Friday, April 22, 2016

Adakah Islam Versi Indonesia?

Hasil gambar untuk website

wiemasen April 10, 2016 
Umat Islam Indonesia adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia” ujar mentri agama, Lukman Hakim, seperti dikutip harian Nasional, Rabu (3/8). [1]
Ungkapan tersebut memang mengandung makna yang berbeda. “Orang Indonesia yang beragama Islam” bermakna identitas yang dominan adalah nasionalisme dan agama hanyalah asesoris tambahan. Sedangkan ungkapan “orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia” menggambarkan identitas aqidah yang dominan, sementara penyebutan nama negara atau wilayah Indonesia hanya keterangan tambahan yang menggambarkan salah satu kawasan di muka bumi yang dihuni oleh sekelompok orang tanpa makna mendalam apapun serta tidak mengandung konsekuensi signifikan jika keterangan wilayah itu dirubah menjadi Yaman, Inggris, Afrika dan lain sebagainya [2].
Pada awalnya saya bingung dengan pernyataan itu. Tapi setelah memperhatikan sepak-terjang dan latar belakang mentri agama yang satu ini, saya sedikit memahami apa yang dimauinya. Contohnya adalah pernyataan dia yang lain:
Seharusnya, dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, demokrasi berarti harus mengakui kepemimpinan dari kalangan mana pun,” kata Lukman [3]. Menurut Lukman, penolakan terhadap pemimpin yang berasal dari kelompok etnis atau agama berbeda menunjukkan rendahnya tingkat komitmen masyarakat terhadap kemajemukan yang ada di Indonesia.
Dalam kesempatan lain di seminar ‘Fikih dan Tantangan Kepemimpinan Dalam Masyarakat Majemuk’ di Hotel Alia, Cikini, Jakarta Pusat (24/2), Lukman Hakim Saifudin mengatakan, “Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, demokrasi berarti juga harus mengakui kepemimpinan dari kalangan mana pun, karena hal itu konstitusional dan diatur dalam konstitusi.”
Komentar Lukman diatas salah satunya menyoroti sikap penolakan umat Islam Jakarta atas pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI beberapa waktu lalu. Padahal sikap penolakan umat Islam yang dimotori Front Pembela Islam (FPI) dan para ulama Jakarta ini dilandasi perintah Allah Swt, karena umat Islam memang dilarang mengambil pemimpin dari kalangan kaum kafirin.
Kalau kita cermati kata-katanya, maka bisa diambil kesimpulan umat Islam di Indonesia harus menomorduakan ajaran agama. Kalau dalam ajaran agama dilarang mengambil pemimpin dari kalangan non-Muslim, maka hukuman ini tidak berlaku kalau hidup di negara demokrasi yang majemuk. Kalau ada yang masih ngotot menolak pemimpin non-Muslim maka bisa dituduh sebagai provokator kekerasan. Oleh karena itu, orang semacam ini perlu di re-radikalisasi.
Mungkin ini yang dimaksud dengan Islam versi Indonesia. Harus menyesuaikan dengan muatan lokal, walaupun berseberangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Jadi bukan meng-Islamkan Jawa, sebaliknya men-Jawakan Islam. Tidak heran budaya-budaya Hindu dan Animisme sebelum Islam, dipertahankan dengan cara mengasimilasikan dengan simbol Islam, sehingga menjadi sebuah produk baru seperti Tahlilan, Nujuh Nulanan, Matang Puluh, Haul, Yasinan, Rotiban, Manakiban, Muludan dan sebagainya.
Jika ada yang mencoba membersihkan budaya-budaya asimilasi tersebut, bersiap-siaplah menerima tuduhan seperti ini:
“Jangan merasa benar sendiri.”

“Jangan membida’ahkan orang lain.”
“Kamu itu Islam tidak toleran, Islam import, sedangkan kami Islam toleran yang Rahmatan Lil’alamin.”
“Wahabi loh…fundamentalis loh…”
“Cara dakwah kamu tidak berakhlaq.”

Dan sederet hujatan lainnya. Mereka tidak peduli kalau kita berikan setumpuk dalil-dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Paling-paling mereka katakan;
“Beragam itu bukan dengan dalil. Makin banyak dalil makin sesat.”

“Jangan belajar dari Google. Sesat jadinya…”
“Belajar itu sama kiyai bersanad.”
“Kamu bukan lulusan agama, berani-beraninya memperingatkan kami yang lulusan pesantren.”
“Ini email dan telpon guru saya. Kamu diskusi saja dah sama guru aku. Kalau aku tinggal ikut apa yang guru aku bilang. Aku dengar dan aku laksankan.”

Herannya, ketika orang-orang yang mengklaim mengamalkan ajaran Islam Indonesia atau Islam tradisi berkesempatan tinggal di luar negeri, mereka masih membawa tradisi lokal. Padahal kalau mereka konsisten, harusnya mereka mengamalkan Islam versi negara yang sekarang ini. Misalnya kalau tinggal di Australia, maka tidak perlulah mengamalkan Yasinan, karena budaya lokal Australia tidak ada yang nyangkut-nyangkut ke Yasinan.
Jadi “Islam Indonesia” yang sedang dipopulerkan oleh mentri agama sekaring tidak lain dan tidak bukan merupakan ideologi NU yang kembali di populerkan kembali oleh Abdurrahman Wahid. Menurut Abdurrahman Wahid, “Islam Indonesia” adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia, Islam bernalar nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Indonesia”  bukan kloning Islam Timur Tengah dan bukan pula duplikasi Islam Eropa. “Islam Indonesia” adalah semua Islam itu yang tersaring ke dalam keindonesiaan [3].
Maksudnya, kalau ajaran Islam tidak sesuai dengan budaya lokal, maka patut ditolak atau dimodifikasi terlebih dahulu. Jika tidak mau, maka silakan tinggalkan Indonesia, karena mereka dianggap bukan penduduk asli Indonesia.  Padahal orang yang dituduh mengimpor ajaran Islam dari luarpun, lahir di Indonesia. Betapa arogannya mereka.

Mencermati pernyataan Abdurrahman Wahid itu, saya jadi bingung lagi. Adakah Islam Timur Tengah, Islam Eropa, dst. Ada berapa jenis Islam sebenarnya?
Bercermin dari propaganda mentri agama di awal tulisan tadi, maka sangatlah naif ada orang yang mengatakan bahwa kekuasaan tidak penting ketika menjalankan dakwah. NU saja sampai mati-matian mempertahankan jabatan mentri agama demi mempertahankan “Islam Indonesia” atau “Islam versi NU” lebih tepatnya lagi. Tanpa kekuasaan semua tradisi NU itu lama-kelamaan bisa mati. Mereka belajar dari apa yang terjadi di Arab Saudi ketika Abdullah bin Wahab bekerja sama dengan penguasa setempat untuk membersihkan khurafat-khurafat dan kesyirikan yang merajalela di tengah masyarakat.