Sunday, November 15, 2015

Maukah Barat Mengevaluasi Kebijakan Luar Negerinya? Paduan Suara Terbesar Dijagat Raya Dengan Mars Hujatan Terhadap Islam “ Teroris “

Hasil gambar untuk teroris

Tragedi Jumat malam (13/11) di Perancis menghebohkan dunia. Serbuan ‘pasukan-pasukan ISIS’ itu telah membuat korban sedikitnya 129 orang meninggal dan 200 lebih luka-luka. Media massa dan dunia pun mengecamnya. Mengapa ini terjadi? Sharia mencoba menelusuri sebab-sebabnya.
Ketika tragedi WTC meledak 11 September 2001, pengamat politik Amerika John L Esposito menyarankan agar Amerika mengevaluasi kebijakan politik luar negerinya. Tapi nampaknya Esposito tidak didengar. Amerika terus melakukan agresi ke dunia Islam.
Tahun 2014 lalu, Presiden Obama dan sekutunya mengadakan operasi penghancuran ISIS. Lebih dari 20 negara hadir saat itu. Bertempat di Perancis diadakan pertemuan pertama kali secara serius strategi penghancuran ISIS.
Amerika dan Perancis pun kemudian mengadakan serangan besar-besaran ke markas ISIS di Irak, 2014 lalu. Bahkan Perancis sebelumnya telah mengadakan operasi militer di Libya dengan alasan menghajar kelompok-kelompok radikal. Amerika dan Perancis akhirnya berhasil menggulingkan Muammar Khadafi di Libia.
Beberapa waktu lalu, Perancis juga mengadakan operasi pesawat menghajar ISIS di Suriah dan Irak. Perancis lupa –atau sengaja melupakan diri—bahwa keaktifannya dalam menghajar ISIS di luar negeri, akan menghadapi problem teror di dalam negeri. Seperti diketahui banyak warga Perancis Muslim, yang ikut dan bergabung dalam ISIS di Irak dan Suriah. Ribuan orang dari Perancis, Inggris, Belgia dan lain-lain telah bergabung dalam jihad di Irak dan Suriah.
Maka tidak heran, ketika operasi Perancis dkk meningkat di Irak dan Suriah, maka keamanan dalam negeri Perancis terancam. Kasus Charlie Hebdo tahun lalu, harusnya menjadi pelajaran bagi Perancis.
Makanya tidak heran ketika tragedi Jumat itu, bersamaan dengan datangnya grup musik Amerika, Eagels of Death Metals, terjadi kejadian tragi situ. ISIS langsung menyatakan bahwa mereka pelakunya: “Dalam ghazwah (perang) yang penuh barokah, Allah telah mudahkan baginya proses-proses arahan, sejumlah bilangan orang beriman dari jundul khilafah -semoga Allah mengokohkannya dan memenangkannya- berhasil meluncur menargetkan Ibu kota pelacuran, kenistaan dan pemegang panji Salib di Eropa (Paris), para pemuda Muslim yang telah berani menceraikan dunia dan berbaris maju ke tengah musuh-musuh mereka berharap terbunuh berperang di jalan Allah guna membela Diennya, Nabinya -Shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para pembela-pembelanya, bertekad datang ke tengah musuh-musuhnya, mereka telah berlaku jujur pada Allah –nahsabuhum kadzaalik-, maka Allah telah membukakan pada tangan-tangan mereka dan memasukkan ke dalam hati-hati salibis yaitu ketakutan di jantung negeri mereka sendiri.”
Peperangan antara Barat (Amerika, Perancis dkk) dengan ISIS ini nampaknya akan berlangsung lama. Hal itu diakui Presiden Obama sendiri: “Dalam waktu yang panjang dan pendek, ISIS adalah ancaman kita.” Selama Amerika dkk mengebomi bumi Irak dan Suriah dan menguasai ladang-ladang minyak di sana, maka peperangan akan terus berlangsung.
Bagi ISIS dan kaum mujahidin lainnya di Irak dan Suriah, campur tangan Barat (termasuk Rusia) terhadap masalah bumi Syam adalah kezaliman dan harus diperangi.
Amerika dan Perancis dalam politik Suriah memang mengambil politik dua muka. Sementara mereka tidak setuju dengan Bashar Assad, tapi mereka tidak mau melengserkan Bashar. Mereka menargetkan serangan pada kelompok-kelompok radikal anti Bashar, termasuk di dalamnya ISIS. Rusia dan Iran lebih jelas politiknya, yaitu mendukung Bashar Assad. Karena itu, ISIS menghadapi tiga front dalam perang di Suriah. Menghadapi kelompok Bashar, Rusia-Iran dan Amerika dkk.
Di Irak, situasinya lebih jelas, ISIS hanya menghadapi pasukan Amerika dkk (ditambah pasukan Iran). Menghadapi gempuran negara-negara besar itu, nampaknya ISIS masih bertahan. ISIS makin kuat karena hampir tiap hari/minggu mendapat bantuan pasukan perorangan dari luar negeri. Selain itu, penguasaan ISIS atas sebagian kecil ladang-ladang minyak Irak, menjadikan ISIS dapat bertahan hidup dan menghidupi pasukan dan rakyatnya.
Teror –baik di Perancis maupun di Suriah dan Irak—tentu tidak diinginkan dunia. Untuk menuju perdamaian dunia, maka Amerika dan Perancis (juga Rusia dan Iran), seharusnya menarik diri dari Suriah dan Irak. Sebagaimana nasihat pakar politik internasional Prof Amien Rais: Biarkan dunia Arab menyelesaikan diri masalahnya.
Campur tangan negara-negara besar, menjadikan konflik di Timur Tengah makin rumit dan makin gelap penyelesaiannya. Tapi mungkinkan Amerika cs bersedia? Sulit memang. Bagi Amerika, ladang-ladang minyak Irak adalah harta karun yang empuk untuk menambah pundi-pundi dan membiayai pasukan, kapal induk dan pesawatnya di seluruh dunia. Dengan berbekal ladang minyak Irak itu Amerika berhasil menggandeng puluhan negara dalam koalisi memerangi ISIS.
Dan pasukan ISIS yang menganggap bahwa kematian adalah sama nilainya dengan kehidupan, tentu tidak mudah dikalahkan. Apalagi ISIS didukung rakyat dan ulama Irak yang menjadi basis pertahanannya. Mempertahankan dengan nyawa di bumi Irak, bagi ISIS adalah harga yang tidak bisa ditawar. Selama Barat terus memerangi Irak dan Suriah, maka teror di negara Barat sewaktu-waktu akan terjadi.
Bila masyarakat Perancis saat ini resah dengan terror, maka masyarakat Irak dan Suriah (juga Palestina), saat ini tiap hari penuh dengan ketakutan. Mereka sewaktu-waktu bisa meninggal karena serangan dari pesawat udara. Orang-orang Islam yang meninggal di Irak dan Suriah, bukanlah angka statistik semata. Sebagaimana Barat berduka atas tragedi Perancis, Dunia Islam harusnya berduka atas tragedi Irak, Suriah dan Palestina.
Maukah Barat mengevaluasi kebijakan politik luar negerinya? Wallahu azizun hakim.*nh


Terorisme di Mata Barat


Oleh : Aziz Rachman*
Bukan barang baru
Sejatinya, stigma negatif terhadap Islam bukan kali ini saja dilancarkan. Berabad-abad lalu, kebencian terhadap agama hanif ini telah disuarakan dengan jelas dan terang-terangan. Maka, wajar rasanya jika kebencian yang membara tetap terjaga hingga kini dan hari kiamat nanti. Toh, Allah sendiri yang telah memfirmankan bahwa orang-orang diluar Islam dari golongan Ahlul Kitab tidak akan pernah ridho terhadap kaum muslimin.
Karenanya wajar ketika terjadi tindak kekerasan yang  menimpa Ahlul Kitab atau orang-orang di luar Islam, pelakunya mesti diarahkan kepada orang-orang Islam. Tidak bisa tidak. Pokoknya kaidah itu mesti diberlakukan.
Padahal, kalau kita melihat bagaimana “terjadinya bola salju”, kekerasan yang terjadi, merupakan buah dari kekerasan yang dilakukan sebelumnya. Michael John Smith, seorang pakar intelijen asal Inggris dalam wawancara dengan Voice of Russia akhir Mei 2013 bahkan menyebut seharusnya Bush dan Tony Blair bertanggung jawab penuh atas semua tragedi dan kekerasan yang terjadi.

Kenapa Bush dan Blair?. Karena pada era mereka berdualah aliansi militer AS dan Inggris menginvasi Irak dan Afganistan. Alasan terorisme “semu”, dipakai untuk menutupi keinginan mereka demi membentuk negara boneka yang nantinya bisa menjadi “saku” bagi AS dan Inggris dalam kisaran tahun-tahun berikutnya.
Barat dan Standar Ganda dalam Memahami Terorisme
Tanpa bermaksud membenarkan insiden Prancis dengan segala tuduhan yang mengarah kepada ISIS (kalau memang benar pelakunya adalah ISIS), maka seharusnya perubahan sikap harus segara diambil oleh Barat jika ingin “kemanusiaan” dan “keharmonisan” yang mereka dengung-dengungkan segera terwujud.
Tak terhitung nyawa umat Islam yang melayang di berbagai negara kaum muslimin. Selama itu pula, Barat tak meneteskan air mata sedikitpun hanya karena yang meninggal adalah orang-orang Islam dan yang menjadi pelaku atas pembunuhan orang-orang Islam adalah dari kalangan Barat itu sendiri.
Meminjam quote dari Adam Hills, komedian asal Australia yang mengatakan bahwa kalaulah umat Islam ini merupakan umat yang dididik untuk dijadikan sebagai pelaku terorisme, maka niscaya umat manusia di dunia ini pasti sudah punah.
“Ada 1.6 milyar umat muslim di dunia. Bayangkan, 1.6 milyar. Jika saja muslim adalah teroris seperti yang diberitakan, maka kita semua sudah mati dan musnah sekarang. Jumlah pasukan ISIS, Boko Haram, dan Al-Qaeda, jika ditotal hanya 0.003% dari populasi muslim,” kata Hills yang diiringi tepuk tangan para penonton.
Hills kemudian melanjutkan “Kurang dari 2% aksi teror dibawa atas nama islam. Kans kita tersengat lebah atau mati karena kacang saja lebih tinggi dari angka ini.”
Artinya, Barat yang mengagungkan rasionalitas dalam segala tindak kehidupannya, terkadang tidak rasional dalam menghukumi umat Islam. Kalau saja Barat dan media mereka mau berpikir seperti yang dipikirkan Hills.
*Tulisan diambil dari situs fokusislam.com
Cuplikan dari :