Saturday, March 21, 2015

Mengapa Harus Manhaj Salaf

Oleh : Salim Al-Hilali
Sebenarnya orang-orang yang berkiprah dalam dunia dakwah Islamiyah banyak sekali dan yang menantikan para pemuda “aktivis dakwah” lebih banyak lagi. Mereka semua sungguh-sungguh bekeja keras untuk memulai kehidupan yang Islami. Di tengah-tangah luapan gelombang dakwah yang sedang pasang ini, akan kita temukan adanya dua kelompok, yaitu kaum tua dan kaum muda. Kaum tua telah puas degan hasil dakwah mereka. Mereka sendiri tidak ikut terjun ke medan dakwah. Adapun kaum muda, mereka menyingsingkan lengan, mengencangkan sarung dan meghentakkan kaki mereka di atas kendaraannya. Namun, yang disayangkan, kedua kelompok ini berada dalam kebingungan dan kebimbangan. Sehingga, adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi untuk segera ditampilkan gambaran Manhaj Salaf guna menyiapkan kehidupan Islami yag kokoh di atas Manhaj Nubuwwah.
Penyaringan terhadap segala hal yang bukan berasal dari Islam, baik dalam hal aqidah, ahkam (hukum-hukum) maupun akhlak adalah agar Islam kembali berseri, murni dalam naungan risalah sebagaimana keaslian risalah yang telah diturunkan kepada Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam. Ini untuk mendidik generasi muslim di atas Islam yang murni dengan tarbiyah imaniyyah (pendidikan keimanan) yang akan memberikan bekas yang mendalam. Yang demikian itulah manhaj dakwah salafiyyah yang selamat dan Ath-Thaifah Al-Atsariyah (yaitu kelompok yang berpegang dengan pemahaman Rasulullah beserta para shahabatnya) yang mendapatkan pertolongan dalam mengadakan perubahan.
Masalah pertama yang perlu kita bahas adalah : Mengapa harus mahaj salaf ? Menjadi suatu keharusan mutlak bagi setiap muslim yang menginginkan kesuksesan dan merindukan kehidupan yang mulia, serta kemenangan di dunia dan akhirat, bahwa dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih harus dengan pemahaman
manusia terbaik yaitu para shahabat dan tabi’in, serta siapapun yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga hari kiamat. Ini karena tidak pernah tergambarkan sama sekali adanya sebuah fikrah, pemahaman dan manhaj Salaus Shalih. Oleh karena itu tidak akan pernah bisa baik kehidupan umat yang akhir ini kecuali dengan apa yang telah mejadikan baik generasi awal.
Apbila kita teliti dengan seksama dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah serta ijma’ dan qiyas maka bisa disimpulkan dari dalil-dalil tesebut tentang wajibnya memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam bimbingan manhaj Salafus Shalih, karena ini merupakan pemahaman yang disepakati kebenarannya sepanjang abad perjalanan dakwah ini. Oleh karena itu tidak boleh bagi siapa saja sehebat apapun kedudukannya memahami Islam ini dengan selain pemahaman salaf. Dan siapapun juga yang membenci pemahaman salaf lalu menggantinya dengan bid’ah-bid’ahnya orang belakangan (orang-orang sesudah generasi salaf) yang diracuni dengan berbagai pemahaman yang membahayakan dan yang tidak selamat dari pemahaman asing, akan mengakibatkan tercerai-berainya kaum muslimin. Ini adalah hal yang pasti terjadi dan tak bisa diingkari. Maka siapa saja yang mengikatkan diri dengan pemahaman bid’ahnya orang belakangan, dia bagaikan seseorang yang mendirikan bangunan di tepi tebing keruntuhan, di tepi jurang kehancuran, dan di lereng kebinasaan. Cobalah simak penjelasan dari dalil dan hujjah-hujjah berikut ini :
1. Sesungguhnya salafus sholih radhiallahu ‘anhu telah nyata kebaikan mereka baik dalam nash maupun istimbath:
“Dan generasi yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam) diantara kaum muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-selamanya. Itulah kemenangan yang agung.”(AtTaubah:100)
Dengan dalil ayat ini dapat diambil pemahaman bahwa Allah Sang Pencipta telah memuji terhadap mereka yang mengikut kepada sebaik-baik manusia. Telah diketahui bahwa apabila sebaik-baik manusia itu mengatakan suatu perkataan, kemudian ada seseorang yang mengikuti mereka , maka dia wajib untuk mendapatkan pujian dan berhak untuk mendapatkan keridhaan. Kalau seandainya sikap ittiba’ mereka tidak membedakan dengan selain mereka (yang tidak ittiba’) maka dia tidaklah berhak mendapatkan pujian keridhaan. Siapakah sebaik-baik manusia itu? Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih merekalah sebaik-baik manusia.”(Al-Bayyinah : 7)
2. Allah berfirman :
“Kalian adalah umat terbaik yang telah ditampilkan untuk manusia, kalian telah beramar makruf dan bernahi munkar dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Dari sini kita mendapatkan petunjuk bahwa Allah telah menetapkan keutamaan mereka atas segala umat, dan gelar seutama-utama umat ini mengharuskan mereka istiqamah dalam segala hal. Disamping itu mereka sesungguhnya memang tidak pernah menyimpang dari cahaya yang terang bernderang (Al-Haq) ini. Sungguh Allah telah menyaksikan bahwa mereka telah beramar makruf dan bernahi munkar dengan penuh kemianan serta mengharap pahala-Nya. Keadaan seperti ini mengharuskan permahaman mereka menjadi hujjah bagi orang yang datang sesudahnya hingga Allah mewarisi bumi ini beserta apa yang ada di atasnya (hari kiamat,pen). Apabila konsekuensi tidak seperti itu, berarti amar ma’ruf dan nahi munkar yang mereka lakukan keliru (tidak dipuji dan diterima Allah). Cobalah fikir dan renungkan.
Maka jika ada yang berkata :”Ini (gelar sebaik-baik umat,pen) bersifat umum dalam umat ini, tidak hanya terbatas pada generasi shahabat saja,” saya katakan bahwa mereka (para shahabat) adalah obyek pembicaraan yang pertama, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak masuk dalam pembicaraan di atas, kecuali jika ada penjelasan dengan qiyas atau dalil lain sebagaimana dalam dalil pertama. Secara umum-dan ini yang benar- shahabat adalah yang pertama kali masuk dalam obyek pembicaraan karena merkelah yang pertama kali mengambil ilmu dan amal langsung dari Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam salallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara, dan merekalah yang mendapat kabar gembira dengan wahyu ini. Oleh karena itu, merekalah yang pertama masuk dalam pembicaraan ayat ini dibanding yang lain disebabkan sifat-sifat yang telah diberikan Allah kepada merkea secara sempurna yang tidak diberikan kecuali kepada mereka (para shahabat). Pun kecocokan sifat dengan pensifatan Allah adalah merupakan bukti bahwa mereka lebih berhak mendapat pujian dari pada yang lain.
3. Maka dari itu Rasulullah bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah genersiku, kemudian oran-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka. Sesudah itu akan datang kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.”(HR Bukhari IV/189, Muslim VII/184-185, Ahmad I/424 dll)
Apakah kebaikan yang diterapkan kepada para sahahabat yang dimaksud adalah dalam hal warna kulit mereka? Atau jasad mereka, harta mereka, tempat inggal mereka, atau…? Tidak diragukan lagi bagi orang yang memiliki akal yang sempurna, yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan benar, bahwa bukan itu semua yang dimaksudkan di sini, sama sekali bukan, karena Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk tubuh kalian namun Dia hanya melihat kepada hati-hati dan amal-amal kalian.”(HR Muslim, lihat syarah Nawawi XVI/121)
Dan juga, karena kebaikan dalam Islam ukurannya adalah takwanya hati dan ammal shalih, sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya yang termulia di antara kalian adalah yang paling takwa.” (AlHujurat: 13)
Allah telah melihat kepad hati-hati para shahabat radhiallahu anhum, maka Allah temukan hati mereka adalah sebaik-baik hati-hati para hamba-Nya setelah hati Rasul-Nya salallahu ‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Mas’ud mengatakan:
“Sesungguhnya Allah telah melihat kepada hati-hati para hamba-Nya maka Allah temukan hati Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati terbaik diantara hamba-hamba-Nya. Maka Dia memilihnya dan diutus-Nya dengan risalah, kemudian Dia melihat kepada hati-hati para hamba-Nya setelah nabi-Nya. Maka Dia dapatkan hati-hati para sahabatlah hati-hati terbaik di antara para hamba-Nya. Maka Dia jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang merkea berperang di atas agama-Nya (Dikeluarkan oleh Ahmad I/379, Dishahihkan oleh Hakim dan disepakati Imam Ad-Dzahabi).
Maka Allah berikan kepada para sahabat ini pemahaman dan ilmu yang benar, yang ilmu tersebut tidak didapatkan pada generasi sesudahnya.
Dari Abu Juhifah, dia berkata: “Aku berkata kepada Ali: ‘Apakah kamu memiliki kitab? Atau pemahaman yang diberikan seorang muslim (selain nabi), atau apa yang ada di lembaran-lembaran ini…?’ Jawab Ali :’Tidak kecuali yang kumiliki adalah Kitabullah’.”(HR Bukhari /I-204 Fathul Bari)
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa kebaikan yang dipuji dalam sabda Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebaikan dalam hal pemahaman dan manhaj. Oleh karena itu pemahaman shahabat terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah hujjah bagi orang-orang yang datang sesudah mereka hingga akhir umat ini.
4. Akan lebih jelas lagi, Allah berfirman :
“Dan demikianlah kami telah menjadian kamu sebagai umat pertengahan agar kalian bisa menjadi saksi bagi manusia dan Rasul juga menjadi saksi atas kalian.”(Al-Baqarah:143)
Sungguh Allah Azza wa Jalla telah menjadikan mereka manusia terbaik dan adil (jujur). Mereka adalah semuila-mulia umat, paling jujur perkataan , perbuatan serta niatnya. Dengan demikian mereka berhak menjadi saksi bagi manusia. Allah mempopulerkan, meninggikan derajat, memuji mereka dan menerima mereka dengan baik, dan karena kesaksian yang diterima oleh Allah adalah kesaksian dengan ilmu dan kejujuran, maka Allah kabarkan dengan Al-Haq yang disandarkan kepada ilmu-Nya. Allah berfirman:
“Kecuali yang bersaksi dengan Al-Haq dan mereka mengetahui.”(Az-Zukhruf: 86)
Apabila syahadah mereka diterima di sisi Allah maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka terhadap Dien ini adalah hujjah bagi orang yang sesudah mereka, sebab kalau tidak sebagai hujjah berarti persaksian mereka tidak benar. Padahal ayat ini telah menetapkannya secara mutlak. Dan umat ini tidaklah memberikan katebelece (kepercayaan) kejujuran terhadap suatu generasi secara mutlak kecuali terhadap generasi para shahabat.
Sesungguhnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang mengikuti manhaj salaf serta ahlul hadits telah memberi kesaksian tentang kejujuran mereka secara mutlak dan umum. Oleh sebab itu, mereka mengambil riwayat dan sekaligus penjelasan makna hadits dari mereka (para shahabat) tanpa kecuali. Pada orang selain shahabat, tidak diberikan kesaksian tentang kejujuran mereka kecuali bagi yang memang benar-benar diakui kepemimpinannya dan kejujurannya, dan keduanya (kepemimpinan dan kejujuran) tidak diberikan kepada seseorang kecuali apabila dia berjalan di atas jejak para shahabat radhiallahu anhum.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pemahaman shahabat adalah hujjah bagi selain mereka dalam mengarahkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dari sinilah perintah Allah Ta’ala untuk mengikuti jalan mereka.
5. Allah berfirman :
“Dan ikutilah jalannya orang-orang yng kembali kepada-Ku”(Luqman:15)
Semua sahabat radhiallahu anhum adalah orang-orang yang kembali (dengan ikhlas dan taat) kepada-Nya dan Allah telah memberi hidayah pada baiknya perkataan dan shalihnya amal perbuatan mereka dengan firman-Nya :
“Yang mendengarkan perkataan lalu mereka mengikuti apa yang paling baik dantaranya (Al-Qur’an). Mereka itulah orang-orang yan telah diberi Allah petunjuk dan merekalah orang-orang yang berakal.”(Az-Zumar:18)
Dari sini, wajib bagi kita untuk mengikuti jalan mereka dalam memahami Dienullah, baik dalam memahami Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Allah mengancam orang-orang yang mengikuti selain jalannya para shahabat dengan neraka Jahannam dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.
6. Allah berfirman :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum mukminin, Kami biarkan dia leluasa bergelimang dalam kesesatan Jahannam dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.”(An-Nisa:115)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah mengancam kepada orang yang mengikuti selain jalannya kaum mukminin (yaitu para sahabat, karena mereka adalah orang mukminin yang haq). Maka mengikuti jalannya kam mkminin (para sahabat) dalam memahami syari’ah adalah hal yang wajib dan menyelisihnya adalah merupakan kesesatan.
7. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, dia berkata :
“Kami shalat Maghrib bersama Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam kemudian kami berpendapat: “Kita duduk saja hingga shalat Isya bersama Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam” maka kamipun duduk. Kemudian keuarlah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Kalian masih di sini?”, maka kami mengatakan:”Ya wahai Rasulullah, kami telah shalat (Maghrib) bersamamu kemudian kami berpendapat untuk duduk hingga kami shalat Isya bersamamu,” maka dia berkata: “Kalian memang baik dan kalian benar,”dia (Abu Musa) berkata: “kemudian dia (Rasulullah) menengadahkan wajahnya ke langit dan lama sekali dia seperti itu lalu mengatakan: “Bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit, apabila bintang-bintang itu sirna maka kehancuran akan menimpanya, dan aku adalah pengaman bagi para sahabatku, dan para sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Apabila mereka telah pergi maka akan datang sesuatu yang telah dijanjikan kepada umatku.”(Dikeluarkan oleh Muslim, lihat syarh Nawawi XVI/82)
Sungguh Rasulullah telah membuat perumpamaan bagi para shahabatnya radhiallahu ‘anhum untuk orang-orang Islam setelah mereka seperti kedudukan dia kepada para shahabatnya dan seperti kedudukan bintang-bintang terhadap langit.
Permisalan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam ini memberi pengertian yang sangat jelas tentang wajibnya mengikuti pemahaman para shahabat radhiallahu anhum dalam memahami Din ini seperti kembalinya umat ini kepada Nabi mereka salallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi telah mejelaskan Al-Qur’an dan para shahabat radhialllahu anhum pun telah menukil penjelasannya secara utuh untuk disampaikan kepada umat ini.
Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berbicara dengan hawa nafsunya. Apa saja yang berasal darinya adalah Ar-Rusyd (Al-Haq) dan Al-Huda (petunjuk). Para shahabat semuanya adil (jujur). Mereka tidak berbicara kecuali dengan jujur dari tidak beramal kecuali dengan haq. Dan demikian juga bintang-bintang telah Allah ciptakan sebagai senjata pelempar bagi para setan ketika mereka mencuri berita, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia (yang terdekat) dengan hiasan yaitu bintang-gemintang. Dan kami telah memelihara (dengan sebenar-benarnya) dari setiap setan yang sangat durhaka, setan-setan itu tak dapat mendengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru untuk mengusir mereka dan bagi merekalah siksaan yang abadi, namun barangsiapa (diantara mereka yang mencuri-curi pembicaraan), maka ia akan dikejar oleh suluh api yang sangat menyala.”(Ash-Shafat:6-10)
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Dan sungguh Kami telah menghiasi langit dunia dengan pelita-pelita (bintang-bintang) dan Kami jadikan bintang-bintang itu sebagai alat pelempar bagi setan dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang meyala-nyala.”(Al-Mulk:5)
Demikian juga para shahabat radhialllahu anhum, mereka adalah hiasan umat ini. Pemahaman, ilmu dan amal mereka adalah benteng dari takwilnya orang-orang bodoh dan benteng dari berbagai aliran Ahlul Batil serta tahrifnya (penyelewengannya) orang-orang yang ghuluw (berlebih-lebihan).
Seperti itu pula, sesungguhnya bintang-bintang itu adalah menara bagi penduduk bumi untuk memberi petunjuk kepada mereka dalam kegelapan, baik di laut maupun di darat. Allah berfirman :
“..dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan), dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapatkan petunjuk.”(An-Nahl:16), dan Allah berfirman:
“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.”(Al-An’am:97) demikian pula keadaan para shahabat. Mengikuti mereka akan memberi kesalamatan dari kegelapan syahwat (kebrutalan hawa nafsu) dan syubhat (bahaya pengkaburan), dan siapapun yang berpaling dari pemahaman shahabat maka dia berada dalam kesesatan dimana kegelapan demi kegelapan semakin melilitnya sehingga kalau dia mengulurkan tangannya hampir tidak akan terlihat.
Dengan pemahaman shahabat, kita membentengi Al-Qur’an dan As-Sunnah dari berbagai bid’ah setan dari jenis manusia ataupun jin. Mereka hanya menginginkan timbulnya fitnah dan menghendaki takwilnya untuk merusak apa yang dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya. Maka pemahaman shahabat radhiallahu anhum adalah benteng dari segala keburukan dan benteng dari sebab-sebab yang menimbulkannya. Kalau pemahaman para sahabat tidak bisa dijadikan hujjah maka mustahil pemahaman gernerasi setelah para sahabat menjaga pemahaman para shahabat dan menjadi benteng baginya.
Apabila pengkhususan dan pembatasan ini ditolak yaitu wajibnya memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih dengan pemahaman -maka akan semakin jauhlah seorang muslim dari “kebenaran yang mutlak” dan (yang lebih buruk lagi) berbagai firqah dan partai akan menjadi terhalang untuk kembali ke jalan yang benar.
Sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan penangkal berbagai pemahaman yang menyimpang seperti : Muta’zilah, Murji’ah, Jahmiyah, Syi’ah, Tassawuf, Sufi, Khawarij, Bathiniyah,dan selain mereka, maka tidak bisa tidak harus ada pemisah. Maka jika ada yang bertanya: “Memang tidak diragukan lagi bahwa pemahaman Rasul salallahu ‘alaihi wa sallam dan pemhaman para sahabat adalah manhaj yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan darimanapun datangnya, namun apa dalilnya bahwa manhaj salafi adalah merupakan pemahaman Rasul salallahu ‘alaihi wa sallam beserta para shahabatnya?”
Saya katakan bahwa jawabannya ada beberapa sisi : (a). Sesungguhnya berbagai pemahaman (firqah-firqah) yang telah saya sebutkan di atas, munculnya adalah setelah masa kenabian dan Khulafaur Rasyidin dan tidak ada satupun dari mereka (firqah-firqah) yang menyandarkan permahamannya kepada para sahabat, bahkan mereka menentang para sahabat. Maka jelaslah bahwa kelompok yang tidak berjalan di atas jalan (pemahaman) kelompok-kelompok di atas dan tidak mengikuti thariqah mereka, maka dia berada pada pokok yang asli (di atas pemahaman Rasul dan para sahabat). (b). Tidak akan kita temukan dalam berbagai kelompok tadi yang sesuai dengan pemahaman shahabat radhiallahu anhum kecuali hanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan dari para pengikut Salafus Shalih dan Ahlul Hadits. Coba perhatikan!
Muta’zilah : Bagaimana mungkin mereka sesuai dengan pemahaman para shahabat radhiallahu anhum padahal tokoh-tokoh mereka telah mencerca dan mencela banyak sahabat yang mulia. Bahkan mereka menolak keadilan (kejujuran) para shabat dan menganggap para shahabat telah sesat, sebagaimana perkataan tokoh mereka Washil bin Atha yang mengatakan:
“Seandainya Ali, Thalhah atau Zubair atau dari pengikut rombongan onta (Aisyah radhiallahu anha), mereka syahid di atas segenggam bunga kol. Maka aku tidak akan meyakini keyakinan mereka!!!” (lihat Al-Farqu bainal Firaq hal.119-120)
Syi’ah : Mereka telah menuduh para shahabat murtad setelah wafatnya Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya tiga orang saja (lihat ‘Al Kafi oleh Al-Kilani hal.115 dan di ‘Rijaul Kassi hal. 12-13). Padahal orang yang mengkafirkan para shahabat tidak bisa dihadikan sebagai panutan dan teladan serta tidak ada kemuliaan baginya.
Khawaij : Mereka telah menyempal dari dien dan telah menyempal pula dari jama’ah kaum muslimin. Di antara pokok pemikiran madzhabnya adalah mengkafirkan Ali, anaknya, Ibnu Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah, Muawwiyah. Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang tidak mengambil sahabat sebagai hujjah (ilmu dan amal) bahkan mengkafirkan mereka, bukanlah orang yang berjalan di atas jalannya para shahabat.
Sufiyah/Tassawuf : Mereka telah istihza’ (mempermainkan) dan menginjak-injak warisan para nabi. Mereka juga telah menggugurkan dan tidak mau mengambil ilmu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan mensifatinya dengan sesuatu yang sudah mati. Tokoh-tokoh mereka mengatakan : “Kalian mengambil ilmu secara mati dari orang yang mati, sedangkan kami mengambil ilmu kami dengan “hatiku yang telah mengilhamkan kepadaku dari Rabbku” (suara batin)!?
Murji’ah : Mereka meyakini bahwa imannya orang munafiqin sama dengan imannya para sahabat As-Sabiqul Awwalun.
Pada prinsipnya, semua firqah menginginkan batalnya kesaksian kita terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dan bahkan mengkritik dan mencelanya. Padahal sebaliknya justru merekalah yang lebih pantas untuk dicela, dicerca dan dicaci. Dengan demikian jelas dan gamblanglah bagi kita bahwa pemahaman salafi adalah merupakan manhaj Al-Firqatun Najiyah dan At-Thaifah Al-Manshurah dalam pemahaman, pengambilan ilmu dan dalil. Kalau begitu, maka siapakah sebenarnya Al-Firqatun Najiyah dan At-Thoifah Al-Manshurah itu?