Oleh:
Lukman Ma'sa
Muqaddimah
Tidak dapat
disangkal lagi bahwa kegiatan tulis menulis dan juga kegiatan pendidikan di
dunia Islam telah berlangsung sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Ini dapat
dilihat dengan adanya bukti-bukti bahwa ketika nabi masih hidup, para sahabat
banyak yang mencatat hal-hal yang diimlakan beliau kepada mereka. Ada juga
sejumalah sahabat yang menyimpan surat-surat nabi atau salinannya. Hudzaifah
r.a. menutukan bahwa Nabi meminta dituliskan nam orang-orang yang masuk Islam,
maka Hudzaifah menuliskannya sebanyak 1500 orang. Selain itu ada juga aturan
registrasi nama orang-orang yang mengikuti perang.[1]
Bahkan
seperampat abad sesudah Nabi wafat, di Madinah sudah terdapat gudang kertas
yang berhimpitan dengan rumah Utsman bin Affan. Dan menjelang akhir abad
pertama pemerintah pusat membagi-bagi kertas kepada para gubernur.[2]
Rasulullah SAW yang menjadi kepala negara Madinah semenjak tahun
pertama Hijriyah hidup di tengah-tengah masyarakat sahabat, para sahabat bisa
bertemu dengan beliau secara langsung tanpa adanya birokrasi yang rumit seperti
sekarang ini. Rasulullah SAW bergaul dengan mereka di masjid , di pasar, ruma
dan dalam perjalanan.
Segala ucapan perbuatan dan kelakuan Rasulullah SAW-yang kita
kenal sabagai hadits[3] –
akan menjadi ushwah bagi para sahabat r.a. dan mereka akan berlomba-lomba
mewujudkannya dalam kehidupan mereka. Tidak dapat kita sangkal bahwa tidak
semua sahabat mendengar satu hadis secara bersamaan, sehingga ada sahabat yang
menuliskan hadits dalam shahifah agar tidak tercecer, seperti shahifah Abdullah
bin Amru bin Ash.
Bagaimana hal ini bisa terjadi sementara hadits dari Abu Said al
Khudri meyebutkan
”Jangan kalian
tulis apa yang kalian dengar dariku, barangsiapa yang menuliskan selain dari
al-Qur’an, hendaklah dihapus”.(H.R. Muslim)
Dan ternyata setelah Rasulullah SAW meninggal dunia sahifah-sahifah
berisi hadits-hadits Rasullah SAW seperti sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah,
Sahifah Jabir Ibn Abdullah, Samurah Ibn Jundab dan yang lainnya[4]. Bahkan Muhammad Mustafa Azami PhD menulis
dalam tesis doktoralnya yang berjudul Studies in Early Hadits Literature bahwa sejak awal pertama hijriyah
buku-buku kecil berisi hadits telah beredar[5].
Walaupun ada sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasulullah SAW,
kodifikasi hadits ini tidak dilakukan secara formal seperti halnya al-Qur’an
sampai abad pertama Hijriyah berlalu, padahal bisa saja para sahabat
mengumpulkan hadits-hadits shahih dan mensarikannya dalam sebuah kitab.
pengarang fajrul Islam memberi komentar
Mungkin hal itu
juga terpikirkan oleh sebagian mereka, tetapi pelaksanaannya amat sukar. Sebab
mereka tahu sewaktu Nabi SAW wafat jumlah sahabat yag mendengarkan dan
meriwatkan dari beliau 114.000 orang. Setiap orang masing-masing mempunya satu,
dua hadits seringkali nabi mengatakan sebuah hadits di hadapan segolongan
sahabat yang tidak didengar oleh golongan lain[6].
Adapun dalam
perkembangan penulisan hadits telah dicoba mengelompokkannya kedalam beberpa
periode, seperti yang dirumuskan oleh M Hasbi Asyiddiqi yang membagi kedalam
beberaa periode pada masa Nabi dan sahabat, yaitu pada abad pertama, M
Hasbi Asyiddiqi membagi menjadi tiga periode[7].
1. Periode Pertama (Masa Rasulullah SAW)
Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW
atau dari sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang
di Dusun, dan ada yang di kota. Adakalanya diterangkan oleh istri-istri rasul
seperti dalam masalah kewanitaan dan rasulullah SAW juga memerintahkan para
sahabat untuk menghapal dan menyebarkan hadits-haditsnya diantara sabda beliau
yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
”Dan ceritakanlah dariadaku, tidak ada
keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang
siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati
kedudukannya di neraka.”
Perlu diketahui bahwa dalam menyampaikan
hadits dilakukan dengan dua cara :
1.
Dengan
lafadz asli, yakni menurut laafadz yang mereka dengar dari rasulullah Saw.
2.
Dengan
makna saja, yakni hadits tersebut disampaikan dengan mengemukakan makna saja,
tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan Nabi.
Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadits-hadits
beliau seperti Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu Rasulullah SAW
berkhutbah, setelah seorang dari yaman datang dan berkata. ”Ya Rasulullah
tuliskanlah untukku”,tulislah Abu Syah ini.”[8]
Kembali kepada pelarangan Rasulullah SAW dalam penulisan hadits. Tujuan Rasulullah adalah agar al-Qur’an tidak bercampur dengan
apapun, termasuk erkataan beliau sendiri. Ketika menemukan ternyata ada
sahifah-sahifah berisi hadits pada masa Rasulullah SAW kita tidak akan berani
mengatakan bahwa para sahabat menghiraukan perintah Rasulullah SAW. Setelah
diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti
sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Daud;
”Tulislah, maka
jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran”
Hadits ini terlihat kontradiktif dengan hadits sebelumnya, berikut
ini adalah pendapat para ulama untk mengkomromikan kedua hadits ini;
1.Bahwa
larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang memerintahkan
menulis
2.Bahwa
larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat khusus diizinkan
3.Bahwa
larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampur
adukannya denga al-Qur’an, sedangkan keizinan menulis ditujukan kepada mereka
yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.
4.Bahwa
larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al-Qur’an,
sedang untuk diakai sendiri tidak dilaarang.
5.Bahwa
larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan dicatat
oleh para sahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan.
2. Periode Kedua (Masa
Khalifah Rasyidah)
Pada masa erintahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., pengembangan
hadits tidak begitu pesat, hal ini disebabkan kebijakan kedua khalifah ini
dalam masalah hadits, mereka menginstruksikan agar berhati-hati dalam
meriwayatkan hadits. Bahkan khalifah Uimar r.a dengan tegas melarang
memperbanyak periwayatan hadits. Hal ini dimaksudkan agar al-Qur’an terpelihara
kemudiannya dan ummat Islam memfokuskan dirinya dalam pengkajian al-Qur’an dan
penyebarannya.
Hakim meriwayatkan; pernah suatu malam Abu Bakar r.a merasa bimbang
sekali, pagi harinya ia memanggil putrinya Aisya r.a dan meminta kumpulan
hadits yang ada padanya lalu Abu Bakar membakarnya.
Lain halnya ada masa khalifah Utsman dan Ali r.a, mereka sedikit
memberi kelonggaran dalam mengembangkan hadits tetapi mereka masih sangat
berhati-hati agar tidak bercampur dengan al-Qur’an, Khalifash Ali r.a, melarang
penulisan selain al-Qur’an yang sesungguhnya ditujukan untuk orang-orang awam,
karena beliau sendiri memiliki sahiofah yang berisi kumpulan hadits.[9]
3. Periode Ketiga ( Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat Islam dilanda fitna
besar, dimana mereka terpecah menjadi 3 golongan; Golongan pendukung Ali
(syi’ah), golongan pendukung Muawiyah dan golongan Khawarij.
Dalam perkembangannya golongan-golongan ini mulai memalsukan
hadits dengan tujuan membenarkan golongan mereka dan menjatuhkan golongan lain.
Hal ini mendorong para sahabat dan tabi’in lebih berhati-hati dalam meriwatkan
dan mengumpulkan hadits. Tapi walau bagaimanapun belum ada kodifikasi secara
formal.
Abad pertama seluruhnya mencakup masa sahabat, sebab
sahabat-sahabat yang banyak meriwayatkan hadits meninggal pada abad pertama
Hijriyah ini, walaupun ada yang meninggal sesudah itu. Tidak dipungkiri bahwa
pada abad pertama penulisan hadits yang dilakukan oleh tabi’in juga sudah ada.
Oleh karena itu perlu dipisahkan antara hadits-hadits yang di tulis oleh para
Sahabat dan hadits-hadits yang ditulis oleh Tabi’in. Dalam pembahasan ini akan
dikhususkan pada tulisan para Sahabat.
Disini akan dituliskan nama-nama sahabat, serta kegiatan mereka
berkenaan dengan penulisan hadits, serta tahun mereka lahir dan kapan wafatnya.
Hal ini penting kita ketahui dalam pembahasan sejarah penulisan hadits.
1. Abu umamah al-Bahili
Nama aslinya Shudai bin ’Ajlan, RA (10 SH - 81 H). Beliau termasuk
yang berpendapat membolehkan penulisan hadits. Hadits-hadits beliau ditulis
oleh al-Qasim al-Syami.[10]
1. Abu Ayyub al-Ansari
Nama aslinya Khalid bin Zaid, RA. (w. 52 H) beliau menulis
beberapa hadits Nabi dan dikirimkan kepada kemanakannya, seperti yang
dituturkan dalam kitab Musnad Imam Ahmad[11]. Cucu beliau, yaitu Ayyub bin Khalid bin
Ayyub al-Ansari juga meriwayatkan 112 hadits. Yang biasanya hadits yang banyak
semacam ini dalam lembaran-lembaran(shahifah).
1. Abu Bakar al-Siddiq, RA. ( 50 SH – 13 H)
Dalam suratnya kepada Anas bin Malik, gubernur Bahrain, Abu Bakar
mencantumkan beberapa hadits tentang wajibnya membayar zakat bagi orang-orang
Islam[12]. Abu bakar juga berkirim surat kepada ’Amr
bin al-’Ash, dimana dalam surat itu dicantumkan beberapa hadits Nabi[13].
1. Abu Bakrah al-Tsaqafi
Nama sebenarnya Nufa’i bin Masruh (w. 51 H).
Beliau menulis surat kepada anaknya yang menjadi hakim di Sijistan, dimana
beliau mencantumkan beberapa hadits berkaitan dengan peradilan[14].
Abu Rafi, Mantan Sahaya nabi SAW.
Beliau wafat sebelum tahun 40 H. Abu Bakr bin
Abd Rahman mengatakan, ia diberi kitab oleh Abu Rafi’ yang berisi hadits-hadits
tentang pembukaan shalat[15]. Hadits-hadits dari Abu Rafi’ ditulis oleh
Abdullah bin ’Abbas; seperti yang dituturkan Salma, ia melihat Abdullah bin
Abbas membawa papan-papan untuk menulis hadits-hadits amaliah Nabi dari Abu
Rafi’[16].
1. Abu Sa’id al-Khudri
Nama aslinya Sa’ad bin malik, RA, (w. 74 H). Beliau dekenal
sebagai orang yang melarang murid-muridnya untuk menulis hadit-hadits
daripadanya. Tetapi beliau menulis hadits untuk dirinya sendiri, sebagaimana
dikutip al-Khatib al-Bagdadi dalam kitab Taqyyid al-’Ilm bahwa belai berkata ”Saya tidak
menulis apapun selain al-Qur’an dan tasyahhud[17].
1. Abu Syah, orang dari Yaman
Ketika Rasulullah SAW menaklukkan kota Makkah, beliau berpidato,
lalu Abu Syah memohon kepada Rasulullah agar isi pidato itu dituliskan
untuknya. Maka Rasulullah bersabda, ”Tuliskanlah untuk Abu Syah...”[18].
1. Abu Musa al-Asy’ari
Nama aslinya Abdullah bin Qais, RA (w. 42 H).
Konon beliau menentang penulisan hadits Nabi.
Tetapi beliau menulis surat kepada Abdullah bin Abbas dengan
mencantumkan beberapa hadits nabi[19].
1.
Abu
Hurairah, RA (19 SH – 59 H)
Belaiu adalah tokoh orang-orang yang hafal
hadits. Pada awalnya Abu hurairah tidak memiliki kitab hadits, tetapi pada
masa-masa belakangan beliau menuturkan bahwa beliau mempunyai kitab-kitab
hadits, seperti dalam kisah yang diriwayatkan oleh Fadlbin ’Amr bin Umayyah al-Dlamri[20].
1. Abu Hind al-Dari, RA
Hadits-haditsnya ditulis oleh Ma,khul[21].
1. Ubai bin Ka’ab bin Qais al-Anshari, RA (w. 22 H)
Beliau adalah tokoh sahabat ahli qira’at. Hadits-hadits beliau
ditulis oleh Abu al-’Aliyah Rufai’ bin Mahran dalam sebuah naskah (buku) besar.
Hadits-haditsnya menyangkut masaalah penafsiran al-Qur’an[22].
1.
Asma
binti ’Umais, RA (w. Sesudah 40 H)
Semula beliau adalah istri Ja’far bin Abu
Thalib, lalu menikah dengan Abu bakar, kemudian dengan Ali bin Abi Thalib. Dan
dari ketiga suami tersebut beliau melahirkan putra-putra. Beliau nenyimpan
sahifah yang berisi hadits-hadits Nabi[23].
1. Usaid bin Hudhari al-Ansari, RA
Beliau wafat pada masa Khalifah Marwan bin al-Hakam. Beliau
menulis hadits-hadits Nabi, keputusan-keputusan hukum yang yang ditetapkan oleh
Abu Bakar, Umar, Utsman. Tulisan beliau itu dikirimkannya keada Marwan[24].
1.
Anas
bin Malik, RA. (10 SH – 93 H)
Beliau adalah seorang imam, pembantu Nabi dan
ahli hadits, sangat pandai menulis. Dalam beberapa riwayat bahwa Anas bin Malik
mempunyai banyak kitab. Abu Hubairah berkata, ”Apabila Anas bin Malik hendak
mengajarkan haditsnya dan ternyata jumlah muridnya banyak sekali, beliau
membawakan kitab-kitabnya, kemudian berkata ”ini adalah hadits-hadits yang saya
dengar dari rasulullah SAW, saya menulisnya dari beliau dan kemudian saya
perlihatkan kembali kepada beliau[25].
1. al-Bara’ bin Azib, RA. (w. 72 H)
Murid-murid beliau menulis hadits di hadaan beliau. Seperti
keterangan Waki’, ia diberitahu Ayahnya, dari Abdullah bin Hansy, katanya:
“Saya melihat para murid itu menulis dengan kayu dan alas tas-tas yang biasa
ditaruh di punggung hewan di kediaman al-Bara”[26].
1.
Jabir
bin Samurah, RA. (w. 74 H)
Beliau menulis hadits kemudian mengirimkannya
kepada ’Amir bin Saad. Kata Amir bin Sa’ad, ”Saya menulis surat kepada Jabir
dibawah oleh budakkuyang bernama Nafi’, agar saya diberitahu hal-hal yang
ppernah didengarnya dari Rasulullah. Maka Jabir
membalas suratku seraya menyebutkan Hadits-hadits Nabi”[27].
1. Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram, RA. (16 Sh – 78 H)
Beliau adalah sahabat yang wafat paling akhir di Madinah,
disamping sebagai penulis buku pada masa-masa awal. Beliau mempunyai kitab
tentang masalah haji yang kemudian ditulis kembali oleh Imam Muslim[28].
1. Jarir bin Abdullah al-Bajali, RA. (w. 54 H)
Beliau menulis hadits dan mengirimkannya akepada Mu’awiyah.
Seperti yang dituturkan oleh Abu Ishaq bahwa Jarir bin Abdullah termasuk
rombongan yang dikirim ke Amernia. Mereka ditimpa kekurangan pangan. Lalu Jarir
menulis surat kepada Mu’awiyah dimana disebutkan, ”Saya mendengar rasulullah
bersabda, ”Barang siapa tidak kasih sayang kepada sesama manusia, maka Allah tidak
akan mengasihinya”[29].
1. Hasan bin Ali, RA. (3 – 50 H)
Beliau pernah beresan keada orang-orang yang tidak kuat hafalannya
agar menulis hadits. Beliau juga menyimpan fatwa-fatwa Ali yang terhimpun dalam
satu sahifah[30].
1. Rafi’ bin Khadij al-Ansari, RA ( 12 H – 74 H)
Beliau menyimpan hadits-hadits Nabi yang tertulis di atas kulit[31].
1. Zaid bin Arqom (w. 66 H)
Beliau menulis hadits dan mengirimkannya kepada Anas bin Malik.
Dalam surat itu Zaid mengatakan, ”saya akan menyampaikan kabar yang
menggembirakan dari Allah untukmu.yaitu saya mendengar Rasulullah SAW
berdo’a,”wahai Allah, ampunilah dosa orang – orang anshor dan anak-anaknya”[32].
1. Zaid bin Tsabit Al- Anshori, RA (w 45 H )
Beliau ahli qira’at dan menjadi sekertaris Nabi. Zaid terbukti
menulis Hadits-hadits Nabi, sebagaimana beliau menulis juga menulis
pendapat-pendapatnya sendiri misalnya dalam masalah kakek ( dalam hukum waris
), Zaid menulis hal itu kepada Umar bin Khatthab atas permintaan Umar. Tulisan
Zaid itu termasuk buku yang pertama kali ditulis dalam masalah faraid[33].
1. Subai’ah al-Aslamiyah
Beliau adalah istri Sa’ad bin Kaulah. Meriwayatkan hadits
dari nabi SAW. Beliau juga menuliskan hadit untuk para Tabi’in.
1. Sa’ad bin Ubadah al-Anshari, Sayyid al-Khazraj, RA. (w. 15 H)
Sejak masa Jahiliyah beliau sudah aktif menulis. Beliau juga
memiliki kitab-kitab yang kemudian diriwayatkan oleh beberaa anggota
keluarganya. Bahwa didalam kitab-kitab Sa’ad bin Ubadah terdapat keterangan
bahwa Raslullah SAW mengadili perkara dengan sumpah ditambah saksi[34].
1.
Salman
al-Farisi, RA (w. 32 H)
Beliau menuliskan hadits-hadits Nabi untuk Abu Darda[35].
1.
al-Sa’ib
bin Yazid, RA (2 – 92 H)
salah seorang murid beliau, yaitu Yahya bin
Sa’id menulis sejumlah hadits yang berasal dari beliau, dan dikirimkannya
kepada Ibn Lahi’ah. Ibn Lahi’ah sendiri menuturkan bahwa Yahya bin Sa’id
mendengar sendiri hadiots-hadits itu dari al-Sa’ib bin Yazid[36].
1.
Samurah
bin Jundub, RA (w. 59 H)
Beliau menghiompun hadits-hadits Nabi dalam bentk buku. Beliau
juga menulis hadits kepada putranya damana dicantumkan banyak hadits-hadits
Nabi.[37]
1.
Sahl
bin Sa’ad al-Sa’idi al-Anshari, RA (9 SH – 91 H)
Hadits-hadits beliau diriwayatkan oleh
putranya Abbas, al-Zuhri, dan Abu Hazim bin Dinar. Abu Hazim mengumpulkan
hadits-hadits Sahl bin Sa’ad al-Sai’i, kemudian putranya Abu Hazim meriwayatkan
hadits-hadits itu[38]
1. Syaddad bin Aus bin Tsabit al-Anshari, RA. (17 SH-58 H)
Beliau adalah ahli fiqih, Saddad bin Aus mengimlakan haditsnya
kepada sejumlah pemuda. Beliau berkata ”Saya akan memberitahu tentang hadits
yang diajarkan Nabi SAW kepada kita untuk waktu beergian dan di rumah. Lalu
beliau mengimlakannya.[39]
1. Syamghun al-Anshari, Abu Raihana, RA.
Beliau termasuk tokoh penduduk Damaskus, dan orang pertama yang
melipat sahifah yang lebar untuk menulis hadits mudraj dan maqlub. Urwah
al-â’ma, hamba sahaya bani Sa’ad, menuturkan, pada waktu Abu Raihana naik
perahu, beliau membawa sahifah-sahifah hadits.[40]
1.
al-Dhahhak
bin Sufyan al-Kilabi, RA.
Rasulullah SAW mengirimkan surat kepada
al-Dhahhak dan memerintahkan agar istri Asyim al-Dhababi diberi warisan dari
diyat(denda pembunuhan) suaminya. Kemudian al-Dhahhak menulis surat keada Umar
bin Khattab, menerangkan hadits tersebut.[41]
1.
al-Dhahhak
bin Qais al-Kilabi, RA. (wafat terbunuh tahun 64
H atau 65 H)
Beliau menulis surat untuk Qais bin Haitsman seraya menyebutkan
beberapa hadits Nabi.[42]
1. Umm al-Mu’minin ’Aisyah binti Abu Bakar al-Siddiq, RA. (w. 58 H)
Beliau adalah wanita yang sangat cerdas sangat paham al-Qur’an
sunnah dan perkara agama lainnya. Beliau bersama Rasulullah sejak umur 9 tahun
sehingga beliau banyak meriwayatkan hadits yang jumlahnya mencapai 2210 buah
hadits. Beliau pandai membaca dan sering menerima surat dari orang-orang yang
menanyakan sutu masalah dalam agama.[43]
1. ’Abdullah bin Abu Aufa, RA. (w. 86 H)
Beliau adalah Sahabat Nabi yang wafat aling akhir di Kufa. Ada
beberapa murid beliau yang menuliskan hadits dari beliau ataupun ada yang
memintakan agar dituliskan hadits.[44]
1. ’Abdullah bin al-Zubair, RA. (2 - 73 H)
Beliau menulis surat kepada salah seorang hakimnya yang bernama
Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, seraya mencantumkan sebuah hadits Nabi.[45]
1. ’Abdullah bin ’Abbas, RA. (3 SH - 68 H)
Beliau sangat alim, sampai disebut tintanya ummat islam. beliau
menulis hadits-hadits Nabi dan terkadang menyuruh hamba-hambanya untuk menulis
hadits.[46]
1. ’Abdullah bin ’Umar bin al-Khattab, RA(10 SH - 74 H)
Beliau adalah alim, dan selalu melakukan hal-hal yang dilakukan
Rasulullah baik hal yang kecil maupun yang besar. Dalam surat-suratnya beliau
menulis hadits-hadits Nabi. Beliau juga memiliki buku-buku hadits serta
mempunyai naskah kitab sadaqah milik Umar bin Khattab, yang ternya itu adalah
naskah kitab sadaqah Nabi SAW.[47]
1. ‘Abdullah bin ’Amr bin al-Ash, RA. (27 SH - 63 H)
Beliau banyak menuliskan hadit-hadits Nabi, mengimlakan haditsnya
kepada muridnya. Dan menulis sebuah sahifah tentang maghazi (kisah peperangan
Nabi SAW.[48]
1.
‘Abdullah
bin Mas’ud al Hadzali, (w.32 H)
Beliau ahli fiqih yang ulung, diutus ke Kufah
sebagai guru dan wazir. Beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa beliau menulis
hadits adalah Juwaibir dari al-Dhahhak dari Abdullah bin mas’ud, katanya
“Ketika Nabi masih hidup, saya tidak menulis hadits kecuali hadits tentang
tasyahhud dan istikharah. Dan juga diriwayatkan bahwa Abd Rahman bin Abdullah
bin Mas’ud pernah memerlihatkan sahifah dan ia bersumpah bahwa sahifah itu
tulisan tangan ayahnya.[49]
1. ‘Utban bin Malik al-Anshari, RA. (wafat pada masa Mu’awiyah RA)
Beliau dipersaudarakan dengan Umar bin Khattab. Anas bin Malik
pernah menyuruh putranya agar menulis hadits yang diriwayatkan Utban bin Malik.[50]
1. ’Ali bin Abi thalib, RA. (23 SH - 40 H)
Beliau adalah hakimnya ummat Islam, termasuk salah seorang
sekertaris Nabi. Beliau memiliki sahifah yang disebutkan dalam banyak sumber.
Serta sangat menganjurkan murid-muridnya untuk menulis hadits Nabi.[51]
1. Umar bin Khattab, RA. (40 SH – 23 H)
Beliau adalah wazir Nabi SAW. Menulis hadits-hadits Nabi dalam
surat-surat resmi. Abu Ubaidah bin Jarrah juga menulis surat untukUmar, lalu
Umar menjawab, dengan mencantumkan beberaa hadits Nabi. Umar juga
mengelompokkan hadits-hadits yang khusus membahas Zakat dalam suatu surat.[52]
1. Amr bin Hamz al-Anshari, RA (wafat sesudah 50 H)
Beliau ditugaskan oleh Nabi untuk menjadi kepala daerah Najran.
Nabi SAW juga mengirimkan surat kepadanya dimana Nabi SAW menuliskan
hadits-haditsnya.kemudian Amr bin Hazm membukukan surat-surat Nabi. Buku ini
kemudian diriwayatkan oleh putranya. Dan sekarang buku ini dicetak bersama
dengan buku ‘î’lam al Sailin ‘an kutub sayyid al-mursalin’ karangan Ibn Tulun.[53]
1. Fatimah al-Zahra binti Rasulllah SAW (w. 11 H)
Beliau menyiman sahifah yang berisi wasiat beliau sendiri. Dalam
wasiat itu terdaat juga hadits-hadits Nabi SAW.[54]
1. Fatimah binti Qais, RA
Beberapa hadits beliau ditulis oleh Abu
Salamah.[55]
1. Muhammad bin Maslamah al-Anshari, RA 31 SH - 46 H)
Setelah beliau wafat, di dalam sarung pedangnya ditemukan sebuah
sahifah yang berisi hadits-hadits Rasulullah SAW.[56]
1.
Mu’adz
bin Jabal, RA (20 SH – 18 H)
Beliau diutus oleh Rasulullah ke Yaman dan
dikirimi surat oleh rasulullah yang berisi hadits-hadits tentang zakat. Yang kemudian menjadi kitab Mu’adz (yang berisi surat-surat Nabi
SAW).[57]
1.
Mu’awiyah
bin Abu Sufyan, RA (w. 66 H)
Beliau termasuk sekertaris Nabi. Dan dari Nabi pula beliau belajar
membuat titik huruf. Beliau pernah menulis surat kepada Ummul Mukminin Aisya
agar dituliskan hadits-hadits yang didengarnya dari Rasulullah. Beliau juga
pernah berkirim surat kepada Marwan dimana disebutkan beberapa hadits Nabi SAW.[58]
1.
al-Mughirah
bin Su’bah (w. 55 H)
Warrad, sekertaris al-Mughira mengatakan
bahwa ia menuliskan surat al-Mughirah yang mendiktekannya dan dikirim kepada
Mu’awiyah, dalam surat tersebut terdapat hadits Nabi SAW.[59]
1. Ummul Mukminin Maimunah binti Harits al-Hilaliyah, RA (w. 51 H)
Beliau dinikahi oleh Rasulullah pada tahun 7 H. Hadits-haditsnya
diriwayatkan oleh eks hamba-hambanya.[60]
1. Nu’man bin Basyir al-Anshari, RA (2 – 65 H)
Beliau menjadi walikota Hamsh di Syam. Ada tiga orang yang
menyimpan tulisan hadits beliau, yaitu: Qais bin al-Haitsam, al-Dahhak bin
Qais, Habib bin Salim.[61]
1. Watsilah bin al-Asqa’, RA (22 SH – 83 H)
Beliau mengimlakan hadits kepada murid-muridnya. Seerti yang
dikatakan oleh Ma’ruf al-Khayyat, beliau melihat Watsilah mendektekan hadits
Nabi dihadapan murid-muiridnya.[62]
Penutup
Sebagai kesimpulan bahwa adanya larangan untuk menulis hadits pada
masa wahyu masih turun, adalah merupakan sikap kehati-hatian Rasulullah dalam
menjaga kemurnian al-qur’an yang diikuti oleh para Khalifa Rasyidah dengan
memberikan batasan secara ketat dalam penulisan hadits. Sehingga hanya
orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan menulis hadits. Itupun dalam rang
memenuhi kebutuhan ummat akan suatu permasalah agama yang belum diketahui.
Sehingga kita dapat melihat kegiatan tulis-menulis hadits lebih pada surat
kepada Sahabat yang lain. Ataupun hadits-hadits Nabi ditulis sebagai koleksi
pribadi Sahabat.
Akhirnya kita
memohon dan berdo’a kepada Allah agar kita senantiasa dapat mengikuti
sunnah-sunnah Rasul-Nya dan Menyebarkannya. Allahumma Amin.
Daftar Pustaka
1.Muhammad
Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature,
Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
2.Qadir
Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007.
3.Rosnawati
Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham
Abati Enterprise, 1997.
4.Muhammad
Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
5.Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
6.M.
Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, 1998.
7.Bukhari,
Shahih Bukhari
[1] Muhammad
Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature,
Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Hlm. 103
[2] Ibn
Abd al-Hakam, Sirah Umar bin Abdul Aziz, yang dikutip oleh M.M. Azami dalam
buku beliau Studes in Early Hadith Literature,
Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Hlm. 104
[3] Lihat
A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007. hlm. 17.
ditambahkan dengan sifat-sifat beliau SAW.
[4] Rosnawati Ali, Pengantar
Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997. hlm. 67
[5] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi
Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. hlm. 121
[6] Ahmad
Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968. hlm. 285
[7] M.
Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, 1998. hlm. 47
et Seq
[8] Lihat
Bukhari dalam Shahihnya kitab Ilm yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
[9] M.
Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits
[10] ‘Abd
al-Razzaq, al Mushannaf, i:50-51 yang dikutip oleh
Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature,
Terj. Ali Mustafa Ya'qub, hal. 132
[11] Musnad
Imam Ahmad, v: 424, Ibid
[12] Shahih al-Bukhari, Hadits
no. 1454. Ibid
[13] Al-Tabrani, al-Mu’jam al-Kabir, i: 5 A. Ibid
[14] Musnad Imam Ahmad, v:36. Ibid
[15] Al Kifayah, 330-331. Ibid
[16] Tabaqat Ibn Saad, ii:2: 123. Thaqyyid al-Ilm,
91-92.Ibid
[17] Taqyyid al-ilm, 93. Ibn al-Qayyim, Tahdzib
al-Sunan, v:248. Ibid
[18] Shahih Bukhari, al-Lugatah, 6, hadits 2434,
6880.Ibid
[19] Musnad Imam Ahmad, iv: 396, 414. Ibid
[20] Musnad Ibn Wahb, 66 â-B. al Ilal, 120 A. Ibid
[21] N.
Abbot, Studies in Arabic Literary Papyri, ii: 238.Ibid
[22] al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, i:115. Ibid
[23] Tarikh
al-Ya’qubi, ii:114. Ibid
[24] Musnad
Imam Ahmad, iv: 226. Ibid
[25] Tarikh
Wasit, 38. Tarikh al Fasawi, iii:363A. Taqyyid al-‘Ilm, 95-96. disini tidak
disebutkan bahwa Anas bin Malik memperlihatkan catatan haditsnya kepad Nabi. Ibid
[26] Al-Ilal,
i: 42. Abu Khaitsamah, al-Ilm, 144. Ibid
[27] Shahih
Muslim, al-Amarah, 10 dan al-Fadhail, 105. Ibid
[28] Tadzkirah al-Huffadh, 43 Ibid
[29] Musnad Imam Ahmad, iv: 361. Ibid
[30] Al-Ila, i: 104. Ibid
[31] Musnad
Imam Ahmad, iv: 141. Ibid
[32] Musnad
Imam Ahmad, iv: 370 . Ibid
[33] Ibn Sa’ad, ii/1:115. al-Mustadrak, i:75. Ibid
[34] Musnad Imam Ahmad, v:285. al-Tsiqat, 396. Ibid
[35] Al-Mizan, iv: 546 . Ibid
[36] Al-Amwal, 393, 395. Ibid
[37] Tahdzib, iv: 236-237. al-Isti’ab, Ibn al
Madini, al-Ilal, 259 B. Ibid
[38] Al-Kamil, iii:4 B. al-Razi, ii/2:382. Ibid
[39] Siyar â’lam al-Nubala, ii:331. Ibid
[40] Al-Ishabah. i:157 . Ibid
[41] Sunan
Ibnu Majah, al-diyat, 12 (hadits no. 2642) Ibid
[42] Musnad
Imam Ahmad, iii:453 . Ibid
[43] Lihat
misalnya Shahih Muslim, alhajj, 369. Ibid
[44] Musnad
Imam Ahmad, iv: 353-354 . Ibid
[45] Musnad
Imam Ahmad, iv:4. Ibid
[46] Ibn
Sa’ad, ii/2:123. Ibid
[47] Al-Buukhari,
Tarikh al-Kabir, i/1:325. Ibid
[48] Tabrani,
al-Mu’jam al-Kubra, iii:176 Ibid
[49] Al Ilal, i:322 dan Jami, bayan al-Ilm, i:66. Ibid
[50] Shahih Muslim, al-iman, 54. taqyyid al-ilm,
54-55.Ibid
[51] Bisa dilihat antara lain di Musnad Imam
Ahmad, i:79.Ibid
[52] Lihat, al-Amwal, 393. Bukhari, Tarikh
al-Kabir, i/1:218 Ibid
[53] Ibn Tulun, I’lam al-Sailin, 48-52 Ibid
[54] Musnad Imam Ahmad, vi:283 . Ibid
[55] Shahih Muslim, al-Talaq, 39 . Ibid
[56] Al-Ramahurmuzi, 56 A . Ibid
[57] Musnad Imam Ahmad, v:228 . Ibid
[58] Musnad Imam Ahmad, iv: 94. Ibid
[59] Shahih Bukhari, Adzan, 155. tentang surat
Mughirah kepada Mu’awiyah, lihat shahih Bukhari, Da’wat, 18. Ibid
[60] Musnad
Imam Ahmad, vi:333 . Ibid
[61] Musnad
Imam Ahmad, iv:277. Tarikh Ibn Abi Kaitsamah, 144-B. Ibid
[62] Siyar
â’lam al-Nubala, iv:259 . Ibid
Tambahan :
Sejarah
Penulisan Hadits Pada Masa Nabi Saw
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup hadits belum mendapat
pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti al-Quran. Para sahabat, terutama
yang mempunyai tugas istimewa, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk
mengabadikan ayat-ayat Alquran di atas alat-alat yang mungin dapat
dipergunakannya. Tetapi, tidak demikian halnya terhadap hadits. Kendatipun para
sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi SAW dalam
menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan di dalam al-Quran.
Larangan Menulis Hadits
Para sahabat menyampaikan sesuatu dari hadits Nabi SAW melalui
lisan atau pendengaran saja. Pendirian ini mempunyai pegangan yang kuat, yakni
sabda Nabi SAW “Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku
selain al-Quran. Barang siapa menulis dariku selain al-Quran hendaklah ia
hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang
sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di
neraka.” (HR Muslim). Dalam riwayat lain Sa’id al-Khudri
mengatakan: “Kami pernah
meminta izin kepada Nabi SAW untuk menulis tetapi beliau tidak mengizinkannya.” (al-Muhadits al-Fashil: 4/5)
Hadits di atas, selain menganjurkan agar meriwayatkan hadits
dengan lisan, juga sebagai larangan keras kepada orang yang membuat riwayat
palsu. Larangan penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya
kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam
lembaran-lembaran tulisan al-Quran, karena dianggapnya segala yang dikatakan
Rasulullah SAW adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak
menyaksikan zaman dimana wahyu itu diturunkan, tidak mustahil adanya dugaan
bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara
al-Quran dengan hadits.
Perintah Menulis Al-Hadits
Di samping melarang menulis hadits, Rasulullah SAW juga
memerintahkan kepada beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis hadits.
Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra menerangkan bahwa
sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai kembali oleh Rasulullah SAW beliau
berdiri berpidato di hadapan para manusia. Pada waktu beliau berpidato,
tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman yang bernama Abu Syah
berdiri dan bertanya kepada Rasulullah saw., ujarnya, “Ya Rasulullah! Tulislah
untukku!” Jawab Rasul, “Tulislah
oleh kamu sekalian unutknya!”
Dan tidak ada satu pun riwayat tentang perintah menulis hadits
yang lebih sah, selain hadits ini. Sebab, Rasulullah SAW dengan tegas
memerintahkannya. Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan hadits
yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’in. Para sahabat dan
tabi’in yang mempunyai naskah hadits antara lain sebagai berikut.
Abdullah bin Amr bin Ash ra (65 H)
Abdullah bin Amr bin Ash ra adalah salah seorang sahabat yang
selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad SAW. Tindakan ini
pernah didengar oleh orang-orang Quraisy, mereka mengatakan, “Apa engkau
menulis semua yang telah kau dengar dari Nabi? Sedang beliau itu hanya manusia,
kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang-kadang berbicara dalan
suasana duka?” Atas
teguran tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada Rasulullah
SAW. Maka, jawab Rasulullah SAW, “Tulislah!
Demi Zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripadanya, selain
hak.” (HR Abu Dawud) dan Abu Hurairah pernah mengatakan: “Tidak ada satu pun sahabat Nabi
yang haditsnya melebihi aku selain Abdullah bin Amru, ia menulisnya sedangkan
aku tidak menulisnya.” (Fathul
Baari: 1/217)
Rasulullah SAW mengizinkan Abdllah bin Amr
bin Ash untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah
salah seorang penulis yang baik. Naskah ini disebut dengan Ash-Shahifah
ash-Shadiqah, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah SAW.
Naskah hadits Ash-Shadiqah berisikan hadits sebanyak 1000
hadits, dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya.
Cucunya yang bernama Amr bin Syu’aib meriwayatkan hadits-hadits tersebut
sebanyak 500 hadits. Bila naskah Ash-Shadiqah ini tidak sampai kepada kita
menurut bentuk aslinya, dapat kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad
Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan At-Tirmizi, dan Sunan Ibnu Majah.
Jabir bin Abdullah al-Anshari ra (78 H)
Naskah haditsnya disebut Shahifah Jabir. Qatadah bin Da’amah
as-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya, “Sungguh, shahifah ini lebih
kuhafal daripada surat Al-Baqarah.”
Human bin Munabbih (131 H)
Ia adalah seorang tabi’in alim yang berguru kepada sahabat Abu
Hurairah ra dan banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. Hadits-hadits
tersebut kemudian ia kumpulkan dalam satu naskah yang dinamai Ash-Shahifah
ash-Shahihah. Naskah itu berisikan hadits sebanyak 138 hadits.
Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil hadits-hadits Humam bin
Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhari banyak sekali menukil hadits-hadits
tersebut ke dalam kitab sahihnya, terdapat dalam beberapa bab.
Ketiga buah naskah hadits tersebut di atas adalah di antara
sekian banyak tulisan hadits yang ditulis secara pribadi oleh para sahabat dan
tabi’i yang muncul pada abad pertama.
Nas-nas yang melarang menulis hadits di satu pihak dan yang
mengizinkan di pihak lain bukanlah nas-nas yang saling bertentangan satu sama
lain, akan tetapi nas-nas itu dapat dikompromikan sebagai berikut.
Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi pada awal-awal
Islam untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur dengan al-Quran. Tetapi,
setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal
al-Quran, maka hukum melarang menulisnya telah dihapus dengan perintah yang
membolehkannya. Dengan demikian, hukum menulisnya adalah boleh.
Bahwa larangan hadits itu adalah bersifat umum, sedang perizinan
menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian tulis-menulis,
hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan
salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada orang yang lebih
kuat menghafalnya daripada menulisnya, sedang perizinan menulisnya diberikan
kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti Abu Syah.
Penjelasan di atas sekaligus sebagai bantahan kepada pengusung
orientalis yang memiliki anggapan bahwa hadits baru ditulis pada abad kedua
atau hadits tidak pernah ditulis pada masa Nabi SAW.
Wallahu ‘Alambisshawab