Kamis, 18 Rabiul Awwal
1436 H / 8 Januari 2015
Prof. Dr.
Kamaluddin Nurdin Marjuni
Associate Professor of Islamic Philosophy
Head of Programme Da’wah and Islamic Management
Univeristi Sains Islam Malaysia
Goresan tulisan ini terdorong setelah membaca dan meneliti lembaran-lembaran
beberapa naskah al-Qur’an yang dicetak dan dibaca oleh pemeluk syi’ah di Iran,
Iraq dan Lebanon. Ada dua hal yang akan dijawab dalam tulisan ini iaitu
pertanyaan:
1) Apakah Syi’ah memiliki al-Qur’an sendiri yang berbeda
dengan al-Qur’an yang dibaca oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah?
2) Sejauh mana pandangan ulama syi’ah terhadap al-Qur’an
Mushaf Utsmani?
Kepercayaan kepada kitab-kitab merupakan rukun iman yang
ketiga. Kesemua ajaran agama disampaikan oleh malaikat dan dicatatkan di dalam
kitab-kitab dan suhuf. Dan jumlah kitab-kitab suci tidak diketahui secara pasti
berapa jumlahnya. Namun sekalipun tidak diketahui secara pasti jumlah
kitab-kitab tersebut, yang jelas setiap rasul dibekalkan dengan kitab suci
masing-masing.
Silang pendapat antara sunnah dan syi’ah pada masalah ini
sangat tajam. Sunnah meyakini bahwa dalam agama Islam kitab yang diturunkan
Allah swt kepada ummat Islam adalah al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw, dan pendapat ini disetujui oleh syi’ah. Atau dengan kata lain, sunnah dan
syi’ah sepakat dan sekata bahwa pedoman ajaran agama Islam adalah kitab
al-Qur’an yang dibekalkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad saw.
Namun, perselisihan tajam terjadi ketika kalangan syi’ah
berasumsi bahwa al-Qur`an yang dipegang oleh sunni, yaitu (Mushaf Utsmani)
tidak originil alias palsu, sebab telah mengalami perubahan yang berupa
penambahan dan pengurangan. Hal ini dijelaskan oleh ulama hadits terkemuka
syi’ah Imamiyah, yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini: ”dari Abu
Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata:”Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa
oleh Jibril kepada Muhammad memiliki 17.000 ayat“[1].
Pada tempat lain disebutkan juga teks berikut:
عَنْ
أَبِي بَصِيْر، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى أَبِي عَبْدِ اللهِ … : “وَإِنَّ عِنْدَنَا
لَمُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَم، قُلْتُ (أَيْ قَوْلُ الرَّاوِي): وَمَا
مُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَمْ؟ قَالَ: مُصْحَفٌ فِيْهِ مِثْلُ
قرْآنِكُمْ هَذَا ثَلاَثُ مَرَّاتٍ مَا فِيْهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ”.
Dari Abi Bashir, ia berkata, Abu Abdillah berkata:
“Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah, Abu Bashir bertanya: apakah
Mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ”yaitu Mushaf yang 3 kali
lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari
al- Qur’an kalian”[2]. Oleh karena itu, Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi menegaskan
bahwa al-Qur’an yang dimiliki oleh ahlu sunnah telah mengalami perubahan besar
dan mengalami banyak penyimpangan dan penyelewengan[3].
Bahkan
dalam riwayat lain disebutkan dalam kitab “Biharul Anwar”:
“مُصْحَفُ فَاطِمَة
عَلَيْهَا السَّلاَم مَا فِيْهِ شَيْءٌ مِنْ كِتَابِ اللهِ، وَإِنَّمَا هُوَ
شَيْءٌ أُلْقِي عَلَيْهَا”
“Sesungguhnya
isi kandungan Mushaf Fathimah adalah wahyu dari Allah yang langsung disampaikan
kepadanya (Fathimah) ”[4].
Kesemua
teks-teks riwayat di atas tidak memerlukan penjelasan lebih dalam dan rinci,
sebab sudah sangat jelas maksudnya, bahwa terdapat mushaf yang diturunkan
khusus untuk Fathimah.
Dalam
kitab “Dalaai`l al-Imamah” terdapat riwayat yang menggambarkan isi dan
kandungan daripada mushaf Fathimah, di antaranya adalah hal-hal ghaib. Seperti
pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa apa yang sudah terjadi dan akan terjadi
sampai hari kiamat kelak, bilangan jumlah malaikat, siapa saja utusan Allah,
nama-nama para Imam syi’ah (dua belas imam), sifat-sifat penghuni surga dan
neraka, jumlah orang yang akan berjaya masuk di dalam surga dan neraka, serta
banyak lagi hal-hal lain[5].
Riwayat
seperti ini sangat banyak ditemui dalam kitab-kitab syi’ah yang masuk dalam
katagori autentik “al-Mu’tabarah”, seperti: “Bashaa`ir ad-Darajaat” karangan
Ibnu al-Farruukh as-Shaffar, “Amaali as-Sudduuq”, karangan Ibnu Babwaih
al-Qummi dll.
Tentunya ilustrasi-ilustrasi ghaib yang tersebut dalam kitab-kitab di atas
adalah sesuatu yang tidak masuk logika. Sebab Nabi Muhammad sendiri tidak mampu
bercerita kepada ummatnya tentang hal-hal demikian, sebagaimana yang
diungkapkan dalam firman Allah swt;
(قُل لاَّ أَقُولُ
لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ
إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي
الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ) –الأنعام:50-
“Katakanlah:
Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa
aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan
kepadaku. Katakanlah:”Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat”.
Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)”. (Q.S. al-An’aam: 50).
Di samping
itu, syi’ah Imamiyah berasumsi bahwa masing-masing kedua belas imam mendapatkan
suhuf (lembaran-lembaran) tersendiri[6], sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab
“Ikmaal ad-Din”:
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ: “إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْزَلَ عَلَى اثْنَى عَشَرَ
خَاتِمًا، وَاِثْنَى عَشَرَ صَحِيْفَةً، اِسْمُ كُلَّ إِمَامٍ عَلَى خَاتِمِهِ،
وَصِفَتِهِ فِي صَحِيْفَتِهِ”
“Sesungguhnya
Allah swt menurunkan (membagikan) cincin kepada dua belas imam, dan bagi
tiap-tiap imam dua belas diberikan lembaran masing-masing, dan pada setiap
cincin tersebut tertulis nama imam, sedangkan sifatnya tersebut dalam lembaran”[7].
Dengan
demikian, pada dasarnya syi’ah mengakui adanya kitab suci selain al-Qur’an yang
dibawa oleh Nabi Muhammad, yang dikenal sebagai “Mushaf Fatimah”. Dan Allah
membagikan shuhuf (lembaran-lembaran) kepada setiap imam yang dua belas.
Bagi sunni
keotentikan mushaf Uthmani[8]. merupakan sebuah kepastian dan pegangan
ideologi yang tinggi dan murni. Sebab al-Qur’an dan Hadits sudah cukup untuk
dijadikan pedoman hidup bagi ummat, sesuai dengan firman Allah swt:
(وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى
لِلْمُسْلِمِينَ) -النحل،89-
“Dan Kami
turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS. An-Nahl: 89).
(مَّا
فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ)
-الأنعام، 38-
“Tiadalah Kami alpakan (lalaikan) sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. Al-An’aam: 38).
Rasulullah saw juga bersabda:
(تَرَكْتُفِيْكُمْ
أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُنَّةَ
نَبِيَّهِ)
“Saya meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, kamu
tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepadanya, yaitu: kitab Allah
(al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya (Hadits)”. (Muwatta’ Imam Malik, no: 2618).
PANDANGAN ULAMA SYI’AH TENTANG
TAHRIF QUR’AN
Ulama
syi’ah berbeda pendapat tentang adanya penyelewengan dan perubahan isi
kandungan al-Qur’an, baik penambahan ataupun pengurangan jumlah ayatnya.
Seorang
intelektual kontemporer syi’ah As-Sayyid Ali al-Husaini
al-Milani mengarang sebuah buku yang berjudul “ عدم
تحريف القرآن” yang artinya:
Tidak ada penyelewengan al-Qur’an,
beliau menegaskan bahwa sebagian ulama syi’ah (minoritas) baik klasik ataupun
kontemporer didapati ada yang menyanggah keyakinan bahwa al-Qur’an yang di
tangan sunni tidak orisinil[9]. Dalam artian lain, mereka mengakui
bahwa Mushaf Utsmani tidak ada penyimpangan atau penyelewangan dalam isi
kandungannya. Ulama tersebut adalah:
Seorang
lagi ulama Syi’ah al-Sayyed Murtadza al-Ridhawi menyebutkan dengan jelas dalam
kitabnya “al-Burhan ‘Ala ‘Adami Tahrif al-Qur’an” bahwa pandangan mayoriti
ulama syi’ah Imamiyah adalah tiada penyelewengan dalam al-Qur’an[20]. Ini bermakna al-Qur’an Mushaf Utsmani
diterima dalam golongan Syi’ah.
Sunni
menilai bahwa pengakuan sebahagian ulama syi’ah terhadap mushaf Ustmani
bermotifkan “Taqiyyah”, alias bukan sikap hakiki mereka. Sikap ini mereka ambil
hanya untuk meredakan pertikaian antara sunni dan syi’ah. Namun menurut hemat
penulis, sebaiknya usaha demikian dari pihak syi’ah kita tanggapi secara
positif, atau dengan kata lain bersifat baik sangka “Husnu ad-Zhan” terhadap
mereka. Yang artinya kita merespon baik pandangan golongan minoritas ulama
syi’ah Imamiyah di atas. Alangkah baiknya kalau kita mencari persamaan dan
memperkecil ruang perbedaan, apalagi sekarang ini terbukti bahwa al-Qur’an yang
dibaca oleh Syi’ah memang al-Qur’an yang sama dibaca oleh Ahlu Sunnah. Dalam
hal ini telah ditegaskan sendiri oleh syekh Abdullah Darraz dalam desertasinya
(Madkhal al-Qur’an al-Karim): Sesungguhnya mushaf Utsmani adalah satu-satunya
mushaf yang beredar di dunia Islam, bahkan mushaf tersebut yang dimiliki oleh golongan-golongan
syi’ah semenjak 13 abad lampau”[21].
Dalam
konteks lain, DR. Musa al-Musawi (seorang intelektual syi’ah kontemporer)
berusaha menipiskan perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dalam masalah ini, beliau
menegaskan bahwa sebenarnya yang berpendapat adanya “Tahrif” atau penyelewengan
dalam mushaf utsmani adalah hanya dari golongan minoritas syi’ah dan bukannya
mayoritas. Namun ketegasan ini dengan sendirinya tenggelam dengan realita dan
pembuktian nyata dengan terdapatnya mayoritas ulama syi’ah meyakini adanya
tahrif, bahkan beliau sendiri meyakinkan kita bahwa imam al-Khu’i dalam kitab
tafsirnya “al-Bayan” telah menafikan sendiri unsur “Tahrif” yang ditujukan pada
mushaf “Utsmani” oleh ulama-ulama syi’ah lain, dan yang berpendapat
demikian sebenarnya hanyalah orang-orang yang lemah akal pikirannya[22].
Untuk melihat sejauh mana pandangan ulama syi’ah terhadap
al-Qur’an Mushaf Utsmani dan unsur penyimpangan di dalamnya, ada baiknya kalau
penulis sebutkan satu persatu pandangan ulama-ulama syi’ah yang berasumsi
demikian:
Dari pembacaan dan pengamatan penulis selama mengkaji
syi’ah, ada sebahagian besar ulama Syi’ah yang memang nyata-nyata menuduh bahwa
al-Qur’an sunni tidak lengkap. Sehingga penulis dapat menegaskan bahwa
sebenarnya mayoritas
ulama syi’ah tetap tidak mengakui Mushaf Utsmani[23]. Di sini dapat
disebut satu persatu seperti berikut:
Dari sederetan nama-nama ulama Syi’ah di atas beserta
kitabnya yang menyatakan unsur pengurangan dalam Mushaf Utsmani, sehingga pihak
Sunni menilai bahwa masalah “Tahrif” adalah pandangan mayoritas golongan
syi’ah. Seperti yang ditegaskan oleh syekh adz-Dzahabi dalam bukunya
“al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al-Qur’an”[44].
Apapun halnya,
sesungguhnya syi’ah saat ini mempercayai bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini
atau mushaf Utsmani adalah benar dan mereka beramal dengannya. Dan inilah yang
mendorong ulama syi’ah bernama al-Sayyed Murtadha al-Ridawi membuat sebuah buku
khusus untuk membantah pandangan-pandangan ulama syi’ah yang tidak mengakui
mushaf Utsmani. Bahkan dari segi judul dengan jelas beliau mencantumkan “al-Burhan
‘Ala ‘Adami Tahrif al-Qur’an” yang bermakna peniadaan tahrif al-Qur’an (Mushaf
Utsmani). Dan bukti lain di Iran, syi’ah membaca dan memperdengarkan ayat
al-Qur’an yang sama dengan sunni yang dikenal dengan Mushaf Uthmani, di samping
itu al-Qur’an inilah yang dipertandingkan dalam peringkat internasional di
Iran, baik dalam Musabah Hifdzi al-Qur’an (Hafalan al-Qur’an) ataupun Musabaqah
Tarannum (Lagu al-Qur’an).
MOTIF ULAMA SYI’AH YANG BERPENDAPAT TAHRIF
Hemat penulis, setelah meneliti secara seksama pandangan
ulama syi’ah yang bersikeras mengatakan adanya penyelewengan dalam al-Qur’an,
sebenarnya faktor dan motif utama mereka sehingga mereka tidak mengakui Mushaf
Utsmani, secara garis besarnya dapat dilihat kepada dua motif, seperti
berikut:
Pertama:Kekecewan yang mendalam dikalangan ulama syi’ah dengan
tidak disebutkannya masalah Imamah (Kepemimpinan Politik Ahlul Bayt) dalam
al-Qur’an.
Permasalahan
imamah merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat
Islam sampai saat ini, sehingga terpecah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab.
Dan konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi saw didasarkan pada suksesi
politik untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam istilah syi’ah politik
dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan sunni adalah (al-Khilafah),
dan pada zaman modern saat ini dikenal dengan istilah (ar-Riasah). Dalam
pandangan politik syi’ah dikatakan bahwa Imamah bukanlah masalah kepentingan
pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, tetapi adalah salah satu pilar
agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din) dimana iman
seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah. Oleh karena itu Imam
Ali merupakan pelanjut Nabi saw yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi
saw (bukannya Abu Bakar). Dan para Imam memiliki kedudukan yang setara dengan
Nabi saw. Berdasarkan asumsi diatas maka dalam setiap syi’ah memiliki pendirian
bahwa hak politik adalah mutlak hanya dimiliki oleh kalangan ahlul bayt.
Pada dasarnya
konsep politik ahlu sunnah didasari oleh tiga hal. Yaitu dengan cara pemilihan
(ikhtiar) yang dibangun di atas syuraa, Ijma’ dan bay’ah. Adapun konsep politik
syi’ah dilandaskan oleh penentuan yang dalam istilah syi’ah selalu disebut
sebagai “Nash”. Disamping itu, penyifatan ‘Ishmah imam, sifat ‘ishmah ini tidak
dapat dipisahkan dengan kepimpinan syi’ah.
Di sisi lain
sunni menyerukan suksesi berdasarkan seleksi dan konsensus yang dilakukan oleh
rakyat yang diwakili oleh Ahlul Halli wa al-Aqdi dalam memilih kelayakan
seorang pemimpin atau presiden.
Di antara
bukti-bukti teks ucapan syi’ah imamiyah yang menunjukkan bahwa imamah masuk ke
dalam dasar agama adalah perkataan Ibnu al-Muthahhir al-Hulli al-Imami[45] dalam mukaddimah kitabnya “Minhaj al-Karamah”: “ amma ba’du, maka ini
adalah sebuah risalah yang mulia, dan maqalah yang lembut, yang mencakup
beberapa unsur yang paling penting dalam dasar agama, dan yang paling mulia di
antara berbagai permasalahan kaum muslimin. Yaitu masalah imamah yang terbentuk
dengan sebab dia mencapai derajat yang mulia, yang merupakan salah satu rukun
iman, yang karena sebabnya orang yang memiliki hak untuk menjadi imam akan
kekal berada di surga dan terbebas dari kemurkaan Yang Maha Pengasih”[46].
Sedangkan
seorang ulama syi’ah imamiah modern Syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar berkata:
“ kami memiliki keyakinan bahwa imamah termasuk salah satu dasar agama, yang
keimanan seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan meyakininya”[47].
Sedangkan teks
ucapan syi’ah Isma’iliyah bathiniah yang berkaitan dengan imamah adalah
sebagaimana yang dipetik dari perkataan seorang ulamanya Hamiduddin al-Karamani
al-Bathini, yaitu: “sesungguhnya imamah adalah salah satu dasar islam, dan dia
adalah dasar yang paling mulia dan paling afdhal, sehingga dasar ini tidak akan
dapat sempurna tanpanya”[48].
Apapun halnya,
sesungguhnya imamah menurut aliran syi’ah bukan sebuah permasalahan maslahat
yang tunduk dengan pilihan dan aspirasi umum. Akan tetapi dia adalah sebuah
permasalahan dasar dalam agama (ushuli), yang masuk ke dalam salah satu rukun
agama, yang tidak boleh diabaikan dan diacuhkan oleh Rasulullah saw, atau diserahkan
pemilihannya kepada masyarakat umum. Oleh karena itu, maka syarat untuk
bergabung kepada aliran syi’ah adalah berkeyakinan bahwa imamah merupakan
bagian dari dasar agama.
Berdasarkan hal ini, syi’ah memberikan perhatian yang
besar bagi permasalahan imamah. Dan berbicara panjang lebar mengenainya, dan
semua aliran dan kelompok syi’ah yang berbeda memberikan perhatian yang besar
kepadanya[49].
Oleh karena itu, semenjak dari masa kekhilafahan
khulafa`urrasyidin sehingga saat ini terjadi perselisihan di antara berbagai
aliran islam mengenai siapakah di antara kaum muslimin yang paling berhak dalam
memegang tampuk imamah atau kekhilafahan.
Kehebatan perkara imamah ini, para ahli sejarah kajian
aliran-aliran dan perbandingan agama telah mengisyaratkan keistimewaan dan
keperluan imamah dalam sebuah Negara. Dan ia merupakan awal perselisihan dan
perdebatan dalam Islam sepeninggalnya Rasulullah saw. Sebagaimana yang
dikatakan oleh imam al-Asy’ari:
(أَوَّلُ مَا
حَدَثَ مِنِ الاِخْتِلاَفِ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ بَعْدَ نَبِيِّهِمْ صلى الله
عليه وسلم اْخْتِلاَفُهُمْ فِي الإِمَامَةِ)
Maksudnya: “Perselisihan pertama yang timbul di antara
kaum muslimin setelah kematian Nabi saw adalah perselisihan mengenai imamah”[50].
Dan asy-Syahrastani memberikan penegasan bahwa ini adalah persoalan utama yang
paling besar yang terkonsentrasi kepada pertikaian dalam bidang politik praktis
antara kaum muslimin:
(وَأَعْظَمُ
خِلاَفٍ بَيْنَ الأُمَّةِ خِلاَفُ الإِمَامَةِ، إِذْ مَا سُلَّ سَيْفٌ فِي
الإِسْلاَمِ عَلَى قَاعِدَةٍ دِيْنِيَّةٍ مِثُلُ مَا سُلَّ عَلَى الإِمَامَةِ فِي
كُلِّ زَمَانٍ)
Ucapan ini menunjukkan bahwa“Perselisihan yang paling
besar di antara umat adalah perselisihan mengenai imamah, karena di dalam islam
tidak pernah ada pedang yang teracung dalam perselisihan mengenai kaidah agama
sebagaimana yang terjadi dalam persoalan imamah pada semua masa”[51].
Hal ini juga ditegaskan oleh Nisywan al-Humyari az-Zaidi
dengan perkataannya: “sesungguhnya perselisihan pertama yang terjadi di antara
umat setelah kematian Nabi saw dan keluarganya adalah perselisihan dalam
permasalahan imamah pada peristiwa saqifah Bani Sa’idah”[52].
Dari teks-teks yang dipaparkan oleh para sejarawan
aliran-aliran islam di atas ini dapat dilihat dengan jelas bahwa perselisihan
utama di antara umat islam bukanlah perselisihan pemikiran ataupun aliran, akan
tetapi hanya semata-mata perselisihan politik. Karena perselisihan yang timbul
di antara umat islam setelah kematian Rasulullah saw hanya terbatas kepada
tampuk kekhilafahan dan kepemimpinan negara. Promotor desertasi saya/Prof. DR.
Muhammad al-Jalayand memberikan komentar mengenai hal ini: “Sesungguhnya
perselisihan mengenai persoalan imamah pada masa awal sejarah islam ini
bukanlah perselisihan pemikiran ataupun aliran, akan tetapi perselisihan
fanatisme yang ditimbulkan oleh rasa fanatik keturunan dan aliran darah”[53].
Dan barangkali perselisihan inilah yang dikatakan sebagai perselisihan yang
berat bagi umat islam oleh salah seorang imam syi’ah zaidiyah Ahmad bin
al-Hasan ar-Rashshash, dalam perkataannya:“ dan tidak diragukan lagi bahwa
imamah termasuk perkara yang berat dan meletihkan”[54].
Dengan demikian, sesungguhnya imamah adalah titik utama
yang menjadi perpecahan umat islam kepada golongan ahlu sunnah dan syi’ah. Dan sensitivitasnya lebih terasa pada
aliran syi’ah dibandingkan dengan berbagai aliran islam yang lain. Karena
segala sesuatu di dunia ini mereka kembalikan kepada imamah dan berbagai
perangkatnya. Oleh karena itu, mereka jadikan imamah sebagai dasar akidah
mereka. Sedangkan ahlu sunnah menjadikan imamah sebagai bagian masalah
fur’iyyah berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Berdasarkan
hal ini, maka para ulama ilmu kalam terpaksa memasukkan materi “imamah” dalam
kitab akidah atau yang dikenal dengan ilmu ushuluddin sebagai reaksi terhadap
tindakan syi’ah yang menjadikannya sebagai salah satu persoalan agama yang
paling penting, sampai mereka memasukkannya sebagai salah satu rukun imam. Hal
ini telah disinyalir oleh imam Shalih al-Muqbali dengan ucapannya, “ imamah
adalah masalah fiqhiyyah, akan tetapi para ulama kalam telah memasukkannya ke
dalam pembahasan mereka akibat besarnya polemik antara mereka (syi’ah dan
sunni). Sebagaimana halnya sebagian ulama asy’ariyyah telah menjadikan
persoalan membasuh di atas kasut sebagai salah satu masalah ilmu kalam”[55].
Kedua: Mereka
berpendapat bahwa tahrif bertujuan menyingkirkan kontradiksi antara al-Qur`an
dan hadits-hadits riwayat mereka yang menyudutkan para sahabat.
Golongan-golongan
syi’ah saling berselisih pendapat mengenai definisi sahabat. Di mana syi’ah
Zaidiyah membatasi sahabat hanya kepada golongan muhajirin dan anshar saja,
artinya, orang yang menemani Rasulullah saw dalam masa yang lama[56].
Sedangkan
syi’ah Imamiah dan syi’ah Isma’iliyah bathiniah mempersempit pemahaman mengenai
sahabat, karena mereka membatasi sahabat hanya kepada orang-orang yang
mendukung perjuangan imam Ali bin Abi Thalib saja[57].
Seorang ulama
syi’ah Zaidiyah bernama al-Qasim bin Muhammad berkata dalam mendefinisikan
sahabat: “mazhab kami adalah yang benar…sesungguhnya kami berkata: sahabat
adalah yang menemani Nabi saw dalam masa yang lama, dan yang juga mengikuti
beliau. Definisi ini dikenal dan diakui oleh orang yang mengerti bahasa. Kapan
masanya orang-orang yang murtad yang berasal dari Bani Hunaifah menjadi sahabat
Nabi saw? Dan kapan masanya orang-orang tersebut dekat dan dicintai oleh
Nabi saw? Dan kapan masanya para
sahabat Nabi saw menjadi seumpama punuk onta? Golongan muhajir dan anshar telah
mencapai jumlah yang hanya dengan sebagiannya saja mampu untuk mengalahkan
orang-orang yang murtad”[58].
Definisi
sahabat juga telah diungkapkan oleh imam Muhammad bin al-Hadi: “sesungguhnya
para sahabat Rasulullah saw adalah orang-orang yang melaksanakan agama, mereka
berada dalam keimanan yang hakiki, dan mereka ikuti Nabi saw dengan penuh
ketaatan dan ihsan”[59].
Jika demikian,
maka standar ukuran keadilan dan ketidak adilan sahabat dalam pandangan syi’ah
Imamiah dan syi’ah Isma’iliyah bathiniah terfokus kepada sikapnya terhadap
ahlul bait. Maka orang yang loyal kepada mereka adalah orang yang adil, seperti
Salman al-Farisi, Abu Dzarr al-Ghiffari, Ammar bin Yasir, Jabir bin Abdullah,
Bilal bin Rabbah, Miqdad bin Aswad, dan Huzaifah bin al-Yaman. Mereka itu
adalah orang-orang yang loyal kepada ahlul bait.
Sedangkan
orang yang melawan mereka adalah orang yang tercela dan hina, seperti Abu
Hurairah, Anas bin Malik, sayyidah Aisyah, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, dan
yang lainnya. Karena dalam tuduhan mereka, mayoritas sahabat, dan terutamanya tiga
khulafa`urrasyidun telah melenceng dari garis ahlul bait, oleh karena itu
mereka tidak mengakui keadilannya, menolak untuk mengikutinya, dan tidak mau
menerima riwayat mereka[60].
Ada satu hal
yang sangat berbahaya dalam sikap syi’ah terhadap para sahabat. Yaitu mengenai
sikap syi’ah Imamiah dan syi’ah Isma’iliyah terhadap kepemimpinan (imamah) para
sahabat. Di mana mereka menuduh para sahabat dengan tuduhan yang tidak dapat
diterima. Seperti tuduhan bahwasanya para sahabat tidak adil, khianat, pendusta
dan sebagainya. Tuduhan ini sangat berbahaya, sebab akan menimbulkan suatu
keragu-raguan terhadap agama, sebab para sahabat tersebutlah yang telah
meriwayatkan hadits-hadits Nabi saw. Dan inilah yang dimaksudkan oleh
orang-orang yang melakukan propaganda mengenai akidah imamah dan sifat ma’shum
imam.
Karena
manakala timbul keraguan dalam diri kaum muslimin terhadap para sahabat dalam
agama mereka, maka keraguan terhadap apa yang mereka riwayatkan dari Rasulullah
saw lebih besar lagi. Dan dengan rasa keraguan ini hilanglah kewibawaan agama
dari dalam diri manusia. karena tidak ada periwayat yang jujur, dan tidak ada
riwayat yang dapat dipercayai. Dari celah ini, maka kelompok rafidhah dari
syi’ah Imamiah dan syi’ah Isma’iliyah dapat menyebarkan racun mereka dalam
barisan kaum muslimin, yang membuat mereka selalu memiliki rasa keraguan
terhadap kaum muslimin terdahulu serta agama islam[61].
Berbagai macam tudingan dan tuduhan yang tidak ada
landasan ilmiah, sehingga al-Qur’an yang asli tidak pernah wujud dan dibaca
oleh pemeluk Syi’ah sendiri sampai saat ini, kesemuanya dilakukan hanya
semata-mata ingin menghindarkan diri dari mengaku akan kemuliaan para sahabat
yang dijelaskan dan dibentangkan luas dalam al-Qur’an. padahal mempelajari dan menyelidiki sifat dan
karakteristik dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya merupakan suatu bukti
bahwa al-Qur’an sebenarnya sebuah kitab yang sangat perhatian dalam pembentukan
karakter bagi umat manusia sesuai apa yang digambarkan dari kehidupan
Rasulullah dan para sahabat-sahabat yang ikut mulia disisinya.
Sebenarnya
apabila membaca dan merenungi al-Qur’an serta memahami secara mendalam arti dan
makanya, pasti akan ditemukan banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan dan
menerangkan kebesaran dan keutamaan para sahabat, serta ridha Allah pada
mereka, disamping janji Allah untuk memasukkan mereka dalam surga.
Di antara
firman Allah Swt mengenai kehebatan para sahabat Rasulullah Saw dan
balasan-balasan jasa mereka adalah:
وَالسَّابِقُوْنَ
الأَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَالأَنْصَارِ وَالَّذِيْنَاتَّبَعُوْهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِىَ الله عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِى تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا ذَلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai
dibawahnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang
besar”(QS. At Taubah : 100)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
وَالَّذِيْنَآمَنُوْا
وَهَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالَّذِيْنَآوَوْاوَنَصَرُوْا
أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنِيْنَ حَقَّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيْمٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad pada jalan Allah dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan
memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang
yang benar-benar beriman. Mereka
memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.”( QS. Al
Anfal : 74 )
Firman Allah yang lain :
لَقَدْ
رَضِىَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَإِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ
الشَّجَرَةِفَعَلِمَ مَا فِي قُلُوْبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ
وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang
mu’min, ketika mereka berjanji setia kepadanya dibawah pohon, maka Allah
mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas
mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat
(waktunya).”( QS. Al Fath : 18 )
Begitupun dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah
saw menghargai jasa para sahabatnya, bahkan beliau mencintai para sahabatnya,
seperti hadits-hadits berikut:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي اللَّهَ اللَّهَ فِي
أَصْحَابِي لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضًا بَعْدِي فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّي
أَحَبَّهُمْ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِي أَبْغَضَهُمْ وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ
آذَانِي وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ وَمَنْ آذَى اللَّهَ يُوشِكُ أَنْ
يَأْخُذَهُ”
Dari Abdullah bin Mughaffal dia berkata; “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah,
bertakwalah kalian kepada Allah terhadap hak-hak para sahabatku, janganlah
kalian menjadikan mereka sebagai sasaran (dalam cacian dan cercaan)
sepeninggalku, barangsiapa yang mencintai mereka, maka dengan kecintaanku, aku
pun mencintai mereka, dan barangsiapa membenci mereka, maka dengan kebencianku,
aku pun membenci mereka (yang membenci sahabat), barangsiapa menyakiti mereka,
sungguh ia telah menyakitiku, barangsiapa menyakitiku, berarti ia telah
menyakiti Allah, barangsiapa menyakiti Allah, hampir saja Allah menyiksanya”[62].
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ”
Dari Abu Sa’id al-Khudriy ra yang berkata; Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mencela
sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas
sebanyak bukit uhud, tidak akan ada yang menyamai satu timbangan (pahala)
seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai setengahnya”[63].
Itulah diantara ayat-ayat dan hadist-hadist yang
menunjukkan keutamaan, kemuliaan dan kebesaran para sahabat dalam memberikan
pengorbanan tinggi dan tak terhingga untuk menegakkan agama Allah “al-Islam” di
muka bumi. Sehingga dapat disimpulkan dari ayat dan hadits di atas:
1) Pujian untuk para sahabat atas
segala jasa yang disumbangkan.
2) Sahabat adalah pendamping Rasulullah
saw dalam masa senang dan susah, dalam suasana damai dan perang.
3)
Ancaman dari Allah dan Rasul-Nya bagi siapa saja yang memusuhi dan mencaci
mereka.
4)
Allah menjanjikan surga untuk para sahabat sebagai balasan penghargaan
tertinggi dari-Nya.
Perlu juga
penulis sebutkan sesuatu hal yang sangat penting berkaitan jasa para
sahabat, iaitu merekalah sebagai perawi hadits, dan khususnya hadits yang
berkaitan dengan syahadat yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
عَنْ
أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ : “سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ :
“بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ
وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ”
Dari Ibnu Umar dia berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Islam dibangun atas lima dasar: persaksian bahwa
tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad utusan
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke
Baitullah”[64].
Dari sekian ayat dan hadits yang memaparkan jasa para
sahabat terhadap perujuangan Islam, maka amat mengherankan jika golongan syi’ah
memandang sebelah mata kedudukan tiga khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman. Bahkan mereka alergi dan sangat membenci
para sahabat dengan tuduhan takfir.
DI MANAKAH KEBERADAAN al-QUR’AN SYI’AH
Jika al-Qur’an
syi’ah dan Mushaf Fatimah itu memang ada, lalu dia mana ia berada?
Pada
realitanya di Iran al- Qur’an yang dibaca adalah sama dengan al-Qur’an yang
dibaca oleh ahlu sunnah. Al-Qur’an cetakan Iran sama dengan al-Qur’an
cetakan negara-negara Islam lain, seperti negara-negara timur tengah, Saudi,
Mesir, Irak. Begitu juga sama dengan yang dicetak oleh negara-negara Asean,
seperti Indonesia, Malaysia, Brunai dll.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa al-Qur’an yang dibaca oleh syi’ah adalah milik
ahlu sunnah. Kaena seluruh perawial- Qur’an tersebut adalah dari kalangan ahlu
sunnah dan bukan dari kalangan syiah. Karena syi’ah tidak mampu membuktikan
urutan perawi al-Qur’an sendiri. Dan hal ini berbeda dengan ahlu sunnah,
terutama para sahabat Nabi saw. Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa
pengumpulan al- Qur’an dalam satu jilid seperti yang ada saat ini adalah hasil
prakarsa dan dipelopori langsung oleh khalifah Utsman bin Affan. Begitu juga
dari sejumlah sahabat lain yang berperan aktiv menyebarkan dan mengajarkan
al-Qur’an kepada para tabi’in, seperti Abu Abdul Rahman Al-Sulami, yang menjadi
sumber bagi riwayat Hafs dari ‘Ashim, yang merupakan riwayat Qur’an yang dibaca
oleh mayoritas muslim saat ini. Begitu juga riwayat qira’at lainnya, yaitu yang
dikenal dengan qira’ah sab’ah, seluruh perawinya adalah dari kalangan Ahlu
Sunnah.
Namun sekali
lagi timbul pertanyaan, kenapa al-Qur’an yang dipromosikan kewujudannya oleh
sebagian ulama syi’ah sebagaimana yang dipaparkan dalam kitab klasik mereka
tidak wujud sampai saat ini?
Imam
al-Kulayni telah menjawab pertanyaan di atas dalam kitabnya “al-Kaafi”[65], Muhammad bin Yahya, dari Muhammad bin Husein, dari Abdurrahman bin Abu
Hasyim, dari Salim bin Salamah, mengatakan: seseorang membacakan pada Abu
Abdullah dan saya mendengar huruf-huruf al-Qur’an yang tidak seperti yang
dibaca oleh orang banyak, lalu Abu Abdullah berkata: jangan baca dengan bacaan
ini, bacalah al-Qur`an seperti orang lain sampai datangnya al-Qa`im, jika
al-Qa`im –alaihissalam telah datang, dia akan membaca Kitab Allah dengan benar,
dan mengeluarkan mushaf yang ditulis oleh Ali Alaihissalam dan [Abu Abdullah]
mengatakan: Ali memperlihatkan al-Qur`an itu pada manusia setelah selesai
menuliskannya, dan berkata pada mereka: inilah kitab Allah seperti yang
diturunkan oleh Allah pada Muhammad saw. Telah kukumpulkan menjadi satu jilid.
Lalu mereka berkata: kami juga memiliki kitab al-Qur`an, kami tidak perlu
al-Qur`an yang kau bawa. Ali berkata: sungguhnya demi Allah kalian tidak akan
melihatnya setelah hari ini, aku hanya memperlihatkannya pada kalian setelah
selesai kukumpulkan, agar kalian membacanya. Riwayat ini jelas menyebutkan
adanya al-Qur`an lain yang dikumpulkan oleh Ali, yang isinya berbeda dengan
al-Qur`an yang ada di tangan para sahabat saat itu. Dan ketika Ali
memperlihatkan pada para sahabat, mereka menolaknya. Lalu Ali pun menyembunyikan
al-Qur~an yang berisi petunjuk jalan yang lurus, agar tidak dibaca oleh para
sahabat, dan hanya diedarkan di kalangan para imam dan pengikutnya saja. Hingga
akhirnya para sahabat tidak berkesempatan untuk melihat al-Qur`an yang asli,
dan berpegang teguh pada al-Qur`an yang palsu, yang ada di tangan para sahabat.
Ketika ada pengikut imam yang membaca isi al- Qur`an asli, maka oleh imam
diingatkan dan diperintahkan untuk membaca al-Qur`an yang “tidak asli” sampai
nanti munculnya al-Qa`im.
“Di manakah al-Qur`an syi’ah saat ini”, maka ulama syi’ah
lain yang mengatakan adanya penyelewangan dalam Mushaf Utsmani berusaha
memberikan jawaban dan pembelaan kewujudan al-Qur`an mereka, namun sangat
disayangkan jawaban mereka dengan mudah dapat dipatahkan
Inilah jawaban-jawaban dari ulama syi’ah:
1) Abu
al-Hasan al-‘Aamili, mengatakan:
“إن القرآن المحفوظ عما ذكر الموافق لما أنزله الله تعالى، ما جمعه علي
(ع) وحفظه إلى أن وصل إلى ابنه الحسن (ع)، وهكذا إلى أن وصل إلى القائم (ع)
“المهدي” وهو اليوم عنده صلوات الله عليه”
“Sesungguhnya al-Qur`an yang terjaga dan sesuai dengan apa yang diturunkan
Allah adalah al-Qur`an yang dihimpunkan oleh imam Ali, kemudian dijaga oleh
imam Hasan dan imam-imam berikutnya sampai imam Mahdi (Muhammad bin al-Hasan),
sebab saat ini al-Qur`an tersebut dalam penjagaan beliau”[66].
2)
Ni’matullah al-Jazaa’iri, mengatakan:
“روي في الأخبار أنهم عليهم السلام أمروا
شيعتهم بقراءة هذا الموجود من القرآن في الصلاة وغيرها، والعمل بأحكامه حتى يظهر
مولانا صاحب الزمان فيرتفع هذا القرآن من أيدي الناس إلى السماء ويخرج القرآن الذي
ألفه أمير المؤمنين (ع) فيقرأ ويعمل بأحكامه”
“Dalam
akhbar (riwayat syi’ah), mereka diserukan membaca al-Qura’an yang ada saat ini
(Mushaf Utsmani) baik dalam melaksanakan shalat atau dalam merealisasikan
kandungan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya, sampailah nanti kedatangan
sahibu al-Zaman (Imam al-Mahdi) menghapus Mushaf Utsmani yang tengah dipakai
oleh masyarakat dan digantikan dengan al-Qur`an syi’ah yang disusun sendiri
oleh imam Ali ra, dan inilah al-Qur`an yang dibaca dan diamalkan ketika itu”[67].
3) al-Haj
Karim Khan al-Karamani, mengatakan:
“إن الإمام المهدي بعد ظهوره يتلوا القرآن، فيقول أيها المسلمون هذا، والله هو
القرآن الحقيقي الذي أنزله الله على محمد والذي حرف وبدل”
“Sesungguhnya Imam Mahdi setelah menampakkan dirinya akan membacakan sebuah
al-Qur`an, seraya berkata: wahai sekalian umat Islam, inilah al-Qur`an hakiki
yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw yang selama ini diselewengkan
dan dirubah”[68].
Dari
keterangan para ulama syi’ah di atas, dapat kita simpulkan sebuah keanehan
ideologi, yaitu kenapa mereka tetap membaca Mushaf Utsmani kalau memang ada
al-Qur`an sendiri yang akan turun dan di bawa sendiri oleh imam kedua belas
Muhammad bin al-Hasan yang dijadikan sebagai imam Mahdi mereka. Bukankah
sebaiknya mereka bersabar (tidak membaca al-Qur`an) sambil menunggu kedatangan
pembawa al-Qur`an imam tersebut. Dari sini dapat dilihat dengan jelas bahwa
sebenarnya al-Qur`an Sunni atau Mushaf Utsmani adalah al-Qur`an yang murni
tanpa terdapat penambahan dan pengurangan di dalamnya. Sehingga syi’ah dengan
rela membaca dan menghafalnya untuk meraih pahala bacaan al-Qur`an yang telah
dijanjikan oleh Allah swt. Karena setelah turunnya imam Mahdi yang membawa al-Qur`an
versi mereka tersebut tentunya mereka tidak sempat untuk membaca dan
mengamalkannya, sebab saat itu adalah masa penghujung umur dunia ini atau masa
kiamat.
يَوْمَ
لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنٌ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak
berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”.
(Q.S. Asy Syu’ara : 88-89)
Tulisan ini telah membuktikan bahwa hari
ini syi’ah sebenarnya tidak memiliki al-Qur`an versi mereka yang asli, sehingga
mereka menumpang membaca “Mushaf Utsmani” yang dibaca oleh ahlu sunnah wal
jama’ah.
Wallahu A’lam ….
[1] Al-Kulaini,
Kitab Al-Kaafi, 2/634. (kitab ini sama kedudukannya dengan kitab shahih Bukhari
disisi Ahlu Sunnah).
[2] Al-Kulaini,
Kitab al-Kaafi, 1/239-240.
[3] Husain
bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi, kitab Fashlul Khithab Fii Itsbati
Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, dinukil dari Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32,
karya Ihsan Ilahi Dzahir.
[4] Biharul
Anwar, 26/42.
[5] Muhammad
Ibnu Jarir bin Rustum at-Thabari, Dalaail al-Imamah, hal: 27-28.
[6] Suhuf
bentuk jama’ dari Shahiifah, artinya lembaran, memiliki beberapa sinonim dalam
bahasa Arab, yaitu: Waraqah, Ruq’ah, Tirsun dan Qirthaasun. Lihat: DR.
Kamaluddin Nurdin Marjuni, kamus “Syawarifiyyah”, Sinonim Arab-Indonesia, hal:
368.
[7] Riwayat
ini disebutkan di berbagai kitab-kitab Syi’ah, lihat: al-Kulayni, al-Kaafi,
1/527-528. Ikmaal ad-Din, Ibnu Babwaih al-Qummi, hal: 301-304.
[8] Mushaf Uthmani ialah versi al-Quran yang
diterbitkan oleh khalifah Uthman bin Afan. “Mushaf”
ialah perkataan bahasa Arab yang
secara harfiah, bermaksud “kulit”, iaitu kulit buku, tetapi digunakan dalam
konteks ini untuk merujuk kepada senaskah kitab al-Quran.
Mushaf ini disepakati oleh sekitar 12.000 sahabat atas keotentikan
penulisannya.
[9]. Buku ini
dicetak oleh Markaz al-Abhats al-‘Aqadiyyah. Sebuah pusat kajian syi’ah
di Iran.
[10] .
Lihat: al-I’tiqaad, 63.
[11] .
Lihat: Al-Asytiyaani, Bahr al-Fawaaid fi Syarh al-Faraaid, 99.
[12] Lihat: Tafsir
at-Tibyaan, 1/3.
[13] Lihat: Tafsir Majma’
al-Bayaan, 1/15.
[14] Lihat: A’yaan
as-Syi’ah, 1/43.
[15] Lihat: Aslu al-Syi’ah
wa Usuliha, 133.
[16]Lihat:
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, 259.
[17] Lihat: ‘Aqidah
as-Syi’ah fi al-Imam as-Shadiq, 161.
[18] Lihat: al-Qur’an fi
al-Islam, 139.
[19] Lihat:
al-Syi’ah fi al-Mizan, 314.
[20] Lihat: al-Burhan
‘Ala ‘Adami Tahrif al-Qur’an, hal: 239.
[22] Lihat: DR. Musa
al-Musawi, as-Syi’ah wa at-Tashih, hal: 131-132.
Hal yang sama
dilakukan juga oleh as-Sayyed Mahdi as-Sawij dalam bukunya “Miah Mas’alah
Muhimmah Haula as-Syi’ah”, hal 15-20. Dan yang menarik dalam sampul buku
tertulis “Lastu Daa’iyah Ila as-Syi’ah, wa Lastu Dhiddan li as-Sunnah, Bal
Masaailu Tawassaltu Ilaiha” maksudnya “Saya tidak mengajak orang masuk Syi’ah,
dan bukan memusuhi Ahl Sunnah, namun buku ini adalah semata-mata hasil ijtihad
sendiri”.
[23]Lihat ketegasan
ulama-ulama syi’ah tentang “Tahrif” dalam tafsir “as-Shaafi”, imam al-Faidh
al-Kaasyaani, tafsir “al-‘Iyasyi” imam al-‘Iyasyi.
[24]Lihat: Tafsir al-Qummi,
1/36.
[25]Lihat: al-Anwar
an-Nu’maaniyah, 2/357-358.
[26]Lihat: Tafsir
as-Saafi,1/13.
[27]Lihat: Tafsir
Miraat al-Anwar wa Misykaat al-Asraar, 36.
[28]Lihat: Tafsir
Bayaan al-Sa’aadah fi Maqaamaat al-Ibadah, 19-20.
[29]Lihat: Ushul
al-Kaafi, 1/284-285, 1/295, 1/492, 2/597.
[30]Lihat: Bihaarul Anwar,
89/66.
[31]Lihat: Awaail
al-Maqaalat, 48-49.
[32]Lihat: Minhaaj
al-Baraa’ah fi Syarh Nahjil Balaghah, 214-219.
[33]Lihat: Muqaddimah Syarh
Nahj al-Balagha.
[34]Lihat: Tafsir
al-‘Iyaasyi, 1/25.
[35] Lihat: Bashaair
al-Darajaat, 213.
[41] Lihat: Hadiqat
al-Syi’ah, 118-119.
[42] Lihat: Irsyaad
al-‘Awaam, 3/221.
[43] Lihat: Istiqshaa
al-Afhaam, 1/11.
[44] Lihat : Footnote hal:
53.
[45] Dia adalah Jamaluddin
Yusuf bin al-Hasan bin Ali yang mempunyai julukan Ibnu al-Muthahhir al-Hully,
seorang syaikh dan ahli fiqh syia’ah imamiyah. Dia lahir di kota al-Hullah,
yang merupakan sebuah kota besar yang terletak di antara Kufah dan Bagdad.
[46] Lih, hal 27, 1379 H,
Mu`assasah ‘Asyura lit-Tahqiqat wal-Buhuts al-Isma’iliyyah, Qum-Iran.
[47] Al-Muzhaffar,
Muhammad Ridha, ‘Aqa`id al-Imamiyyah, hal 65.
[48] Ar-Risalah
al-Kafiyah, hal 181.
[49] Musthafa
Helmi, 1988M, Nizham al-Khilafah Bayna Ahli as-Sunnah wasy-Syi’ah, hal 153, Dar
ad-Da’wah, Iskandariah-Mesir.
[50] Al-Asy’ari,
Maqalatu al-Islamiyyin, hal 2.
[51] Asy-Syahrastani,
al-Milal wan-Nihal, 1/24.
[52] Nasywan
al-Humairi, Syarh Risalah al-Hur al-‘Ain, hal 212.
[53] Al-Jalayand,
Muhammad as-Sayyid, 1981 M, Qadhiyyatu al-Khair wasy-Syarr Fi al-Fikri
al-Islami, hal 338, Kairo, Mathba’ah al-Halabi.
[54] Ahmad bin al-Hasan
ar-Rashshash, al-Khilafah an-Nafi’ah, hal 224.
[55] Al-Muqbili,
al-Ilmi asy-Syamikh, hal 11.
[56] Lih,
as-Sayyid Yahya bin Abdul Karim al-Fudhail, 1424 H-2003 M, Man Hum
az-Zaidiyyah, hal 32, Shan’a-Yaman, Mu`assasah al-Imam Zaid bin Ali
ats-Atsaqafiyyah.
[57] Lih,
Shubhi, Ahmad Mahmud, Juni 1992 M, Nahwa Ilmi Kalam Jadid, hal 46-47, bagian
dari riset yang diajukan kepada al-jam’iyyah al-Falsafiyyah al-Mishriyyah, dan
diterbitkan oleh Markaz al-Kitab lin-Nasyr, Kairo, no 1/1.
[58] Al-Jawab
al-Mukhtar, hal 50.
[59] Muhammad
bin al-Hadi, Kitab al-Ushul, hal 46.
[60] Lih,
Shalih al-Wardani, 1995 M, Aqa`id as-Sunnah Wa Aqa`id asy-Syi’ah, hal 200 dst,
Kairo, Madbuli ash-Shaghir.
[61] Lih,
al-Jalayand, Muhammad as-Sayyid, Qadhiyyatu al-Khair wasy-Syarr fil-Fikri
al-Islami, hal 342.
[62] Sunan
at-Tirmizi, no: 3797.
[63] Sahih
Bukhari, no: 3397.
[64]Sahih
Bukhari, no: 8. Sunan at-Tirmizi, no: 2534.
[65]Al Kafi,
2/633, riwayat no 23.
[66] Mir’atul
Anwar wa Misykaatul Asrar, 36.
[67] Al-Anwar
an-Nu’maaniyah, 2/360.
[68] Irsyad al-‘Awaam,
3/121.
[Tanggapan untuk
Haidar Bagir oleh Mohammad Baharun, ketua komisi hukum MUI Pusat, guru besar sosiologi agama, terkait "tuduhan tahrif?" oleh sunni, Sumber : REPUBLIKA, 3Februari 2012]