Sunday, September 20, 2015

Islam Nusantara dan Arus Gerakan Wahabi

ISLAM NUSANTARA
Ahad 6 Zulhijjah 1436 / 20 September 2015 11:36
Oleh: Dr. Slamet Muliono
Penulis Bina Qalam Indonesia dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
SALAH satu media di Jakarta beberapa hari yang lalu memberitakan bahwa pemikiran yang dikembangkan oleh Islam Nusantara memiliki kemiripan dengan metode yang telah dilakukan kelompok JIL (Jaringan Islam Liberal). Bahkan dalam pemberitaan itu diakhiri dengan sebuah pandangan bahwa lahirnya Islam Nusantara merupakan respon dan sebuah upaya untuk membendung gerakan Wahabi.
Untuk membuktikan pemikiran itu, maka akan ditelusuri bagaimana pandangan beberapa pemikiran pengusung Islam Nusantara dalam merespon gerakan wahabi itu.
Sebagaimana umum dipahami bahwa salah satu di antara pemikiran yang dikembangkan pendukung Islam Nusantara adalah pentingnya eksistensi budaya lokal. Mereka menginginkan budaya lokal bisa terjamin dan hidup berdampingan di masyarakat tanpa gangguan. Sementara kelompok Wahabi secara jelas menjamin eksistensi budaya lokal, asal budaya lokal itu tidak bertentangan nilai-nilai Islam.
Apa yang disinyalir oleh media cetak di Jakarta tentang kemiripan JIL dengan Islam Nusantara, maka bisa ditunjukkan, setidaknya dengan dua indikator. Pertama, Islam Nusantara mengidentifikasi, bahkan mengklaim dirinya berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Islam Timur Tengah dianggap keras, radikal dan intoleran, sehingga tidak cocok dengan masyarakat Nusantara yang sopan, lembut, dan santun.
Kedua, Islam Nusantara bisa berdialog dan menjamin kehidupan tradisi dan budaya lokal. Hal ini sungguh berbeda dengan gaya Islam Timur Tengah, yang menurut anggapan penganut Islam Nusantara, merupakan ancaman terhadap tradisi atau budaya lokal. Menjamin keberlangsungan tradisi lokal inilah yang dijadikan barang kemasan untuk menarik minat masyarakat Indonesia yang memiliki budaya yang sangat beragam.
Namun yang agak berbeda, Islam Nusantara mensosialisasikan sedemikian terbuka dan masif, serta dalam kadar tertentu, begitu percaya diri karena memperoleh dukungan dan justifikasi dari kekuasaan. Pandangan yang sangat percaya diri ini dikhawatirkan munculnya gesekan dan sejumlah anomali yang berujung pada perlawanan balik pihak lain yang merasa terusik. Perlawanan balik yang begitu dahsyat itu disebabkan oleh kesalahan strategi dalam melempar amunisi.
Amunisi yang dilemparkan kelompok Islam Nusantara adalah tema-tema yang sudah diketahui dan dipahami sebagai kebenaran umum. Martir yang dilontarkan oleh beberapa pengusung Islam Nusantara secara bertubi-tubi, misalnya, justru menghantam balik  dirinya dan penggagas Islam Nusantara secara umum.
Langgam Jawa dalam membaca Al-Qur’an, ikut tahlilan sebagai parameter Pancasilais, syetan ikut shalat berjamaah, malaikat Munkar Nakir antri di makam Gus Dur, dan semakin panjang jenggot menunjukkan kebodohan seseorang, merupakan gagasan-gagasan yang justru kontra produktif.
Bola-bola panas yang dilempar ini bukan mempermulus gagasan Islam Nusantara, tetapi justru merugikan dan melemahkan gagasannya, serta pada kurun waktu tertentu menanam bom waktu.
Sementara apa yang didakwahkan oleh para pengusung dakwah Islam, yang disinyalir sebagai penganut wahabi, justru memperoleh simpati masyarakat pada umumnya.
Dakwah wahabi sudah sedemikian besar dan masif serta masuk ke berbagai level sosial, sehingga kelompok Islam Nusantara, seolah-olah  merasa kehabisan akal untuk membendungnya. Maka tidak heran bila serangan-serangan terhadap gerakan wahabi terlihat kalut.
Sementara masyarakat sekarang sudah banyak yang terdidik sehingga bisa memilih pandangan yang memiliki dasar-kuat, dan mana yang emosional-kalut.
Apa yang diperjuangkan oleh pengusung Islam Nusantara memang tidak berbeda dengan apa yang telah dilalui oleh JIL. Kalau JIL memperjuangkan liberalisasi pemikiran sehingga melahirkan sejumlah konsep seperti sekularisme, pluralisme, kesetaraan Gender, hermeneutika, HAM, multikulturalisme, hingga nikah beda agama, maka Islam Nusantara justru secara vulgar mengajak untuk “berperang terbuka” terhadap gerakan-gerakan dakwah Islam yang disinyalir sebagai gerbong Wahabi.
Apa yang dilontarkan pengusung Islam Nusantara kurang begitu dikemas dengan baik, dan secara kasat mata, sehingga masyarakat umum mengetahuinya sebagai produk gagal dan mengajak bermusuhan terhadap kelompok lain.
Pada saat sama, gerbong Wahabi sudah sedemikian masif dan tersebar secara luas mulai dari akar rumput hingga pusat pemerintahan, masjid-musholla hingga lembaga pendidikan-pesantren, dan radio-televisi hingga buletin-majalah.
Gerakan untuk mengajarkan umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah begitu massif tanpa ada organisasi formal sebagai payung dan penggeraknya. Belum lagi ditopang oleh media sosial yang begitu murah, singkat dan cepat dalam memberikan dan mengajarkan pesan-pesan dakwah.
Hal ini semakin membuat gerakan wahabi ini sulit dibendung. Belum lagi lulusan Timur Tengah dengan gelar Lc, Master hingga Doktor dengan berbagai disiplin ilmu (tafsir, sejarah, hukum, hadits, dan sebagainya) semakin memperkuat basis keilmuan dan keilmiahan dalam menjawab berbagai persoalan dan syubhat (keraguan) yang menyebar di masyarakat.
Oleh karena itu, ketika muncul gagasan langgam Jawa dalam melagukan Al-Qur’an, sampai tidaknya bacaan Al-fatihah untuk orang yang sudah meninggal, tahlilan sebagai parameter pancasilais, serta syetan yang ikut shalat jamaah, maka dalam hitungan jam sudah ada bantahan terhadap gagasan yang dianggap  nyeleneh itu.
Penjelasan dan bantahan melalui media sosial seperti facebook, bbm, whattsapp, telegram dan lainnya ikut mempercepat proses meneguhkan atau membantah sebuah pandangan. Bahkan ketika seorang tokoh mengatakan sesuatu dengan mengutip sebuah buku atau kitab, maka hari berikutnya sudah muncul penjelasan yang mendudukkan pandangan yang sebenarnya serta meluruskan pandangan yang benar dari buku yang dirujuk.
Masyarakat saat ini sudah terbiasa dan terdidik untuk meminta rujukan atau dalil sebelum menerima sebuah ajaran, perintah atau larangan. Tidak seperti kondisi masyarakat sebelum era reformasi, dimana mereka langsung menerima apa yang disampaikan oleh guru, ustadzn atau kiainya tanpa mempertanyakan ulang dasar dan rujukannya.
Oleh karena itu, gerakan untuk memasarkan gagasan kepada masyarakat luas bertujuan berdakwah atau menghasut kelompok maka masyarakat sudah cerdas dan cerdik dalam menilainya.