Tuesday, June 21, 2016

Shalat Taraweh Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (Sunnah Muaqad), Bukan Bid’ahnya Umar RA. Mengapa Syiah Anti-Shalat Tarawih Berjama’ah (Karena Kedengkiannya Kepada Aisyah RA Dan Umar RA) ?

shalatnya syiah


Tanggapan terhadap pendapat kaum syiah bahwa shalat tarwih berjamaah adalah bid’ah.
Salah satu amalan yang mungkin terasa khas bagi kaum muslimin Indonesia, pada bulan ramadhan ialah shalat tarwih (taraweh) secara berjamaah di berbagai masjid. amalan ini, tampak menjadi syiar malam bulan suci ramadhan. yang seyogyanya diisi dengan puasa pada siang harinya dan dilengkapi dengan qiyam al lail pada malam harinya (tarwih, tahajud, witir dsb). Selain ibadah-ibadah lainnya seperti men-tadabburi al quran (menyimak dan meresapi isi kandungan al quran yang kemudian berusaha untuk diaplikasikan), menghafalkannya, mengajarkannya atau mendengarkan penjelasan-penjelasan terkait dengannya melalui ceramah dan khutbah diberbagai tempat dan media. Seolah bulan inilah tempat mendidik (mentarbiyah) diri kita untuk lebih dekat kepadaNya. 
Tulisan blog seorang syiah yang cukup sensasional berjudul: Shalat tarwih berjamaah adalah bidah
(http://ahmadrettaa.blogspot.com/p/blog-page_5.html), tampak menjadi syubhat rutin  di bulan ramadhan. Bagi masyarakat muslim, hal ini tentu menimbulkan kontroversi. Bahkan lebih tegas lagi, penulis artikel ini menulis pada awal artikelnya, sebagai berikut:

Jadi jelas sekali dan tidak dipungkiri oleh siapapun bahwa; shalat tarawih secara berjamaah adalah ‘ibadah’ yang tidak pernah dicontohkan apalagi diperintahkan oleh baginda Rasulullah sehingga hal itu tergolong bid’ah yang harus dijauhi oleh setiap pribadi muslim yang mengaku cinta dan taat kepada pribadi mulia Rasulullah. Dan berdasarkan hadis terkenal Rasul; “Setiap bid’ah adalah sesat” (kullu bid’ah dhalalah) maka tidak ada lagi celah untuk membagi bid’ah menjadi baik dan buruk/sesat”

“Semua pemeluk agama Islam pengikut Muhammad Rasulullah SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM pasti meyakini bahwa bid’ah adalah perbuatan yang harus dijauhi. Hal itu karena terlampau banyak hadis Rasul –baik dalam kitab standart Ahlusunnah maupun Syiah- yang melarang dengan keras dan tegas kepada segenap umatnya dalam pelaksanaan bid’ah.

Pelaku bid’ah dapat divonis sebagai penentang dalam masalah tauhid penentuan hukum yang menjadi hak preogatif Tuhan belaka. Hanya Dia yang memiliki otoritas mutlak untuk itu.”

Selanjutnya artikel ini mulai memuat beberapa dalil untuk menguatkan judul artikelnya, yang menganggap shalat tarwih berjamaah adalah bid’ah. Diantaranya ialah:

Rasul dalam hadisnya pernah bersabda: “Setiap Bid’ah adalah sesat” (kullu bid’atin dhalalah) dimana ungkapan ini meniscayakan bahwa tidak ada lagi pembagian bid’ah menjadi ‘baik’ (hasanah) dan ‘buruk/sesat’ (dhalalah)?

Kita akan mulai dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya yang dinukil dari Abdurrahman bin Abdul Qori yang menjelaskan: “Pada salah satu malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan shalat ada yang sendiri-sendiri ataupun dengan kelompoknya masing-masing. Lantas Umar berkata: “Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu imam (untuk berjamaah)”. Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, kami kembali datang ke masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan (tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: “Inilah sebaik-baik bid’ah!”” (Shahih Bukhari jilid 2 halaman 252, yang juga terdapat dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik halaman 73).

Dari riwayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa; Pertama: Shalat terawih berjamaah tidak pernah dilakukan sebelum adanya perintah dari Umar. Kedua: Pertama kali shalat tarawih berjamaah diadakan pada zaman Umar sebagai khalifah. Sedang pada masa Rasul maupun khalifah pertama (Abu Bakar) tidak pernah ada. Ketiga: Atas dasar itulah maka Umar sendiri mengakui bahwa ini adalah ‘hasil pendapat pribadinya’ sehingga ia mengatakan “Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah hadzihi). Sekarang yang menjadi pertanyaan; Bolehkan seorang manusia biasa mengada-ngada dengan dasar ‘pendapat pribadinya’ untuk membikin hukum peribadatan dalam Islam? Apa hukum mengada-ngada tersebut? Bagaimana memvonis pengada-ngada dan pelaksana hukum bikinan (baca: bid’ah) tersebut? 

Tanggapan 

Jika kita ingin menelaah hadis ataupun perkataan sahabat dengan hati yang jernih dan pemahaman yang baik maka tentu kita akan memperoleh kesimpulan lebih tepat. Penulis artikel diatas, atau orang yang berpemahaman syiah (mereka menyebut diri penganut mazhab jakfari, syiah imamiah, mazhab ahlul bait, diperhalus dengan sebutan mazhab akhlak dan cinta, atau golongan yang semisal/ sepemahaman dengan mereka). Biasanya mereka menjadikan ketidak senangan kepada para sahabat nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagai motor penggerak dalam berpendapat ataupun beribadah. Lihatlah acara tahunan mereka yang selalu melaknat sahabat-sahabat besar nabi shallallahu alaihi wa sallam, semisal abu bakar, umar dan utsman.

Jika landasan ketidak-senangan terhadapa sahabat menjadi dasar maka, hampir bisa dipastikan kesimpulan yang diperoleh akan mendiskreditkan sahabat nabi shallallahu alaihi wa sallam. Alur pemikiran yang pada awalnya cenderung menyudutkan para sahabat nabi tersebut, tentu akan berakhir dengan kesimpulan yang serupa. Mengapa? Untuk menyesuaikan dengan keinginan mereka. Disinilah, pentingnya kejujuran.  Dalam mengemukakan dalil sebagai argument masing-masing, kedua pihak yang berbeda pendapat/ penafsiran selayaknya dibekali keberanian untuk mengakui kekeliruannya ketika alasan (dalil) yang digunakan lemah, sebaliknya mereka yang memiliki argument kuat, tidak malah menyalahkan atau bahkan menghinakan orang yang memiliki pendapat lemah. Sayangnya kami tidak menemukan hal tersebut dalam pemahaman dan perangai orang syiah (atau yang semisalnya). Inilah mungkin sebabnya mengapa, sampai saat ini, kata sepakat dan ukhuwah cukup sulit kita temui dikalangan ahlus sunnah dan syiah.

Mengenai pembahasan, shalat tarwih secara berjamaah misalnya. Kita dapat melihat serangan dan dan ucapan tajam orang syiah terhadap kaum muslimin yang mengadakan shalat tarwih secara berjamaah. Tidak main-main, mereka menyebut orang yang melakukan shalat tarwih berjamaah dengan sebutan ”Penentang dalam masalah tauhid”. Hal ini,dikarenakan dasar pemahaman yang tercemari oleh prasangka yang kurang baik (terhadap sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam) sehingga menghasilkan kesimpulan yang cenderung menyimpang dari kebenaran.
Jika kita memulai dengan pandangan yang jernih serta pemikiran yang baik, kemudian dilakukan telaah terhadap berbagai dalil dan riwayat (tidak hanya riwayat yang mendukung pendapat kita) kemudian kita bandingkan maka akan kita temui kesimpulan yang lebih komprehensif dan berimbang.

Shalat tarwih berjamaah di zaman Rasulullah

Kesimpulan yang menyatakan: 

Pertama: Shalat terawih berjamaah tidak pernah dilakukan sebelum adanya perintah dari Umar. 

Kedua: Pertama kali shalat tarawih berjamaah diadakan pada zaman Umar sebagai khalifah. Sedang pada masa Rasul maupun khalifah pertama (Abu Bakar) tidak pernah ada.

Kesimpulan ini keliru, karena tidak memperhatikan riwayat atau hadis lain yang menyatakan bahwa rasulullah pernah melaksanakan shalat malam pada bulan ramadhan secara berjamaah. bahkan salah satu penyebab mengapa kemudian nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tdk berjamaah lagi di masjid, justru karena peserta shalat tarawih di masa nabi membeludak. ketidak-berjamaahan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa lalu ada sebabnya, yaitu karena takut akan diwajibkan oleh Allah SWT. Seadainya ketakutan itu sudah tdk ada lagi, maka tentu shalat tarawih berjamaah dapat berlangsung kembali. 

Dalilnya ialah: 

Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ

"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan." (Muttafaqun ‘alaih)
Maka kesimpulan yg pertama, bahwa shalat tarawih di masa nabi pernah dilakukan dgn berjamaah. Umumnya para fuqaha fiqhi berbeda pendapat manakah yang lebih afdhol dikerjakan sendiri atau secara berjamaah. 
Mengenai shalat tarwih yang kembali dihidupkan (secara berjamaah) oleh Umar radhiyallahu anhu sewaktu menjabat sebagai khalifah, dan tidak pada masa Abu Bakar radhiyallahu anhu. Analisanya ialah bahwa masa khilafah Abu Bakar tdk berlangsung lama. Praktis hanya 2 tahun saja beliau memerintah. Sementara kaum muslimin saat itu sedang mengalami berbagai fitnah & cobaan. Misalnya kasus murtadnya berbagai suku-suku arab. Sementara itu kaum muslimin saat itu sedang menghadapi peperangan besar melawan Romawi. Tentu mereka sibuk mempersiapkan peperangan besar.

Namun bukan berarti tidak ada pembenahan internal di masa itu. Paling tidak, sejarah mencatat bahwa di masa khilafah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mushaf Al Quran berhasil dijilid jadi satu. Setelah selama ini berserakan di berbagai media, meski masih dihafal oleh ribuan shahabat.

Dua tahun berselang, tibalah masa Umar bin al Khattabradhiyallahu ‘anhu memerintah. Masa beliau memerintah cukup panjang, ada banyak waktu untuk menaklukkan para pembangkang, bahkan 3 imperium besar berhasil ditaklukkan (termasuk didalamnya imperium Persia-negara Iran saat ini- daerah asal pemahaman Syiah Imamiah). Maka ada banyak kesempatan bagi khalifah untuk melakukan beberapa pembenahan. Termasuk menghidupkan kembali sunnah nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan shalat tarawih dengan berjamaah, setelah beberapa tahun sempat tidak berjalan karena berbagai alasan.

Kesimpulannya: di masa nabi, tidak berlangsungnya shalat tarawih berjmaaah karena alasan takut diwajibkan. Di masa Abu Bakar, alasannya karena ada banyak permasalahan mendesak & itupun hanya 2 tahun saja(masa kekhalifaan beliau). Maka kesempatan yg agak luas baru didapat di masa khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu Di masa itulah khalifah menghidupkan kembali sunnah Rasulullah SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM, yaitu shalat tarawih berjamaah di masjid dgn satu orang imam. Ubay bin Ka’ab ditunjuk oleh khalifah karena bacaan beliau sangat baik.

Apa yg dilakukan oleh khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu disetujui oleh semua shahabat (termasuk Ali radhiyallahu ‘anhu - imam syiah yang pertama). Tidak ada riwayat yg menyebutkan bahwa ada satu shahabat yg menentang diserukannya kembali shalat tarawih berjamaah sebagaimana dahulu pernah dilakukan oleh nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka boleh dibilang bahwa shalat tarawih dgn berjamaah merupakan ijma’ para shahabat. Dan ijma’ merupakan salah satu sumber syariah yg disepakati.

Tidak berlangsungnya shalat tarawih berjamaah karena ada alasan yg bersifat temporal. Begitu alasannya sudah tidak ada lagi, maka sunnahnya dikembalikan lagi sebagaimana aslinya. Tidak ada kaitannya tentang berapa lama jamaah tarawih tdk berlangsung.

Dalam hal ini, tdk berjamaahnya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat tarawih bukan bersifat menasakh (menghapus) hukum kesunnahan tarawih berjamaah. Tetapi memberi dasar hukum kebolehan shalat tarawih dilakukan tdk berjamaah karena adanya alasan tertentu. Ketika alasan (udzur) itu sudah tdk ada lagi, maka kesunnahannya dikembalikan kpd asalnya.

Demikian kira-kira argumentasi jumhur ulama & fuqaha di bidang ilmu fiqih. Wallahu a’lam bishshawab .( lihat: http://www.rahasiasunnah.com/50/dalil-shalat-tarawih-berjamaah.htm)

Mengenai perkataan Umar radhiyallahu anhu “Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah hadzihi).  Berdasarkan perkataan umar ini mereka kemudian menyimpulkan bahwa inilah salah satu contoh bid’ah sahabat yang telah mencemari ajaran rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bahkan umar radhiyallahu anhu dituduh telah membuat hukum baru dalam ibadah kepada Allah. 

Dari pemamaparan sebelumnya, telah terjawab bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah melaksanakan shalat tarwih secara berjamaah, namun karena kekhawatiran beliau akan turun perintah diwajibkan shalat berjamaah ini, maka beliau tidak berjamaah. Dan sekali lagi tdk berjamaahnya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat tarawih bukan bersifat menasakh (menghapus) hukum kesunnahan tarawih berjamaah. Tetapi memberi dasar hukum kebolehan shalat tarawih dilakukan tdk berjamaah karena adanya alasan tertentu. Ketika alasan (udzur) itu sudah tdk ada lagi, maka kesunnahannya dikembalikan kpd asalnya.

Demikian kira-kita argumentasi jumhur ulama & para fuqaha di bidang ilmu fiqih. (silahkan lihat ulang pembahasan lengkap mengenai hal ini di sub judulShalat tarwih berjamaah di zaman Rasulullah)
Dari pemahaman diatas kita memaknai perkataan umar,“Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah hadzihi), TIDAK dengan menuduh Umar membuat hukum baru, Umar menghianati rasulullah dengan membuat kesesatan dalam beribadah, sebagai pelopor para penentang terhadap masalah tauhid, atau kesimpulan  negative lainnya (yang didasarkan ketidak-senangan terhadap sahabat Nabi).
Jika kita ingin, berpikir jernih dan menelaah dengan baik maka kita akan sampai pada kesimpulan sebagaimana yang diungkapkan para ulama bahwa, perkataan tersebut tidak berimplikasi syariat, tetapi hanya sebatas perkataan lughawy (bahasa atau etimologi). Karena memang telah ada contoh dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. 
Perkataan ‘Umar  “ ini adalah sebaik-baik bid;ah” disikapi oleh Ibnu Rajab dengan pernyataan berikut,

“Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap adanya bid’ah yang baik, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah lughowi (bid’ah secara bahasa atau etimologi) dan bukan menurut istilah syar’i. Contoh perkataan yang dimaksud adalah perkataan ‘Umar bin Khottob ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) bersama dengan satu imam di masjid…” (lihat di artikel muslim. or. id  “umar dan imam syafi’I berbicara tentang bid’ah hasanah”)

Bahkan tidak ada pengingkaran Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap para shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)

Hal ini serupa dengan  kata “kafir” , dimana secara etimologi berarti “menutup”   tetapi secara syariat berarti “orang diluar Islam/ Musyrik”. Para petani misalnya dapat dikatakan kafir (secara bahasa/ etimologi) karena pekerjaan mereka yang menggali tanah, memasukkan bibit dan  kemudian “menutup” lubang tanahnya. Para petani muslim tentu tidak dapat dikatakan kafir secara syariat. (Lihat pengertian kafir-arab- di http://id.wikipedia.org/wiki/Kafir)

Misalkan maksud “bid’ah” dalam perkataan umar diatas ialah bid’ah syariat, maka perkataan siapapun akan tertolak dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam: 
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

(setiap bid’ah -sesuatu yang diada-adakan dalam syariat, yang tidak memiliki contoh dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam- adalah sesat). Maka sudah seharusnya, sebagai muslim yang baik kita akan mengikuti perkataan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan menjauhi setiap bid’ah (dalam syariat) siapapun yang menyerukannya.

Dari penjelasan ini, berimbanglah pemahaman kita tentang hukum shalat tarwih berjamaah, sehingga kita tidak dengan serampangan menuduh bid’ah, penentang tauhid dan kesimpulan yang didasarkan oleh prasangka negatif terhadap murid langsung, dan sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. 

Sebagai tambahan kami juga menemukan beberapa dalil yang dimanipulasi dalam tulisan “shalat tarwih berjamaah adalah bid’ah” karya seorang penganut syiah (http://ahmadrettaa.blogspot.com/p/blog-page_5.html). Diantaranya ialah, yang kami kutip:
Ada dua hadis yang sering dijadikan argumen sebagai landasan hukum legalitas shalat tarawih berjamaah di bulan Ramadhan;
1- Ummul Mukmin Aisyah berkata: “Pada satu pertengahan malam, Rasulullah keluar dari rumah untuk melaksanakan shalat di masjid. Beberapa orang mengikuti shalat beliau (sebagai makmum. red). Masyarakatpun mulai berdatangan karena kabar yang tersebar. Hal itu berjalan hingga malam ketiga. Masjidpun menjadi penuh. Pada malam keempat, setelah melaksanakan shalat Subuh Rasul berkhutbah di depan masyarakat dengan sabdanya: “…Aku khawatir perbuatan ini akan menjadi (dianggap) kewajiban sedang kalian tidak dapat melaksanakannya”. Sewaktu Rasulullah meninggal, suasana menjadi sedia kala” (Shahih Bukhari jilid 1 halaman 343)
Menjadikan hadis di atas sebagai dalil akan legalitas shalat tarawih berjamaah sangatlah lemah dan tidak sempurna. Karena di dalam teks hadis tersebut jelas sekali bahwa, tidak ada penjelasan bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan sehingga itu menunjukkan shalat tarawih. Selain karena hadis itu secara sanadnya terdapat pribadi yang bernama Yahya bin Bakir yang dihukumi lemah (dhaif) dalam meriwayatkan hadis. Hal itu bisa dilihat dalam kitab “Tahdzibul Kamal” jilid 20 halaman 40 dan atau Siar A’lam an-Nubala’ jilid 10 halaman 612. apalagi jika kita kaitkan dengan pengakuan sahabat Umar sendiri yang mengaakan bahwa tarawih adalah; “Sebaik-baik bid’ah”, sebagaimana yang telah kita singung di atas”
Pertama mereka mengutip hadis (yang hanya diterjemahkan saja -tanpa teks asli) kemudian menambahkan keterangan” dalam teks hadis tidak ada penjelasan bahwa itu terjadi pada bulan ramadhan”
Mereka melemahkan hadis muttafaqun alaih, dengan berkata terdapat rawi yang lemah dalam hadis shahih bukhari dan muslim. Dibawah ini kami kutipkan hadis yang mereka maksud dalam teks asli, dan terjemahannya, bandingkan dan perhatikah huruf tebalnya.

Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْوَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan." (Muttafaqun ‘alaih)
Kita berlindung kepada Allah dari sifat tidak jujur dan prasangka yang kurang baik terhadap orang-orang shaleh. Akhirnya, mari kita menyambut bulan suci ramadhan ini dengan penuh kegembiraan serta semangat yang memuncak untuk meraih segala keutamaannya. Wallahu a’lam
(Sulfandy/lppimakassar.com)
Baca juga: 

Tambahan bantahan dari Syi'ah :
Mengapa Syiah menghindari Tarawih berjemaah? Apakah Imam Syiah Salat Tarawih? ( artikel syi'ah )

5 komentar:
Xarel X says:
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau..."
pertanyaan saya mana kalimat n kata yang menyatakan rosul dan sahabat sholat berjamaah...?
Kepada Xarel X: bahasa arabnya berbunyi "أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ،" artinya, "manusia mengikuti shalat Rasulullah", kalau ada yang diikuti dan ada yang mengikuti berarti itu namanya berJAMAAH.
Dalam hadis Aisyah di atas, pada malam ketiga para sahabat menanti keluarnya Rasulullah, namun Rasulullah tidak keluar, akhirnya mereka tidak shalat, karena Imam mereka tidak ada di masjid, dan jika ada Imam berarti mereka berJAMAAH.
Dalam riwayat Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Ash-haabus Sunan dikatakan "falam yaqum bina" (beliau tidak shalat malam bersama kami)kemudian dilanjutkan pada teks berikutnya "faqaama bina" artinya Rasulullah menegakkan shalat bersama kami (mengimami kami), kemudian di akhir hadis sahabat bertanya, "Ya Rasulallah lau naffaltana baqiyyata lailatina hadzihi" (Ya Rasulullah alangkah senangnya kami bila pada malam-malam Ramadhan yang masih tersisa engkau sudi mengerjakan shalat kembali bersama kami)dan itu semua artinya mereka berJAMAAH.
Apa pd masa kalifah abu bakar ada shalat tarawih berjamaah di bln Ramadan ??
shalat tarwih di zaman Abu Bakar radhiyallahu anhu ada, dilaksanakan sendiri2.
dan Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam pernah melaksanakannya secara berjamaah, namun hanya tiga malam di bulan Ramadhan karena khawatir shalat tarwih dianggap wajib.


Shalat Tarawih Menurut Syiah

By Ammi Nur Baits
Syiah Menolak Tarawih
Salah satu diantara prinsip syiah dua belas imam yang berkembang di Iran adalah menolak semua ajaran islam yang dilestarikan para sahabat. Karena mereka menganggap para sahabat telah berkhianat dan menyelewengkan syariat. Salah satunya adalah shalat tarawih. Syiah mengklaim, tarawih adalah ajaran Umar yang belum pernah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan karenanya, bagi orang syiah, tarawih adalah bid’ah.



Dalam dialog yang ditayangkan pada video di atas, ada satu orang syiah bertanya: ‘Bukankah bulan Ramadhan itu penuh berkah, mengapa syiah sendiri justru anti-tarawih?’
Selanjutnya salah satu tokoh syiah, Yassir Habib memberikan penjelasan, yang intinya, bahwa jamaah tarawih tidak pernah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dulu para sahabat pernah shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau melarang untuk melaksanakan shalat sunah secara berjamaah. Keterangan ini ada di buku-buku shahih yang dimiliki kelompok mukhalifin (orang yang menyimpang).
Kemudian Yasir juga menegaskan, bahwa yang pertama kali mengadakan jamaah tarawih adalah Umar. Umar mengumpulkan semua orang untuk shalat jamaah di malam hari Ramadhan, di bawah imam Ubay bin Ka’b. Ketika itu ada beberapa orang yang tidak paham mengkritik Umar, “Bid’ah…bid’ah..” kemudian Umar menegaskan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” sebagai bentuk bantahan atas tuduhan yang dilontarkan kepadanya.
Selanjutnya si Yasir mulai mencela Ahlus Sunah,
Anda bisa saksikan kelompok mukhalifin, yang melestarikan shalat sunah yang Umar sendiri telah mengatakan bahwa itu bid’ah. Mereka melaksanakannya, padahal telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka lebih memilih syariat Umar. Mereka memang tidak mengikrarkan bahwa nabi mereka adalah Umar, namun secara praktek, menunjukkan bahwa mereka telah mengklaim nabinya bukan Muhammad tapi Umar. …dst.
Saya anggap cukup mewakili, dan masih ada beberapa celoteh Yasir untuk menganggap sesatnya Ahlus Sunah dan kaum muslimin seluruhnya.
Demikianlah sikap syiah terhadap Ahlus sunah. Kebencian mereka kepada Ahlus Sunah telah mendarah daging hingga masuk ke sumsum tulang mereka. Sehingga untuk menyebut sunni, mereka ganti dengan kelompok mukhalif (kelompok menyimpang).
Karena itu, sungguh aneh ketika ada orang yang punya prinsip, janganlah kita menyesatkan kelompok lain, jangan menyesatkan syiah, dan hormati perbedaan. Prinsip semacam ini justru menjadi bukti bahwa dia tidak memahami perbedaan. Prinsip ini menjadi bukti bahwa dia tidak memahami firqah dan aliran yang menisbahkan diri sebagai aliran islam. Sikap syiah ketika menyesatkan Ahlus sunah, jauh lebih ‘sangar’ dibandingkan sikap ahlus sunah dalam menyesatkan syiah.

Kebencian Syiah Kepada Umar

Salah satu prinsip syiah adalah benci setengah mati kepada Amirul Mukminin Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Saking bencinya  mereka kepada Umar, hingga mereka jadikan kutukan kepada Umar, sebagai bagian dari syahadat syiah. Anda bisa saksikan video berikut,



Jika ada orang awam yang hendak masuk syiah, syarat mutlaknya, dia harus mengutuk Abu Bakr, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Aisyah, dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum. Itulah agama syiah, sejak awal mereka membangun agamanya di atas prinsip kebencian dan permusuhan.

Tidak heran, jika mereka memuji habis Abu Lukluk Al-Majusi, karena dia yang menikam Umar dari belakang ketika shalat subuh. Mereka hiasi kuburan Abu Lukluk, sebagaimana layaknya kuburan wali. Anda bisa saksikan video berikut:



Bahkan ada juga yang sangat mengherankan, saking bencinya mereka kepada Umar, ada salah satu tokoh Syiah, At-Tibrizi ketika di usia 87 tahun, dia pernah mengatakan kepada jamaahnya,

لو أدخلني الله إلى الجنة ووجدت عمر بن الخطاب فيها لطلبت من الله أن يخرجني منها

“Andaikan Allah memasukkanku ke dalam surga, kemudian aku ketemu Umar bin Khattab di surga, niscaya aku akan meminta kepada Allah untuk mengeluarkanku dari surga.” [sumber: http://www.muslm.org/vb/showthread.php?200079]

Jamaah Tarawih sudah ada sejak Zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Selanjutnya, kita kembali kepada permasalahan shalat tarawih. Anda garis bawahi pernyataan tokoh syiah di atas, bahwa tarawi tidak pernah dilakukan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Terdapat sangat banyak dalil yang menunjukkan adanya shalat tarawih berjamaah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setidaknya ada 3 jenis hadis tentang shalat tarawih:

Pertama, persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada praktek sahabat

Di zaman beliau, ada beberapa sahabat yang melaksanakan shalat tarawih di malam Ramadhan secara berjamaah. Dalam hadis dari Tsa’labah bin Abi Malik,

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة في رمضان فرأى ناسا في ناحية المسجد يصلون فقال : ما يصنع هؤلاء ؟ قال قائل : يا رسول الله هؤلاء ناس ليس معهم قرآن وأبي بن كعب يقرأ وهم معه يصلون بصلاته  فقال : ” قد أحسنوا ” أو ” قد أصابوا ” ولم يكره ذلك منهم

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada malam Ramadhan. Beliau melihat ada beberapa orang yang shalat jamaah di salah satu sudut masjid. Beliau bertanya: “Apa yang mereka lakukan?” Salah satu sahabat menjawab, ‘Wahai Rasulullah, mereka sekelompok orang yang belum hafal Alquran. Ketika itu, Ubay bin Ka’b sedang shalat malam. Lalu mereka bergabung menjadi makmumnya Ubay.’ Kemudian beliau berkomentar, “Mereka telah berbuat benar.” dan beliau tidak membencinya.

[HR. Baihaqi, dan beliau mengatakan: Hadis mursal yang hasan. Kemudian dalam jalur lain terdapat riwayat yang maushul (bersambung), dari Abu Hurairah dengan sanad diterima, dan Al-Albani menilai hadis hasan].

Kedua, praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sebagaimana disampaikan oleh An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu,

قمنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة ثلاث وعشرين في شهر رمضان إلى ثلث الليل الأول ثم قمنا معه ليلة خمس وعشرين إلى نصف الليل ثم قام بنا ليلة سبع وعشرين حتى ظننا أن لا ندرك الفلاح

Kami shalat tarawih bulan Ramadhan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam ke-23 hingga sepertiga malam pertama, kemudian kami shalat lagi pada malam ke-25, hingga pertengahan malam, kemudian beliau mengimami kami pada malam ke-27 hingga akhir malam, sampai kami khawatir tidak bisa ngejar sahur.

[HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al-Mushanaf, An-Nasai, Imam Ahmad dalam musnadnya, Al-Firyabi dan dishahihkan oleh Al-Hakim].

Al-Hakim mengatakan setelah menyebutkan hadis ini:

وفيه الدليل الواضح أن صلاة التراويح في مساجد المسلمين سنة مسنونة وقد كان علي بن أبي طالب يحث عمر رضي الله عنهما على إقامة هذه السنة إلى أن أقامها

Hadis ini dalil yang sangat jelas bahwa shalat tarawih yang dilakukan di masjid kaum muslimin adalah sunah yang menjadi kebiasaan masa silam. Ali bin Abi Thalib memotivasi Umar radhiyallahu ‘anhuma untuk melestarikan sunah ini, hingga Umar melaksanakannya. (Al-Mustadrak, 1/607).

Dan masih banyak keterangan sahabat lain yang menyebutkan kisah ini.

Ketiga, penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan Shalat tarawih

Dalam hadis dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat hingga pertengahan malam, sebagian sahabat minta agar beliau memperlama hingga akhir malam. Kemudian beliau menyebutkan keutamaan shalat tarawih berjamaah,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ، فَإِنَّهُ يَعْدِلُ قِيَامَ لَيْلَةٍ

“Barangsiapa yang shalat tarawih berjamaah bersama imam hingga selesai, maka dia mendapat pahala shalat tahajud semalam suntuk.” (HR. Nasai 1605, Ibn Majah 1327 dan dishahihkan Al-Albani).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Melarang Shalat Tarawih Berjamaah?

Itulah klaim Yasir, pemuka agama syiah. Tapi anda tidak perlu heran, karena dia bisa berkata apapun tanpa bukti untuk mendukung pendapatnya.

Yang benar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang jamaah shalat tarawih. Namun beliau tidak keluar shalat jamaah tarawih karena khawatir Allah mewajibkan shalat malam itu. Demikian yang diceritakan Ibunda kaum mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dalam hadis riwayat Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Daud, dan yang lainnya, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan sejarah perjalanan shalat tarawih,

Dulu para sahabat melaksanakan shalat malam Ramadhan di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terpencar-pencar. Ada shalat jamaah 5 orang, ada juga 6 orang shalat jamaah, dan ada yang kurang atau lebih dari itu. Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk meletakkan tikar di dekat pitu rumahku (pintu rumah Aisyah, berada di sebelah kiri masjid, bagian depan). Kemudian setealah isya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam di atas tikar itu setelah menjalankan shalat isya. Para sahabat yang berada di masjid, segera berkumpul dan bermakmum kepada beliau. Setelah berlalu 1/3 malam, beliau usai, dan masuk rumah.

Di pagi harinya, banyak sahabat membicarakan shalat itu, sehingga di malam berikutnya, masjid nabawi penuh orang, menantikan shalat malam berjamaah.

Di malam Ramadhan ke-25, beliau keluar dan mengimami para sahabat dengan jumlah jamaah lebih banyak. Pagi harinya, perbincangan itu semakin tersebar. Hingga di malam 27, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan keluarganya dan melaksanakan shalat malam hingga akhir malam, dengan jamaah sangat banyak.

Di malam berikutnya, beliau tidak keluar rumah. Setelah beliau mengimami shalat isya, beliau masuk rumah, sementara masjid penuh para sahabat, menunggu shalat. Beliaupun bertanya kepadaku: ‘Wahai Aisyah, apa yang terjadi dengan para sahabat?’

‘Wahai Rasulullah, banyak orang mendengar tentang shalat anda kemarin, dan mereka ingin agar anda mengimami mereka.’ Jawab Aisyah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar tikar kemarin digulung. Malam itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap ibadah di rumah, sampai subuh. Beliau keluar untuk mengimami shalat subuh, kemudian berkhutbah,

أيها الناس أما والله ما بت والحمد لله ليلتي هذه غافلا ولكن خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها  فاكلفوا من الأعمال ما تطيقون فإن الله لا يمل حتى تملوا

Wahai sekalian manusia, demi Allah, tadi malam saya tidak sedang lalai (tidak tidur) – walhamdu lillah – namun saya khawatir akan diwajibkan kepada kalian shalat malam ini, sehingga kalian tidak sanggup melakukannya. Lakukanlah amal sunah yang mampu kalian lakukan, karena Allah tidak bosan menerima amal kalian, sampai kalian bosa dalam bersamal. [HR. Bukhari 924, Muslim 761, Abu Daud 1373 dan yang lainnya]

Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri mengatakan,

فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس على ذلك ثم كان الأمر على ذلك في خلافة أبي بكر وصدرا من خلافة عمر

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dan kebiasaan shalat tarawih masyarakat masih seperti itu. Keadaan tersebut tetap berlanjut di masa Khilafah Abu Bakr, dan beberapa waktu di masa khilafah Umar. (HR. Bukahri 2009)

Anda bisa saksikan, adakah larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat untuk shalat malam berjamaah? Itu hanya klaim syiah, untuk memojokkan Amirul Mukminin, Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu.

Yang ada, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi melaksanakan tarawih secara berjamaah, karena kegiatan itu diikuti banyak sahabat, hingga beliau khawatir Allah akan menurunkan wahyu, menetapkan shalat jamaah tarawih sebagai kewajiban bagi kaum muslimin. Dan itu akan sangat memberatkan kaum muslimin.

Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, wahyu tidak lagi turun, sehingga tidak akan ada perubahan hukum dari sunah menjadi wajib. Karena itu, aktivitas kaum muslimin melaksanakan shalat tarawih berjamaah selama sebulan, tidak akan menyebabkan hukum shalat ini menjadi wajib.

Ijtihad Umar

Itulah yang mendasari ijtihad Umar. Wahyu tidak lagi turun, dan tidak akan ada perubahan hukum. Karena itu, Umar menghidupkan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau tinggalkan karena khawatir Allah wajibkan. Ketika kekhawatiran itu sudah tiada, Umar memerintahkan sahabat Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu untuk mengimami para sahabat melaksanakan shalat tarawih.

Yang menakjubkan, ijtihad Umar ini justru didukung 100% oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. sebagaimana yang ditegaskan Imam Al-Hakim dalam Mustadrak,

وقد كان علي بن أبي طالب يحث عمر رضي الله عنهما على إقامة هذه السنة إلى أن أقامها

“Ali bin Abi Thalib memotivasi Umar radhiyallahu ‘anhuma, untuk menghidupkan kembali sunah itu, hingga Umar melaksanakannya.” (Al-Mustadrak, 1/607)

Mengapa di masa Abu Bakr Tidak Diadakan Tarawih Berjamaah?

Sebagian orang mempertanyakan hal ini. Jika alasan Umar mengadakan jamaah shalat tarawih adalah wahyu tidak lagi turun, mengapa di zaman Abu Bakr, jamaah tarawih tidak diadakan?

Pertanyaan semacam ini telah dijawab oleh As-Syathibi dalam kitabnya Al-I’tisham,

وإنما لم يقم ذلك أبو بكر رضي الله عنه لأحد أمرين:
الأول؛ إما لأنه رأى أن قيام الناس آخر الليل ، وما هم به عليه ، كان أفضل عنده من جمعهم على إمام أول الليل . ذكره الطرطوشي

“Jamaah tarawih tidak diadakan di zaman Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, karena dua alasan,

Pertama, karena Abu Bakr berpendapat bahwa apa yang dilakukan para sahabat dengan shalat tahajud di akhir malam, dan mereka shalat sendiri-sendiri atau berjamaah dengan kelompok kecil, itu lebih afdhal menurut Abu Bakr, dari pada mereka dikumpulkan berjamaah di awal malam dengan satu imam. Ini adalah keterangan At-Thurthusyi.

وإما لضيق زمانه رضي الله عنه عن النظر في هذه الفروع ، مع شغله بأهل الردة وغير ذلك مما هو أوكد من صلاة التراويح ، فلما تمهد الإسلام في زمن عمر رضي الله عنه ورأى الناس في المسجد أوزاعاً [ متفرقين ] ، كما جاء في الخبر ، قال : لو جمعت الناس على قارئ واحد لكان أمثل ، فلما تم له ذلك نبه على أن قيامهم آخر الليل أفضل، ثم اتفق السلف على صحة ذلك وإقراره ، والأمة لا تجتمع على ضلالة ، وقد نص الأصوليون أن الإجماع لا يكون إلا عن دليل شرعي..

Alasan kedua, masa kepemimpinan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sangat pendek, sehingga tidak sempat memperhatikan masalah semacam ini. Terlebih beliau disibukkan dengan orang murtad atau kasus lainnya, yang lebih mendesak untuk ditangani dari pada shalat tarawih. Setelah islam jaya di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu, sementara masyarakat shalat malam di masjid dengan terpencar-pencar, sebagaimana yang disebutkan dalam dalil. Umar kemudian mengatakan, ‘Andaikan mereka dikumpulkan dengan satu imam, tentu lebih baik.’ Setelah sunah ini dihidupkan, beliau mengingatkan, pelaksanaan shalat tarawih di akhir malam, itu lebih baik. Kemudian para sahabat  sepakat kebenaran ijtihad itu dan mereka setuju. Sementara kaum muslimin tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Para ahli ushul fiq telah menegaskan bahwa ijma’ (kesepakatan ulama) tidak mungkin ada kecuali berdasarkan dalil syariat.. (Al-I’tisham, 1/142).

Kata Sepakat Umat Islam, Tarawih adalah Sunah

An-Nawawi mengatakan,

صلاة التراويح سنة بإجماع العلماء

“Shalat tarawih adalah sunah berdasarkan sekapat ulama.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3/526).

An-Nawawi juga mengatakan,

قال أبو العباس وأبو إسحق صلاة التراويح جماعة أفضل من الانفراد لإجماع الصحابة وإجماع أهل الأمصار على ذلك

Abul Abbas dan Abu Ishaq mengatakan, ‘Shalat tarawih berjamaah lebih afdhal dari pada sendirian, berdasarkan ijma’ sahabat dan kesepakatan ulama di berbagai daerah. (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 4/32).

Al-Khatib As-Syirbini mengatakan,

وقد اتفقوا على سنيتها ، وعلى أنها المراد من قوله صلى الله عليه وسلم ( من قام رمضان إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر ) رواه البخاري

“Para ulama sepakat adanya sunah shalat tarawih, dan mereka sepakat keutamaan shalat tarawih seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lewat dan yang akan datang.” (Mughni Al-Muhtaj, 1/459).

Dalam berbagai karyanya, para ulama memasukkan masalah mengusap khuf (sepatu) sebagai bagian dari aqidah, meskipun sejatinya hal ini adalah kasus ibadah. Namun mengingat praktek mengusap khuf termasuk syiar ahlus sunah yang membedakan dengan syiah dan khawarij, para ulama mencamtumkannya dalam masalah aqidah.

Tarawih adalah syiar ahlus sunah. Seluruh kaum muslimin sepakat, tarawih adalah sunah – sebagaimana keterangan An-Nawawi dan lainnya -, sementara  syiah menyebut tarawih adalah bid’ah. Karena itu, tidak jauh jika kita masukkan permasalahan ini bagian dari perbedaan karena aqidah. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari tipu daya kelompok syiah. Amin
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Syi'ah dan Shalat Tarawih

Abu Al-Jauzaa'
Salah seorang Syi’ah Raafidlah berkata :
“Bagi Syiah shalat tarawih berjamaah di malam-malam bulan Ramadhan adalah bid’ah. Dalam sejarah yang telah dibuktikan oleh Syiah, Umar bin Khattab lah yang telah menciptakan bid’ah shalat tarawih berjama’ah tersebut. Karena Rasulullah saw sama sekali tidak pernah mengajarkan kita untuk shalat sunah secara berjama’ah”.
[selesai kutipan].
Perkataan yang semisal sudah sangat masyhur di kalangan orang-orang Syii’ah Raafidlah, baik dalam negeri maupun luar negeri[1]. Namun bagi kaum muslimin (Ahlus-Sunnah), perkataan di atas tidaklah ada artinya dan sudah seharusnya diabaikan, karena telah sah beberapa riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang masyru’-nya shalat tarawih berjama’ah di bulan Ramdlaan.
عَنْ عَائِشَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ، قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ، إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ، قَالَ: وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ "
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di masjid pada suatu malam. Lalu shalatlah dengan beliau sekelompok orang, dan orang-orang pun semakin banyak yang ikut shalat bersama beliau. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar shalat bersama mereka. Ketika tiba waktu Shubuh, beliau bersabda : “Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, maka tidaklah menghalangi diriku untuk keluar kecuali karena aku khawatir shalat akan diwajibkan untuk kalian”. Perawi berkata : “Dan yang demikian itu terjadi di bulan Ramadlaan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1129, Muslim no. 761, dan yang lainnya].
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: " صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا، فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ، قَالَ: فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ، قَالَ: فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ، قَالَ: قُلْتُ: وَمَا الْفَلَاحُ؟ قَالَ: السُّحُورُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِقِيَّةَ الشَّهْرِ "
Dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan. Tidaklah beliau shalat tarawih bersama kami hingga tersisa tujuh hari dari bulan tersebut. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada sepertiga malam (yang pertama). Pada saat malam tersisa enam hari lagi, beliau kembali tidak shalat bersama kami. Ketika malam tersisa lima hari lagi, maka beliau shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada waktu tengah malam. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, seandainya kita shalat kembali pada (sisa) malam ini ?”. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk”. Ketika malam tersisa empat hari lagi, beliau tidak shalat bersama kami. Namun ketika malam tinggal tersisa tiga hari, beliau mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya, dan orang-orang yang ada; kemudian shalat bersama kami hingga kami khawatir tertinggal waktu falaah. Aku pernah bertanya : ”Apa makna falaah itu ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam menjawab : ”Waktu sahur”. Kemudian beliau kembali tidak shalat bersama kami pada sisa malam di bulan Ramadlan tersebut [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1375, At-Tirmidziy no. 806 dan ia berkata : ‘Hasan shahih’, An-Nasaa’iy no. 1364 & 1605, Ibnu Maajah no. 1327, dan yang lainnya; shahih].
Kembali ke Syi’ah.....
Kali ini saya akan ajak Pembaca budiman jalan-jalan membaca kitab-kitab Syi’ah yang berkaitan dengan shalat tarawih. Setelah dipilih-pilih, mari kita cek hasilnya :
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى بْنِ عُبَيْدٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ الْبَقْبَاقِ وَ عُبَيْدِ بْنِ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) يَزِيدُ فِي صَلَاتِهِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِذَا صَلَّى الْعَتَمَةَ صَلَّى بَعْدَهَا فَيَقُومُ النَّاسُ خَلْفَهُ فَيَدْخُلُ وَ يَدَعُهُمْ ثُمَّ يَخْرُجُ أَيْضاً فَيَجِيئُونَ وَ يَقُومُونَ خَلْفَهُ فَيَدَعُهُمْ وَ يَدْخُلُ مِرَاراً قَالَ وَ قَالَ لَا تُصَلِّ بَعْدَ الْعَتَمَةِ فِي غَيْرِ شَهْرِ رَمَضَانَ
‘Aliy bin Ibraahiim, dari Muhammad bin ‘Iisaa bin ‘Ubaid, dari Yuunus, dari Abul-‘Abbaas Al-Baqbaaq dan ‘Ubaid bin Zuraarah, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam), ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi menambahkan shalatnya pada bulan Ramadlaan, yaitu apabila beliau shalat ‘atamah (‘isyaa’), beliau melakukan shalat setelahnya. Lalu orang-orang berdiri bermakmum di belakang beliau. Lalu beliau masuk dan membiarkan mereka. Lalu beliau keluar, dan mereka kembali datang dan berdiri makmum di belakang beliau. Lalu beliau membiarkan mereka dan masuk ke rumah beliau beberapa kali. Abu ‘Abdillah berkata : Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wa sallam) bersabda : “Janganlah kalian shalat setelah ‘atamah selain pada bulan Ramadlaan” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Al-Kaafiy, 4/154-155. Al-Majlisiy (16/378) berkata : “Shahih”].
Riwayat ini mirip-mirip dengan riwayat kaum muslimin (Ahlus-Sunnah) yang dibawakan sebelumnya. Tidak ada keterangan tegas dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat orang Syi’ah ini larangan shalat tarawih berjama’ah di bulan Ramadlaan. Kita lanjut…..
وسألته عن قيام شهر رمضان هل يصلح ؟ قال :  لا يصلح إلا بقراءة ، تبدأ فتقرأ فاتحة الكتاب ، ثم تنصت لقراءة الامام ، فإذا أراد الركوع قرأت ( قل هو الله أحد ) وغيرها ، ثم ركعت أنت إذا ركع ، فكبر أنت في ركوعك وسجودك كما تفعل إذا صليت وحدك ، وصلاتك وحدك أفضل
Dan aku (‘Aliy bin Ja’far) pernah bertanya kepadanya (Muusaa bin Ja’far) tentang shalat (taraawih) di bulan Ramadlaan, apakah ia baik ?. Ia menjawab : “Tidak baik, kecuali dengan qira’at. Engkau mulai dengan membaca Al-Faatihah, kemudian engkau diam karena qira’at imam. Jika engkau hendak rukuk, bacalah Qul-huwallaahu ahad dan selainnya. Lalu engkau rukuk. Jika engkau rukuk, bertakbirlah dalam rukukmu dan sujudmu sebagaimana yang engkau lakukan apabila engkau shalat seorang diri. Namun shalatmu seorang diri (munfarid) lebih utama” [Masaail ‘Aliy bin Ja’far yang tercetak dalam Al-Bihaar, hal. 253 – baca sumbernya di : http://www.al-shia.org/html/ara/books/lib-hadis/behar85/109.htm].
Konteks shalat yang ditanyakan adalah shalat tarawih. Muusaa bin Ja’far atau Muusaa Al-Kaadhim (imam Syi’ah ke-7) membolehkan shalat taraawih berjama’ah, hanya saja ia berpendapat bahwa afdlal-nya shalat sendirian.
 احمد بن محمد عن علي بن الحكم عن ابان عن عبدالرحمن بن ابي عبدالله عن ابي عبدالله عليه السلام قال: صل بأهلك في رمضان الفريضة والنافلة فاني أفعله
Ahmad bin Muhammad, dari ‘Aliy bin Al-Hakam, dari Abaan, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi ‘Abdillah, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Shalatlah (berjama’ah) bersama keluargamu di bulan Ramadlan, baik shalat wajib maupun sunnah, karena aku melakukannya” [At-Tahdziib, 3/267-268 no. 762 – lihat sumbernya di sini. Katanya, riwayat ini shahih[2]].
Abu ‘Abdillah ternyata menyuruh shalat wajib dan sunnat secara berjama’ah di bulan Ramadlan, karena ia sendiri melakukannya. Shalat sunnah apa lagi yang masyhur dilakukan khusus bulan Ramadlaan selain shalat taraawih ?.
Melihat tiga riwayat di atas – bahkan jumlahnya lebih banyak lagi - , kita menjadi bertanya-tanya, apakah para imam Syi’ah yang membolehkan shalat tarawih mengikuti jejak ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu ?. Jika benar, lalu para ulama Syi’ah dan pengikutnya itu mengikuti siapa ?. ‘Abdullah bin Saba’ ?. Apakah ulama Syi’ah dan pengikutnya itu tidak membaca riwayat-riwayat di atas ? Entahlah…..
Semoga informasi ini ada manfaatnya.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ - perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 23081434/02072013 – 23:07].
[1] Terutama sekali karena kebencian mereka terhadap ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Segala sesuatu yang ‘berbau’ ‘Umar, mereka hindari dan buang.
Perlu diperhatikan :
Dalam referensi kaum muslimin (Ahlus-Sunnah) disebutkan adanya perbedaan pendapat mana yang lebih afdlal masyru’-nya shalat taraawih di rumah dan di masjid, atau perbedaan pendapat hukum shalat taraawih berjama’ah. Syi’ah sering mendompleng perbedaan pendapat ini untuk membela pendapatnya, terutama dalam menyalahkan ‘Umar yang dikatakan membuat-buat syari’at shalat tarawih berjama’ah.
Meskipun kaum muslimin berbeda pendapat dalam masalah yang disebutkan, namun mereka tidak pernah mendiskreditkan ‘Umar dan mengatakan ia lah yang membuat-buat syari’at shalat tarawih berjama’ah. Perbedaan pendapat mereka hanyalah dari sisi pandang pengambilan hukum dari perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang pernah shalat tarawih berjama’ah (di masjid) bersama manusia, lalu beliau hentikan, dan kemudian dihidupkan kembali oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu di jaman kekhalifahannya. Adapun Syi’ah Raafidlah, mereka menganggap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya dan ‘Umar lah yang membuat-buat ibadah tersebut – selain karena memang resistensi mereka terhadap ‘Umar sebagaimana telah dimaklumi.
[2]Dalam kitab Al-Hadaaiqun-Naadlirah karya Yuusuf Al-Bahraaniy 11/84 disebutkan pentashhihan riwayat tersebut sebagai berikut :
ما رواه الشيخ في الصحيح عن عبد الرحمان بن ابى عبد الله عن ابى عبد الله (عليه السلام) (3) انه قال له: " صل باهلك في رمضان الفريضة والنافلة فانى افعله " وفى الصحيح عن هشام بن سالم
“Apa yang diriwayatkan Asy-Syaikh dalam Ash-Shahiih dari ‘Abdurrahmaan bin Abi ‘Abdillah…..dst.”.
Sumber : sini.

Mufti Mesir: Hukum Shalat Taraweh Adalah 
Sunnah Muakkadah

Dr. Shawki Allam

Mufti besar Republik Mesir, Dr. Shawki Allam, mengingatkan umat Islam di seluruh dunia bahwa hukum shalat taraweh di malam bulan suci Ramadhan adalah sunnah muakkadah.
Pernyataan ini dilontarkan Dr. Shawki Allam menjawab pertanyaan mengenai hukum shalat taraweh yang kini mulai dilupakan oleh sebagian orang.
“Shalat Taraweh adalah sunnah muakkadah yang selalu dilakukan rasulullah dan meminta umat Islam setelahnya untuk melakukannya. Dan sudah semestinya bagi setiap Muslim untuk mencintai salah satu sunnah rasul ini,” ujar Dr. Shawki Allam dalam video yang diterbitkan Dar Ifta Mesir.
Dr. Shawki Allam melanjutkan, “Shalat Sunnai ini telah dilakukan sejak zaman Rasulullah hingga saat ini. Terlebih ada hadits nabi yang berbunyi ( من قام رمضان إيمانًا واحتسابًا غُفر له ما تقدم من ذنبه )
Menurutnya, sudah menjadi suatu keharusan bagi seorang Muslim untuk menunaikan ibadah shalat yang dilakukan sekali dalam setahun, yaitu di bulan suci Ramadhan. (Shorouk/Ram)

“Barangsiapa yang melaksanakan sholat malam (di bulan Ramadhan) bersama imam sampai selesai, maka dia dicatat telah menegakkan sholat satu malam penuh”. (HR. Ahmad, dishohihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam Irwaul Gholil:447)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai. HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkan hadits ini. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
cukup jelas ?