Presiden kudeta Mesir Abdel Fattah As-Sisi datang ke Indonesia (Jumat, 4/9/2015) disambut penuh gembira oleh penguasa negeri ini.
Mungkin penguasa negeri ini tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu. Bahwa As-Sisi adalah penjahat kemanusiaan yang telah menumpahkan darah ribuan rakyatnya yang menentang kudeta atas presiden sah Mesir Muhammad Mursi.
Dua tahun lalu, tentara As-Sisi membantai lebih 2.200 umat Islam hanya dalam tempo 7 jam pada "TRAGEDI RABIA", 14 Agustus 2013.
Pemimpin Turki, Recep Tayyip Erdogan pun dengan tegas dan keras mengecam Si Jagal As-Sisi.
Dalam salah satu wawancaranya dihadapan wartawan CNN, Erdogan (yang saat itu masih menjabat Perdana Menteri) menyebut As-Sisi dengan gelar "Thaghiyah" Diktator Biadab, seorang Tiran, bukan presiden.
Sikap Erdogan ini sungguh sangat berbeda dengan pemimpin Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia.
"Menerima Presiden yang menduduki posisinya saat ini dengan proses politik yang tidak sehat, tampak bertentangan dengan martabat Indonesia sebagai negara yang demokratis dan menghormati HAM," kata Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution, lansir ROL, Jumat (4/9).
http://www.pkspiyungan.org/2015/09/dihadapan-wartawan-cnn-erdogan-berikan.html
Terkait kedatangan Presiden pengkudeta haus darah Mesir Abdel Fattah As-Sisi yang diundang Presiden Republik Indonesia (RI) Jokowi, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Dr Maneger Nasution menyatakan penyesalannya dan mengkritik Jokowi, karena bisa-bisanya ia menerima “presiden bermasalah” itu.
“Menerima Presiden yang menduduki posisinya saat ini dengan proses politik yang tidak sehat, bertentangan dengan martabat Indonesia sebagai negara yang demokratis dan menghormati HAM,” kata Maneger dalam rilisnya yang diterima dan dikutip Salam-Online pada Jumat (4/9).
Ia mengingatkan bahwa Pembukaan UUD 45 menegaskan: “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Oleh karena itu, penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
“Kemerdekaan bukan hanya terhadap penjajahan asing, namun juga kebebasan warga negara memenuhi hak dan kewajibannya,” ujarnya.
Selain itu, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.
Ia juga mengingatkan bahwa sejak dimulainya kudeta militer di Mesir pada 3 Juli 2013, setidaknya ada 12 tragedi pembantaian besar yang dilakukan oleh Jenderal Al-Sisi, Panglima Militer Mesir saat itu.
“Buku putih yg diterbitkan Komite Nasional untuk Kemanusiaan dan Demokrasi Mesir (Komnas KDM) mencatat 6181 orang tewas, dan 25.552 luka-luka dianiaya dalam kurun waktu 50 hari,” tandas Maneger.
“Belum ditambah korban pembunuhan dan penganiayaan yang terus berlanjut dalam rentang waktu 2014-2015,” tambahnya.
Selain itu, Maneger mengungkapkan bahwa 18.565 orang ditahan paksa tanpa pengadilan, dan lebih dari 300 tahanan meninggal di dalam penjara.
“Bukan hanya pada warga sipil, As-Sisi juga terbukti melakukan pembunuhan terhadap jurnalis, 8 orang jurnalis tercatat tewas,” sesalnya.
Oleh sebab itu, Manajer mengaku bahwa terkait kunjungan kenegaraan As-Sisi yang diundang Jokowi, maka Komnas HAM RI meminta kepada sang Presiden RI untuk memerankan politik “bebas aktif” dan kebijakan luar negeri yang berdasarkan rasa “kemanusiaan yang adil dan beradab” serta penghormatan terhadap demokrasi dan HAM sesuai amanat Pancasila dan UUD RI 1945.
“Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan nomor satu di dunia Muslim harusnya menjadi model dan contoh yang baik bagi proses bernegara yang berdasarkan hukum dan keadilan bagi negara lain,” tegasnya.
Red : Gus Jati
Kritik Jokowi, Komnas HAM: Setidaknya Ada 12 Pembantaian Besar yang dilakukan As-Sisi
Terkait kedatangan Presiden pengkudeta haus darah Mesir Abdel Fattah As-Sisi yang diundang Presiden Republik Indonesia (RI) Jokowi, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Dr Maneger Nasution menyatakan penyesalannya dan mengkritik Jokowi, karena bisa-bisanya ia menerima “presiden bermasalah” itu.
Ia mengingatkan bahwa Pembukaan UUD 45 menegaskan: “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Oleh karena itu, penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
“Kemerdekaan bukan hanya terhadap penjajahan asing, namun juga kebebasan warga negara memenuhi hak dan kewajibannya,” ujarnya.
Selain itu, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.
Ia juga mengingatkan bahwa sejak dimulainya kudeta militer di Mesir pada 3 Juli 2013, setidaknya ada 12 tragedi pembantaian besar yang dilakukan oleh Jenderal Al-Sisi, Panglima Militer Mesir saat itu.
“Buku putih yg diterbitkan Komite Nasional untuk Kemanusiaan dan Demokrasi Mesir (Komnas KDM) mencatat 6181 orang tewas, dan 25.552 luka-luka dianiaya dalam kurun waktu 50 hari,” tandas Maneger.
“Belum ditambah korban pembunuhan dan penganiayaan yang terus berlanjut dalam rentang waktu 2014-2015,” tambahnya.
Selain itu, Maneger mengungkapkan bahwa 18.565 orang ditahan paksa tanpa pengadilan, dan lebih dari 300 tahanan meninggal di dalam penjara.
“Bukan hanya pada warga sipil, As-Sisi juga terbukti melakukan pembunuhan terhadap jurnalis, 8 orang jurnalis tercatat tewas,” sesalnya.
Oleh sebab itu, Manajer mengaku bahwa terkait kunjungan kenegaraan As-Sisi yang diundang Jokowi, maka Komnas HAM RI meminta kepada sang Presiden RI untuk memerankan politik “bebas aktif” dan kebijakan luar negeri yang berdasarkan rasa “kemanusiaan yang adil dan beradab” serta penghormatan terhadap demokrasi dan HAM sesuai amanat Pancasila dan UUD RI 1945.
“Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan nomor satu di dunia Muslim harusnya menjadi model dan contoh yang baik bagi proses bernegara yang berdasarkan hukum dan keadilan bagi negara lain,” tegasnya.
Red : Gus Jati