Pejabat Parlemen Iran
Ancam Jadikan Suriah Lahan Kuburan Tentara Turki
Wakil Komite
Kebijakan Keamanan dan Luar Negeri Iran, ,
mengancam akan menjadikan Suriah sebagai lahan kuburan bagi pasukan militer
Turki, jika Presiden Recep Tayyip Erdogan berani menggelar operasi militer di
negara tersebut.
Ancaman ini diutarakan Manshur Bur dalam wawancaranya dengan
saluran televise Parlemen Iran “ICANA” pada hari Kamis (09/07) kemarin.
Dalam wawancaranya, Manshur Bur mengatakan, “Setiap intervensi
militer Turki di Suriah akan menjadi kesalahan besar pemerintah Erdogan.” Dan
menekankan “Kami akan menjadikan wilayah Suriah sebagai kuburan besar tentara
Turki.”
“Setiap intervensi militer di Suriah oleh Ankara akan keputusan
gila mereka,” ujar Mashur Bur.
Sementara itu menanggapi pendirian zona peyangga di dalam
wilayah Suriah oleh Turki, Mashur Bur mengatakan bahwa ini akan menjadi
kesalahan terbesar pemerintah yang mengatakan bahwa mereka
adalah neo-Ottoman Turki. (Rassd/Ram)
Pengkhiatan
Syiah di balik runtuhnya kekhilafahan Islam (Utsmaniyah)
Oleh: Artawijaya*
Jejak kelam Syiah
dalam sejarah runtuhnya kekhilafahan Islam menjadi pelajaran penting, bahwa
mereka adalah para pengkhianat yang menikam kaum muslimin dan meruntuhkan
kekuasaan Islam.
Baghdad baru saja
ditaklukkan oleh pasukan Tartar. Pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan
situs-situs peradaban Islam diluluhlantakkan. Pasukan yang dipimpin oleh Hulagu
Khan dari ras Mongolia itu berhasil menaklukkan salah satu kota yang menjadi
simbol gemilangnya peradaban Islam pada 656 Hijriyah. Sejarah menceritakan,
sungai di Baghdad yang jernih berubah pekat menghitam akibat ribuan, bahkan
jutaan buku yang ditenggelamkan. Sebagian lagi terbakar oleh keganasan invasi
pasukan kafir tersebut. Takluknya Baghdad menandai runtuhnya imperium Khilafah
Abbasiyah yang dikenal sebagai salah satu pusat peradan Islam.
Mengenai keruntuhan Baghdad dan penyerangan pasukan Tartar,
sejarawan Dr. Raghib As-Sirjani menceritakan kisah ini dalam bukunya “Qishah At-Tatar min Al-Bidayah ila ‘Ain Jalut” (hlm. 129-170).
Sedangkan sejarawan lainnya, Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi menceritakan dengan
apik dalam bukunya “Al-Moghul Baina
Al-Intisyar wa Al-Inkisyar” (hlm.310-312). Kedua sejarawan tersebut sangat mumpuni dalam bidangnya,
karena disamping sebagai sejarawan (mu’arrikh), mereka juga ahli hadits (muhaddits), yang bisa memilah mana kisah-kisah palsu dan mana yang
mu’tabar.
Kejatuhan Daulah
Abbasiyah ke tangan pasukan Tartar tak lepas dari pengkhianatan tokoh Syiah
Rafidhah bernama Alauddin Ibnu Alqami. Dalam keterangan lain, kejatuhan Baghdad
karena adanya konspirasi antara pasukan Tartar dan kelompok Syiah Qaramithah
yang mempunyai hasrat menjatuhkan pemerintahan Daulah Abbasiyah, kemudian
menggantikannya dengan Daulah Fathimiyah.
Ia diangkat sebagai perdana menteri oleh Khalifah Al-Mu’tashim
Billah. Namun Ibnu Alqani memendam hasrat untuk merampas kekhilafahan Abbasiyah
agar jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Ibnu Alqani berkorespondensi dengan
pimpinan bangsa Tartar dan mendukung pasukan kafir tersebut masuk dan menyerang
kota Baghdad. Ibnu Katsir menceritakan, “Ibnu Alqani menulis surat kepada
pasukan Tartar yang intinya mendukung mereka menguasai Baghdad dan siap
melicinkan jalan bagi mereka (Tartar). Ia membeberkan kepada mereka kondisi
terakhir Khilafah Abbasiyah, termasuk kelemahan pasukan Al-Mu’tashim. Itu semua
tiada lain karena pada tahun tersebut ia ingin melihat Khalifah Abbasiyah,
Al-Mu’tashim, tumbang, dan bid’ah aliran sesat Syiah Rafidhah berkembang pesat.
Khalifah diambil oleh Dinasti Fathimiyah, para ulama dan mufti sunnah musnah.”
(Lihat: Al-Bidayah wa
An-Nihayah,
XIII/202)
Baghdad berhasil
takluk. Khalifah Al-Mu’tashim Billah wafat terbunuh pada 14 Shafar 656 H/1258
M. Pembunuhan Al-Mu’tashim tak lepas dari pengkhianatan Ibnu Alqani dan
Nashiruddin Ath-Thusi, yang menjalin hubungan dengan Hulagu Khan. Pengkhianatan
itu mengakibatkan banyaknya ulama yang terbunuh, sekolah-sekolah dan masjid
yang hancur, perpustakaan sebagai gudang ilmu luluhlantak, dan kekejaman
lainnya yang luar biasa. Baghdad yang indah dan megah bersimbah darah. Kaum
muslimin ketika itu berduka. Pusat peradaban Islam yang gemilang, tinggal
kenangan.
Setelah berhasil
menaklukkan Baghdad, pada 22 Shafar 657 Hijriyah pasukan Tartar yang dipimpin
oleh Hulagu Khan kemudian bergerak menuju Syam, wilayah yang menjadi pusat
kekuasaan Islam pada masa itu. Mereka melakukan invasi dengan menyeberangi
sungai Furat dan mengepung pintu masuk Syam selama tujuh hari. Pengepungan
berhasil, bangsa Tartar kemudian masuk menyerbu kota. Sejarawan Ali Muhammad
Ash-Shalabi mengatakan, Aleppo (halb) adalah kota pertama yang menjadi tujuan
penaklukan Hulagu dan pasukannya, yang ketika itu dipimpin oleh Al-Malik
Al-Mu’zham Tauran Syah, wakil dari Malik An-Nashir. Sebelum memasuki Aleppo,
sebagaimana kebiasaan Hulagu, ia memberi peringatan penguasa agar tunduk dan
menyerah. Namun, peringatan Hulagu Khan ditanggapi oleh Al-Malik Al-Mu’zham
Tauran Syah dengan mengatakan, “Tidak ada yang pantas bagi kalian dari kami, kecuali
pedang…!”
Hulagu Khan kemudian
mengirim panglimanya yang bernama Katabgha untuk menaklukkan kota Damaskus pada
akhir bulan Rajab, tahun 658 Hijriyah. Penaklukan berlangsung tanpa perlawanan,
hingga akhirnya Damaskus yang merupakan kota terbesar di Suriah selain Aleppo,
berhasil tunduk pada kekuasaan Tartar.
Negeri Syam yang
dikenal sebagai tanah yang berkah, saat itu terkotori dengan ulah pasukan
Tartar. Kemenangan pasukan Tartar kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang
Nashrani untuk mendekati Hulagu Khan. Mereka membujuknya agar Hulagu membiarkan
umat Nashrani menyiarkan agamanya. Setelah mendapat persetujuan, umat Nashrani
berkeliling kota mengangkat salib-salib mereka di atas kepala, sambil berteriak
mengatakan, “Agama yang benar adalah agama Al-Masih..”. Mereka mengarak
salib-salib besar mereka keliling kota, kemudian memaksa para penduduk untuk
berdiri menghormati salib tersebut. Tartar ketika itu mengangkat seorang
pemimpin di Damaskus yang bernama Ibil Siyan, pemimpin yang dikenal sangat
melindungi kaum Nashrani.
Kota Damaskus dan Aleppo berhasil ditaklukkan. Kota yang
bersejarah dan menyimpan peradaban Islam itu harus menyerah pada kekuatan
pasukan Tartar. Jika Baghdad berhasil ditaklukkan oleh bangsa Tartar karena
pengkhianatan Syiah Rafidhah, maka diantara faktor yang melemahkan semangat
jihad umat Islam di negeri Syam saat itu adalah pengkhianatan kelompok Syiah
Nushairiyah. Melalui para pemimpinnya, mereka berusaha merapat pada Hulagu
Khan, dengan iming-iming yang ditawarkan pada pimpinan pasukan Tartar itu
berupa harta milik kaum Muslimin yang berhasil dilumpuhkan. Diantara pemimpin
Syiah yang berkhianat terhadap umat Islam adalah Syaikh Al-Fahr Muhammad bin
Yusuf bin Muhammad Al-Kanji. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menceritakan hal ini
dalam buku monumentalnya, Al-Bidayah wa An-Nihayah, dengan menulis, “Ia adalah tokoh Syiah yang telah membujuk
bangsa Tartar dengan harta kaum Muslimin. Ia sosok berhati busuk,
orientalistik, dan meminta bantuan mereka (Tartar) dengan harta kaum muslimin…”
Dr. Imad Ali Abdus Sami Husain dalam bukunya “Khianaat Asy-Syiah wa Atsaruha fi Hazaimi Al-Ummah
Al-Islamiyah” menceritakan bahwa ketika pasukan Tartar masuk ke kota Aleppo
pada 658 Hijriyah, merampas dan mencuri harta dan tanah kaum muslimin di kota
itu, pimpinan Syiah yang bernama Zainuddin Al-Hafizhi justru mengagung-agungkan
Hulagu Khan dan meminta kepada umat Islam untuk tunduk menyerah dan tidak
mengobarkan api perlawanan terhadap pasukan penjajah tersebut
Padahal Ketika itu,
Raja An-Nashir yang berasal dari kalangan sunni sudah berkirim surat kepada
Raja Al-Mughits di Kurk dan Al-Muzhaffar Qutuz di Mesir untuk mengirimkan bala
bantuan kepada kaum muslimin di Aleppo. Namun sayang, kondisi mereka yang
ketika itu juga dalam keadaan lemah, tidak mampu memenuhi permintaan Raja
An-Nashir.
Sikap pemimpin Syiah Nushairiyah, Zainuddin Al-Hafizhi, memantik
kemarahan Malik Az-Zhahir Ruknuddin Baybars Al-Bunduqdari. Ia begitu marah
kepada pemimpin Syiah itu, kemudian memukulnya sambil mengatakan, “Kalianlah
penyebab kehancuran kaum Muslimin!” Baybars adalah tokoh pejuang Muslim asal
Kazakhstan yang kemudian berjihad melawan bangsa Tartar dan kaum Kristen, dan
wafat di Damaskus. Namanya begitu dikenal sebagai pahlawan Islam yang cukup
ditakuti dan disegani musuh. (Mausu’ah At-Tarikh Al-Islamiy: Al-Ashr Al-Muluki, Amman: Dar Usamah li
An-Nasyr, 2003, hlm. 24-36)
Seorang ulama bernama Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdul
Salam bin Taimiyah Al-Harrani atau biasa disebut Syaikh Ibnu Taimiyah, yang
berjuluk hujjatul Islam, termasuk orang yang
berjuang melawan pasukan Tartar. Ia juga mengetahui bagaimana kelompok Syiah
Nushairiyah berkhianat terhadap kaum muslimin. Karenanya, Ibnu Taimiyah yang
tahu persis bagaimana sepak terjang kelompok Syiah ekstrem ini, menyatakan bahwa
mereka adalah kaum kafir dan non muslim yang harus diperangi. Ketika
orang-orang Tartar mengepung kota Damaskus, Ibnu Taimiyah dengan lantang
mengatakan,”Jangan kalian serahkan benteng ini, meskipun tinggal satu batu bata
saja, karena benteng ini adalah untuk kepentingan kaum muslimin. Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla telah menjaga benteng
ini untuk kaum muslimin, sebagai perisai bagi penduduk Syam yang menjadi pusat
iman dan sunnah, sampai Isa Ibnu Maryam Alaihissalam turun di sana.”
Dalam buku Tarikh Al-Alawiyyin yang ditulis penganut
Syiah Nushairiyah, Muhammad Amin Ghalib Ath-Thawil dijelaskan bahwa sikap
kooperatif mereka dengan bangsa Tartar adalah bagian dari siasat untuk
mengembalikan kekuasaan mereka, yang menurutnya telah dirampas oleh kaum Sunni.
Tarikh Al-Alawiyyin juga menjelaskan
bagaimana kerjasama tokoh Syiah di Aleppo, Thamur Thusi, yang bekerjasama
dengan Timur Lenk untuk menguasai kota tersebut. Timur Lenk membunuh kaum
muslimin sunni dan membiarkan mereka yang menjadi pengikut Alawiyah. Timur Lenk
adalah penganut Syiah Rafidhah yang wafat pada 808 Hijriyah. Anak keturunannya
pun mengikuti jejak keyakinan Timur Lenk sebagai penganut ajaran Syiah.
Karenanya, di setiap wilayah kekuasannya, Syiah banyak terlibat dalam
pemerintahan, termasuk di negeri Persia (Iran). (Lihat: Tarikh Alawiyyin, hlm. 407)
Negeri Syam, termasuk
wilayah Damaskus, berhasil kembali ke tangan kaum muslimin, setelah pasukan
Syaifuddin Quthuz dan panglima Malik Azh-Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari
berhasil mengalahkan pasukan Tartar dalam Perang Ain Jalut, sebuah wilayah di Palestina.
Perang yang berlangsung pada 25 Ramadhan 659 H/September 1260 M itu berhasil
memukul mundul pasukan Tartar dan membuat mereka lari tunggang langgang
menyebar ke beberapa wilayah. Pasukan yang dipimpin oleh Syaifuddin Quthuz dan
panglima Baibars, berhasil membunuh seorang pemimpin dari sekte Syiah Rafidhah
di Damaskus, karena keberpihakan tokoh tersebut kepada pasukan Tartar dalam
merampas dan menjarah harta kaum muslimin. Dengan kemenangan di Perang Ain
Jalut ini, Syaifuddin Quthuz yang berasal dari Kerajaan Mamalik Bahriyah
(kerajaan wilayah maritim yang dibangun oleh para budak) kemudian menggabungkan
negeri Syam dengan Mesir, sehingga kekuasaannya semakin luas.
Ada yang menarik dalam buku “Al-Maushu’ah Al-Muyassarah fi At-Tarikh Al-Islamiy”. Tim Riset dan Studi
Islam sebagai penyusun buku itu, membuat sub bab berjudul “Baybars dan Sekte Bathiniyah”. Buku yang diberi
kata pengantar oleh ahli sejarah dari Mesir, Dr. Raghib As-Sirjani ini menulis,
“Baibars berhasil menundukkan Sekte Bathiniyah, cabang dari Sekte Ismailiyah di
Syam. Orang-orang Eropa menyebut sekte ini Al-Hasyasyin. Sebelumnya mereka adalah
ancaman bagi raja-raja Mesir, sejak masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi.”
(Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid I (terj),
Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013, hlm.478)
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pada masa lalu, Syiah
Rafidhah, baik itu Sekte Ismailiyah, Nushairiyah, Qaramithah, dan Syiah ekstrem
lainnya telah melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam di Syam. Sejarah juga
mencatat, mereka kemudian diperangi oleh para pemimpin Islam. Sultan
Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai penakluk Baitul Maqdis, semasa
berkuasa terus berusaha mengikis habis pengaruh Syiah Rafidhah, baik pengaruh
dari buku-buku, maupun pengaruh dari para pemimpin mereka. Sultan Shalahuddin
Al-Ayyubi berusaha memerangi kelompok Syiah Rafidhah yang bercokol di Mesir,
Yaman, dan Syam. (Lihat: Dr. Ali Muhamamd Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi wa juhduhu fi Al-Qadha Ad-Daulah
Al-Fathimiyah wa Tahrir Bait Al-Muqaddas, Mesir: Daar Ibnu
Al-Jauzi, 2007, hlm. 257-258
Pengkhianatan
Selanjutnya
Ketika Daulah Utsmaniyah berusaha menguasai Syam dan merebutnya
dari penjajahan bangsa Eropa; Perancis dan Inggris, pengkhianatan kelompok
Syiah Nushairiyah juga terus berlangsung. Jumlah mereka yang minoritas, selalu
menyimpan ketakutan akan sikap diskriminasi kelompok Sunni yang menjadi warga
mayoritas di Syam. Karenanya, Tokoh Syiah Nushairiyah Shaleh Al-Alawi bahkan
menjalin hubungan dan menandatangani nota kesepahaman dengan tokoh sekular
Yahudi Dunamah Turki, Mustafa Kamal Attaturk pada tahun 1920. Nota
kesepahamaman ini tentu saja bertujuan membendung pengaruh imperium Utsmani di
Syam, khususnya di wilayah Suriah yang juga menjadi musuh kaum sekularis
seperti Attaturk. Karenanya, Attaturk dengan organisasinya Ittihad wa At-Taraqi (Partai Persatuan dan
Kemajuan) berhasil menumbangkan Khilafah Utsmaniyah pada 1924.
Kelompok Syiah
Nushairiyah tentu mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan entitasnya jika
Daulah Utsmaniyah tetap bercokol di Syam. Mereka khawatir, Daulah Utsmaniyah
yang Sunni akan memposisikan mereka secara diskriminatif. Kekhawaturan inilah
yang kemudian terus terpelihara sehingga mereka merasa perlu melakukan berbagai
pengkhianatan terhadap umat Islam dengan berkolaborasi pada musuh-musuhnya.
Padahal sesungguhnya sikap khianat mereka adalah ambisi untuk merebut kekuasaan
sehingga terbentuk rezim Syiah. Belakangan terbukti, rezim Syiah Nushairiyah
yang minoritas, justru melakukan berbagai aksi diskriminasi dan kekejaman
terhadap kaum muslimin di Suriah.
Sebuah dokumen luar
negeri Perancis, Nomor 3547 tertanggal 15 Juni 1936 melansir adanya surat dari
tokoh-tokoh Alawiyah/Nushairiyah kepada pemerintah Perancis, yang diantaranya
ditandatangani oleh Sulaiman Al-Asad, kakek dari Hafizh Asad. Surat tersebut
berisi permohonan agar Perancis tetap bersedia berada di wilayah Suriah, karena
mereka khawatir, jika Perancis hengkang, keberadaan mereka terancam. Surat
tersebut berbunyi:
“Presiden
Perancis yang terhormat,
Sesungguhnya
bangsa Alawiyah yang mempertahankan kemerdekaannya dari tahun ke tahun dengan
penuh semangat dan pengorbanan banyak nyawa. Mereka adalah masyarakat yang
berbeda dengan masyarakat Muslim (Sunni), dalam hal keyakinan beragama, adat
istiadat, dan sejarahnya. Mereka tidak pernah tunduk pada penguasa dalam
negeri.
Sekarang
kami lihat bagaimana penduduk Damaskus memaksa warga Yahudi yang tinggal
bersama mereka untuk tidak mengirim bahan pangan kepada saudara-saudara mereka
kaum Yahudi yang tertimpa bencana di Palestina! Kaum Yahudi yang baik, yang
datang ke negeri Arab yang Muslim dengan membawa peradaban dan perdamaian,
serta menebarkan emas dan kesejahteraan di negeri Palestina, tanpa menyakiti
seorang pun, tak pernah mengambil sesuatupun dengan paksa. Namun demikian, kaum
muslimin menyerukan “Perang Suci” untuk melawan mereka, meskipun ada Inggris di
Palestina dan Perancis di Suriah.
Kita
menghargai kemuliaan bangsa yang membawa kalian membela rakyat Suriah dan
keinginannya untuk merealisasikan kemerdekaannya. Akan tetapi Suriah masih jauh
dari tujuan yang mulia. Ia masih tunduk pada ruh feodalisme agama terhadap kaum
muslimin.
Kami sebagai rakyat Alawiyah yang diwakili
oleh orang-orang yang bertandatangan di surat ini berharap, pemerintah Perancis
bisa menjamin kebebasan dan kemerdekaannya, dan menyerahkan nasib dan masa
depannya kepadanya (Alawiyah, pen). Kami yakin bahwa harapan kami pasti
mendapaykan dukungan yang kuat dari mereka untuk rakyat Alawiyah, teman yang
telah memberikan pelayanan besar untuk Perancis.”
Demikian surat yang ditulis oleh tokoh-tokoh Syiah Nushairiyah,
yang membujuk Perancis untuk tetap menjamin dan mendukung keberadaan mereka.
Surat tersebut ditandatangani oleh Sulaiman Asad (kakek Hafizh Asad), Muhammad
Sulaiman Ahmad, Mahmud Agha Hadid, Aziz Agha Hawwasy, Sulaiman Mursyid, dan
Muhammad Beik Junaid. (Lihat:Syaikh Abu Mus’ab As-Suri, Rezim Nushairiyah: Sejarah, Aqidah dan Kekejaman Terhadap
Ahlu Sunnah di Syiria (terj), Solo: Jazeera, 2013, hlm. 65-66)
Pada saat ini, keberadaan rezim Syiah Nushairiyah di Suriah
mendapat dukungan yang kuat dari kelompok Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah
Imamiyah di Libanon dan Iran. Mereka mempunyai kesamaan ajaran, ideologi,
bahkan cita-cita, untuk mewujudkan dendam mereka merebut kekuasaan dari
kelompok Sunni. Mereka yang hidup minoritas di Suriah, kemudian berkolaborasi
dengan bantuan Syiah di Libanon, melalui kelompok militer Hizbullah yang
dipimpin oleh Hasan Nashrullah, untuk bertahan dan survive, serta mengamankan
kekuasaan mereka yang direpresentasikan dalam kekuasaan Rezim Bashar Al-Asad.
Dimanapun, kelompok minoritas akan selalu waspada, struggle, dan berjuang habis-habisan untuk mengamankan eksistensinya.
Bahkan, dalam kasus Suriah saat ini, mereka berusaha mengamankan kekuasaan yang
sudah sejak tahun 70-an mereka pegang. Mereka khawatir, jika umat Islam
berkuasa, maka keberadaan mereka akan terusik. Padahal, mereka sesungguhnya
adalah pengkhianat yang tak bisa hidup berdampingan dengan kaum muslimin,
selama akidah mereka melecehkan para sahabat, dan mengganggap Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu Anhu sebagai tuhan atau
menyatu dengan Tuhan.
Untuk mempertahankan
keberadaanya, Syiah Nushairiyah sampai hari ini tak segan-segan untuk
berkhianat, bahkan berkolaborasi dengan musuh-musuh Islam sekalipun. Sebagai
kelompok minoritas di Suriah, mereka menerapkan prinsip, “Sebaik-baik
pertahanan adalah menyerang!”
*Editor Pustaka
Al-Kautsar dan Dosen STID Mohammad Natsir Jakarta
(samirmusa/arrahmah.com)