam!
Setu-Bekasi, 3 Nop. 2014.
Ilham Kadir, Peserta Kaderisasi Seribu Ulama Baznas-DDII/Mahasiswa Doktor
Pendidikan Islam UIKA Bogor. [ http://miumipusat.org/wp/kesesatan-syiah-menurut-ibnu-khaldun/]