Friday, July 10, 2015

Perbedaan Said Aqil Siradj ( Islam Nusantara ) dan Muslim Turki ( Manhaj Salaf ) Dalam Penindasan Muslim di Cina dan Uighur, Terkait Duit !! ( Ghirahnya Lenyap )

"Islam Nusantara" duit Segala-galanya dengan segala cara”, "Islam Manhaj Salafush-shalih" Ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Entah mengapa Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj bersikap lunak terhadap Cina. Diduga pemberian santunan Duta Besar Republik Rakyat Cina untuk Indonesia Xie Feng kepada 500 anak yatim piatu dan santri NU menjadi sebabnya.

Dalam pertemuan dengan Xie Feng itu Said berharap agar Umat Islam di RRT bisa menjaga kondusifitas dengan tak mengusik ranah politik pemerintahan RRT. Ini agar mereka bisa hidup dengan tetap damai.
“Saya berharap kepada umat Islam RRT, beribadahlah dengan tenang jangan masuk wilayah politik. Cukup diberi kebebasan beribadah dengan baik, jangan ngutik-utik politik di RRC,” imbau Said di Kantor PBNU, Jakarta Senin lalu (6/7).
Said menyatakan di Beijing maupun Guangzhou orang Islam beribadah dengan tenang di sana.
Sayangnya dalam pertemuan penting itu Said tidak menyinggung soal penderitaan Muslim di Cina dan Uighur. Dimana pemerintah Cina melarang keras umat Islam di sana untuk mengunjungi masjid dan berpuasa.
Bahkan pemerintah Cina juga membunuhi Muslim di sana yang protes terhadap kebijakan pemerintah yang represif itu.
Sikap Ketua Umum PBNU ini beda jauh dengan sikap Muslim Turki dan pemerintahnya. Masyarakat Turki ramai berdemo menentang Cina dengan melakukan pembakaran bendera negara komunis itu.
Di samping itu pemerintah Turki juga siap menampung bila Muslim Uighur lari dari negaranya.(*dbs/iz)

Muslim Uighur Ditindas, Hubungan Cina-Turki Memburuk

Selama 10 hari terakhir sentimen anti-Cina meningkat di Turki.
Para demonstran membakar bendera Cina, menyerang sejumlah restoran Cina, bahkan mereka dituduh menyerang turis-turis yang disangka berasal dari Cina.
Protes dimulai menyusul laporan bahwa umat Islam dari etnis Uighur di Cina dilarang berpuasa selama bulan Ramadhan.
Para demonstran Turki berang oleh adanya laporan mengenai tindakan aparat Cina terhadap kaum Muslimin dari etnik Uighur selama Ramadan di Xinjiang.
“Warga kami sedih mendengar kabar bahwa etnis Uighur Turki dilarang berpuasa atau melakukan kewajiban beragama lainnya di wilayah Xinjiang,” sebut pernyataan Kementerian Luar Negeri Turki, pekan lalu.
Sebagai balasan, pemerintah Cina mengklaim bahwa mereka menghormati kebebasan beragama umat Islam dan tuduhan bahwa sejumlah aktivitas beragama dilarang di Xinjiang pada bulan Ramadan ini “sangat bertentangan dengan fakta” dan dibesar-besarkan oleh media Barat.
“Tidak ada lembaga negeri, organisasi swasta atau individu yang dapat memaksa orang lain untuk percaya atau tidak percaya agama apapun. Mereka tidak boleh mendiskriminasi antar penduduk beragama maupun yang tidak beragama,” klaim pemerintah Cina.
Namun, penjelasan tersebut tidak dapat meredam kemarahan warga Turki.
Restoran Happy Cina milik Cihan Yavuz diserang oleh massa yang mengamuk di Istanbul pekan lalu.
Namun turis tampak tidak takut berwisata di Turki walaupun pemerintah Cina mengeluarkan peringatan perjalanan.
Turis Cina sendiri tampaknya tidak terhalang oleh meningginya sentimen anti-Cina di Turki.
“Kami sangat tahu apa yang sedang terjadi. Namun kami tidak mengalami masalah apapun. Kami percaya Turki. Warga Turki sangat ramah dengan kami,” kata wisatawan bernama Lucky Zhang seperti dikutip BBC, Kamis (9/7).
Pekan ini, pemerintah Cina mengeluarkan imbauan bagi warganya yang bepergian ke Turki dan memperingatkan mereka agar menjauh dari demonstrasi dan tidak merekamnya.
Pemerintah Cina telah berusaha mengendalikan ekspresi keagamaan di Xinjiang dengan memberlakukan sejumlah peraturan bagi etnis Uighur.
Beberapa peraturan yang terdapat di sejumlah bagian Xinjiang termasuk:
·   Perempuan dilarang berjilbab.
·   Kaum Uighur juga tidak boleh membeli pisau di beberapa area.
·  Aktivitas shalat diatur ketat. Anak-anak di bawah usia 18 tahun dilarang ke masjid.
· Pasangan harus mengajukan permohonan menikah kepada pemerintah dan tidak boleh dinikahkan secara diam-diam oleh imam.
·   Hanya pria tua Uighur yang boleh memelihara janggut.

·  Rangkaian peraturan dan ketatnya pengawasan aparat Cina terhadap umat Islam diamini seorang etnik Uighur. Kepada BBC, dia mengaku pindah ke Turki dari Xinjiang pada Desember 2014.
·  Dia mengatakan aparat Cina menginterogasi keluarganya ketika mereka berbuka puasa saat Ramadhan.
· “Mengapa Anda memelihara janggut? Mengapa Anda membaca Qur’an? Mengapa perempuan berjilbab?” kata orang yang meminta identitasnya tidak disebutkan itu, menirukan pertanyaan aparat.
·  Setelah menginterogasi, para serdadu kemudian menahan dia dan keluarganya di penjara. “Mereka bahkan menahan anak saya yang berusia 10 tahun dan keempat temannya.”
·  Begitu bebas, pria itu kemudian pergi bersama keluarganya ke Turki melewati Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia. Kini dia hidup di Istanbul bersama istri dan keempat anaknya.
·   Sumber: BBCIndonesia

Demonstrasi Marak di Turki Kecam Cina

Kebijakan pemerintah Cina yang semena-mena terhadap Muslim Uighur menimbulkan protes keras Muslim Turki. Kini semua warga negara China yang berada di Turki diminta untuk menghindari kerumunan orang yang menggelar protes anti-China.
Peringatan Kementerian Luar Negeri dikeluarkan setelah berlangsung sejumlah demonstrasi di Istanbul pada akhir pekan untuk menentang perlakuan pemerintah China terhadap minoritas Uighur yang beragama Islam.
“Belum lama ini, pelancong Cina diserang dan diganggu.” Peringatan yang disampaikan Kementerian Luar Negeri komunis Cina melalui website pada Ahad, 5 Juli 2015, itu menyatakan telah terjadi berbagai demonstrasi yang mengarah kepada kepentingan pemerintah Cina.
Hubungan antara Turki dan Cina tegang setelah pemerintah negeri komunis itu melarang muslim Uighur yang tinggal di Propinsi Xinjiang beribadah dan menunaikan puasa pada bulan suci Ramadan.
Perlakuan pemerintah Cina mendapatkan perhatian besar warga Turki yang memiliki latar belakang budaya dan agama sama dengan warga Uighur.
Turki pada Jumat, 3 Juli 2015, bersumpah akan membuka pintu selebar-lebarnya bagi etnis Uighur untuk melarikan diri guna menghindar dari penganiayaan.
“Warga Cina diminta untuk tidak mendekat atau memfilmkan unjuk rasa serta mengurangi kegiatan di luar rumah,” bunyi peringatan dari Kementerian.
Koran Turki, Hurriyet, dalam laporannya menulis, ada sekelompok massa menyerang rumah makan Cina di distrik terkenal di Istanbul, Tophane, pekan lalu. “Mereka menghancurkan kaca jendela.”
Pada Ahad, 5 Juli 2015, ratusan pengunjuk rasa menggeruduk kantor konsulat Cina di Istanbul sambil membawa bendera dan meneriakkan slogan anti-Cina di luar gedung. Para pengunjuk rasa juga membakar bendera Cina.
“Kaum Uighur adalah saudara kami. Mereka dianiaya karena imannya,” tutur Muhammet Gokce, 17 tahun, yang mengenakan ikat kepala warna biru dengan kalimat “Warga Turki Timur Kalian Tidak Sendiri.”
Pada pekan lalu, Turki berjanji untuk selalu membuka pintunya lebar-lebar bagi kaum Uighur yang beragama Islam jika ingin melarikan diri dari penganiayaan di china.
Turki juga menyatakan kekesalannya atas China karena telah melakukan pembatasan kepada kaum Uighur dalam melakukan ibadah puasa selama bulan Ramadan.
Ratusan orang Uighur tewas dibunuh selama kurang lebih tiga tahun terakhir di dalam penyerangan yang menimpa kota Xinjiang. Beijing menyalahkan militan Islam akan hal ini, dan menuduh mereka ingin membentuk negara independen yang dinamakan dengan Turkestan Timur.(*atjehcyber/iz)

Unjuk Rasa di Turki Bela Muslim Uighur, Demonstran: “Jangan Beli Produk China”

Ahad kemarin merupakan hari ke-5 warga Turki melancarkan aksi protes untuk membela saudara-saudaranya, Muslim Uighur, yang ditindas oleh otoritas China. Hampir 2.000 orang berunjukrasa di Konsulat China di Istanbul, Turki pada Ahad (5/7) untuk memprotes apa yang mereka sebut sebagai diskriminasi terhadap warga Muslim China.
Aksi protes telah berlangsung di Turki sejak Selasa (30/6) lalu. Mereka juga memprotes klaim dari Kementerian Luar Negeri China yang menyatakan “keprihatinan yang mendalam” atas tuduhan pemerintah Turki bahwa otoritas China memberlakukan larangan puasa terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.
Kemenlu China mengklaim bahwa negaranya telah menerapkan ‘kebebasan beragama’, termasuk terhadap Muslim Uighur.
Klaim China tersebut kian membakar kemarahan para demonstran. Sebelum sampai ke konsulat, para demonstran membakar bendera China.
Aksi protes, seperti dilansir Anadolu Agency, Ahad (5/7) dan Senin (6/7), didominasi laki-laki dengan beberapa wanita dan anak-anak. Mereka membawa bendera Turkestan Timur (sebutan lain Xinjiang) seraya meneriakkan: ‘Turki tidak tidur, melindungi saudara-saudaramu’, ‘Hidup Muslim Turkestan Timur’, dan ‘Hidup bebas Turkestan Timur’.
Xinjiang yang dihuni etnis minoritas Muslim Uighur merupakan Daerah Otonomi. Wilayah adalah rumah bagi banyak kelompok etnis minoritas, termasuk Uighur, yang di Turki dikenal sebagai Turkestan Timur.
Para Demonstran juga membawa spanduk bertuliskan: ‘Jangan Membeli Produk-produk China’ dan ‘China Pembunuh, keluar dari Turkestan!’
Para pengunjuk rasa meninggalkan karangan bunga hitam di Konsulat. Aksi di Konsulat China di Istanbul ini mendapat penjagaan yang ketat dari polisi. (mus/salam-online)
Sumber: Anadolu Agency


Turki Terima Ratusan Warga Uighur, China    
Meradang

Pemerintah Turki telah berkomitmen untuk membuka pintu mereka lebar-lebar untuk pengungsi Uighur yang lari dari pengekangan beragama di China. Langkah ini diperkirakan akan menambah ketegangan antara Turki dan China.



Diberitakan Reuters, Jumat lalu situs Radio Free Asia melaporkan bahwa 173 warga Uighur wanita dan anak-anak tiba di Istanbul pekan ini dari Thailand. Sebelumnya, mereka ditahan lebih dari setahun oleh imigrasi Thailand karena masuk secara ilegal.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki Tanju Bilgic menolak mengomentari laporan tersebut. Namun dia mengatakan bahwa Turki tetap akan menyambut baik "saudara-saudara dari Uighur" karena memiliki "ikatan kebudayaan dan sejarah."



"Turki membuka pintu bagi warga Uighur yang telah tiba atau ingin datang ke negara kami," kata Bilgic.

Reuters belum bisa mengonfirmasi laporan Radio Free Asia. Namun Worasit Piriyawiboon, pengacara Thailand yang pernah mewakili keluarga Uighur mengatakan, lebih dari 170 warga Muslim Uighur meninggalkan Thailand Senin lalu menggunakan "penerbangan sewaan rahasia" yang disediakan Turki.

Warga Uighur merupakan etnis minoritas di Xinjiang, China, setelah pemerintah Beijing melakukan perpindahan penduduk besar-besaran etnis Han ke wilayah itu.

Pengekangan beragama dilakukan China terhadap Muslim Uighur atas dasar pemberantasan terorisme. Setiap tahunnya, China melarang warga Muslim Uighur berpuasa atau beribadah di bulan Ramadan.

Awal bulan ini, Turki menuai kemarahan China karena mengkritik pelarangan puasa terhadap Uighur. China membantah hal tersebut dan mendesak Turki mengklarifikasi tuduhan tersebut.

China juga berang atas laporan diterimanya ratusan warga Uighur di Turki. Juru bicara Kementerian China Hua Chunying mengatakan bahwa Beijing menentang segala tindakan yang membantu imigran ilegal.

"Kami meyakini komunitas internasional memiliki tanggung jawab bersama dalam mencegah dan memberantas imigran ilegal," kata dia dalam konferensi pers Jumat lalu.


Upaya Pemerintah China Menghapus Identitas Islam   
Xinjiang

Beberapa tahun terakhir, ada sebuah tradisi baru Ramadhan di Xinjiang, Cina. Tapi, ini tradisi memalukan, karena melarang Muslim puasa, shalat, dan mengaji. Dan, seperti tahun-tahun sebelumnya, larangan itu diprotes Muslim di sana. Sebab, puasa adalah ibadah murni, dan itu adalah hak asasi.



Senin, 22 Juni, BBC melaporkan sekitar 18 Muslim Uyghur tewas dalam bentrok dengan polisi di pinggiran Kota Kashgar, Xinjiang. “Radio Free Asia melaporkan penyerang membunuh perwira polisi menggunakan bom dan pisau… salah satu kemungkinan motifnya adalah kuatnya pembatasan kepada Muslim selama Ramadhan,” tulis BBC.

Yang mendapat larangan melaksanakan ibadah puasa di Xinjiang, antara lain anggota partai beragama Islam, pelayan publik, pelajar. Selain melarang Muslim Xinjiang berpuasa, Aljazeera melaporkan pemerintah Cina memerin tahkan restoran-restoran tetap buka.

Situs Liveleaks melaporkan bahwa sejak 2009 lalu, saat Ramadhan, pemerintah komunis menyediakan makan siang gratis, teh, dan kopi. Sajian yang dibungkus dengan istilah ‘Kepedulian dari Pemerintah’ tersebut, sejatinya hanyalah strategi untuk mencari tahu siapa yang tetap berpuasa.

Trik serupa disampaikan seorang pelajar SMA di Kashgar, Mehmet, kepada Aljazeera. Saat Ramadhan, kata dia, guru-guru membawa permen, air, roti, dan meminta para siswa memakannya. “Tapi, tergantung gurunya,” katanya.

Juru bicara World Uyghur Congress, Dilxat Rexit, menyatakan selain harus buka siang hari, restoran-restoran juga ditekan menjual minuman beralkohol. Jika tidak, izinnya dicabut. Kader-kader Partai Komunis Uighur, juga diwajibkan mene ken janji untuk men cegah orang puasa dan aktivitas keagamaan lain. Bahkan, kader-kader partai itu dikerahkan mencegah orang berpuasa.



“Para imam di masjid-masjid juga di paksa berceramah bahwa berpuasa adalah aktivitas feodal dan berbahaya bagi kesehatan. Jika tidak, sertifikat keagamaan mereka bisa dicabut,” kata Dilxat. BBC melaporkan pihak Uighur menyatakan represi Beijing terhadap kewajiban menjalankan agama memprovokasi kekerasan. Dan, kekerasan memang selalu muncul. Menurut catatan BBC, ratusan orang tewas tiga tahun terakhir.

Pemerintah Cina berkilah, larangan berpuasa agar orang-orang tetap sehat, dan untuk memastikan pemerintah tidak mendukung salah satu keyakinan. Tapi, Dilxat Rexit, mengatakan, tujuan Cina sebenarnya memaksa orang Uighur keluar dari kultur Ramadhan. Semua ini adalah upaya sistematis untuk menghapus identitas Islam dari Xinjiang.

Tahun lalu, Aljazeera melakukan reportase di Kashgar. Dan, praktiknya memang keterlaluan. Selain melarang berpuasa, pemerintah juga mengatur siapa yang boleh masuk masjid, dan halaman Alquran mana yang boleh dibaca.
“Mereka ingin memotong hubungan Alquran dengan anak-anak kami. Kami dilarang mengajari mereka Alquran. Tapi, kami tetap melakukannya diamdiam di rumah,” tutur warga Uighur, Ghulam Abbas.



Saat berkeliling kota, kepada Aljazeera seorang sopir taksi bernama Umar menuding-nuding patung setinggi 24 meter di People Square. “Itu Mao Ze dong… Dia yang membawa semua orang Cina ke sini,” katanya setengah berbisik, karena tentara Cina berbaris di sana. Di seluruh Kashgar, tentara disebar untuk menghadapi ancaman militan Uighur. Situasi di bawah pemerintahan komunis Cina, merupakan situasi paling buruk bagi Muslim Uighur.
Sebenarnya, upaya warga Uighur memisahkan diri dari Cina, sudah mencuat ketika Dinasti Qing runtuh. Pada 1912 lalu, pemerintahan diambil alih oleh Republik Cina yang dimotori Partai Kuomintang-nya Sun Yat Sen dan Chiang Kai-shek.



Pada 1928, musibah mulai menimpa Muslim Xinjiang, ketika seorang warlord Han, Jin Shuren, mengambil alih tampuk kekuasaan. Dia penindas, korup, dan pembenci Muslim, terutama dari etnik Turki. Banyak tanah Muslim yang disita Jin, lalu dialihkan kepada para kolega nya, tentu dari etnis Han. Walhasil, orang Cina-Han pun kerap menjadi sasaran kebencian. Sejak Jin Shuren menjadi gubernur, sering terjadi kerusuhan etnik dan agama.

Jin juga menghapuskan pemerintahan feodal Kumul Khanate, wilayah utara Xinjiang yang dihuni etnis Uighur, yang semula wilayah semi otonom. Mereka pun memberontak menghendaki restorasi. Tapi, Jin malah membeli dua pesawat dari Uni Soviet pada September 1931. Pesawat yang diperlengkapi senjata mesin dan bom ini diterbangkan pilot Rusia dan mulai membantai para pejuang Kumul Uighur.

Kuomintang yang gerah pada Jin yang dekat dengan Rusia, mengerahkan jenderal Muslim beretnis Hui, Ma Zhong ying, untuk menumbangkan Jin. Jenderal Ma memimpin Divisi ke-36, yang sebagian besar personelnya Muslim Hui.

Pada Perang Urumqi, 1933, Jenderal Ma yang bekerja sama dengan Kumul Uyghur menang. Jin kabur ke Uni Soviet. Pada 1933, juga terjadi gerakan Uyghur di Xinjiang selatan. Dipimpin Muhammad Amin Bughra dan  saudaranya Abdullah Bughra and Nur Ahmad Jan Bughra, mereka menghendaki kemerdekaan total dari Cina-Han, maupun Cina-Hui.

Pada 12 November 1933, mereka memproklamasikan Republik Turkistan Timur. Perdana menterinya Sabit Damulla Abdulbaki, Muhammad Amin Bughra sebagai panglima perang. Republik Islam Uyghur (Sherqiy Türkistan Islam Jumhuriyiti) alias Uyghuristan ini mencakup Kashgar, Khotan and Aqsu. Ironisnya, republik baru ini dihancurkan oleh Jenderal Ma, pada Perang Kashgar, 1934. Republik Turkistan Timur pun berakhir.



Sheng Shicai, panglima perang asal Manchuria, yang didukung Soviet, kemudian jadi gubernur baru Xinjiang. Tapi, posisi politik Sheng mirip belaka dengan Jin. Demi keamanan Xinjiang dari se rangan Jepang maupun pem berontak, dia bekerja sama dengan Uni Soviet. Sebagai imbalanya, Soviet dapat konsensi sumur minyak, pertambangan timah dan tungsten (sejenis logam yang kuat), dan perdagangan yang menguntungkan Rusia. Bahkan, pada 26 November 1940, Sheng Shicai membuat perjanjian dengan Soviet yang menjamin konsesi provinsi Xinjiang untuk 50 tahun.

Eksplorasi mineral besar-besaran pun dilakukan di Xinjiang, termasuk Uranium di pegunungan dekat Kashgar. Pada 1944, Presiden dan perdana menteri Republik Cina, Chiang Kai-shek, melihat gelagat Sheng Shicai meng gabungkan Xinjiang dalam Uni Soviet, menarik Sheng Shicai. Dia dimutasi menjadi menteri pertanian.

Menyusul hengkangnya Sheng Shi cai dari Xinjiang, Republik Turkistan Timur kembali dideklarasikan pada 12 November 1944. “Alhamdulillah pemerintahan Turkistan Islam terbentuk. Bantuan Allah telah diberikan kepada kita untuk mengusir pemerintahan penindas Cina dari tanah nenek moyang kita,” kata Ali Khan Ture, salah satu pendirinya.

Ada dua presiden di Republik Tur kistan Timur jilid II ini. Yang pertama Ali Khan Ture (1944–1946), yang kedua adalah Ehmetjan Qasim (1946–1949). Negara ini membentuk pasukan militer terstruktur rapi pada 8 April 1945, yang terdiri atas enam resimen berbagai etnis, seperti Uyghur, Kazakh, China Muslim-Hui, dan Mongol.
Republik baru yang didukung Soviet ini memulai revolusinya di tiga distrik di utara Xinjiang, yaitu Ili, Tarbaghatai, Altai. Tapi, pada 1945, dukungan itu berakhir setelah Cina meneken perjanjian persahabatan dengan Uni Soviet.
Kuomintang kemudian membujuk para petinggi Republik Turkistan Timur yang masih memiliki pasukan untuk bekerja sama. Beberapa petinggi Uighur ditunjuk sebagai penasihat di Xinjiang, termasuk Ehmetjan Qasim, sebagai wakil ketua di Provinsi Xinjiang.



Pada Juli 1949, Partai Komunis yang dipimpin Mao Zedong, mengambil alih Cina. Kuomintang dan Chiang Kai-shek kemudian hengkang ke Taiwan. Dan, pada 17 Agustus 1949, Partai Komunis Cina mengirim Deng Liqun bernegosiasi dengan Republik Turkistan Timur di Ghulja.
Mao Zedong juga mengundang petinggi Republik Turkistan Timur ambil bagian dalam konferensi rakyat. Soviet pun membujuk para pemimpin Republik Turkistan Timur untuk bekerja sama dengan PKC. Saat itu, sudah ada kerja sama nuklir Soviet-Cina.



Soviet membujuk delegasi Republik Turkistan Timur meneruskan negosiasi langsung dengan menemui Stalin, sebelum ke Beijing. Tapi, pada 24 Agustus 1949, delegasi petinggi partai itu, Ehmetjan Qasimi, Abdulkerim Abbas, Ishaq Beg, Luo Zhi, Dalelkhan Sugir bayev, dan para pendampingnya, naik pesawat di Alma-Ata, Kazakhstan, untuk menuju Beijing dan bernegosiasi dengan Mao.
Tapi, pesawat malah dibelokkan ke Moskow, dan kemudian dilaporkan mengalami kecelakaan. Pada 1991, sejumlah bekas jenderal KGB, mengatakan para petinggi Republik Turkistan Timur dibunuh atas perintah Stalin pada 27 Agustus 1949, setelah tiga hari ditahan di Moskow. Rabiya Kadir, yang kini Presiden Kongres Uighur Dunia, merupakan anak salah seorang pendukung Republik Turkistan Timur.
Pada 1955, provinsi Xinjiang diganti namanya menjadi Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang. Adanya kata Uyghur di situ, menandakan bahwa otonomi itu diberikan kepada orang, bukan sekadar kepada wilayah. Sebab, orang Uyghur adalah mayoritas. Mao setuju dengan nama itu.
Tapi, RRC kemudian terus memobilisasi orang ke kawasan kaya migas dan bahan tambang tersebut, sehingga pada tahun 2000 lalu, jumlah Muslim Uighur telah kurang dari separuh dibanding orang Han yang berjumlah 10 juta orang. Itu belum termasuk imigran gelap orang Han.



Perimbangan demografi tersebut dipercepat oleh Beijing sejak 1990-an lalu, ketika Beijing mulai membangun Xinjiang, yang dikombinasikan dengan aturan-aturan yang mengekang praktik Islam. Entah sudah berapa banyak kekerasan yang terjadi, dan berapa berapa ribu orang meninggal karenanya.

Sudah ditindas, didiskriminasi, orang Uighur pun mudah dicap sebagai teroris. “Pemerintah mengatakan semua orang Uighur, jika mereka berjanggut atau mengenakan hijab, mereka adalah teroris,” Abdul Majid, pemilik toko ponsel di sekitar Alun-alun Rakyat, Kashgar, menuturkan kepada Aljazeera. Sampai kapan nestapa mendera Xinjiang?

Oleh Harun Husein
yy/republika