Sebut
Saja Muslim, Bukan Salafy
Allah telah menamakan kita Muslim, lalu mengapa menisbatkan diri kepada
Salaf?
Keraguan ini telah dijawab dengan sangat indah oleh Imam
Al-Albani dalam diskusinya dengan seseorang pada topik ini, direkam dalam kaset
dengan judul “Saya Salafi” (Ana Salafi), dan berikut adalah pemaparan bagian
penting dari diskusi tersebut.
Syaikh Al-Albani: “Jika ditanyakan kepadamu, “Apa madzhabmu?”, apa jawaban
anda?
Penanya: “Saya seorang Muslim”
Syaikh Al-Albani: “Itu tidak cukup.”
Syaikh Al-Albani: “Itu tidak cukup.”
Penanya: “Allah telah menamakan kita dengan sebutan Muslim“,
lalu penanya membacakan ayat Allah Subhanahu Wata’ala(yang artinya) “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu“ (QS Al-Hajj [22] : 78)
lalu penanya membacakan ayat Allah Subhanahu Wata’ala(yang artinya) “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu“ (QS Al-Hajj [22] : 78)
Syaikh Al-Albani: “Ini akan merupakan jawaban yang benar jika kita berada pada
masa paling awal (Islam) sebelum golongan-golongan bermunculan dan tersebar. Akan tetapi jika
kita bertanya, saat ini, kepada setiap Muslim dari golongan-golongan ini yang
mana kita berbeda dengannya dalam hal akidah, jawabannya tidak akan berbeda
dari kata ini (muslim- pent).
Semuanya, Syiah Rafidhah, Khawarij, Nusayri Alwi – akan berkata, “Saya seorang Muslim.”Karenanya hal
itu tidak lagi cukup untuk masa sekarang ini.”
Penanya: “Jika demikian saya akan menjawab, ‘Saya seorang
Muslim yang mengikuti Qur’an dan Sunnah‘”
Syaikh Al Albani: “Ini pun tidak cukup.”
Penanya: “Mengapa?”
Syaikh Al Albani: “Apakah anda menemukan
siapa saja diantara contoh yang telah kita sebutkan tadi berkata “Saya
seorang Muslim yang tidak berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah?”
Siapa diantara mereka yang berkata, “Saya tidak berpegang kepada
Al-Qur’an dan Sunnah?”
Pada point ini, Syaikh mulai menjelaskan secara rinci mengenai pentingnya
berpegang terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman para salafush-shalih.
Penanya: “Jika demikian Saya adalah seorang Muslim yang mengikuti Al-Qur’an dan
Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih”
Syaikh Al Albani: “Jika seseorang bertanya kepada anda, apa
madzhabmu, apakah
ini yang akan anda katakan kepadanya?”
Penanya: “Ya.”
Syaikh Al Albani: “Bagaimana pendapat anda jika kita menyingkat
kalimat itu, karena kata-kata yang terbaik adalah kata-kata yang sedikit tetapi
menggambarkan tujuan yang diinginkan,‘Salafi?’
Artikel ini dari
reposting:
https://kangaswad.wordpress.com/2011/06/07/sebut-saja-muslim-bukan-salafy/
Ada
Yang Bingung Dengan Istilah SALAFI, Ada Pula Yang Sok Tahu , Bahkan Memberikan
Sebutan WAHABI..
Mengenal Salaf dan Salafi
Para pembaca yang budiman -semoga Allah menunjuki kita kepada kebenaran-.
Salaf dan salafi mungkin merupakan kata yang masih asing bagi sebagian orang
atau kalau toh sudah dikenal namun masih banyak yang
beranggapan bahwa istilah ini adalah sebutan bagi suatu kelompok baru dalam
Islam. Lalu apa itu sebenarnya salaf? Dan apa itu salafi? Semoga tulisan
berikut ini dapat memberikan jawabannya.
Pengertian Salaf
Salaf secara bahasa berarti orang yang terdahulu, sebagaimana disebutkan
dalam firman Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka,
Kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya (di
laut). Dan Kami jadikan mereka sebagai SALAF dan contoh bagi orang-orang
yang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56), yakni kami menjadikan mereka sebagai
SALAF -yaitu orang yang terdahulu- agar orang-orang sesudah mereka dapat
mengambil pelajaran dari mereka (salaf). Oleh karena itu, Fairuz Abadi
dalam Al Qomus Al Muhith mengatakan, “Salaf juga berarti
orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang dan orang-orang yang
memiliki hubungan kekerabatan denganmu.” (Lihat Al Manhajus Salaf ‘inda
Syaikh al-Albani, ‘Amr Abdul Mun’im Salim dan Al Wajiz fii Aqidah
Salafish Sholih, Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary)
Kata ‘Salaf’ Tidaklah Asing di Kalangan Ulama
Mungkin banyak orang saat ini yang merasa asing dengan kata salaf, namun
kata ini tidaklah asing di kalangan ulama. Imam Bukhari -ahli hadits terkemuka-
menuturkan, “Rasyid bin Sa’ad mengatakan, ‘Dulu para SALAF menyukai kuda
jantan, karena kuda seperti itu lebih tangkas dan lebih kuat’.” Kemudian Ibnu
Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa salaf tersebut
adalah para sahabat dan orang setelah mereka.
Imam Nawawi -ulama besar madzhab Syafi’i- mengatakan dalam kitab beliau Al
Adzkar, “Sangat bagus sekali doa para SALAF sebagaimana dikatakan Al
Auza’i rahimahullah Ta’ala, ‘Orang-orang keluar untuk melaksanakan
shalat istisqo’ (minta hujan), kemudian berdirilah Bilal bin
Sa’ad, dia memuji Allah …’.” Salaf yang dimaksudkan oleh Al Auza’i di sini
adalah Bilal bin Sa’ad, dan Bilal adalah seorang tabi’in. (Lihat Al
Manhajus Salaf ‘inda Syaikh al-Albani)
Siapakah Salaf?
Salaf menurut para ulama adalah sahabat, tabi’in (orang-orang
yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang
mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal inilah yang disebut dengan salafush
sholih (orang-orang terdahulu yang sholih). Merekalah tiga generasi
utama dan terbaik dari umat ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian
generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Ahmad, Ibnu
Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mempersaksikan ‘kebaikan’ tiga generasi awal umat ini yang menunjukkan akan
keutamaan dan kemuliaan mereka, semangat mereka dalam melakukan kebaikan,
luasnya ilmu mereka tentang syari’at Allah, semangat mereka berpegang teguh
pada sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al
Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih dan Mu’taqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah,
Dr. Muhammad Kholifah At Tamimi)
Wajib Mengikuti Jalan Salafush Sholih
Setelah kita mengetahui bahwa salaf adalah generasi terbaik umat ini, maka
apakah kita wajib mengikuti jalan hidup salaf?
Allah telah meridhai secara mutlak para salaf dari kaum muhajirin dan
anshor serta kepada orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ta’alaberfirman
yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.” (QS. At-Taubah: 100). Untuk mendapatkan keridhaan yang mutlak ini,
tidak ada jalan lain kecuali dengan mengikuti salafush sholih.
Allah juga memberi ancaman bagi siapa yang mengikuti jalan selain orang
mukmin. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barang
siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115). Yang
dimaksudkan dengan orang-orang mukmin ketika ayat ini turun adalah para sahabat
(para salaf). Barangsiapa yang menyelisihi jalan mereka akan terancam kesesatan
dan jahannam. Oleh karena itu, mengikuti jalan salaf adalah wajib.
Menyandarkan Diri Pada Salafush Sholih
Setelah kita mengetahui bahwa mengikuti jalan hidup salafush sholih adalah
wajib, maka bolehkan kita menyandarkan diri pada salaf sehingga disebutsalafi
(pengikut salaf)? Tidakkah ini termasuk golongan/kelompok baru dalam Islam?
Jawabannya kami ringkas sebagai berikut: [1] Istilah salaf bukanlah suatu
yang asing di kalangan para ulama, [2] Keengganan untuk menyandarkan diri pada
salaf berarti berlepas diri dari Islam yang benar yang dianut oleh salafush
sholih, [3] Kenapa penyandaran kepada berbagai madzhab/paham dan pribadi
tertentu seperti Syafi’i (pengikut Imam Syafi’i) dan Asy’ari (pengikut Abul
Hasan Al Asy’ari) tidak dipersoalkan?! Padahal itu adalah penyandaran kepada
orang yang tidak luput dari kesalahan dan dosa!! [4] Salafi adalah penyandaran
kepada kema’shuman secara umum (keterbebasan dari kesalahan) sehingga
memuliakan seseorang, [5] Penyandaran kepada salaf bertujuan untuk membedakan
dengan kelompok lainnya yang semuanya mengaku bersandar pada Al Qur’an dan As
Sunnah, namun tidak mau beragama (bermanhaj) seperti salafush sholih yaitu
para sahabat dan pengikutnya. (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh
al-Albani).
Kesimpulannya sebagaimana dikatakan Syaikh Salim Al Hilali, “Penamaan
salafi adalah bentuk penyandaran kepada salaf. Penyandaran seperti ini
adalah penyandaran yang terpuji dan cara beragama (bermanhaj) yang tepat. Dan
bukan penyandaran yang diada-adakan sebagai madzhab baru.” (Limadza Ikhtartu
Al Manhaj As Salaf)
Solusi Perpecahan Umat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan
solusi mengenai perpecahan umat Islam saat ini untuk berpegang teguh pada
sunnah Nabi dan sunnah khulafa’ur rasyidin -yang
merupakan salaf umat ini-. Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda yang artinya, “Dan sesungguhnya orang yang hidup
di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang
teguhlah kalian terhadap sunnahku dan sunnah khulafa’rosyidinyang mendapat
petunjuk. Maka berpegang teguh dengannya dan gigitlah dengan gigi
geraham.” (Hasan Shohih, HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Jalan Salaf Adalah Jalan yang Selamat
Orang yang mengikuti jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
sahabatnya (salafush sholih) inilah yang selamat dari neraka. Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Yahudi telah
terpecah menjadi 71 golongan; satu golongan masuk surga, 70 golongan masuk
neraka. Nashrani terpecah menjadi 72 golongan; satu golongan masuk surga, 71
golongan masuk neraka. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya,
umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; satu golongan masuk surga dan 72
golongan masuk neraka. Ada sahabat yang bertanya,’Wahai Rasulullah!
Siapa mereka yang masuk surga itu?’ Beliau menjawab, ‘Mereka adalah
Al-Jama’ah‘.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, dishahihkan Syaikh Al Albani).
Dalam riwayat lain para sahabat bertanya,’Siapakah mereka wahai Rasulullah?‘
Beliau menjawab,‘Orang yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku.‘
(HR. Tirmidzi)
Sebagai nasihat terakhir, ‘Ingatlah, kata salafi -yaitu pengikut salafush
sholih– bukanlah sekedar pengakuan (kleim) semata, tetapi harus dibuktikan
dengan beraqidah, berakhlak, beragama (bermanhaj), dan beribadah sebagaimana
yang dilakukan salafush sholih.’
Ya Allah, tunjukilah kami pada kebenaran dengan izin-Mu dari jalan-jalan
yang menyimpang dan teguhkan kami di atasnya. Alhamdulillahillazi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad
wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Syamsuri (Pengajar Ma’had Jamilurrohman)
Artikel http://www.muslim.or.id
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Syamsuri (Pengajar Ma’had Jamilurrohman)
Artikel http://www.muslim.or.id
sumber : http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-salaf-dan-salafi.html
https://aslibumiayu.wordpress.com/2014/02/14/ada-yang-bingung-dengan-istilah-salafi-ada-pula-yang-sok-tahu-bahkan-memberikan-sebutan-wahabi/
https://aslibumiayu.wordpress.com/2014/02/14/ada-yang-bingung-dengan-istilah-salafi-ada-pula-yang-sok-tahu-bahkan-memberikan-sebutan-wahabi/
SALAFI, Apakah Itu Kelompok, Organisasi, Atau Jamaah
Tertentu? Ingin Tahu Jawabnya, Baca Dengan Seksama
Apa Makna Salaf, Salafi, atau Salafiyun?
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum ustadz. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kepada
ustadz, karena ada yang kurang jelas.
1. Apa makna Salaf, Salafi, atau Salafiyyun?
2. Ada buku yang pernah saya
baca, dikatakan bahwasalaf itu berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah,akan tetapi ada beberapa
orang yg saya kenal bermanhaj salaf tapi mereka mudah sekali untuk menyalahkan
atau mengatakan bahwa ini bid’ah atau sesat, mereka juga jarang senyum. Padahal kalau
yang saya baca Rasulullah itu murah senyum. Bagaimana memaknai salaf
dalam hal ini?
Maaf jika pertanyaan saya ada yg tidak berkenan di hati. Saya bertanya
karena saya baru kenal dengan manhaj Salaf
Ahmad Iqbal
Alamat: Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
Email: ahmad.ixxxx@gmail.com
Al Akh Yulian Purnama menjawab:
Al Akh Yulian Purnama menjawab:
Salaf
secara bahasa arab artinya ‘setiap amalan shalih yang telah
lalu; segala sesuatu yang terdahulu; setiap orang yang telah mendahuluimu, yaitu
nenek moyang atau kerabat’ (LihatQomus Al Muhith, Fairuz Abadi).
Secara istilah, yang dimaksud salaf adalah 3 generasi awal umat
Islam yang merupakan generasi terbaik, seperti yang disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,“Sebaik-baik umat adalah
generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya”(HR. Bukhari-Muslim)
Tiga
generasi yang dimaksud adalah generasi Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam dan para sahabat, generasi tabi’in dan generasi
tabi’ut tabi’in. Sering disebut juga generasi Salafus Shalih.
Tidak ada yang meragukan bahwa merekalah orang-orang yang paling memahami
Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Maka bila kita ingin
memahami Islam dengan benar, tentunya kita merujuk pada
pemahaman orang-orang yang ada pada 3 generasi tersebut.
Seorang sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata,
“Seseorang
yang mencari teladan, hendaknya ia meneladani para sahabat
Rasulullahshallallahu ’alaihi wa sallam karena mereka adalah orang-orang
yang paling mulia hatinya, paling mendalam ilmunya, paling sedikit takalluf-nya,
paling benar bimbingannya, paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang
yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya, dan untuk menegakkan
agamanya. Kenalilah keutamaan mereka. Ikutilah jalan hidup
mereka karena sungguh mereka berada pada jalan yang lurus.” (Lihat Limaadza
Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Kemudian dalam bahasa arab, ada yang dinamakan dengan isim nisbah,
yaitu isim (kata benda) yang ditambahkan huruf ‘ya’ yang di-tasydid dan
di-kasroh, untuk menunjukkan penisbatan (penyandaran) terhadap suku,
negara asal, suatu ajaran agama, hasil produksi atau sebuah sifat (Lihat Mulakhos
Qowaid Al Lughoh Ar Rabiyyah, Fuad Ni’mah).
Misalnya yang sering kita dengar seperti ulama hadits terkemuka Al-Bukhari, yang merupakannisbah kepada kota
Bukhara (nama kota di Uzbekistan) karena Imam Al-Bukhari memang berasal dari
sana.
Ada juga yang menggunakan istilah Al-Hanafi, berarti menisbahkan diri pada
madzhab Hanafi. Maka dari sini dapat dipahami bahwa Salafi maksudnya adalah
orang-orang yang menisbatkan (menyandarkan) diri kepada generasi Salafus
Shalih.
Atau dengan kata lain “Salafi adalah mengikuti pemahaman
dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan
orang-orang yang mengikuti jalan mereka”. (Lihat Kun Salafiyyan
‘Alal Jaddah, hal. 10)
Sehingga dengan penjelasan ini jelaslah bahwa orang yang beragama
dengan mengambil sumber ajaran Islam dari 3 generasi awal umat Islam tadi,
DENGAN SENDIRINYA ia seorang Salafi.
Tanpa harus mendaftar, tanpa berbai’at, tanpa iuran anggota, tanpa kartu
anggota, tanpa harus ikut pengajian tertentu, tanpa harus mengaji pada ustadz
tertentu dan tanpa harus memakai busana khas tertentu.
Maka Anda yang sedang membaca artikel ini pun seorang Salafi bila anda selama
ini mencontoh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan
para sahabatnya dalam beragama.
Jika pembaca sekalian memahami penjelasan di atas, maka seharusnya telah
jelas bahwadakwah
salafiyyah adalah Islam itu sendiri.
Dakwah
Salafiyyah adalah Islam yang hakiki. Mengapa?
Karena dari manakah kita mengambil sumber pemahaman Al Qur’an dan
hadits selain
dari para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam?
Apakah ada sumber lain yang lebih terpercaya?
Apakah Islam dipahami dengan selera dan pemahaman masing-masing orang?
Bahkan
jika seseorang dalam memahami Al Qur’an dan hadits mengambil sumber dari yang
lain, maka
dapat dipastikan ia telah mengambil jalan yang salah.
Syaikh Salim Bin ‘Ied Al Hilaly setelah menjelaskan surat An Nisa ayat 115
berkata, “Dengan ayat ini jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mu’minin adalah
jalan keselamatan.
Dan ayat ini dalil bahwa pemahaman para sahabat mengenai agama Islam adalah
hujjah terhadap pemahaman yang lain.
Orang
yang mengambil pemahaman selain pemahaman para sahabat, berarti ia telah
mengalami penyimpangan, menapaki jalan yang sempit lagi menyengsarakan, dan cukup baginya neraka
Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat tinggal.” (Lihat Limaadza
Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Salah Kaprah Tentang Salafi
Di tengah masyarakat, banyak sekali beredar syubhat (kerancuan) dan
kalimat-kalimat miring tentang Salafi. Dan ini tidak lepas dari dua kemungkinan.
Sebagaimana dijelaskan Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri ketika ditanya
tentang sebuah syubhat, “Kerancuan tentang Salafi yang berkembang di masyarakat
ini tidak lepas dari 2 kemungkinan:
Disebabkan
ketidak-pahaman atau disebabkan adanya i’tikad yang buruk. Jika karena
tidak paham, maka perkaranya mudah. Karena seseorang yang tidak paham namun
i’tikad baik, jika dijelaskan padanya kebenaran ia akan menerima, jika telah
jelas baginya kebenaran dengan dalilnya, ia akan menerima.
Adapun
kemungkinan yang kedua, pada hakikatnya ini disebabkan oleh fanatik golongan
dan taklid buta, -dan ini yang lebih banyak terjadi- dari orang-orang
ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan pelaku bid’ah yang mereka memandang bahwa
manhaj salaf akan membuka tabir penyimpangan mereka.” (Ushul Wa Qowa’id Fii
Manhajis Salafi, Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri )
Dalam kesempatan kali ini akan kita bahas beberapa kerancuan tersebut.
1.
Salafi Bukanlah Sekte, Aliran, Partai atau Organisasi Massa
Sebagian
orang mengira Salafi adalah sebuah sekte, aliran sebagaimana Jama’ah Tabligh,
Ahmadiyah, Naqsabandiyah, LDII, dll.
Atau
sebuah organisasi massa sebagaimana NU, Muhammadiyah, PERSIS,
Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dll. Ini adalah salah kaprah.
Salafi bukanlah sekte, aliran, partai atau organisasi massa, namun salafi adalah
manhaj (metode beragama), sehingga semua orang di seluruh
pelosok dunia di manapun dan kapanpun adalah seorang salafi jika ia beragama
Islam dengan manhaj salaf tanpa dibatasi keanggotaan.
Sebagian
orang juga mengira dakwah Salafiyyah adalah gerakan yang dicetuskan dan
didirikan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab.
Ini
pun kesalahan besar!
Dijelaskan oleh Syaikh ‘Ubaid yang ringkasnya, “Dakwah salafiyyah tidak
didirikan oleh seorang manusia pun. Bukan oleh Syaikh Muhammad
Bin Abdul Wahab bersama saudaranya Imam Muhammad Bin Su’ud, tidak juga oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, bukan pula oleh Imam Mazhab
yang empat, bukan pula oleh salah seorang Tabi’in, bukan pula oleh sahabat, bukan
pula oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, dan bukan didirikan
oleh seorang Nabi pun.
Melainkan
dakwah Salafiyah ini didirikan oleh Allah Ta’ala. Karena para Nabi
dan orang sesudah mereka menyampaikan syariat yang berasal dari Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan rujukan melainkan nash dan
ijma” (Lihat Ushul Wa Qowaid Fii Manhajis Salaf)
Oleh karena itu, dalam dakwah salafiyyah tidak ada ketua
umum Salafi, Salafi Cabang Jogja, Salafi Daerah, Tata tertib Salafi, AD ART
Salafi, Alur Kaderisasi Salafi, dan tidak ada muassis (tokoh pendiri) Salafi.
Tidak
ada pendiri Salafi melainkan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada AD-ART Salafi
melainkan Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat.
2. Salafi Gemar Mengkafirkan dan Membid’ahkan?
Musuh
utama seorang muslim adalah kekufuran dan kesyirikan, karena tujuan
Allah menciptakan makhluk-Nya agar makhluk-Nya hanya menyembah Allah semata.
Allah Ta’alaberfirman, “Sungguh kesyirikan adalah kezaliman
yang paling besar” [QS. Luqman: 13].
Setelah
itu, musuh kedua terbesar seorang muslim adalah perkara baru dalam agama,
disebut juga bid’ah. Karena jika orang dibiarkan membuat perkara
baru dalam beragama, akan hancurlah Islam karena adanya peraturan, ketentuan,
ritual baru yang dibuat oleh orang-orang belakangan. Padahal Islam telah
sempurna tidak butuh penambahan dan pengurangan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR.
Muslim)
Maka tentu tidak bisa disalahkan ketika ada da’i yang secara intens
mendakwahkan tentang bahaya syirik dan bid’ah, mengenalkan bentuk-bentuk
kesyirikan dan kebid’ahan agar umat terhindar darinya. Bahkan inilah bentuk
sayang dan perhatian terhadap umat.
Kemudian,
para ulama melarang umat Islam untuk sembarang memvonis bid’ah, sesat apalagi
kafir kepada individu tertentu. Karena vonis yang demikian bukanlah
perkara remeh. Diperlukan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah serta memperhatikan
kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama dalam hal ini. Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata, “Dalil-dalil terkadang menunjukkan
bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur, atau perkataan tertentu adalah
perkataan kufur. Namun di sana terdapat faktor yang membuat kita tidak
memberikan vonis kafir kepada individu tertentu (yang melakukannya). Faktornya
banyak, misalnya karena ia tidak tahu, atau karena ia dikalahkan oleh orang
kafir dalam perang.” (LihatFitnah At Takfir, Muhammad Nashiruddin Al
Albani)
Dari sini jelaslah bahwa menjelaskan perbuatan tertentu adalah perbuatan
kufur bukan berarti memvonis semua pelakunya itu per individu pasti kafir.
Begitu juga menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbuatan tertentu adalah
perbuatan bid’ah bukan berarti memvonis pelakunya pasti ahlul bid’ah. Syaikh
Abdul Latif Alu Syaikh menjelaskan: “Ancaman (dalam dalil-dalil) yang diberikan
terhadap perbuatan dosa besar terkadang tidak bisa menyebabkan pelakunya per
individu terkena ancaman tersebut” (Lihat Ushul Wa Dhawabith Fi At
Takfir, Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman Alu Syaikh).
Bahkan
Salafiyyin berada dibarisan terdepan dalam membantah paham takfir, yaitu gemar
mengkafirkan secara serampangan.
3. Salafi Memecah-Belah Ummat?
Untuk menjelaskan permasalahan ini, perlu pembaca ketahui tentang 3 hal
pokok.
Pertama,
perpecahan umat adalah sesuatu yang tercela. Sebagaimana
firman Allah Ta’alayang artinya, “Berpegang teguhlah pada
tali Allah dan jangan berpecah-belah” (QS. Al-Imran: 103).
Kedua,
perpecahan umat adalah suatu hal yang memang dipastikan terjadi dan bahkan
sudah terjadi. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam, “Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan,
semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang
satu itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: yaitu orang-orang yang berada pada
jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” [HR. Tirmidzi].
Ketiga,
persatuan Islam bukanlah semata-mata persatuan badan, kumpul bersama, dengan
keadaan aqidah yang berbeda-beda. Mentoleransi segala bentuk
penyimpangan, yang penting masih mengaku Islam. Bukan itu persatuan Islam yang
diharapkan. Perhatikan baik-baik hadits tadi, saat umat Islam berpecah belah
seolah-olah Rasulullah memerintahkan untuk bersatu pada satu jalan, yaitu jalan
yang ditempuh oleh para sahabat, inilah manhaj salaf.
Sehingga
ketika ada seorang yang menjelaskan kesalahan-kesalahan dalam beragama yang
dianut sebagian kelompok, aliran, partai atau ormas Islam, bukanlah upaya untuk
memecah belah ummat. Melainkan sebuah upaya untuk mengajak
ummat BERSATU di satu jalan yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam tersebut.
Bahkan
adanya bermacam aliran, sekte, partai dan ormas Islam itulah yang menyebabkan
perpecahan ummat. Karena mereka tentu akan loyal kepada tokoh-tokoh mereka
masing-masing, loyal kepada peraturan mereka masing-masing, loyal kepada
tradisi mereka masing-masing, bukan loyal kepada Islam!!
Selain itu, jika ada saudara kita yang terjerumus dalam kesalahan, siapa
lagi yang hendak mengoreksi kalau bukan kita sesama muslim?
Tidak akan kita temukan orang kuffar yang melakukannya. Dan bukankah
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Agama
adalah nasehat” (HR. Muslim).
Dan jika koreksi itu benar, bukankah wajib menerimanya dan menghempas jauh
kesombongan? Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kesombongan itu adalah
menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
4. Salafi Kasar dan Berakhlak Buruk
Manhaj salaf mengajarkan bahwa setiap muslim wajib berakhlak mulia. Akhlaq
mulia yang paling utama adalah terhadap Allah Ta’ala. Yaitu dengan menyembah
Allah semata dan tidak berbuat kesyirikan serta menjalani apa yang Ia
perintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Kemudian berakhlak mulia terhadap
makhluk Allah. Inilah yang dimaksud dalam hadits Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR.
Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid, 24/333. Di shahihkan oleh Al
Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 45 )
Manhaj salaf menghasung ummat agar bergaul dan bermuamalah dengan akhlak
mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada. Dan kerjakan banyak
kebaikan setelah engkau terjerumus dalam keburukan hingga terhapus dosamu. Dan
bergaullah terhadap manusia dengan akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi, ia
berkata: ‘Hadits in hasan’)
Maka setiap muslim, lebih lagi yang bersemangat untuk berpegang teguh
dengan manhaj salaf, selayaknya berakhlak dengan akhlak yang mulia.
Oleh
karena itu, jika ada sebagian orang yang mengaku berpegang pada manhaj salaf
namun belum berakhlak yang baik, tentu ini tidak dapat menjadi justifikasi
terhadap manhaj salaf. Karena manhaj salah justru mengajarkan
sebaliknya. Dan kita perlu menyadari bahwa tidak mungkin kita menuntut semua
orang yang berpegang pada manhaj salaf harus bebas dari kesalahan dan dosa. Setiap
kita pasti bisa salah dan lupa. Bisa jadi karena kejahilan ataupun karena
doronganhawa nafsu sehingga manusia belum dapat berakhlak yang baik. Semoga
Allah menolong kita agar dapat memupuk akhlak yang mulia dalam diri kita.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun pernah berdoa:
“Ya Allah, sebagaimana engkau baguskan rupaku maka baguskanlah akhlakku”
(HR. Al Baihaqi dalam Da’awaat Al Kabir, 2/82. Dishahihkan Al
Albani dalam Shahih At Targhib, 2657)
Nasihat Untuk Ummat
Terakhir, agama adalah nasehat. Maka penulis menasehati diri sendiri dan
kaum muslimin sekalian untuk menjadi Salafi. Bagaimana caranya?
Menjadi
seorang Salafi adalah dengan menjalankan Islam sesuai dengan apa yang telah
dituntunkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan
dipahami oleh generasi Salafus Shalih.
Dan wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk ber-Islam dengan manhaj salaf.
Ibnul Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Para sahabat Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam semua diampuni oleh Allah. Wajib mengikuti metode
beragama para sahabat, perkataan mereka dan aqidah mereka sebenar-benarnya” (I’lamul
muwaqqi’in, (120/4), dinukil dari Kun Salafiyyan ‘Alal Jaddah,
Abdussalam Bin Salim As Suhaimi)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada
jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan
ni’mat, bukan
jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat.
Penulis: Yulian Purnama
Sumber: UstadzKholid.Com
https://aslibumiayu.wordpress.com/2014/06/17/salafi-apakah-itu-kelompok-organisasi-atau-jamaah-tertentu-ingin-tahu-jawabnya-baca-dengan-seksama/
https://aslibumiayu.wordpress.com/2014/06/17/salafi-apakah-itu-kelompok-organisasi-atau-jamaah-tertentu-ingin-tahu-jawabnya-baca-dengan-seksama/