Apakah Allah menghendaki kebaikan
pada diri Anda? Inilah jawaban Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah!
By Sa'id Abu Ukkasyah 4 January 2016
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah
menuturkan dalam kitabnya yang indah, Al-Wabilush Shayyib:
فمن أراد الله به خيرا فتح له باب الذل والانكسار
ودوام اللجأ إلى الله تعالى والافتقار إليه ورؤية عيوب نفسه وجهلها وعدوانها
ومشاهدة فضل ربه وإحسانه ورحمته وجوده وبره وغناه وحمده. فالعارف سائر إلى الله
تعالى بين هذين الجناحين لا يمكنه أن يسير إلا بهما فمتى فاته واحد منهما فهو
كالطير الذي فقد أحد جناحيه.
“Barangsiapa yang
Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Allah akan bukakan untuknya pintu
perendahan diri, perasaan tidak berdaya, selalu bersandar hatinya kepada Allah
Ta’ala dan terus-menerus merasa butuh kepada-Nya. Ia memeriksa aib-aib dirinya,
kebodohan yang ada padanya dan kezalimannya. Di samping itu, ia menyaksikan dan
menyadari betapa luas karunia, ihsan, rahmat, kedermawanan, dan kebaikan
Rabbnya serta kekayaan dan keterpujian diri-Nya. Oleh karena itu, orang yang
benar-benar mengenal (Allah) akan meniti jalannya menuju kepada Allah di antara
kedua sayap (sikap) ini. Dia tidak mungkin meniti jalan hidupnya (dengan baik)
kecuali dengan keduanya. Ketika salah satu dari kedua belah sayap itu hilang,
maka dia bagaikan seekor burung yang kehilangan salah satu sayapnya”
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah mengatakan,
العارف يسير إلى الله بين مشاهدة المنة ومطالعة عيب النفس والعمل
“Orang yang mengenal
Allah adalah orang yang berjalan menuju kepada Allah dengan mengingat-ingat
karunia Allah (musyahadatul minnah) dan memeriksa aib diri dan amalnya
(muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal).”
Dan ini adalah makna
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits shahih dari
Syaddad (dan Buraidah) Radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma,
سَيِّدُ الْاِسْتِغْفارِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ: اَللَّهُمَّ أَنْتَ
رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا
عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا
صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ
لِيْ ،إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Sesungguhnya
Istighfâr yang paling baik adalah seseorang hamba mengucapkan:
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ
وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ
بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ
بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
Allâh, Engkau adalah
Rabbku, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.
Engkaulah yang menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku berada dalam
perjanjian dengan-Mu dan janji dari-Mu, sesuai dengan kemampuanku. Aku
berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu
kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Karena tidak
ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau”1.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan di dalam sabda beliau:
أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ
“Aku mengakui
nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu,” antara(sikap) senantiasa
mengingat-ingat karunia Allah (musyahadatul minnah) dan (sikap) selalu
memeriksa aib diri dan amalnya (muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal)2.
Hasil dari
dua sikap: musyahadatul minnah dan muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal dalam
perjalanan hamba menuju kepada Allah3
Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullah menjelaskan,
فمشاهدة المنة توجب له المحبة والحمد والشكر لولي النعم والإحسان ومطالعة
عيب النفس والعمل توجب له الذل والانكسار والافتقار والتوبة في كل وقت وأن لا يرى
نفسه إلا مفلسا
“Bagi seorang hamba,
musyahadatul minnah4 itu pastilah menghasilkan cinta, pujian, syukur kepada
Sang Pemilik nikmat, dan ihsan. Adapun muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal5 pastilah
menghasilkan baginya perendahan diri, perasaan tidak berdaya, merasa butuh
kepada-Nya, dan taubat di setiap waktu serta tidaklah ia melihat dirinya
kecuali tidak memiliki apapun”6
Ruang
lingkup ibadah terbangun di atas dua pondasi: cinta yang sempurna dan
perendahan diri yang sempurna7
Ibnul Qoyyim
rahimahullah mengatakan,
والعبودية مدارها على قاعدتين هما أصلها: حب كامل، وذل تام
“Ibadah itu ruang
lingkupnya terbangun di atas dua pondasi. Keduanya merupakan landasan
peribadatan, yaitu cinta yang sempurna (hubbun kamil) dan perendahan diri yang
sempurna (zullun tam)”8.
Beliau menjelaskan
hubungan antara musyahadatul minnah-muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal dan
hubbun kamil-zullun tam. Tempat tumbuhnya dua pondasi ini dari dua dasar yang
sebelumnya, yaitu:
1.Mengingat-ingat
anugerah (nikmat Allah), yang hal ini membuahkan kecintaan (kepada Allah).
2.Memeriksa aib diri
dan aib amal, yang hal ini membuahkan
perendahan diri yang sempurna.
Jika seorang hamba
membangun perjalanannya menuju kepada Allah Ta’ala di atas dua pondasi ini,
niscaya musuhnya (setan) tidaklah berhasil menang menguasainya kecuali
(sesekali saja) saat lengah dan lalai, namun betapa cepatnya Allah ‘Azza wa
Jalla membangkitkannya dari keterjatuhan, menutupi kekurangannya, dan segera menolongnya
dengan rahmat-Nya9.
Pintu
terdekat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berjumpa dengan-Nya adalah
Al-Iflaas (tidak memiliki apapun)!10
Pintu terdekat bagi
seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala adalah Al-Iflaas,
yaitu tidak melihat dirinya memiliki kedudukan, tidak pula melihat dirinya
telah mengambil suatu sebab bisa diandalkan, serta tidak merasa memiliki suatu
sarana yang bisa diungkit-ungkit (banggakan)! Bahkan (sesungguhnya) seorang
hamba (dalam) mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala masuk dari pintu merasa
butuh (kepada Allah) secara totalitas
dan merasa (dirinya) tidak memiliki sesuatu apapun11. Wallahu a’lam.
***
Disusun dari Shahih
Al-Wabil Ash-Shayyib Min Al-Kalim Aththayyib, Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali
Penulis: Ust. Sa’id
Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
1.Dalam kitab
Shahihul Bukhari , disebutkan dengan lafazh sedikit berbeda, silahkan lihat: http://bit.ly/1IwY4Z7
↩
2.Shahih Al-Wabilush
Shayyib, hal. 16-17 ↩
3.Judul ini dari
penerjemah ↩
4.Musyahadatul minnah
adalah mengingat-ingat karunia Allah ↩
5.Muthola’atu ‘aibin
nafsi wal ‘amal adalah memeriksa aib diri dan amal ↩
6.Shahih Al-Wabilush
Shayyib, hal.17 ↩
7.Judul ini dari
penerjemah ↩
8.Shahih Al-Wabilush
Shayyib, hal. 17-18 ↩
9.Shahih Al-Wabilush
Shayyib, hal. 17-18 ↩
10.Judul ini dari
penyusun ↩
11.Shahih Al-Wabilush
Shayyib, hal.17