Monday, November 9, 2015

Islam Nusantara, Islam Jakarta, Islam Depok

Ilmuwan Yahudi yang terkenal dalam ilmu politik, Prof Leonard Binder tahun 90-an menulis buku ‘Islamic Liberalism’. Dalam bukunya ini –hasil penelitian di beberapa negara, bekerjasama dengan ilmuwan-ilmuwan politik Islam- Binder mengungkapkan bahwa sekulerisme telah gagal di dunia Islam, maka perlu diluncurkan Liberalisme Islam. Yang bermakna bahwa Islam dengan politik harus dipisahkan. Islam atau agama adalah rasa. Sedangkan politik adalah rasio.
Binder ini adalah dosen politik Amien Rais di Universitas Chicago Amerika. Menurut kawan Amien Rais, sewaktu kuliah Amien Rais sering mendebat Binder dalam banyak hal. Makanya tidak heran Amien Rais berseberangan dengan Nurcholish yang meluncurkan gagasan sekulerisme dan pluralisme di tahun 90-an itu.
Kini beberapa tokoh NU meluncurkan istilah Islam Nusantara. Belum jelas memang maksud Islam Nusantara. Azyumardi Azra mencoba menjelaskan istilah ini :
“Ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur utama, pertama, kalam (teologi) Asy’ariyah; kedua, fiqh Syafi’i–meski juga menerima tiga mazhab fiqh Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali, baik dipraktikkan secara individual atau komunal maupun melalui tarekat Sufi yang lebih terorganisasi lengkap dengan mursyid, khalifah dan murid, dan tata cara zikir tertentu.
Sebagai perbandingan, ortodoksi Islam Nusantara ini berbeda dengan ortodoksi Islam Arab Saudi. Dalam dua konferensi dengan kalangan ulama dan intelektual Arab Saudi di Riyadh dan wadi sekitar 300 kilometer dari Riyadh (3-7/1), penulis “Resonansi” ini menyatakan, ortodoksi Islam Arab Saudi mengandung hanya dua unsur, yaitu pertama, kalam (teologi) Salafi-Wahabi dengan pemahaman Islam literal dan penekanan pada Islam yang ‘murni’.
Dengan pandangan kalam seperti itu, dalam perspektif doktrin ortodoksi Islam Arab Saudi, tidak heran jika banyak Muslimin lain dianggap sebagai pelaku bid’ah dhalalah (ritual tambahan sesat) yang bakal membawa mereka masuk neraka.
Termasuk ke dalam bid’ah dhalalah itu adalah merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW yang ramai dirayakan kaum Muslimin Indonesia. Unsur ortodoksi Islam Arab Saudi kedua adalah fiqh Hanbali yang merupakan mazhab paling ketat dalam yurisprudensi Islam.
Ortodoksi Islam Arab Saudi tidak mencakup tasawuf, justru tasawuf ditolak karena dianggap mengandung banyak bid’ah dhalalah.
Dalam kedua konferensi ini selalu muncul pertanyaan dari peserta Arab Saudi yang ditujukan kepada penulis “Resonansi” ini. “Kenapa Muslim Indonesia gemar mempraktikkan tasawuf yang menurut mereka mengandung banyak bid’ah dhalalah.”
Pertanyaan ini bisa dipahami berangkat dari bias dan prasangka terhadap tasawuf yang sebenarnya secara historis memainkan peran penting dalam peningkatan maqamat spiritualitas Muslim dan sekaligus pemeliharan integritas kaum Muslimin menghadapi berbagai tantangan dan realitas historis.
Ortodoksi Islam Salafi-Wahabi Arab Saudi terlalu kering dan sederhana bagi kaum Muslimin Nusantara. Umat Muslimin Nusantara telah dan terus menjalani warisan tradisi untuk mengamalkan Islam yang kaya dan penuh nuansa.
Penulis “Resonansi” ini menyebutnya sebagai ‘Islam berbunga-bunga’ (flowery Islam) dengan ‘ritual’ sejak tahlilan, nyekar atau ziarah kubur, walimatus-safar (walimatul haj/umrah), walimatul khitan, tasyakuran, sampai empat bulanan atau tujuh bulanan kehamilan.” 
Tentu kalau yang dimaksudkan Islam Nusantara berbeda dengan Arab Saudi, banyak kaum Muslim setuju. Tapi kalau yang dimaksudkan Islam Nusantara adalah Islam yang mendukung Jokowi, Islam yang tunduk pada pemerintahan yang zalim, Islam yang membiarkan kaum Muslim didominasi kaum non Muslim di negeri ini dan Islam yang apolitik, maka kaum Muslim Nusantara tidak terima.
Karena dalam sejarah yang panjang, sebelum Indonesia merdeka, kaum Muslim lah yang berkuasa di negeri ini. Negeri Nusantara-Indonesia ini ada karena bergabungnya kerajaan-kerajaan Islam di Banten, Samudera Pasai, Demak, Tidore, Ternate dan lain-lain.
Muslim di Timur Tengah pun macam-macam. Ada model Muslim di Mesir, Arab Saudi, Qatar, Dubai dan lain-lain.Kaum Muslim di dunia dipersatukan oleh Al Quran, Sunnah Rasulullah dan teladan para sahabat dan ulama yang saleh.
Imam Ghazali misalnya, terkenal dan dihormati baik oleh Muslim Nusantara maupun Muslim Timur Tengah. Memang ada ulama-ulama Saudi yang menolak mentah-mentah Imam Ghazali, seperti mereka yang sering disebut dengan pengikut Mohammad bin Abdul Wahab. Seperti Nashiruddin al Albani dan lain-lain.
Mohammad bin Abdul Wahab memang merupakan tokoh kontroversi. Sebagian sejarawan menyatakan sebagai tokoh dakwah yang hebat, sejarawan lain menyatakan bahwa ia tokoh yang membuat Saudi pemikirannya tidak maju sekarang ini(berangkulan politik dan militer dengan Amerika). Sejarawan ini menganggap Abdul Wahab antek Inggris yang memisahkan dari Khilafah Utsmaniyah (Turki). Pengikut tokoh-tokoh ini ‘mengharamkan buku Imam Ghazali’.
Buya Hamka memang pro Wahabi. Tetapi Hamka tidak sama Wahabinya dengan Wahabi Saudi. Hamka setuju dengan Imam Ghazali dan membuat buku Tasawuf Modern yang banyak mengutip buku Imam Ghazali (ulama terkemuka yang memimpin Universitas an Nizamiyah di Irak saat itu). Hamka bersama tokoh-tokoh NU bergabung diri dalam Masyumi (1945).
Jadi nampaknya istilah Islam Nusantara ini adalah istilah sosiologis yang kosong, tergantung mana mau dibawa. Ia bisa dibawa menghantam tokoh-tokoh Islam yang keturunan Arab, seperti Abu Bakar Baasyir, Habib Rizieq, Abdurrahman al Baghdadi dan lain-lain. Bisa dibawa pula ia merupakan Islam yang menjadi model untuk memimpin dunia Islam.
Yang gawat bila kemudian dikembangkan Islam Turki, Islam Mesir, Islam Jakarta, Islam Depok, Islam Banten dan seterusnya, sehingga umat Islam menjadi bingung Islam kok banyak banget. Dan ini mungkin yang tidak disadari oleh penggagas Islam Nusantara ini.
Jadi lebih baik gunakan istilah Muslim Nusantara daripada Islam Nusantara. Karena Muslim Nusantara ini adalah saudara Muslim di Arab Saudi, Turki, Mesir, Myanmar dan seluruh dunia Islam.

72% Masyarakat Indonesia Setuju Penerapan Syariat Islam

January 20, 2015  Peneliti SEM Institute, Ismail Yusanto menyatakan bahwa yang setuju diterapkannya syariah Islam di tanah air adalah 72%. “Yang tidak setuju 13% dan yang menyatakan terserah 14%. Yang tidak setuju alasannya Indonesia negara majemuk, indonesia bukan negara Islam dan lain-lain,” terang Ismail dalam Seminar Serumpun Melayu di Jakarta hari ini (20/1).
Sedangkan yang setuju, menurutnya karena menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya sousi dari segala permasalahan, Islam menjadikan yang benar itu benar, membawa kebaikan dan keselamatan dunia akhirat dan Indonesia mayoritas Muslim.
Penelitian ini dilakukan di 38 kota Indonesia. Respondennya sebanyak 1498 orang dan meliputi berbagai profesi dalam masyarakat. Ada anggota yudikatif, legislatif, eksekutif, aparat keamanan, media massa, partai politik, pesantren dan lain-lain. Responden terdiri dari 38% peremuan dan laki-laki sebanyak 62%. Usia terbanyak responden berusia 20-45.
Sedangkan untuk masalah khilafah, kata juru bicara Hizbut Tahrir ini, pengetahuan responden sebanyak 64%. “Tapi tingkat penerimaan mereka 81%,” terangnya.
Ismail mengharapkan bahwa penelitian seperti ini adalah untuk mengukur tingkat keberhasilan dakwah. “Sehingga kita dapat bersyukur tapi tidak berpuas diri. Misalnya banyaknya jilbab saat ini. Dulu tahun 70-80an ibu-ibu yang datang ke resepsi pengantin memakai konde (sanggul). Sekarang kebanyakan yang datang pakai kerudung,” terangnya.
Ismail juga menegaskan bahwa dalam Kongres Umat Islam Indonesia ke IV di Jakarta ditegaskan bahwa syariat Islam adalah satu-satunya bagi berbagai problematika bermasyarakat dan bernegara di Indonesia. “Saat itu yang menyampaikan KH Sahal Mahfudz almarhum. Tapi keputusan kongres ini kurang disosialisasikan,” tegasnya.
Sementara itu, Datuk Aidit Ghazali menyatakan bahwa proyek indeks pelaksanaan syariat di Malaysia telah disetujui PM Malaysia Najib Razak. “Sudah dibincang satu setengah tahun lalu,” kata peneliti Institut Pengembangan Minda Malaysia ini.
Datuk Aidit juga menjelaskan bahwa ‘untuk mencapai kejayaan Islam itu perlu waktu yang sama. “Tapi nntuk mengritik atau meruntuhkan butuh waktu yang sekejap. Mereka yang ingin meruntuhkan Islam itu terus berbuat dan mereka lebih licik dan jahat karena mereka tidak punya batasan. Sedangkan kita ada adab,” terangnya.
Menurutnya pencanangan Indkes Syariah di Malaysia ini kini dibina oleh Universitas Antar Bangsa Malaysia dan dibawah Jawatan Kemajuan Islam Malaysia, di bawah Menteri Agama.