Friday, May 20, 2016

Sepak Terjang Barat Saat Memimpin Dunia. Melawan Jihadis, Perang Yang Membingungkan

Amerika SerikatTentara AS

Sepak Terjang Barat saat Memimpin Dunia

Pihak Barat, dalam hal ini diwakili oleh Amerika Serikat, berulang kali menjalankan kebijakan-kebijakan yang justru berakhir kontra produktif. Noam Chomsky, profesor di Universitas Teknologi Massachusets membeberkan kebijakan yang telah dicanangkan Barat tersebut, disertai implikasi atas dampak yang terjadi karenanya.
Konsekuensi Strategi Godam Dalam GWOT
Pendek kata bahwa efek strategi godam (sledgehammer) dalam Perang Global Melawan Teror (GWOT) oleh koalisi dunia pimpinan AS telah membuat gerakan-gerakan jihadis semakin menyebar luas dari hanya sejengkal wilayah di Afghanistan ke banyak wilayah dan negara di seluruh dunia, dari Afrika sampai tanah Syam di Timur Tengah dan dari Asia Selatan hingga ke Asia Tenggara. Para jihadis juga mendorong dilancarkannya serangan-serangan tunggal maupun terkoordinasi di daratan Eropa dan Amerika Serikat.
Invasi militer AS ke Irak secara signifikan berkontribusi  bagi proses eskalatif ini, persis seperti yang telah banyak diprediksikan oleh lembaga-lembaga intelijen. Ahli spesialis di bidang terorisme, Peter Bergen dan Paul Cruickshank, sebelumnya pernah memperkirakan bahwa Perang Iraq “akan meningkatkan  intensitas rata-rata serangan teroris sebanyak tujuh kali lipat per tahun, merujuk pada angka statistik di mana terdapat ratusan insiden serangan teroris dan ribuan korban serangan yang kehilangan nyawa. Bahkan, ketika data terorisme di Iraq dan Afghanistan dikecualikan, serangan-serangan mematikan di belahan dunia yang lain meningkat lebih dari sepertiganya.” Demikian pula sejumlah cara pendekatan atau strategi lain juga sama-sama produktif.
Dampak Destruktif Intervensi Politik & Militer Barat
Sekelompok peneliti gabungan dari beberapa organisasi besar hak asasi manusia, seperti Physicians for Social Responsibility (AS), Physicians for Global Survival (Kanada), dan International Physicians for the Prevention of Nuclear War (Jerman) telah melakukan riset untuk mendapatkan angka prakiraan yang serealistis mungkin tentang jumlah korban tewas di tiga zona utama di Iraq, Afghanistan, dan Pakistan selama 12 tahun ‘perang melawan teror’. Riset itu juga termasuk sebuah ulasan ekstensif mengenahi berbagai penelitian lain dan data terpublikasi jumlah korban di negara-negara tersebut, dan informasi tambahan mengenahi berbagai aksi-operasi militer. Perkiraan konservatif mereka menunjukkan bahwa perang di Iraq-Afghanistan-Pakistan telah menewaskan 1,3 juta orang, catatan jumlah korban tewas yang kemungkinan bisa membengkak hingga 2 juta orang. Sebuah pencarian database oleh peneliti independen David Peterson beberapa hari setelah dipublikasikannya laporan ini menemukan bahwa jumlah korban secara virtual tidak disebutkan. Lalu, siapa yang peduli?
Lebih umum lagi, sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Institut Riset Perdamaian Oslo menunjukkan bahwa dua pertiga jumlah korban tewas akibat konflik di kawasan itu – dunia Islam – disebabkan oleh intervensi kekuatan asing yang memaksakan kehendak bagi cara penyelesaian konflik yang awalnya merupakan masalah domestik negara tertentu. Dalam konflik-konflik semacam ini, 98%  korban jiwa hanya terjadi setelah kekuatan-kekuatan asing terlibat dalam konflik internal suatu negara dengan menggunakan kekuatan militer. Di Suriah, jumlah korban tewas secara langsung melonjak lebih dari tiga kali lipat setelah Barat mulai melancarkan kampanye serangan udara terhadap apa yang mereka klaim sebagai kelompok ISIS, dan setelah CIA mulai melancarkan intervensi militer tidak langsung ke dalam perang yang sama. Intervensi ini pula yang kemudian mendorong Rusia melibatkan diri ikut campur tangan setelah senjata canggih rudal TOW anti-tank buatan Amerika terlihat digunakan oleh para pejuang oposisi menekan pasukan rezim Basyar Assad sekutu Rusia. Indikasi-indikasi awal menunjukkan bahwa bombardemen Rusia menyebabkan dampak destruktif seperti yang diperkirakan.
Invasi AS Picu Kekerasan & Perlawanan di Seluruh Dunia
Bukti-bukti yang diulas oleh ilmuan politik seperti Timo Kivimäki mengindikasikan bahwa perang-perang yang dilakukan oleh koalisi pimpinan AS telah menjadi sebab utama timbulnya kekerasan di seluruh dunia, terkadang menyumbang lebih dari 50% jumlah korban tewas akibat konflik yang ditimbulkan. Lebih jauh lagi, dalam banyak kasus termasuk Suriah sebagaimana yang ia paparkan sebetulnya ada peluang bagi penyelesaian secara diplomatik, namun diabaikan. Dalam kejadian-kejadian kekerasan lain yang juga mengerikan, termasuk Perang Bosnia di Balkan pada awal 1990an, Perang Teluk I, Perang Indocina (Vietnam-Kamboja-Laos), telah terjadi kejahatan terburuk sejak Perang Dunia II. Dalam kasus Iraq, berbagai kejahatan perang termasuk embargo luas dan penyiksaan tahanan di Abu Ghraib juga tidak ada yang mempertanyakan. Tentu saja ada banyak pelajaran yang akan tetap ditulis oleh sejarah di sini.
Dampak atau konskuensi umum diterapkannya strategi godam oleh kekuatan-kekuatan Barat – terutama Amerika Serikat – terhadap masyarakat yang rentan menimbulkan reaksi yang tidak diduga oleh kekuatan-kekuatan tersebut. William Polk secara hati-hati mempelajari tentang realitas insurjensi yang ia tulis dalam bukunya “Politik Kekerasan (Violent Politics)”. Buku ini layak dan sangat penting dibaca bagi mereka yang ingin memahami konflik-konflik hari ini, terutama bagi para perencana kebijakan, yang masih peduli dengan aspek & konskuensi kemanusiaan, dan yang bukan hanya mengejar dominasi & kekuasaan semata. Polk mengungkap sebuah pola yang terus berulang dan berulang. Mulanya, para agresor (penjajah asing)  yang biasanya berpura-pura dengan menampilkan motif paling santun secara alamiah tidak disukai oleh masyarakat lokal yang tidak mentaati atau menentang mereka. Pada awalnya dengan cara yang sederhana, lalu timbul respon balik yang keras yang kemudian semakin memupuk oposisi atau semangat penentangan, dan akhirnya mendukung perlawanan. Siklus kekerasan terus meluas hingga para agresor itu pergi, atau berakhir melalui suatu tindakan yang hampir mirip dengan genosida.
Drone & Asasinasi Pemimpin Jihadis
Konskuensi dari kampanye global pesawat tanpa awak “drone” oleh Obama untuk misi pembunuhan yang dianggap sebagai inovasi canggih melawan terorisme juga menunjukkan pola yang sama. Dalam banyak catatan di seluruh dunia, serangan drone tersebut justru semakin memperbanyak jumlah teroris jauh lebih cepat daripada jumlah target yang berhasil mereka habisi.
Karakteristik lain yang ditampilkan oleh intervensi semacam ini adalah keyakinan bahwa insurjensi akan bisa diatasi dengan cara membunuh pemimpinnya. Namun ketika asasinasi itu berhasil, biasanya akan muncul pemimpin baru yang lebih muda, lebih determinan, lebih brutal, dan lebih efektif. Polk memberi banyak contoh. Andrew Cockburn seorang ahli sejarah kemiliteran mengulas kampanye Amerika untuk membunuh para gembong narkoba dan para pemimpin jihadis selama periode waktu yang lama dalam buku hasil penelitiannya “Kill Chain” dan menemukan hasil pola yang sama.
Namun ada catatan, sebagian kalangan para peneliti, legislator, termasuk regulator di pemerintahan secara tendensius dan tidak objektif kerap menyandingkan isu terorisme dengan kejahatan lain seperti narkoba dan korupsi yang dianggap sebagai kejahatan serius untuk memberikan efek opini bahwa para jihadis adalah pelaku kejahatan.

Melawan Jihadis, Perang yang Membingungkan

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan strategis AS saat ini adalah untuk menghabisi sang Kholifah yang dideklarasikan secara sepihak oleh ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi. Dampak yang akan ditimbulkan seandainya upaya Amerika itu berhasil telah diprediksikan oleh Bruce Hoffman, seorang pakar terorisme terkemuka sekaligus merupakan tokoh senior di Pusat Kontra Terorisme di Akademi Militer AS. Menurut Hoffman, kematian al-Baghdadi justru akan membuka jalan/peluang bagi upaya pendekatan ISIS kepada al-Qaidah sehingga bisa dibayangkan, akan menciptakan sebuah entitas kekuatan gabungan teroris dengan jangkauan, kemampuan, ambisi, dan sumber daya yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Polk mengutip sebuah risalah perang yang ditulis oleh Henry Jomini, yang dilatarbelakangi oleh kekalahan Napoleon di tangan para gerilyawan Spanyol yang menjadikan tulisan tersebut sebagai buku rujukan para kadet selama beberapa generasi di akademi militer West Point. Jomini mengamati bahwa intervensi-intervensi yang dilakukan berbagai kekuatan besar biasanya akan berlanjut dengan “perang opini”, kemudian berakhir dengan “perang nasional” atau semacam “perang semesta”. Jika perang semesta ini tidak terjadi di awal, maka akan terjadi melalui jalan perjuangan bersenjata oleh berbagai dinamika yang berkembang sebagaimana digambarkan oleh Polk. Lebih jauh Jomini menyimpulkan bahwa para komandan pasukan reguler kekuatan agresor asing akan kebingungan menghadapi perang semacam ini karena mereka tahu akan kalah, dan kemenangan yang nyata pasukan agresor di fase awal tidak akan berlangsung lama.
Terjebak Permainan Al-Qaidah
Berbagai studi yang secara hati-hati meneliti al-Qaidah dan ISIS menunjukkan bahwa AS dan sekutu-sekutunya telah terjebak dan mengikuti rencana/alur permainan mereka (al-Qaidah & ISIS) dengan seksama. Tujuan mereka (jihadis) adalah menarik Barat sedalam mungkin dan seaktif mungkin ke dalam “rawa-rawa” peperangan, dan gerakan jihadis secara terus menerus akan melawan dan melemahkan AS dan dunia Barat melalui berbagai petualangan perang yang berlarut-larut di banyak wilayah di luar daratan Amerika. Sehingga upaya tersebut diharapkan akan mengacaukan tatanan masyarakat Barat sendiri, menghabiskan seluruh sumber daya, dan meningkatkan level kekerasan, yang pada akhirnya mendorong suatu dinamika seperti yang diutarakan Polk.
Scott Atran, salah satu peneliti yang paling detil dalam mengamati dinamika gerakan jihadis, mengkalkulasi bahwa biaya eksekusi serangan 11/9 antara US$ 400.000 s/d 500.000 (IDR 5,2 hingga 6,5 Milyar), sementara reaksi militer dan keamanan oleh AS dan sekutu-sekutunya menghabiskan biaya 10 juta kali lipat dari nilai/biaya serangan itu sendiri. Dari aspek manfaat sistem pembiayaan yang ketat, gerakan jihadis bisa dianggap sangat sukses, bahkan melampaui apa yang pernah dibayangkan oleh Bin Ladin sendiri, dan yang hingga kini biaya perang itu terus meningkat. Di sinilah letak “jurus jujitsu” yang diterapkan secara penuh dalam sebuah perang asimetris. Bagaimanapun juga masih ada pertanyaan tak terjawab, benarkah Amerika sudah menang dalam perang tersebut, dan apakah seluruh bahaya telah menurun?
Jika Barat terus menggunakan cara pendekatan yang keras atau strategi palu, maka diam-diam mereka telah mengikuti skenario para jihadis, dan kemungkinan efeknya adalah gerakan jihadis akan semakin menarik minat & dukungan banyak orang. Gelombang pejuang “teroris” asing akan semakin besar oleh aliran para jihadis muda yang ingin terlibat langsung di pusat-pusat konflik, sementara unsur silent-majority pendukung akan tetap di negara masing-masing.  Oleh karena itu, Atran dalam catatannya memberi rekomendasi, harus ada langkah yang bisa menginspirasi sebuah perubahan radikal di dalam berbagai strategi kontra terorisme & insurjensi.
Al-Qaidah & ISIS dalam perkembangannya secara tidak langsung justru “dibantu” oleh sebagian pihak dan orang-orang Amerika yang mengikuti arahan-arahan mereka. Sebagai contoh,  kandidat utama presiden dari partai Republik, Ted Cruz, menyarankan penggunaan bom karpet untuk menghabisi para jihadis. Atau, contoh lainnya seperti Thomas Friedman, kolumnis terkemuka New York Times mengenahi isu-isu Timur Tengah, pada tahun 2003 pernah menyarankan Washington mengenahi cara berperang di Iraq. Friedman mengatakan, “Saya ingin menyebutnya dengan istilah gelembung terorisme. Dan yang perlu kita lakukan adalah kita harus pergi ke bagian dunia yang menjadi pusat terorisme lalu mengebom gelembung terorisme tersebut. Dan kita memang harus mendatangi tempat itu, kita hantam jantung dunia terorisme dan kita bom gelembungnya.”
Rekomendasi Para Ahli
Atran dan sejumlah pengamat lainnya secara umum setuju dengan rekomendasi Atran tersebut. Menurutnya, dimulai dengan mengakui hasil penelitian/riset hati-hati yang secara meyakinkan memberi petunjuk, bahwa motif umum orang-orang untuk berjihad karena mereka menginginkan sesuatu seperti yang telah terjadi dalam sejarah dan tradisi mereka, dengan seluruh epik kepahlawanan dan nilai-nilai moral mereka. Dalam perspektif Atran, meski ISIS brutal dan memuakkan dan bahkan terhadap sebagian besar dunia Arab & Islam, mereka sedang menyuarakan  secara langsung dan jelas keinginan tersebut.
Sementara menurut rekomendasi Polk, strategi terbaiknya harus bersifat multinasional, berisi program-program yang berorientasi pada kesejahteraan serta memberi kenyamanan & kepuasan psikologis yang nantinya akan membuat kebencian yang dipropagandakan ISIS akan berkurang. Beberapa elemen yang telah diidentifikasikan di antaranya: kebutuhan-kebutuhan komunal, kompensasi atas kesalahan/pelanggaran yang dilakukan pada masa lampau, dan seruan untuk memulai lembaran baru. Polk menambahkan, “Sebuah ungkapan permintaan maaf secara hati-hati atas kesalahan masa lalu tidak lah mahal, namun akan banyak memberi dampak positif”. Proyek semacam ini bisa dimulai dilakukan di kamp-kamp pengungsian, atau bisa juga misalnya di Banlieue, wilayah pemukiman para imigran di pinggiran Paris yang kumuh dan memiliki tingkat kriminalitas tinggi. Atran menulis, tim risetnya menemukan para imigran di Banlieue banyak yang mentoleransi dan mendukung nilai-nilai ISIS. Bahkan juga yang bisa dilakukan adalah memberikan dedikasi secara jujur saat menempuh upaya diplomasi dan negosiasi, bukan sekedar respon spontan terhadap kekerasan.
Tidak kalah penting adalah respon yang memberikan respect terhadap masalah atau krisis pengungsi yang sebenarnya sudah lama ada namun secara masif mulai melanda Eropa pada tahun 2015. Itu artinya, setidaknya dilakukan dengan meningkatkan bantuan kemanusiaan ke kamp-kamp pengungsi di Lebanon, Yordania, dan Turki di mana para pengungsi Suriah berjuang keras untuk bertahan hidup. Tetapi isunya bukan sekedar itu saja, memberi gambaran sepihak tentang “negara-negara (Barat) yang tercerahkan” masih jauh dari menarik dan harus ada aksi nyata.
Ada negara-negara yang menyebabkan gelombang pengungsi akibat kebijakan kekerasan masif mereka, seperti Amerika Serikat, dan yang kedua adalah Inggris dan Perancis. Kemudian ada negara-negara yang menampung pengungsi dalam jumlah sangat besar, termasuk para pengungsi yang menyelamatkan diri dari kekerasan negara-negara Barat, seperti Lebanon, Yordania, dan Suriah (sebelum Krisis). Sebagian mengalami overlapping dan terjadi paradok di mana ada negara-negara yang menjadi penyebab/biang arus pengungsian namun menolak menampung mereka, bukan hanya negara-negara Timur Tengah, namun juga AS sendiri termasuk di perbatasan bagian selatan negaranya. Itulah sebuah gambaran aneh, menyakitkan untuk direnungkan.
Perjanjian Sykes-Picot Simbol Sinisme & Brutalisme Imperialis Barat
Sebuah gambaran jujur akan melacak secara lebih jauh generasi pengungsi dengan kembali ke sejarah. Seorang koresponden veteran Timur Tengah, Robert Fisk melaporkan bahwa salah satu video yang pertama kali diproduksi oleh ISIS memperlihatkan sebuah bulldozer menggusur dan meratakan tanggul pasir yang menandai batas negara Iraq dan Suriah. Pada saat alat berat tersebut menghancurkan bangunan pembatas negara, lensa kamera menyorot ke bawah ke sebuah poster yang bertuliskan tangan yang tergeletak di atas pasir, berbunyi “Sykes-Picot Tamat.”
Bagi orang-orang yang tinggal di negara-negara di kawasan tersebut, perjanjian Sykes-Picot merupakan simbol nyata sinisme dan brutalisme dari imperialisme Barat. Konspirasi rahasia selama Perang Dunia I, antara Mark Sykes dari Inggris bersama dengan François Georges-Picot dari Perancis telah membagi-bagi kawasan Timur Tengah menjadi negara-negara artifisial demi memuaskan tujuan-tujuan imperial mereka sendiri, dengan ungkapan yang menipu bahwa pembagian batas-batas wilayah adalah untuk kepentingan masyarakat yang tinggal di kawasan itu. Barat juga melanggar janjinya sendiri di masa perang saat harus membujuk orang-orang Arab agar mau bergabung dengan aliansi mereka. Model kesepakatan tersebut (Sykes-Picot) juga tercermin dalam tindakan negara-negara Eropa menghancurkan Afrika dengan cara yang sama. Cara itu, Sykes-Picot, telah mengubah propinsi-propinsi Kekhilafahan Turki Utsmani yang tadinya damai dan aman menjadi negara-negara kecil yang tidak stabil dan secara geopolitik internasional paling bergolak di seluruh dunia.
Krisis Pengungsi  & “Pemimpin Dunia” yang Tidak Bertanggung Jawab
Sejak itu, intervensi yang terus dilakukan oleh negara-negara Barat baik secara politik maupun militer ke Timur Tengah dan Afrika semakin memperburuk ketegangan, konflik, dan kekacauan yang telah mengoyak kehidupan masyarakat di sana. Di antara dampak signifikannya adalah sebuah krisis pengungsi di mana negara-negara Barat hampir tidak ada yang mau bertanggung jawab menanggung konskuensi itu. Jerman muncul sebagai satu negara Eropa yang punya kesadaran, meski hanya di awal (dan kini tidak lagi), untuk bersedia menampung hampir sejuta pengungsi di negara mereka. Jerman merupakan salah satu negara terkaya di dunia dengan populasi penduduk 80 juta jiwa. Ironisnya, negara miskin Lebanon telah menampung sekitar 1,5 juta pengungsi Suriah, dan saat ini seperempat jumlah penduduk Lebanon adalah para pengungsi Palestina yang telah masuk dalam daftar lembaga pengungsi UNRWA. Orang-orang Palestina itu mayoritas merupakan korban kebrutalan kebijakan Israel.
Eropa terus berteriak atas beban pengungsi dari negara-negara yang notabene telah mereka hancurkan di Afrika. Negara-negara seperti Kongo dan Angola bisa menjadi saksi. Dan saat ini Eropa juga merengek dengan mencoba menyuap Turki yang telah menampung 3 juta pengungsi Suriah untuk mencegah orang-orang Suriah yang meninggalkan negaranya dari perbatasan Eropa, seperti Obama yang baru saja menekan Meksiko untuk menjaga perbatasan negaranya dengan AS  supaya bebas dari orang-orang yang ingin menyelamatkan diri dari Perang Global Melawan Teror versi Ronald Reagen – Presiden AS periode 1981-1989 – , bersama dengan para pengungsi akibat bencana alam, dan kudeta militer di Honduras yang hampir dilegitimasi oleh satu-satunya pemerintahan, yaitu AS di bawah Obama. Kudeta di Honduras telah menciptakan bencana kemanusiaan terparah di kawasan tersebut.
Curhat Chomsky & Kritik Erdogan
Seorang cendekiawan Amerika, Noam Chomsky mengungkapkan kegelisahannya:
“Sulit diungkapkan dengan kata-kata untuk menggambarkan bagaimana sikap dan respon negara AS terhadap krisis di Suriah, setidaknya dengan kalimat yang mampu saya fikirkan. Maka, layak diajukan pertanyaan kepada para pemimpin, terlebih kepada orang-orang yang menjadi warga negara di negara-negara yang kaya dan kuat, yang menikmati warisan tidak biasa berupa kebebasan, privilege, dan peluang berkat perjuangan orang-orang sebelum mereka:
Siapa sebetulnya yang memimpin dunia sekarang ini?
Prinsip-prinsip dan nilai-nilai apakah yang memimpin dunia saat ini?”
Secara lebih tegas pemimpin Turki, Erdogan mengkritik sepak terjang Barat terutama terhadap krisis pengungsi Suriah dengan ungkapannya:
“Memalukan, orang-orang Barat yang memalingkan kepekaan mereka terhadap apa yang disebut dengan kebebasan, hak, dan hukum yang diperlihatkan dalam perdebatan perkawinan gay, jauh dari perempuan-perempuan dan anak-anak Suriah, dan orang-orang yang tidak berdosa yang membutuhkan pertolongan.
Sungguh memalukan, orang-orang yang mengalihkan kepekaan mereka terhadap ruang hidup bagi ikan paus di laut, anjing laut, dan penyu, jauh dari hak untuk hidup bagi 23 juta rakyat Suriah.
Sangat memalukan, orang-orang yang menempatkan keamanan, kesejahteraan, dan kenyamanan hidup mereka di depan perjuangan orang lain untuk bertahan hidup.”
Sumber: Antiwar
Penulis: Yasin Muslim