Sunday, May 17, 2015

Syahrbanu, Iran dan Islam

Ini artikel dari Ali Reza yang membantah tulisan saya tentang pernikahan Imam Husain dan Syahrbanu/Syahzanan yang terbit di Fimadani.Com. Sengaja saya post di blog ini agar banyak dibaca orang dengan terlebih dahulu meminta izin kepada penulis.
Tulisan Saudara Jumal Ahmad[1] yang mengangkat tema pernikahan Imam Husaindengan seorang putri raja Persia menarik perhatian saya. Meski menggabungkan tema tersebut dengan beberapa tema lain yang sudah biasa dituduhkan kepada Syiah sekaligus dijawab oleh ulama Syiah—seperti ratapan saat Asyura, caci maki terhadap sahabat, atau kekeliruan terhadap pemahaman imamah—namun muatan utama tulisan tersebut adalah anggapan bahwa riwayat pernikahan tersebut dibuat oleh Syiah untuk melegitimasi akidahnya dan berdusta atas nama ahlulbait.

Riwayat pernikahan Imam Husain dengan seorang putri raja Persia bernama Syahrbanu sama sekali tidak berkaitan dengan akidah, karena akidah Syiah jelas dibangun oleh tauhid, kenabian, dan hari akhir. Karenanya, seorang pengikut Syiah yang tidak meyakini riwayat pernikahan tersebut tidak kemudian terkeluar dari Syiah. Dengan demikian, tuduhan bahwa riwayat pernikahan tersebut berkaitan dengan “akidah”, yakni, imam ahlulbait hanya berasal dari keturunan Imam Husain—karena menikah dengan putri Persia—sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat.
Seperti riwayat dan kabar sejarah pada umumnya, perbedaan riwayat-riwayat yang muncul bukanlah berarti bahwa seluruhnya adalah mutlak palsu dan tertolak. Sekaitan dengan riwayat pernikahan Imam Husain dengan putri raja Persia, Yazdgerd III, yang dikenal dengan nama Syahrbanu, dalam Syiah sendiri juga menjadi perhatian kritis; bukan sebuah riwayat yang menjadi dogma atau dikultuskan.
Di antara kitab yang menyebutkan riwayat tersebut adalah Ushûl Kâfi dan ‘Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ, namun kedua kitab tersebut menyebutkan peristiwa pada zaman yang berbeda. Sebagaimana yang dijelaskan ulama Syiah, kitab-kitab hadis Syiah tidaklah mencatat riwayat yang seluruhnya sahih. Tidak seperti sahih Bukhari yang disebut sebagai kitab paling sahih setelah Alquran, riwayat dalam kitab hadis Syiah seperti Al-Kâfimaupun Al-Bihâr terus dikritisi oleh para ulama Syiah sendiri. Riwayat dalam Ushûl Kâfi tersebut, misalnya, mendapat kritikan baik dari sisi sanad maupun matan.
Sementara terkait pribadi Syahrbanu, ahli tarikh seperti Yaqubi (w. 284 H), Muhammad bin Hasan Qummi, Kulaini (w. 329 H), Muhamad bin Hasan Shaffar Qummi (w. 290 H),Allamah Majlisi (w. 1110 H), Syekh Shaduq (w. 381 H), Syekh Mufid (w. 413 H) memandangnya benar sebagai putri Yazdgerd III meski mereka tidak sepakat mengenai namanya.[2] Dalam sumber suni, di antara nama-nama yang disebutkan adalah Salafah, Salamah, Harrar, atau Ghazalah. Sementara dalam sumber Syiah, di antara nama-nama yang disebutkan adalah Syahzanan, Jahansyah, Fatimah, Mariam, namun yang lebih sering disebut adalah Syahrbanu.
Sementara nama-nama putri Yazdgerd yang disebut oleh Masudi tidak sesuai dengan nama-nama yang pernah disebutkan—oleh ahli sejarah lain yang jumlah lebih banyak—untuk ibu Imam Sajjad dan Masudi sendiri tidak menyebutkan kisah tentang penawanan dalam kitabnya. Perlu diingat juga bahwa pelafazan nama Persia bagi orang yang tinggal di Arab bukanlah sesuatu yang lazim. Misalnya perubahan nama Roozbeh menjadi Salman Al-Farisi atau Khosrau menjadi Kasra. [3] Sementara nama Ummu Walad yang disebut para ahli sejarah sebagai ibu dari Ali bin Husain, disebutkan tertawan di beberapa tempat seperti Sistan, Sinad, atau Kabul. Ummu Walad sendiri hanyalah sebutan yang memiliki arti “budak wanita yang memiliki anak”.
Dengan kritikan terhadap riwayat dan perbedaan sejarah tersebut, maka sulit untuk mendapatkan informasi yang pasti terkait istri Imam Husain bin Ali. Namun demikian, hal yang lebih penting adalah tuduhan bahwa riwayat tersebut diciptakan untuk melestarikan keyakinan Persia dan melegitimasi akidah Syiah. Jauh sebelum Ahmad Jumal mengutip pendapat nasionalis Iran dan orientalis—kelompok kedua yang disebut ini sering kali mendapat kritikan, namun juga digunakan untuk memperkuat dalil—Syahid Muthahhari telah mengkritik tuduhan tersebut dalam kajiannya tentang Islam dan Iran.

Keyakinan Syiah dan Persia[4]

Sejak awal menerima Islam, rakyat Iran sudah menunjukkan ikatan emosional yang lebih kuat kepada keluarga nabi (ahlulbait) dibandingkan dengan rakyat dan bangsa lain. Namun beberapa orientalis berusaha mewarnai ikatan emosional ini dengan motif tersembunyi dan menafsirkannya sebagai reaksi melawan Islam, atau setidaknya melawan Arab, dengan tujuan menghidupkan tradisi dan kebiasaan kuno Iran. Pandangan orang-orang ini melengkapi dalih yang baik bagi dua kelompok. Pertama, kelompok suni fanatik yang menggunakannya untuk memfitnah Syiah sebagai kelompok politik bermuka dua dalam Islam—seperti yang dilakukan Ahmad Amin, penulis Mesir, dalam bukunya Fajr Al-Islâm yang telah dibantah oleh Allamah Syekh Muhammad Husain Kasyif Al-Ghita dalam bukunya Ashl Asy-Syî’ah wa UshûlihâKedua, mereka yang disebut sebagai nasionalis Iran, yang bertolak belakang dengan kelompok pertama, membanggakan Iran untuk melestarikan dan menghidupkan kembali tradisi Persia kuno di bawah jubah Syiah.
Dalam Qânun wa Šakhsiyyât, salah satu terbitan Universitas Tehran, Dr. Parviz Sanii, ketika menyatakan bahwa pengajaran sejarah di sekolah-sekolah kita kering, dangkal, dan hambar dan karena itu harus hidup, mendalam, dan analitis, menulis:
Sebagai contoh, masalah perbedaan Syiah dan suni berkaitan dengan Islam diajarkan sebagai masalah sejarah. Dikatakan bahwa orang Iran, yang cenderung kepada Ali, mengikutinya, dan perbedaan mendasar antara pengikut Syiah dan suni adalah karena kita menganggap Ali sebagai khalifah pertama, sementara suni menganggapnya sebagai khalifah keempat. Metode penjelasan dan pendeskripsian masalah ini menunjukkan bahwa perbedaan Syiah dan suni sebenarnya hal yang formal dan sepele, sehingga perbedaan itu sendiri dibuat agar terlihat tidak masuk akal. Bertahun-tahun setelah meninggalkan sekolah, dalam perjalanan studi saya, saya sampai pada kesimpulan bahwa kelahiran sekte Syiah memiliki asal-usul yang bersumber dari pemikiran Iran yang ingin menjaga independensi nasional dan warisan kunonya. Seperti Imam Husain yang menikahi putri raja Persia terakhir, sehingga putra dan anak keturunannya dianggap sebagai pangeran dan penerus kekaisaran Iran yang agung. Dengan cara ini mereka berhasil memastikan keberlanjutan pemerintahan Iran dengan seluruh tradisi dan perbedaan masa lalu. Setelah itu, gelar “sayid” yang dikhususkan untuk keturunan para imam, menjadi pengganti bagi gelar “pangeran” (shâhzâdeh).
(Arthur) Comte de Gobineau dalam bukunya, Les Religions Et Les Philosophies Dans L’Asie Centrale, yang diterbitkan sekitar seratus tahun yang lalu, telah menelusuri akar keyakinan Syiah dalam kemaksuman dan kesucian para imam kepada dogma Iran kuno terkait asal-usul ketuhanan raja-raja Sasaniyah. Dia menganggap pernikahan Imam Husain dengan Syahrbanu sebagai faktor yang bertanggung jawab atas berpindahnya keyakinan tersebut kepada pemikiran Syiah. Edward G. Browne juga menganut pandangan Gobineau tersebut.
Seperti itulah pandangan beberapa orientalis dan orang Iran—yang berada dalam pengaruh leluhur—menafsirkan dan menjelaskan keyakinan Syiah dan penyebab kemunculannya. Tentu saja, diskusi rinci terkait masalah ini membutuhkan risalah terpisah, namun tetap tidak dapat dihindari untuk menjelaskan beberapa isu relevan di sini.
Masalah pernikahan Imam Husain dengan Syahrbanu, putri Yazdgerd, dan kelahiran Imam Sajjad (Ali bin Husain) dari seorang putri Iran serta pertalian para imam dari garis keturunannya dengan dinasti Sasaniyah menjadi alasan bagi sebagian orang-orang aneh dengan tujuan menafsirkan kencederungan orang Iran kepada keluarga nabi saw. karena hasil dari hubungannya dengan dinasti Sasaniyah, dan untuk menafsirkan keyakinan Syiah tentang hak ketuhanan para imam keluarga nabi sebagai sisa dari kepercayaan Iran kuno tentang kekuasaan para kaisar Sasaniyah, karena memang sebuah fakta bahwa raja-raja Sasaniyah meyakini bahwa mereka berasal dari langit yang memiliki kedudukan luar biasa atau setengah dewa, dan keyakinan mereka ini didukung oleh kepercayaanZoroaster.
Oleh karena itu, mereka mengatakan, di satu sisi para raja Sasaniyah percaya bahwa diri mereka memiliki asal-usul ketuhanan dan di sisi lain garis keturunan para imam suci kembali kepada mereka, dan karena semua pengikut Syiah mereka adalah orang Iran, yang menurut mereka sebuah kedudukan langit, atas dasar premis-premis tersebut maka kesimpulan logis yang muncul adalah keyakinan Syiah terkait masalah kepemimpinan para imam suci merupakan cabang dari keyakinan Iran kuno.
Untuk membuktikan kejanggalan argumen tersebut, sebagai jawaban awal, kita harus katakan bahwa pandangan tersebut di atas didasari oleh dua premis yang perlu dipisahkan satu sama lain.
Pertama, merupakan sesuatu yang alami ketika sebuah bangsa dengan serangkaian kepercayaan dan nilai-nilai—baik agama maupun non-agama—kemudian berpindah kepada sebuah keyakinan yang baru, pasti menyimpan beberapa keyakinan lama di hati mereka dan tanpa sadar membaurkannya dalam keyakinan yang baru. Sebagaimana juga mungkin saja orang-orang tersebut harus menerima keyakinan yang baru dengan tulus tanpa ada niat untuk menjaga keyakinan lama mereka dalam bentuk baru, tapi karena hati mereka tidak sepenuhnya bebas dari keyakinan yang lama, mereka dengan satu dan lain cara, membawa keyakinan lama mereka bersama diri mereka sendiri kepada keyakinan yang baru.
Tidak ada keraguan bahwa beberapa negara yang kemudian memeluk Islam setelah sebelumnya penyembah berhala dan politeis, sementara yang lainnya Kristen atau Zoroaster, dan paling mungkin keyakinan lama mereka memberikan pengaruh kepada pemikiran dan keyakinan Islam mereka. Hal ini juga jelas terlihat bahwa orang-orang Iran juga mempertahankan keyakinan lama mereka dalam bentuk pakaian islami. Sayangnya, bagian dari takhayul kuno tersebut masih ada di beberapa orang Iran saat ini, seperti melompati api pada hari Rabu terakhir setahun atau bersumpah dengan sinar lampu, yang merupakan sisa-sisa pra-Islam masa lalu. Merupakan sebuah kewajiban agama untuk menjaga keyakinan Islam yang asli dari tercemar oleh keyakinan-keyakinan jahiliah pra-Islam.
Jika kita ingin mempelajari masalah imamah dan wilayah, kita harus merujuk pada Quran dan riwayat otentik dari nabi sehingga kita mampu untuk mengetahui apakah keyakinan seperti itu ada di dalam Islam sebelum berbagai bangsa dunia menganut Islam.
Studi terhadap Quran dan sunah nabi yang pasti mengungkapkan bahwa, pertama, kedudukan samawi dan suci beberapa orang saleh dapat dibuktikan oleh Quran itu sendiri. Kedua, Quran baik secara eksplisit maupun implisit, telah menegaskan masalahimamah dan wilayah. Selain itu, nabi saw. yang mulia juga menyatakan bahwa keluarganya (‘itrah) mendapatkan kedudukan tersebut.
Sebelum muslim-muslim Arab berhubungan dengan bangsa-bangsa lain dan terpengaruhi oleh keyakinan mereka, gagasan seperti itu telah ada dalam Islam. Sebagai contoh, sebuah ayat Alquran dalam surah Âli ‘Imrân ayat 33-34 menyebutkan:
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat, (sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (keturunan) dari yang lain. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini jelas menyatakan kedudukan khusus beberapa manusia yang ditandai oleh gagasan wilayah. Keyakinan Syiah tentu berakar dari Quran dan sunah, dan tidak ada keraguan akan hal tersebut. Kami tidak bermaksud untuk memulai masalah ini—meskipun membutuhkan bidang yang lebih luas untuk didiskusikan—karena tidak relevan dengan penelitian kami saat ini. Apa yang kita bahas di sini adalah hubungan Iran dengan keyakinan Syiah dan juga mengacu pada pernyataan beberapa orientalis dan pengikut mereka yang mengatakan bahwa keyakinan Syiah diciptakan oleh orang Iran sebagai media untuk melawan Islam serta melestarikan dan melindungi keyakinan kuno yang telah kuat diyakini di bawah jubah Syiah.
Poin lain adalah ketika sebuah bangsa ditundukkan oleh bangsa lain baik secara militer maupun politik, secara sadar ia akan melekat pada keyakinan lama dengan menjaganya diam-diam, dan ini merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap penakluknya. Beberapa orientalis, begitu juga orang-orang Iran yang terpengaruh leluhurnya, biasanya menyatakan bahwa Iran memilih Syiah dengan tujuan menyamarkan keyakinan lama secara diam-diam. Sekarang kami akan melakukan pemeriksaan analisis terkait pandangan ini.
Pandangan ini berhubungan dengan sesuatu yang sudah didiskusikan, yaitu, apakah orang-orang Iran menerima Islam dengan tulus atau ia merupakan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka dengan kekuatan? Jika orang-orang Iran dipaksa untuk melepaskan keyakinan lama mereka dan menyerah pada agama baru, seseorang mungkin menganggap bahwa mereka berpura-pura membuang keyakinan kuno mereka dan menerima Islam di bawah tekanan. Tapi merupakan fakta yang telah dibangun bahwa umat muslim tidak pernah memaksa orang Iran untuk meninggalkan agama dan keyakinan mereka; sebaliknya, umat Islam mengizinkan mereka untuk mempertahankan kuil-apinya.
Setelah mengadakan perjanjian dzimmah dengan ahlulkitab (Yahudi, Kristiani, dan Zoroaster), umat Islam bahkan menganggap dirinya berkewajiban untuk menjaga kuil mereka dan melindunginya dari kehancuran. Selain itu, tampaknya tidak mungkin sejumlah kecil orang-orang Arab—yang jumlahnya tidak pernah melebihi beberapa ribu—dapat memaksa sebuah bangsa yang jumlahnya beberapa juta untuk mengingkari agaman dan keyakinan mereka, terutama ketika keduanya, kelompok yang dilengkapi dengan senjata dan kekuatan yang imbang, atau lebih tepatnya, ketika orang-orang Iran lebih siap dalam hal ini.
Oleh karena itu, pasukan Arab tidak dalam posisi menggunakan tekanan kepada orang Iran untuk memaksa mereka meninggalkan agamanya. Mengingat fakta ini, mungkin akan ditanyakan, jika orang Iran ingin menjaga tradisi dan keyakinan kuno mereka, apa perlunya bagi mereka untuk menjadi munafik tunduk pada Islam dan menyelamatkan agama mereka di bawah jubah Syiah? Terlepas dari hal ini, kami telah membuktikan sebelumnya bahwa penerimaan Islam oleh Iran berlangsung secara bertahap, dan pengaruh Islam terhadap masyarakat Iran dan dominasinya terhadap Zoroastrianisme lebih besar dan mendasar selama periode ketika Iran merebut kembali kemerdekaan politik mereka. Dalam fakta terang ini, tidak ada dasar sama sekali untuk tuduhan absurd seperti itu.
Edward Browne sendiri telah mengakui dalam banyak tempat di bukunya bahwa orang-orang Iran dengan rela dan pilihan mereka sendiri untuk memeluk Islam. Dalam A Literary History of Persia dia menulis:
Lebih sulit dari melacak wilayah penaklukan kekuasaan Sasaniyah adalah kemenangan bertahap agama Muhammad terhadap Zoroaster. Seringkali dianggap bahwa pilihan yang ditawarkan oleh pejuang Islam adalah antara Quran dan pedang… Jumlah orang Persia yang memeluk Islam pada hari-hari pertama kekuasaan Arab mungkin sangat besar daripada alasan yang diberikan di atas, namun masa terakhir keyakinan kuno mereka dan catatan kepindahan tidak rutin selama berabad-abad berturut-turut, memberi kemungkinan bahwa penerimaan Islam berlangsung damai dan suka rela.
Mengutip (Reinhart) Dozy (Essai Sur L’Histoire de L’Islamisme, halaman 156), E. G. Browne menulis:
Bangsa yang paling penting dalam memeluk Islam adalah bangsa Iran, karena mereka memberikan kekuatan dan keseimbangan bagi Islam. Mereka bukan orang Arab. Dari merekalah sekte paling penting muncul.
Respon rakyat Iran terhadap Islam begitu bergairah dan bersemangat sehingga tak seorang pun dapat menuduh mereka dengan tabir sentimen kebangsaan dan tradisi keagamaan dengan menyamar dalam bentuk Syiah, sehingga mereka harus mempertahankan dan mempropagandakan keyakinan kuno mereka dalam jubah yang baru.
Sebelumnya, kami telah menjelaskan bahwa salah satu alasan utama kekalahan rakyat Iran—meskipun mereka memiliki seluruh kekuasaan dan keagungan—adalah ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah dan agama mereka. Rakyat merasa jijik terhadap mereka dan siap untuk mencari tempat berlindung. Mereka sudah siap menyambut panggilan keadilan serta kebenaran dan dengan segera menerimanya. Semangat yang luar biasa rakyat Iran dalam menerima keyakinan Mazdak juga didorong oleh ketidakpuasan yang sama. Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa Zoroastrianisme telah merosot dan jika Islam tidak sampai ke Iran, Kristen akan berjaya di sana.
Pergeseran orang-orang Iran dari Avesta kepada Quran (juga) merupakan sebuah masalah sederhana dan alami. (Pertama), orang-orang Iran tidak punya alasan untuk tetap berpegang pada nilai-nilai yang mereka pelajari dari Avesta, atau kebiasaan untuk meyakini raja-raja mereka dan menyembunyikannya di bawah jubah Syiah dengan tujuan mengamalkannya.
Kedua, ketika Yazdgerd gagal untuk mempertahankan ibu kotanya, dia melarikan diri mencari perlindungan dari satu kota ke kota lain dan dari satu propinsi ke propinsi yang lain bersama rombongan istana yang besar, wanita selir, ribuan musisi, anjing pemburu, aktor dan badut, dan juga sejumlah besar pegawai lainnya, yang semuanya itu dia anggap masih sedikit. Jika rakyat Iran ingin menolong dia dari tentara yang menyerang, jelas mereka mampu melakukannya. Tapi mereka tidak memberinya pertolongan hingga dia tiba di Khorasan, di mana, sekali lagi tidak mendapati dukungan dari pihak manapun, sehingga harus bersembunyi di sebuah penggilingan, dan akhirnya terbunuh oleh penggilingan itu sendiri atau oleh seorang penjaga perbatasan berkebangsaan Iran. Bagaimana bisa seseorang menjelaskan pandangan bahwa orang Iran yang tidak memberikan perlindungan apapun untuk Yazdgerd, tapi kemudian menghubungkan kecintaan mereka kepada keluarga nabi saw. hanya karena hubungan (pernikahan) mereka dengan Yazdgerd, sampai menghormati dan menjaganya dalam hati?
Ketiga, jika kita menerima hipotesis bahwa orang-orang Iran terpaksa menyembunyikan sentimen mereka di bawah jubah Syiah pada abad pertama, mengapa mereka tidak merobek jubah ini bahkan dua abad setelah mereka meraih kemerdekan, agar sentimen asli mereka diketahui semua orang? Sebaliknya, mengapa dengan berlalunya waktu, mereka justru semakin mencurahkan komitmen yang lebih besar terhadap Islam, dan memutus diri mereka dari keyakinan lama?
Keempat, sementara setiap muslim Iran tahu bahwa Syahrbanu tidak mendapat penghormatan yang lebih besar daripada para ibu imam suci yang lain—di antara mereka adalah orang Arab dan beberapa lainnya berasal dari Afrika—apakah pengikut Syiah Iran atau non-Iran lebih menghormati dan memulikan ibu Imam Sajjad dibandingkan para ibu imam yang lain? Narjis Khatun, ibu Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kehadirannya—merupakan seorang budak Romawi, tapi beliau jelas lebih dihormati oleh rakyat Iran dibandingkan Syahrbanu.
Kelima, jika kita meneliti kisah pernikahan Syahrbanu dengan Imam Husain berdasarkan bukti-bukti sejarah, pernikahan ini dan kelahiran Imam Sajjad melalui seorang putri Iran diragukan keasliannya.
Kisah kedekatan rakyat Iran dengan para imam suci karena alasan hubungan mereka dengan dinasti Sasaniyah melalui Syahrbanu serupa dengan kisah Yusuf yang diceritakan ulang oleh seseorang yang berkata: “Putra seorang imam, Yakub, dicabik-cabik oleh seekor serigala di atas menara.”  Orang itu diberi tahu, “Dia putra seorang nabi, bukan imam. Beliau Yusuf, bukan Yakub. Beliau juga bukan di atas menara, tapi di bawah sumur. Karenanya, cerita tersebut benar-benar palsu, karena Yusuf tidak pernah dicabik-cabik oleh seekor serigala.”
Begitu juga seluruh kisah pernikahan seorang putri Yazdgerd yang disebut bernama Syahrbanu atau yang lainnya dengan Husain bin Ali dan keberadaan dia sebagai ibu Imam Sajjad adalah diragukan dari sudut pandang bukti sejarah. Sejarawan kontemporer biasanya meragukan keaslian kisah ini dan menganggapnya sebagai tak berdasar. Mereka mengatakan bahwa di antara seluruh ahli sejarah hanya Ibnu Wadhih Al-Yaqubiyang menyatakan bahwa ibunda Ali bin Husain adalah Harrar, putri Yazdgerd, dan Imam Husain menamainya Ghazalah. Edward Browne sendiri menganggap kisah ini palsu. Christensen juga menganggap kisah ini meragukan. Said Nafisi dalam Târikh-e Ejtemâ’i-ye Irân (“Sejarah Masyarakat Iran”) menjulukinya sebagai fiksi.
Jika kita menganggap bahwa orang-orang Iran telah menciptakan dan mengarang cerita ini untuk membenarkan cinta mereka kepada ahlulbait, yang pasti bahwa itu dilakukan dua abad setelah peristiwa terjadi—yaitu, bersamaan dengan kemerdekaan politik Iran. Seiring waktu, keyakinan Syiah juga telah berusia dua ratus tahun. Sekarang, apakah dibenarkan untuk mengatakan bahwa kencederungan rakyat Iran kepada Syiah merupakan hasil dari sebuah rumor tentang status bangsawan para imam ahlulbait?
Kisah pernikahan Imam Husain dengan seorang putri Yazdgerd yang meragukan merupakan pandangan berdasarkan penelitian sejarah. Tapi kisah ini dikonfirmasi oleh sejumlah hadis, salah satunya dicatat oleh Kulaini dalam Al-Kâfî. Diriwayatkan bahwa putri-putri Yazdgerd dibawa ke Madinah sebagai tawanan pada masa kekhalifahan Umar, dan wanita-wanita Madinah berkumpul untuk melihat mereka. Atas saran Amirulmukminin Ali, Umar membebaskan mereka untuk memilih orang yang ingin dinikahi, dan salah satu di antara mereka adalah Husain bin Ali. Tapi terlepas dari kesesuaian riwayat ini dengan bukti sejarah, di antara periwayat hadis ini terdapat dua orang yang kehadirannya di sanad menjadikannya tidak dapat diandalkan. Salah satu di antara mereka adalah Ibrahim bin Ishaq Al-’Ahmari An-Nahawandi, yang oleh para ahli rijal dianggap meragukan dari sisi agama dan riwayatnya tidak dapat diandalkan. Satu orang lainnya adalah ‘Amr bin Syimr, yang juga dianggap sebagai pendusta dan pembuat-buat riwayat. Saya tidak dalam posisi menilai riwayat lain terkait masalah ini. Seluruh riwayat terkait masalah ini perlu diteliti dan diperiksa secara hati-hati.
Keenam, jika orang-orang Iran menghormati para imam ahlulbait karena hubungan mereka dengan dinasti Sasaniyah, mereka juga seharusnya—karena alasan yang sama—menghormati keluarga Umayyah, karena mereka yang menyangkal keberadaan putri Yazdgerd yang bernama Syahrbanu sekalipun, mengakui bahwa salah satu putri Yazdgerd yang bernama Syahafrid, tertawan di salah satu pertempuran Qutaibah bin Muslim pada masa Walid bin Abdul Malik, yang kemudian menikahinya, dan melalui pernikahan ini lahirlah Yazid bin Walid bin Abdul Malik, yang dikenal sebagai Yazid An-Naqish. Karenanya, Yazid An-Naqish, salah seorang khalifah Umayyah, juga memiliki hubungan dengan raja-raja Sasaniyah dan seorang pangeran Iran dari sisi ibu. Tapi mengapa orang-orang Iran tidak mengekspresikan penghormatan dan kecintaan kepada Walid bin Abdul Malik sebagai menantu Yazdgerd dan kepada Yazid bin Walid sebagai seorang pangeran Iran? Juga kenapa, sebagai contoh, orang Iran menunjukkan kecintaan yang besar kepada Imam Ridha, padahal hubungannya dengan Yazdgerd telah berlalu enam generasi?
Jika orang-orang Iran terdorong oleh sentimen kebangsaan seperti itu, mereka juga seharusnya dengan luar biasa menghormati Ubaidullah bin Ziad, karena tentu dia adalah keturunan Iran. Ayah Ubaidullah adalah keturunan yang tidak diketahui, tapi ibu Ubaidullah, Marjanah, adalah seorang wanita Iran yang berasal dari Syiraz, yang dinikahi oleh Ziad ketika menjabat gubernur provinsi Fars. Lalu atas alasan apa orang-orang Iran, yang disebutkan oleh orang-orang di atas, memiliki sentimen kebangsaan dan rasial, memuliakan para imam ahlulbait karena kekerabatan mereka dengan dinasti rakyat Iran, tapi di sisi yang lain, meskipun memiliki kekerabatan yang sama, membenci dan memandang rendah Ubaidullah yang berdarah Iran dan ibunya yang asli orang Iran, Marjanah?
Ketujuh, pandangan tersebut dapat diterima sebagai kebenaran jika keyakinan Syiah hanya dibatasi untuk orang-orang Iran, atau setidaknya, jika orang-orang Iran menjadi kelompok Syiah pertama, atau jika mayoritas orang-orang Iran yang menjadi Islam menerima keyakinan Syiah. Tetapi faktanya adalah orang-orang Syiah yang pertama bukanlah orang Iran—dengan pengecualian Salman—dan juga mayoritas orang Iran yang menjadi Islam bukanlah Syiah. Sebaliknya, di era awal Islam sebagian besar ulama muslim yang berasal dari Iran dalam bidang tafsir, hadis, kalam, dan sastra mereka semua adalah suni, dan beberapa di antara mereka memiliki bias yang kuat terhadap Syiah—sebuah kecenderungan yang terus menerus sampai Safavi berkuasa (907/1501). Sebagian provinsi di Iran dihuni oleh mayoritas suni sampai pada masa Safavi. Ketika mengutuk Imam Ali dari mimbar-mimbar pada masa pemerintahan dinasti Umayyah menjadi sebuah praktik biasa, orang-orang Iran yang terpengaruh propaganda jahat Bani Umayyah, juga tertipu dan melakukan praktik jahat tersebut. Bahkan dikatakan, ketika Umar bin Abdul Aziz melarang praktik tersebut, beberapa kota di Iran menolak perintah larangan tersebut.
Mayoritas ulama suni terkemuka biasanya adalah orang Iran sampai kemunculan Safavi—mufasir, muhadis, teolog, filosof, sastrawan, leksikograf, dan filolog. Abu Hanifah, fakih besar ahlusunah, yang dikenal sebagai Imâm A’zhâm adalah orang Iran. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, muhadis besar suni, yang rangkumannya dianggap sebagai kitab hadis suni terbesar, juga orang Iran. Demikian pula, Sibawayh di kalangan ahli bahasa, Al-Jauhari dan Al-Firuzabadi di kalangan leksikograf, Az-Zamakhsyari di kalangan mufasir, dan Abu Ubaidah dan Wail bin Atha di kalangan teolog, mereka semua adalah orang Iran. Mayoritas ulama Iran dan masyarakatnya tetap suni sampai pada masa Safavi.
Referensi:
[1] Ahmad, Jumal (18 Maret 2013). “Hakikat Pernikahan Imam Husain dan Syahzanan Putri Yazdrajid”Fimadani.
[4] Muthahhari, Murtadha. “Islam and Iran: A Historical Study of Mutual Services”At-Tawhid. Ahlul Bayt Digital Islamic Library Project.