Tuesday, August 16, 2016

Penistaan Terhadap Syaikh Al-Albani Rahimahullah Oleh KH. Luthfi Bashori, Dengan Bersandar Pada Kitab Hasan Ali as-Saqqof

Kiai NU menista ulama umat (1)

Ulama adalah manusia pilihan setelah para nabi dan rasul. Allah ta’ala memilih mereka untuk melanjutkan tongkat estafet dakwah tauhid yang diemban para nabi dan rasul. Mereka memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Allah ta’ala telah meninggikan posisi mereka beberapa derajat dari keumuman muslimin.

Allah ta’ala berfirman :

يَرْفَعِ اللَّـهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿١١﴾

“Allah mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat dan Dia Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan” (al-Mujadilah: 11)

Merupakan kewajiban setiap muslim untuk menempatkan ulama pada kedudukan yang telah ditetapkan Allah ta’ala dan rasul-Nya.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha beliau berkata:

“Rasulullah memerintah kami untuk menempatkan manusia sesuai kedudukan mereka” (HR. Muslim)

Pembaca rahimakumullah,

Di antara sebab kejelekan umat manusia adalah ketika mereka tidak lagi memosisikan ulama pada posisi yang semestinya. Ada yang berlebihan dalam memuliakan ulama sampai mengangkat kedudukan mereka melebihi para nabi dan rasul.

Adapula yang sangat meremehkan dan menghinakan ulama, sampai benar-benar kehormatan mereka tidak berharga sama sekali.

Namun di sana ada golongan yang selamat yaitu orang-orang yang menempatkan ulama pada kedudukan yang semestinya. Merekalah ahlusunah wal jama’ah (Aswaja) golongan yang tengah-tengah diantara kelompok ekstrem ghuluw (berlebihan memuliakan) dan kelompok ekstrem jafa’ (berlebihan dalam meremehkan).

Semoga kita diselamatkan oleh Allah ta’ala dari dua sifat ekstrem yang tercela dan membinasakan ini..!

Amin

Sebuah fenomena yang sering kita jumpai pada tokoh dan kiai NU, yaitu kebiasaan mencerca dan menghina para ulama. Tidak hanya ulama di luar ormas NU bahkan ‘ulama’ mereka sendiri dihujat dan dicerca habis-habisan.

Hal seperti ini lumrah didapati di kalangan tokoh dan kiai NU yang diulamakan.

Bahkan sudah menjadi rahasia umum, seringnya ulama, kiai dan tokoh NU saling menghujat, saling menjatuhkan bahkan saling mengucapkan kata-kata pengkafiran demi kepentingan politik yang mereka lakoni.

Inilah sekilas gambaran akhlak dan perilaku tokoh dan kiai NU. Ini pula salah satu bentuk tarbiyah (pendidikan) umat terkhusus kepada warga NU.

Padahal kiai dan tokohnya selalu mengkampanyekan slogan rahmatan lil alamin!

Allah ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴿٢﴾ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّـهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴿٣﴾

“Wahai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengucapkan seseuatu yang kalian tidak kerjakan? amat besar murka Allah kalian mengucapkan sesuatu yang kalian tidak kerjakan” (ash-Shaf: 2-3)

Lalu bagaimana mereka bisa menjaga lisan kepada ulama umat yang kokoh di atas kebenaran, namun menyelisihi NU dalam akidah, prinsip dasar agama dan amaliah ibadah?

Tentu sangat tajam lisan mereka dalam melecehkan dan mengolok-olok, menyesatkan bahkan sampai nekat mengkafirkan.

Lihatlah salah satu kiai NU garis lurus yang katanya ingin memurnikan ormas NU di atas prinsip aswaja yaitu KH. Luthfi Bashori, yang dijuluki sebagai “IMAM BESAR NU GARIS LURUS”.

Dalam sebuah Makalah untuk Kajian Pesantren Sidogiri dengan judul Kesesatan al-Albani.

Sang kiai berupaya memaparkan beberapa penyimpangan Syaikh al-Albani menurut anggapannya, dan menegaskan secara ‘ilmiah’ bahwa Syaikh al-Albani tidak layak disebut muhaddits (ahli hadits) dan tidak pantas menjadi panutan umat.

Apakah benar demikian?

Mari kita buktikan tingkat kebenaran dan keilmiahan makalah Imam Besar NU Garis Lurus kiai Luthfi tersebut.

Yang diklaim ilmiah oleh NU Garis Lurus, mereka tampilkan di situs mereka dengan memberi judul:

NUGarisLurus.Com – Makalah ilmiah Imam Besar NU Garis Lurus tentang kesesatan ahli hadats yang bukan ahli hadits andalan wahabi Al Albani ini!

Kiai NU menista ulama
Kiai NU menista ulama

Dalam makalah ‘ilmiah’ tersebut kiai Luthfi Bashori menyatakan:

“Bahkan golongan Wahhabi Salafi mengganggap al-Albani itu kedudukannya se-derajad dengan Imam Bukhari pada zamannya. Sehingga semua hadits bila telah dishahihkan atau dilemahkan dan sebagainya, oleh al-Albani ini, sudah pasti kebenaran”
Kiai NU menista ulama umat

Pada penggalan pertama dari pernyataan di atas:

“Bahkan golongan Wahhabi Salafi mengganggap al-Albani itu kedudukannya se-derajad dengan Imam Bukhari pada zamannya”
Kami katakan:

Ini adalah anggapan yang tidak beralasan alias dusta. Karena Ahlusunnah atau Salafy meyakini bahwa ulama salaf (terdahulu) lebih utama dan lebih berilmu daripada ulama yang datang setelahnya (masa kini).

Terlebih al-Imam al-Bukhari rahimahullah tidak mungkin disejajarkan dengan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, baik dari sisi ilmu, fikih, ibadah dan yang lainnya.

Akan tetapi jika yang dimaksud oleh kiai Luthfi Bashori Imam Besar NU Garis Lurus adalah keluasan ilmu dalam bidang hadits, apakah itu pengetahuan yang detail tentang ‘perawi hadits, ilal hadits (penyakit hadits), isnadul hadits (sanad-sanad hadits), thuruq ar-riwayat (jalan-jalan periwayatan hadits) serta kidah-kaidah hadits.

Maka kami katakan:

Sah-sah saja kalau dikatakan asy-Syaikh al-Albani mirip dengan al-Imam al-Bukhari pada zamannya.

Artinya beliau asy-Syaikh al-Albani unggul, serta sangat menonjol dalam ilmu hadits dan cabang-cabangnya dibandingkan ulama besar lain di masa ini. Sebagaimana al-Imam al-Bukhari unggul dalam hal ini dibandingkan ulama besar lain pada zamannya.

Hal ini bisa dibuktikan pada berbagai karya ilmiah beliau rahimahullah dalam bidang hadits. seorang yang sedikit saja memahami ilmu hadits akan mengakui kelebihan yang ada pada beliau.

Apalagi para ulama besar yang sezaman dengan asy-Syaikh al-Albani telah merekomendasi bahwa beliau adalah pakar hadits masa ini dan menjulukinya dengan al-Muhaddits.

Di antara rekomendasi tersebut dari asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu, mufti agung kerajaan Arab Saudi terdahulu, dalam ucapannya:

ما رأيت تحت أديم السماء عالماً بالحديث في العصر الحديث مثل العلامة محمد ناصر الدين الألباني

“Aku tidak mendapati di bawah kolong langit seorang yang lebih berilmu tentang hadits dibandingkan al-Allamah Muhammad Nasiruddin al-Albani”
Ini adalah pujian dari seorang alim kabir (ulama besar) di zaman ini, yang telah diakui kredibilitas dan kapasitas ilmu beliau oleh para ulama dunia yang memiliki kapasitas ilmu dan sportifitas dalam menilai.

Adapun nama-nama yang disebutkan kiai Luthfi dari ‘pakar hadits’ yang mengkritisi asy-Syaikh al-Albani, maka kami katakan sebagaimana firman Allah ta’ala:

قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ ﴿١١١﴾

Katakan: “Sampaikan bukti dan alasan kalian jika memang kalian orang-orang yang jujur” (al-Baqarah: 111)

Oleh karena itu, tidaklah yang mengingkari kapasitas ilmu asy-Syaikh al-Albani terkhusus dalam bidang hadits dan berusaha menjatuhkan beliau, kecuali satu dari dua tipe manusia.

Mungkin dia tidak mengerti dan tidak mengenal lebih dekat siapa figur al-Albani dan karya-karyanya, sehingga perlu di jelaskan kepadanya.

Atau kemungkinan kedua, dia adalah pengekor hawa nafsu yang cenderung menolak kebenaran dan fanatik buta dengan kelompoknya, maka kita hanya bisa berdo’a sebagaimana do’anya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ، وَالْأَعْمَالِ، وَالْأَهْوَاءِ

“Ya Allah sungguh aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan akhlak, amal dan hawa nafsu” (HR. at-Tirmidzi)

Semoga Allah ta’ala menyelamatkan kita semua dari kungkungan hawa nafsu yang menyesatkan!

Pembaca rahimakumullah, semoga Allah ta’ala merahmati kami dan anda semua…

Adapun penggalan kedua pernyataan kiai Luthfi Bashori:

“Sehingga semua hadits bila telah dishahihkan atau dilemahkan dan sebagainya, oleh al-Albani ini, sudah pasti kebenaran”.
Kami katakan:

Ini adalah tuduhan yang tidak berdasar dan lebih didominasi tendensi kebencian kepada asy-Syaikh al-Albani. Karena sudah pasti, tidak semua hadits yang dihukumi oleh beliau benar dan diterima begitu saja oleh para ulama. Ada yang ditolak dan mayoritasnya diterima, sebagaimana dijelaskan para ulama. Bahkan diantara murid beliau ada yang berbeda dalam menghukumi beberapa hadits. Hal ini menunjukkan bahwa syaikh al Albani walaupun ulama yang luas ilmunya namun beliau tidak makhsum. Juga menunjukkan bahwa ahlussunah yang kalian tuduh wahabi selalu ilmiah dalam beragama serta jauh dari sikap taklid dan fanatik buta.

Bahkan telah dimaklumi adanya taraju’at (rujuk kembali untuk meralat) dari beliau dalam menghukumi beberapa hadits. Yang mana ini menunjukkan adanya kesalahan pada hukum sebelumnya, kemudian dengan lapang dada, tanpa rasa berat sedikitpun beliau rujuk kepada kebenaran dengan meralat hukum sebelumnya.

Tidakkah sikap seperti ini sebuah keteladanan nan terpuji?

Namun satu pertanyaan menarik:

“Kenapa hukum hadits yang ditetapkan asy-Syaikh al-Albani mayoritasnya dierima oleh kaum muslimin. Tidak hanya dari kalangan penuntut ilmu bahkan setaraf ulama besar membenarkan serta menerima hukum beliau?”

Jawabannya:

Tidak lain karena keluasan dan kekokohan ilmu beliau dalam bidang hadits. selain itu asy-Syaikh al-Albani diberi taufik oleh Allah ta’ala untuk selalu berjalan diatas kaidah-kaidah hadits yang diletakan dan dipraktekan ahli hadits terdahulu.

Bukankah ini menunjukkan berkahnya umur dan ilmu asy-Syaikh al-Albani rahimahullahu ta’ala?

Sebagaimana berkahnya umur dan ilmu al-Imam al-Bukhari rahimahullahu ta’ala?

Sehingga bukan aib dan kekurangan, apalagi dikatakan taklid buta atau fanatik kepada asy-Syaikh al-Albani, jika kaum muslimin selalu bersandar kepada hukum beliau pada sebuah hadits.

Justru ini adalah sikap terpuji dan ilmiah, serta selalu kembali pada ulama yang ahli pada bidangnya.

Dalam rangka menjalankan perintah Allah ta’ala:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٤٣﴾

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)

Berkata ulama:

لكل فن رجاله

“Pada setiap bidang ada pakarnya”
Adapun klaim kiai Luthfi bahwa didapati banyaknya kontradiksi dari hukum hadits-hadits dan catatan-catatan asy-Syaikh al-Albani sebagaimana dipaparkan oleh Sayyid Hasan Ali Assegaf.
                 
Bahkan disebutkan lebih dari 1200 hadits yang ditemui padanya kontradiksi hukum dari asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, maka jawabannya sebagai berikut:

Nampak disini kiai Luthfi bersandar pada kitab “tanaqudhat al-Albani” karya Sayyid Hasan Ali Assegaf untuk menista salah satu ulama umat asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.

Untuk itu, kami mengajak pembaca sekalian untuk lebih mengenal siapa sosok Sayyid Hasan bin Ali Assegaf yang menjadi rujukan kiai Luthfi Imam Besar NU Garis Lurus. Karena dari sana kita akan mengetahui bobot karya Sayyid Hasan Ali Assegaf tersebut dan sejauh mana sportifitas beliau dalam mengkritisi asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.

BIOGRAFI SINGKAT SYAIKH HASAN BIN ALI ASSEGAF

Nama beliau Hasan bin Ali Assegaf berasal dari negeri Yordania. Lahir pada tahun 1380 H atau 1961 M. Usia beliau terhitung masih muda dan sangat muda pula dari sisi ilmu agama. Beliau salah seorang yang diulamakan di kota Amman ibukota negara Yordania karena sedikit memahami ilmu hadits dan ilmu kalam.

Berguru kepada beberapa ulama diantaranya ulama Magrib (Maroko) yaitu keluarga al-Ghumariyin (Syaikh Abdullah al-Ghumari dan suadaranya) yang notabene berakidah tasawwuf murni dan akidah ahli kalam.

Sehingga tidak heran kalau Syaikh Hasan Assegaf seorang berakidah sufi tulen yang meyakini Allah ta’ala menyatu dengan hamba-Nya, yaitu akidah wihdatul wujud yang sesat. Selain itu beliau juga berfaham Jahmiah yang mengingkari sifat-sifat Allah ta’ala.

Bahkan tidak hanya sampai disitu, ternyata dia seorang Syiah Rafidhah tulen yang mencerca para sahabat Nabi dan merendahkan isteri-isteri Nabi, serta melakukan berbagai kesesatan kaum syiah lainnya.

Statemen beliau dalam buku-buku karyanya sebagai bukti nyata apa yang kami sebutkan.

Di antara bukti yang menunjukkan bahwa beliau berakidah Syiah Rafidhah, yaitu:

1. Syaikh Hasan Assegaf lebih mengutamakan sahabat Ali bin Abi Thalib daripada sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma.

Dalam catatan kaki terhadap kitab al-Ibanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari hal. 296, ketika Imam Abul Hasan berkata:

“Jika telah pasti dan benar kepemimpinan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu setelah Rasulullah(wafat), maka pasti dan benar pula beliau (Abu Bakr) manusia yang paling utama dari seluruh kaum muslimin.”
Syaikh Hasan Assegaf mengomentari:

“(Tidak benar) akan tetapi sayyid kami Ali bin Abi Thalib menurut kami dan sejumlah sahabat dan yang setelah mereka (sahabat) manusia yang paling utama dari seluruh muslimin.”
Perhatikan saudaraku kaum muslimin, dengan tegas Syaikh Hasan Assegaf mengingkari pernyataan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, serta mengklaim bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib lebih utama dari sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma. Berdalih bahwa ini adalah pendapat sejumlah sahabat dan ulama setelah sahabat.

Maka pertanyaannya:

Siapa diantara sahabat yang berpendapat dengan pendapat ini (Syaikh Hasan Assegaf)?

Padahal telah masyhur dan sah riwayat dari sahabat bahwa mereka sepakat sahabat Abu Bakr radhiallahu ‘anhu adalah manusia yang paling utama setelah para nabi.

Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma:

كنا نقول ورسول الله صلى الله عليه وسلم حي أفضل أمة النبي بعده أبو بكر ثم عمر ثم عثمان فيسمع ذلك النبي فلا ينكره

“Dahulu kami (para sahabat) mengatakan (manusia) yang paling utama dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakr kemudian Umar kemudian Utsman radhiallahu ‘anhum. Nabi mendengar ucapan ini dan beliau tidak mengingkarinya.” (HR. Abu Dawud dan Thabrani, dengan sanad yang shahih)

Bahkan juga penegasan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri dalam ucapannya:

خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر ولو شئت لسميت الثالث

“(Manusia) yang terbaik dari umat ini setelah Nabi mereka Abu Bakr kemudian Umar radhiallahu ‘anhuma, kalau mau akan aku sebutkan yang ketiga.” (HR. Ahmad, dengan sanad shahih)

Perhatikan saudaraku, pernyataan Syaikh Hasan Assegaf jelas-jelas menyelisihi dua riwayat di atas.

Sehingga sangat salah kalau tidak dikatakan sesat ucapan beliau dan adanya indikasi kuat ketidakjujuran pada ucapannya:

“… menurut kami dan sejumlah sahabat”
Demikianlah salah satu prinsip agama Syiah yaitu taqiyyah yakni sikap tidak jujur alias dusta.

Baca juga:

Pembaca rahimakumullah, semoga Allah ta’ala merahmati kita semua…

Ketahuilah bahwa diantara akidah dasar agama Syiah Rafidhah adalah lebih mengutamakan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu daripada seluruh sahabat Nabi termasuk sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallhu’anhum.

Bahkan mereka sangat ekstrem dalam memuliakan sahabat Ali radhiallahu ‘anhu sampai melebihi kedudukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Yaitu tatkala mereka menyatakan bahwa Ali radhiallahu ‘anhu lebih berhak menerima wahyu dibandingkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allahul musta’an!

Maka apakah orang yang berakidah Syiah Rafidhah semisal Syaikh Hasan Assegaf pantas dijadikan rujukan dan sandaran dalam berislam serta bisa dipercaya ucapannya?

Apalagi dijadikan tuntunan dan panutan oleh Kiai Luthfi Bashori Imam Besar NU Garis Lurus, yang mengklaim anti Syi’ah?

Bukankah ini khianat dan tidak amanah kepada umat?
Berikut ini bukti ke dua yang menunjukkan bahwa Syaikh Hasan bin Ali Assegaf adalah seorang yang beragama Syiah:

2. Menikam sahabat Muawiyah radhiallahu’anhu dengan berbagai cercaan dan tuduhan dusta.

Dalam bukunya Shahih Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah hal. 651, Syaikh Assegaf berkata:

“Demikian pula termasuk kemunafikan adalah membenci Sayyidah Fatimah, Hasan, Husein dan ahli bait. Dan telah terjatuh dalam kejahatan membenci mereka (ahli bait) Muawiyah dan sahabatnya serta keluarganya dar bani Umayyah kecuali sekelompok kecil dari mereka di antaranya seperti Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah.”
Demikian satu dari sekian tuduhan dusta Syaikh Assegaf kepada sahabat yang mulia Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma.

Berkata al-Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah:

“Sahabat Muawiyah radhiallahu ‘anhu dalam pandangan kami sebagai ujian, siapa yang kami ketahui dia menyikapinya (Muawiyah) dengan permusuhan maka kami menuduhnya telah mencerca sahabat.”
(al-Bidayah wan Nihayah juz 8/139)

Telah dimaklumi bahwa salah satu akidah agama Syiah adalah menghalalkan kehormatan sahabat. Lisan mereka sangat mudah mencerca, menghujat, melaknat bahkan berani mengkafirkan sahabat Nabi.

Simak kembali di:

http://www.yuk-kenal-nu.net/kobaran-api-kebencian-kaum-syiah-rafidhah-kepada-manusia-manusia-pilihan-2/

Terkhusus sahabat Muawiyah radhiallahu ‘anhu beliau sangat dibenci kaum Syiah sehingga sangat terzalimi dengan lisan kotor mereka.

Semoga Allah ta’ala membalas kejelekan kaum Syiah di dunia dan akhirat!

Oleh karena itu kami sangat meragukan keabsahan dan sportifitas buku “Tanaqudhat al-Albani” karya Syaikh Hasan Ali Assegaf.

Karena jika para shahabat Nabi yang mulia semisal Abu Bakr, Umar, Mu’awiyah radhiallahu ‘anhum saja tidak selamat dari cercaan lisan Syaikh Hasan Ali Assegaf, lantas apalagi hanya “setingkat” asy-Syaikh al-Albani rahimahullahu. Maka lisannya akan lebih tajam dalam menjatuhkan kehormatan dan kredibelitas beliau rahimahullahu ta’ala.

Maka dengan fakta ini masihkah kiai Luthfi bersandar dengan buku karya seorang Syiah yang terkenal sering berdusta.

Kami yakin kiai Luthfi dan NU Garis Lurus sangat kenal kedustaan-kedustaan Syiah karena mereka getol membantah Syiah.

Kiai NU menista ulama

Lalu kenapa kiai Luthfi nekat menjadikan seorang tokoh Syiah sebagai rujukan, padahal mengaku sebagai pejuang Aswaja yang selalu memerangi syiah?

Wallahu a’lam, hanya Allah ta’ala yang tahu!

Kami hanya menasihati saudara-saudara kami kaum muslimin, terkhusus warga NU dan tokoh serta kiainya agar senantiasa bersikap jujur dan adil dalam berislam.

Karena kejujuran akan membawa keberhasilan dan keadilan lebih dekat kepada takwa.

Allah ta’ala berfirman :

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّـهَ ۚ إِنَّ اللَّـهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾


“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (al-Maidah: 8)

Pembelaan terhadap al-imam al-muhaddits al-albany dari kedustaan hasan ali as-saqqof dan pendukungnya

Oleh
Abu Salma al-Atsary at-Tirnaatiy
Tulisan merupakan bantahan terhadap syubuhat yang dilontarkan oleh fanatikus Hizbut Tahrir yang menyerang ahlus sunnah dan salafiyin yang disebarkan oleh Muhammad Lazuardi al-Jawi dan al-Mujaddid (baca : al-Mudzabdzab) yang memuntahkan muntahan busuk di dalam forum http://www.gemapembebasan.or.id (baca : gemapembid’ahan). Saya menyadari bahwa di tengah kesibukan TA/Skripsi saya sekarang ini, ketergesa-gesaan saya dan minimnya waktu untuk muthola’ah dan muroja’ah, memungkinkan risalah ini memiliki beberapa kesalahan yang tak disengaja maupun kekurangan-kekurangan lainnya. Besar sekali harapan saya jika ada ikhwah sekalian yang membetulkan dan memberi masukan terhadap bantahan ini sehingga dapat lebih menyempurnakan jihad rudud ini terhadap ahlul bid’ah dan pendukungnya. Semoga risalah ini dapat bermanfaat.

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Segala puji hanya milik Allah yang kita menyanjung-Nya, memohon pertolongan-Nya, memohon pengampunan-Nya dan kita memohon perlindungan kepada Allah dari kejelekan jiwa-jiwa kami dan keburukan amal-amal kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang dileluasakan kesesatan kepadanya, maka tak ada seorangpun yang mampu menunjukinya. Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang Haq untuk diibadahi kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan saya juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah limpahkanlah Salam dan Barokah kepada beliau, kepada keluarga beliau dan para sahabat beliau, dan kepada siapa saja yang meniti jalannya dan berpetunjuk dengan petunjuknya hingga hari kiamat.

Amma Ba’du :
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meninggikan kedudukan ulama pengemban wahyu dengan menghormati, memuliakan dan menempatkan mereka pada kedudukan yang tinggi sebagaimana Allah Ta’ala telah memuliakan mereka. Mereka adalah para pembawa agama dan pelindungnya, pelita dalam kegelapan, pembeda antara kebenaran dan kebatilan, pewaris para nabi dan yang meniti jalan mereka. Jadi bagaimana mungkin mereka tidak mendapatkan kedudukan, kecintaan serta penghormatan di dalam hati?!!

Imam Abu Utsman Ismail ash-Shabuni berkata tatkala menceritakan ciri-ciri Ahlul Bid’ah, ”Tanda-tanda bid’ah pada pengikutnya itu sangat jelas sekali. Tanda mereka yang paling jelas adalah kerasnya permusuhan mereka terhadap para pembawa hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, menghina dan meremehkan mereka, serta menyebut mereka hanya sebagai pelengkap tak berguna, tekstual dan mujassim (penyerupa Allah dengan makhluk-Nya), lantaran mereka meyakini bahwa hadits-hadits Rasulullah itu jauh dari ilmu, dan bahwasanya ilmu itu yang disampaikan oleh syaithan kepada mereka dari hasil pemikiran akal mereka yang rusak, bisikan-bisikan hati mereka yang gelap serta bersitan-bersitan hati mereka yang hampa dari kebaikan, alasan dan hujjah mereka yang tidak relevan lagi sia-sia, bahkan syubhat yang ada pada mereka licik lagi bathil.

”Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan telinga mereka dan dibutakan pengelihatan mereka.”

”Dan barang siapa yang dihinakan Allah maka tidak ada seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Ia kehendaki.”[1]

Abu Hatim ar-Razi berkata : ”Salah satu ciri Ahlul Bid’ah adalah adanya cercaan mereka terhadap Ahlul Atsar.”[2]

Ibnul Qaththan berkata : ”Tidak ada seorang mubtadi’ pun di dunia ini melainkan ia sangat membenci Ahlul Hadits.”[3]

Saya katakan : Tidak ragu lagi, bahwa al-Firqotun Najiyah (Golongan yang selamat) adalah Ahlul Atsar atau Ahlul Hadits.[4]

Sebelum masuk ke pembahasan, ada baiknya kita telaah terlebih dahulu, siapakah yang dimaksud dengan ulama?!!

Imam Bukhari rahimahullahu berkata : ”Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan maka Ia memahamkannya tentang agamanya.” kemudian beliau berkata, ”Said bin Ufair menceritakan kepada kami, Ibnu Wahb menceritakan kepada kami dari Yunus dari Ibnu Syihab, dia berkata : Humaid bin Abdurrahman berkata, aku mendengar Mu’awiyah sedang berkhutbah, dia berkata : Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya maka Ia memahamkannya tentang agamanya. Aku bersumpah demi Allah yang Maha Memberi, ummat ini senantiasa melaksanakan perintah Allah dan tidaklah membahayakan orang-orang yang menentangnya hingga datangnya hari kiamat.”[5]

Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, ”Al-Bukhari menegaskan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang atsar-atsar (Ahlul Hadits)”. Ahmad bin Hanbal berkata : ”Jika mereka bukan Ahlul Hadits, lantas aku tidak tahu siapa mereka”. Al-Qadhi Iyadh berkata : ”Yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah Ahlus Sunnah yang meyakini madzhab Ahlul Hadits.”[6]

Saya berkata : Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah para Ahlul Hadits yang beraqidah Ahlus Sunnah.[7]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : ”Sesungguhnya diantara tanda-tanda hari kiamat adalah dituntutnya ilmu dari Ashaghir.”[8]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda : ”Sesungguhnya manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menuntut ilmu dari sahabat Rasulullah dan dari para ulama mereka. Jika mereka menuntut ilmu dari para Ashaghir maka di saat itulah mereka binasa.”[9]

Ibnul Mubarak berkata : ”Ashaghir adalah Ahlul Bid’ah”.[10]

Saya berkata : Diantara ciri Ahlul Bid’ah adalah kedengkian dan celaan mereka terhadap Ahlul Hadits.

Tidak ragu lagi, bahwa Samahatul Imam al-Muhaddits Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullahu adalah Imamnya Muhadditsin yang terkemuka saat ini yang keilmuannya tentang ilmu hadits bagaikan samudera tak bertepi, dan kami tidaklah mensucikan seorangpun di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cukuplah pernyataan ulama-ulama selain beliau yang menunjukkan kedudukan dan posisi beliau.

Al-Allamah al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz rahimahullahu, Mantan Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi berkata : ”Aku tidak mengetahui seorang ’alim di bawah kolong langit ini pada abad ini yang dalam ilmu hadits melebihi al-Allamah al-Albany.”

Al-Allamah Muhammad Hamid al-Faqi rahimahullahu, mantan pimpinan Jama’ah Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah sekaligus Muhaddits Mesir berkata : ”asy-Syaikh Nashirudin adalah saudara kami yang bermanhaj salaf, seorang pembahas dan peneliti (hadits) yang cermat.”

Faqiihuz Zamaan al-Allamah Muhammad bin Sholih al-’Utsaimin rahimahullahu, ulama kibar Kerajaan Arab Saudi berkata : ”Ia (Albani) adalah orang yang banyak ilmunya dalam hadits baik riwayah maupun dirayah…”

Dan masih beribu-ribu lagi untaian pujian berderai bagi samahatul imam dari para ulama dan penuntut ilmu senior di seluruh penjuru dunia, seperti Syaikh Abdush Shomad Syarafuddin, Syaikh Ubaidillah ar-Rehmani, Syaikh Muhammad Mustofa al-A’zhami yang mereka semua adalah muhaddits India, Syaikh Muhammad bin Ali Adam muhaddits dari Ethiopia, Syaikh Muhammad Shufut Nuruddin Muhaddits dari Mesir, dan masih banyak lagi lainnya yang jika sekiranya dihimpun dan dituliskan semuanya, maka akan menjadi sebuah buku yang sangat tebal.[11]

Namun, diantara sunnatullah dalam kehidupan ini adalah adanya ujian bagi orang-orang yang berpegang teguh dengan as-Sunnah dan atsar salaf di sepanjang masa, yang datang dan berasal dari manusia-manusia yang benci dan dengki serta iri hati. Mereka senantiasa berusaha menjatuhkan martabat ulama hadits dan menjelek-jelekkan mereka. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap menjaga dan memelihara mereka –para ulama hadits-, dan Dia pasti akan memenangkan kebenaran dan menetapkan akhir yang baik bagi orang-orang yang bertakwa.

Diantara para pendengki dan pendusta dari kalangan Ashaghir yang menampakkan permusuhan dan kebenciannya terhadap sunnah dan ahlinya adalah Hasan Ali as-Saqqof[12], seorang pengangguran dari Yordania yang didaulat oleh fanatikusnya terutama Hizbut Tahrir sebagai ulama hadits Yordania. Pembaca budiman akan saya tunjukkan beberapa karakteristik keserupaan as-Saqqof ini dengan pola pikir Hizbut Tahrir yang setali tiga uang atau seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. As-Saqqof ini menulis sebuah buku gelap yang dianggap fenomenal oleh fanatikus butanya yang berjudul : Tanaqudlaat Albany al-Waadlihah fiima waqo’a fi tashhihi al-Ahaadiits wa tadl’iifiha min akhtho’ wa gholath (Kontradikitif Albani yang nyata terhadap penshahihan hadits-hadits dan pendhaifannya yang salah dan keliru) yang jika ditelaah di dalamnya dipenuhi dengan tadlis, kedustaan, pengkhianatan ilmiah dan kebodohan penulisnya terhadap ilmu hadits. Akan datang penjelasan hal ini –insya Allah- dan para pembaca sekalian akan mengetahui kebobrokan dan kejahatan as-Saqqof ini di dalam bukunya tersebut.

Di dalam risalah ini, saya juga akan berusaha membongkar kejahilan dan makar Muhammad Lazuardi al-Jawi, simpatisan Hizbut Tahrir yang menukil, menterjemah dan menyebarkan tulisan gelap as-Saqqof ini yang dicomotnya dari situs bid’iyah terkenal http://www.masud.co.uk yang dimotori oleh seorang tokoh jahmi tulen dan pembela bid’ah, Hamim Nuh Keller al-Jahmi ash-Shufi. Kita tidak perlu heran, karena Keller ini memiliki aqidah yang sama dengan as-Saqqof yaitu sama-sama jahmi, dan hal inilah yang sepertinya merupakan simpul benang merah yang dapat ditarik dengan Hizbut Tahrir yang aqidahnya juga tidak jauh dengan jahmiyah. Tulisan ini juga sebagai bantahan terhadap tulisan ngelantur yang berjumlah hampir 100 halaman dari seorang yang berkedok dengan al-Mujaddid (baca : al-Mudzabdzab) yang membantah salafiyin di forum http://www.gemapembebasan.or.id (baca : gemapembid’ahan) yang isinya kebanyakan menukil tulisan Muhammad Lazuardi al-Jawi. Insya Allah akan datang penjelasan dan bantahan-bantahan terhadap tulisan ngelanturnya di bantahan kedua.

Saya katakan : al-Bid’ah millah waahidah (Kebid’ahan itu adalah agama yang satu), maka tidak heran jika para pendukung bid’ah dapat bersatu padu di dalam memerangi ahlus sunnah, sebagaimana bersatunya Hizbut Tahrir dengan para pembela sufi, jahmi, asy’ari, maturidi, mu’tazili, fanatikus madzhabi dan selainnya. Akan datang juga penjelasan hal ini –insya Allah-.

Saya katakan : Hizbut Tahrir bersepakat dengan as-Saqqof dalam banyak perkara. Diantaranya adalah :

1. As-Saqqof melecehkan sahabat nabi yang mulia, terutama terhadap Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dan ulama Ahlus Sunnah lainnya, yang tidak jauh berbeda dengan Hizbut Tahrir. Akan datang penjelasannya.

2. As-Saqqof dan Hizbut Tahrir bersepakat di dalam aqidah Asy’ariyah, Maturidiyah dan Jahmiyah, serta memerangi aqidah salafiyah. Akan datang penjelasannya.

3. As-Saqqof dan Hizbut Tahrir sama-sama bodoh di dalam ilmu hadits dan pirantinya. Para pembaca budiman akan mengetahuinya sebentar lagi.

4. As-Saqqof dan Hizbut Tahrir sama-sama suka berkhianat ilmiah, berdusta dan melakukan talbis (mencampuradukkan antara haq dan bathil) serta menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, sebagaimana akan datang penjelasannya.

5. As-Saqqof dan Hizbut Tahrir sama-sama fanatik dan ta’ashub terhadap fikrah atau pemikiran pendahulunya.

6. Yang lebih penting dari kesemua di atas adalah, as-Saqqof dan Hizbut Tahrir sama-sama bersepakat di dalam memerangi dakwah salafiyah dan ahlinya.

Di dalam risalah ini, ana merujuk pada beberapa kitab dan artikel, sebagai amanat ilmiah ana sebutkan diantaranya :

1. Al-Anwaarul Kaasyifah li tanaaqudlaat al-Khossaaf az-Zaa`iqoh wa Kasyfu maa fiiha minaz Zaighi wat Tahriifi wal Mujaazafah yang ditulis oleh Syaikhuna al-Fadhil Ali Hasan al-Halabi al-Atsari, Darul Ashoolah. Kitab ini dihadiahkan oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi hafizhahullahu 3 tahun lalu kepada guru saya, al-Ustadz al-Fadhil Abdurrahman bin Abdil Karim at-Tamimi ­hafizhahullahu dan ana fotokopi dari beliau. Alhamdulillah kitab ini banyak memberikan faidah dan menunjukkan hakikat kejahatan as-Saqqof terhadap Imam Albany dan penelantaran ilmu hadits.

2. At-Tanbiihatul Maliihah yang ditulis oleh Syaikh Abdul Basith bin Yusuf al-Gharib, yang telah diterjemahkan oleh Pustaka Azzam dengan judul ”Koreksi Ulang Syaikh Albany”.

3. Al-Qoulus Sadiid fii Raddi ’ala man ankara Taqsiimit Tauhiid yang ditulis oleh Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr, yang telah diterjemahkan oleh Najla Press dengan judul ”Bantahan Pengingkaran Tauhid”.

4. Dari beberapa website seperti : http://www.salafipublications.com, http://www.allaahuakbar.net dan selainnya.

Sebenarnya, ada beberapa kitab yang ditulis oleh para ulama yang juga membantah tanaqudlaat tulisan as-Saqqof ini, diantaranya bantahan yang ditulis oleh asy-Syaikh al-Fadhil DR. Khalid al-Anbari hafizahullahu yang berjudul Tanaaqudlaat al-Albany al-Waadlihaat Talbisaat wa-ftiro`aat, juga yang ditulis oleh Syaikh ’Amru Abdul Mun’im Salim al-Mishri, dan ada lagi beberapa ulama dan thullabul ilmi yang turut menulis bantahan terhadap as-Saqqof ini. Namun yang sampai di tangan ana hanyalah al-Anwaarul Kaasyifah, namun hanya dengan kitab ini, kebobrokan dan kedustaan as-Saqqof insya Allah dapat terbongkar.

Syaikh Ali Hasan al-Halabi mengatakan, bahwa orang yang mengetahui buku Tanaqudlaat Albany ini, tidak lepas dari 4 jenis orang :

1. Orang bodoh yang dengki, yang hanya melihat judul bukunya saja namun tidak mengetahui realita isinya, hanya karena selaras dengan kedengkian dan hawa nafsunya, mereka menggunakan buku ini untuk membantah tanpa diiringi dengan kefahaman dan pengetahuan.

2. Orang-orang hasad yang licik, yang mereka mengetahui isi buku ini namun mereka jahil terhadap hakikatnya dikarenakan hasad mereka telah mendarah daging dan menyatu dengan desahan nafas mereka.

3. Pelajar yang bingung yang tidak mengetahui al-Haq

4. Pelajar yang adil yang mengetahui kebodohan as-Saqqof dan menyingkap hakikat dirinya.

Dari keempat macam orang ini, mubtadi’ dan pembelanya, serta Hizbut Tahrir tidak lepas dari 3 macam orang yang disebutkan di awal.

Mari kita kupas kebobrokan as-Saqqof dan bukunya at-Tanaqudlaat ini, dan kebodohan para pendukungnya terutama dari Hizbut Tahrir.

[halbaru]
AS-SAQQOF MENCELA SAHABAT TERUTAMA MU’AWIYAH DAN MENGKAFIRKAN IMAMNYA UMMAT SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH

Ketahuilah wahai orang yang berakal, bahwa orang yang engkau dengang-dengungkan sebagai muhaddits ini adalah tidak lebih dari para pencela sahabat dan melemparkan tuduhan kafir terhadap ulama ummat ini.

Syaikh Ali Hasan al-Halabi berkata di dalam al-Anwaarul Kaasyifah (hal. 9) : ”Takfir (pengkafiran) dari orang zhalim ini terhadap imamnya dunia (yaitu Syaikhul Islam) tidaklah datang begitu saja, namun takfir ini datang sebagai pembelaan terhadap pemuka-pemuka ahlul bid’ah yang jahil dan terhadap muqollid (pembebek) yang beku akalnya dari kalangan asy’ariyah dan jahmiyah, yang mana syaikhul Islam bersumpah atas dirinya untuk mengkritik mereka dan membantah penyimpangan-penyimpangan mereka, dan beliau menegakkan perang terhadap mereka sepanjang hidupnya baik dengan tangan, hati maupun lisannya. Beliau menyingkap kebatilan mereka di hadapan manusia dan menerangkan talbis dan tadlis mereka, beliau hadapi mereka dengan akal yang sharih dan nukilan (dalil) yang shahih…”

Syaikh Ali melanjutkan (hal 11-12) : ”Dan takfir ini pada realitanya merupakan senjata andalannya (as-Saqqof), telah menceritakan kepadaku seorang yang bersumpah dengan jujur –insya Allah- bahwa al-Khossaf (sebutan terhadap as-Saqqof) ini berkata kepadanya dan ia mendengar dengan telinganya (bahwa as-Saqqof berkata) : ”Aku tidak mengkafirkan Ibnu Taimiyah kecuali aku menjelaskan kesalahan murid-muridnya! Sesungguhnya dirinya tidaklah ma’shum”. Demikianlah perkataannya, sebagai pengejawantahan kaidah yang tidaklah beriman kepada Allah dan tidak pula hari akhir, yaitu : Tujuan menghalalkan segala cara!! Cela mana lagi yang lebih besar dari kehinaan ini?!! Sungguh indah apa yang diucapkan oleh al-Allamah Badruddin al-’Aini (wafat tahun 841 H.), seorang pensyarah Shahihul Bukhari di dalam taqrizh beliau terhadap ar-Raddul Waafir (hal. 264) yang menjelaskan hukum bagi orang yang mengkafirkan Imam dunia ini : ’… Jika demikian keadaannya, maka wajib atas ulil amri untuk menghukum orang bodoh lagi perusak yang berkata tentang hak Ibnu Taimiyah sebagai kafir! Dengan bentuk hukuman dengan pukulan yang keras dan penjara terali yang berlapis. Barang siapa berkata kepada muslim, wahai kafir maka akan kembali ucapannya kepada dirinya, apalagi jika lancang melemparkan najis seperti ini dan berkata dengannya terhadap hak si ’alim ini (Ibnu Taimiyah), terlebih lagi jika ia sudah meninggal, dan telah datang larangan dari syariat dari membicarakan hak kaum muslimin yang telah meninggal, dan Allahlah yang maha mengambil al-Haq dan menampakkannya.’

Dan berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu di dalam taqrizh beliau juga terhadap kitab yang sama (hal. 263), dan as-Sakhowi juga turut mengisyaratkan pula hal ini di dalam adl-Dlou’ul Laami’ (VIII/104) : ’Tidaklah seseorang yang berkata bahwa Ibnu Taimiyah itu kafir melainkan hanya dua orang, entah dia orang yang hakikatnya kafir ataukah ia orang yang bodoh tentang keadaannya…’”

As-Saqqof juga menuduh Sahabat yang mulia, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dengan nifaaq dan menganggapnya murtad. Sebagaimana diutarakan oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi (hal. 11), ”Dan termasuk kesempurnaan kesesatan orang yang zhalim lagi lalai ini adalah sebagaimana yang dikabarkan oleh dua orang yang mendengarkan ucapannya, bahwa dia menuduh di beberapa majlisnya, bahwa sahabat yang mulia Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu dengan nifaq, dan mengisyaratkan bahwa Mu’awiyah telah murtad dan termasuk penghuni neraka…!!! Semoga Allah merahmati Imam Abu Zur’ah ar-Razi yang berkata : ’jika engkau melihat ada orang yang mencela sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah zindiq!!!..”

Saya berkata : Beberapa pendukung as-Saqqof ini menuduh Syaikh Ali Hasan telah berdusta, namun kebenaran adalah bersama ahlul haq, buku as-Saqqof yang berjudul Daf’u Syubahit Tasbiih menjadi saksi atas kelancangannya dan keberaniannya menuduh sahabat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu. Ia berkata di catatan kaki Daf’us Syubah (hal. 237), ”Aku (as-Saqqof) berkata : Mu’awiyah membunuh sekelompok kaum yang shalih dari kalangan sahabat dan selainnya hanya untuk mencapai kekayaan duniawi. Dan diantara mereka adalah Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Ibnu Jarir menukilnya di dalam Tarikh-nya (III/202) dan Ibnul Atsir di dalam al-Kamil (III/453) dan lafazh ini darinya. Alasan kematiannya adalah pasalnya ia menjadi orang yang mulia/terkemuka di mata penduduk Syam, mereka lebih condong kepada beliau karena ia memiliki karakteristik yang mirip ayahnya (Khalid bin Walid), dan karena kemanfaatan pada dirinya bagi kaum muslimin di tanah Romawi dan juga karena keberaniannya. Jadi, Mu’awiyah menjadi takut dan khawatir terhadapnya, lantas ia memerintahkan Ibnu ’Uthaal seorang nashrani untuk merencanakan pembunuhannya. Mu’awiyah memberikan jaminan padanya pembebasan pajak selama umur hidupnya… jadi ketika Abdurrahman kembali dari Romawi, Ibnu Uthaal memasukkan racun ke dalam minumannya melalui pelayannya. Lantas beliapun meninggal di Hums (sebuah tempat di pusat Siria), dan Mu’awiyah memenuhi janji yang dia berikan kepada Ibnu ’Uthaal. Aku (as-Saqqof) berkata : Apakah diperbolehkan membunuh seorang muslim? Sedangkan Allah berfirman : ”Barangsiapa yang membunuh seorang muslim dengan sengaja, maka tempatnya adalah neraka dan ia kekal di dalamnya selama-lamanya. Murka Allah dan laknat-Nya atasnya, dan adzab yang pedih dipersiapkan baginya.” (QS 4 : 93)?!… Ada empat karakteristik Mu’awiyah, dan setiap karakteristiknya akan diadzab di kubur, gegabah menghunus pedangnya secara zhalim kepada ummat ini sampai ia berhasil meraih kekhilafahan tanpa musyawarah, baik terhadap sahabat yang masih hidup saat itu dan orang-orang shalih lainnya. Ia mewariskan kekuasannya kepada puteranya yang seorang pemabuk[13], pemakai pakaian sutera dan pemain alat musik… ia membunuh Hujr dan sahabat-sahabat Hujr, maka celakalah dirinya dan apa yang ia lakukan kepada Hujr…”

Tanggapan : Lihatlah, bagaimana as-Saqqof menukil riwayat ini dari al-Kamil padahal kisah tersebut tidak memiliki isnad. Kisah ini memang memiliki isnad di dalam Tarikh ath-Thabari namun sanadnya palsu menurut kaidah ilmu hadits. Syaikh Nashir al-’Ulwan membahas kedustaan riwayat ini di dalam Ittihaaf Ahlil Fadhl juz I dan lihat pula pembahasan sistematik tentang studi kritis terhadap Tarikh ath-Thabari yang ditulis oleh DR. Muhammad Amhazun dalam disertasinya yang berjudul Tahqiq Mauqif ash-Shohabah fil Fitnah min Riwayaati al-Imaam ath-Thobari wal Muhadditsin yang telah diterjemahkan dengan judul ”Fitnah Kubra”. Hal ini menunjukkan bagaimana as-Saqqof menukil secara serampangan tanpa meneliti sanad berita yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang muhaddits atau peneliti hadits, bahkan ia menukil berita yang tidak memiliki sanad!![14] Apakah yang mendorong dirinya melakukan demikian?? Wallahu a’lam bish Showab.

Padahal Nabi yang mulia ‘alaihi Sholaatu wa Salaam memilih Mu’awiyah sebagai penulis wahyu Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendo’akan Mua’wiyah : ”Ya Allah, ajarkan Mu’awiyah al-Kitab dan selamatkan dirinya dari siksa api neraka.” (HR. Ahmad (IV/127) dan Ibnu Hibban (566)). Juga sabdanya ‘alaihi Sholaatu wa Salaam : ”Ya Allah, jadikanlah dirinya orang yang mendapat petunjuk lagi menunjuki”[15]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memperingatkan umatnya dari mencerca sahabat dalam sabdanya : ”Janganlah kalian sekali-kali mencerca sahabatku, jika seandainya ada diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, tidak akan mampu mencapai satu mud yang mereka infakkan, bahkan tidak pula setengahnya.” (HR. Muslim). Terlebih lagi, bukankah Mu’awiyah itu pamannya kaum muslimin?? Mengapa dirimu begitu lancang mencela dan mencercanya dengan membawa berita tak bersanad dan dengan sanad palsu??

Imam Al-Lalika`i meriwayatkan di dalam as-Sunnah (no. 2359) bahwa Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad al-Hanbal berkata : ”Jika kau melihat seorang berbicara buruk tentang sahabat, maka ragukanlah keislamannya.”

Beliau juga berkata di dalam as-Sunnah (hal. 78) : ”Barangsiapa yang mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam atau salah seorang dari mereka, ataupun meremehkan mereka, mencela dan membuka aib-aib mereka ataupun menjelekkan salah seorang dari mereka, maka ia adalah seorang Mubtadi’, Rofidli, Khabits (busuk), Mukhalif (orang yang menyempal), …”

Imam Abu Zur’ah ar-Razi berkata : ”Jika engkau melihat ada seseorang yang merendahkan salah seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka ketahuilah sesungguhnya ia adalah Zindiq! Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah haq di sisi kami, dan al-Qur’an itu haq, dan yang menyampaikan al-Qur’an dan as-Sunnah ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sesungguhnya mereka menghendaki mencela persaksian kita dengan tujuan membatalkan al-Kitab dan as-Sunah. Mencela mereka lebih utama karena mereka adalah Zindiq…!!!” (Dikeluarkan oleh al-Khathib di dalam al-Kifaayah fi ’ilmir Riwaayah hal. 67)[16]

Imam Barbahari berkata di dalam Syarhus Sunnah : ”Jika kau melihat ada seseorang mengkritik sahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah orang yang jahat ucapannya dan pengikut hawa nafsu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Jika kau mendengar sahabat-sahabatku disebut maka tahanlah lisanmu.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Mas’ud dan haditsnya shahih.[17]).

Haihata haihata…!!! Wahai as-Saqqof, Apakah dirimu begitu membenci Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menasehatkan untuk menjaga lisan dari memperbincangkan keburukan sahabat sehingga tidak kau indahkan nasehatnya wahai as-Saqqof???.

Beliau rahimahullahu berkata di dalam Minhajus Sunnah (V/146) : ”Oleh karena itu dilarang (memperbincangkan) perselisihan yang terjadi diantara mereka, baik para sahabat maupun generasi setelahnya. Jika dua golongan kaum muslimin berselisih tentang suatu perkara dan telah berlalu, maka janganlah menyebarkannya kepada manusia, karena mereka tidak mengetahui realita sebenarnya, dan perkataan mereka tentangnya adalah perkataan yang tanpa ilmu dan keadilan. Sekiranya pun mereka mengetahui bahwa kedua golongan tersebut berdosa atau bersalah, kendati demikian menyebutkannya tidaklah mendatangkan maslahat yang rajih dan bahkan termasuk ghibah yang tercela. Para sahabat Ridlawanullahu ’alaihim ’ajmain adalah orang yang paling agung kehormatannya, paling mulia kedudukannya dan paling suci jiwanya. Telah tetap keutamaan mereka baik secara khusus maupun umum yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Oleh karena itu, memperbincangkan perselisihan mereka dengan celaan adalah termasuk dosa yang paling besar daripada memperbincangkan selain mereka.”[18]

Ingatlah pula ucapan al-Hafizh Ibnu Katsiir berikut ini, beliau rahimahullahu berkata di dalam al-Ba’its al-Hatsits (hal. 182) : ”Adapun perselisihan mereka pasca wafatnya Nabi ’alaihi Salam, yang diantara perselisihan tersebut ada yang terjadi tanpa didasari oleh kesengajaan seperti peristiwa Jamal, ada diantaranya yang terjadi karena faktor ijtihad seperti peristiwa Shiffin. Ijtihad itu bisa salah dan bisa benar. Namun, pelakunya dimaafkan jika ia salah, bahkan ia diganjar satu pahala. Adapun ijtihad yang benar maka ia mendapat dua pahala.”[19]

Wahai as-Saqqof dan siapa saja dari pembebeknya… wahai Lazuari al-jawi, wahai Syabab Hizbut Tahrir yang mendaulat as-Saqqof sebagai muhaddits…!!! Apakah anda telah membaca kitab-kitab karya ulama hadits berikut ini :

1. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari al-Ju’fi (w. 256) di dalam Shahih-nya, kitab Fadlail Ashhabin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Bab : Qowlun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Law Kuntu Muttakhidzan Khaliilan (Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seandainya aku menjadikan kekasih).

2. Abul Husain Muslim bin Hajjaj al-Quysairi an-Naisaburi (w. 261) di dalam Shahih-nya, kitab Fadlailus Shahabah, Bab : Tahriimu Sabbis Sahabah Radhiallahu ‘anhum (Haramnya mencela sahabat radhiallahu ‘anhum)

3. Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani (w. 275) di dalam Sunan-nya, kitab as-Sunnah, Bab : an-Nahyu ‘an Sabbi Ashhabin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (Larangan mencela sahabat Nabi)

4. Abu Isa Muhammad bin Isa at-Turmudzi (w. 259) di dalam Sunan-nya, dalam bab-bab al-Manaqib ’an Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Bab : Fiiman Sabba Ashhaba an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (Bagi siapa yang mencela para sahabat)

5. Abu Abdurrahman Ahmad bin Syuaib an-Nasa`i (w. 303) di dalam kitabnya Fadlailus Shahabah, Bab : Manaqib Ashhabin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wan Nahyu ’an Sabbihim rahimahumullahu ajma’in wa radhiallahu ‘anhum (Manakib Para Sahabat Nabi dan Larangan Mencela Mereka).

6. Abu Abdillah Yazid bin Abdillah al-Qirwani (w. 273) di dalam muqoddimah Sunan-nya, Bab : Fadlail Ashhabi Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

7. Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Busti (w. 354) di dalam Manaqib ash-Shahabah, Rijaaluha wa Nisaa’uha bidzikri asmaa’ihim radhiallahu ‘anhum ajma’in (Manakib Sahabat, kaum lelaki dan wanitanya dengan menyebut nama-namanya), dalam bab : Fadlail ash-Shahabah wat Tabi’in yang menyebutkan : al-Khabar as-Daalu ’ala anna Ashhaba Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Kulluhum Tsiqaat wa ’uduul (Berita yang menunjukkan bahwa Sahabat Rasulullah seluruhnya kredibel dan terpercaya) dan az-Zajru ’an Sabbi Ashhabi Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam alladzi Amarallahu bil Istighfar Lahum (Ancaman terhadap mencela sahabat Rasulullah yang Allah memerintahkan untuk memohon ampun bagi mereka). Demikan pula dalam kitabnya al-Majruuhin minal Muhadditsin tentang haramnya mencela sahabat.

Dan masih beribu-ribu lagi penjelasan para ulama ahlus sunnah baik salaf maupun kholaf yang menjelaskan tentang haramnya mencela sahabat… Lantas, bagaimana kita menempatkan as-Saqqof ini dan para pembebeknya terhadap hak para sahabat nabi yang mulia??? Yang mana para Imam Ahlus Sunnah bersepakat bahwa pencerca Sahabat Nabi dikatakan sebagai Zindiq, Mubtadi’ atau Rofidloh!!! Maka bertaubatlah wahai pencerca…!!! Ibrahim bin Maisarah berkata : ”Aku tidak pernah melihat Umar bin Abdul Aziz memukul seseorang pun kecuali orang yang mencerca Mu’awiyah. Beliau memukulnya dengan beberapa kali cambukan.”[20] Aduhai, sekiranya Umar bin Abdul Aziz hidup saat ini untuk mencambuki kelancangan as-Saqqof ini…

[halbaru]
AQIDAH AS-SAQQOF ADALAH JAHMIYAH TULEN

Hasan Ali as-Saqqof tidak hanya berhenti menunjukkan kekejamannya terhadap para sahabat dan ulama ummat ini. Namun dia juga menabuh genderang perang terhadap ahlus sunnah dengan menuduh ahlus sunnah berkeyakinan tatslits (trinitas) di dalam buku suramnya yang berjudul at-Tandid biman ’adadit-Tauhid wa Ibthalu Muhawalatut-Tatslits fit Tauhid wal ’Aqidah Islamiyyah dikarenakan Ahlus Sunnah membagi Tauhid menjadi tiga macam, yaitu Tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ wa Sifat. Menurutnya pembagian Tauhid menjadi tiga adalah hal bid’ah yang dimunculkan pada abad ke-8, dan ia mengisyaratkannya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagai pencetus istilah bid’ah ini (lihat kitabnya hal. 10) dan ia menuduh Ibnu Abil ’Izz al-Hanafy sebagai pelopor madzhab bathil pengikut golongan bid’ah (hal. 6) dan mengisyaratkan bahwa Syaikhul Islam dan muridnya, Imam Ibnul Qoyyim adalah penganut faham mujassamah (mengatakan Allah mempunyai badan). Bahkan ia membela Sayyid Quthb dan Asy’ariyah dengan menyatakan bahwa mereka mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari jism dan tahayyuz sedangkan Syaikh Abdullah ad-Duwaisy (penulis buku al-mauriduzh Zhilal fii Tanbiih ’ala Akhtha`izh Zhilal yang telah diterjemahkan oleh Darul Qolam) sebagai pengikut madzhabnya Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim yang menetapkan sifat jisimun dan tahayyuz (hal. 19-20). Bahkan yang konyol, Hasan Ali Saqqof berpendapat bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak disifati di luar alam semesta dan juga tidak di dalamnya (hal. 58).

Syaikh yang mulia, Prof. DR. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahumullahu menulis bantahan ilmiah terhadap kesesatan dan kedunguan Hasan Ali as-Saqqof ini di dalam kitab yang berjudul : Al-Qoulus Sadiid fii Raddi ’ala man ankara Taqsiimit Tauhiid yang telah diterjemahkan oleh Najla Press dengan judul ”Membantah Pengingkaran Tauhid” (Tambahan : Setelah ana cek dengan kitab asli, ternyata buku terjemahan ini memiliki beberapa kekeliruan penterjemahan, sehingga ada beberapa perkataan yang ana ralat, belum lagi adanya pemotongan-pemotongan naskah yang bisa dikategorikan sebagai pengkhianatan ilmiah, oleh karena itu ana bro’ dengan kesalahan-kesalahan tesebut, sebagaimana telah ana sampaikan di milis as-sunnah), bacalah karena sungguh besar manfaatnya dan anda akan mengetahui hakikat kebodohan as-Saqqof ini. Syaikh Abdurrazaq berkata sebagai kesimpulan beliau setelah membaca buku as-Saqqof yang berjudul at-Tandiid ini sebagai berikut :

1. Dia adalah seorang yang jahmiyah tulen, yang berpemahaman bahwa Allah tidak disifati dengan berada di alam maupun di luarnya dan dia juga menisbatkan pendapat ini secara dusta dan batil kepada Ahli Sunnah.

2. as-Saqqof ini keluar dari kategori seorang cenedekiawan/pemikir dan dari kaidah ilmiah.

3. as-Saqqof ini orang yang banyak kebohongannya dan sering melakukan tadlis dan talbis.

4. Perkataannya jelek dan busuk, sering menfitnah Ahlus Sunnah, yang bisa ditemukan pada kitabnya pada halaman 6, 12, 17, 19 dan seterusnya.

5. Ia termasuk Ahlul Bid’ah yang gemar menuduh Ahlus Sunnah sebagai Mujassamah.

6. Gemar memuji Ahlul Bid’ah, apalagi gurunya yang bernama Muhammad Zahid al-Kautsari, seorang penghulu Jahmiyah tulen zaman ini. Hal ini bisa dilihat pada halaman 38, 39, 11 dan 27. Saya berkata : akan datang sekilas penjelasan tentang hakikat Zahid al-Kautsari al-Jahmi ini, yang dipuja-puja oleh pembebeknya, termasuk Hizbut Tahrir. Usut punya usut, ternyata mereka semua satu aqidah yaitu jahmiyah dan mereka bersepakat di dalam memerangi aqidah salafiyah dan ulamanya.

7. Meremehkan dan melecehkan hadits-hadits shahih. Ana katakan : Bahkan as-Saqqof ini dangkal dan bodoh pemahaman haditsnya, sebagaimana akan kita bongkar kebodohannya di dalam ilmu hadits sebentar lagi. Tidak heran Hizbut Tahrir yang notabene ulamanya, tokohnya apalagi simpatisannya yang memang jahil terhadap ilmu hadits mudah terkecoh dengan kepiawaian as-Saqqof ini di dalam berdusta.[21]

Ketahuilah, bahwa Jahmiyah ini adalah firqoh tersesat diantara firqoh-firqoh yang ada. Bahkan beberapa ulama salaf tidak memasukkan Jahmiyyah sebagai 72 kelompok yang diancam siksa neraka, karena mereka menganggap bahwa Jahmiyah telah kafir keluar dari Islam. Dikarenakan Jahmiyah adalah kelompok yang meniadakan sifat-sifat bagi Allah, dan mereka adalah atheis-nya ummat ini.

Para ulama Salaf dan Kholaf bangkit membantah pemahaman sesat Jahmiyah ini. Syaikhul Islam membongkar kedok kesesatan mereka dengan menulis kitab Bayaanu Talbiis al-Jahmiyyah : Naqdlu Ta’sis al-Jahmiyyah, Imam Ibnu Darimi menulis kitab ar-Raddu ’alal Jahmiyyah, Imam Ahmad dan Imam Ibnu Khuzaimah juga menulis bantahan dengan judul yang sama, yaitu ar-Raddu ’alal Jahmiyyah, al-Allamah Ibnul Qoyyim, Syaikhul Islam kedua, menulis Ijtima’ al-Juyusy al-Islaamiy yang mengupas habis kesesatan Jahmiyah, demikian pula Imam adz-Dzahabi dalam al-’Uluw al-Aliy al-Ghoffar dan ikhtisharnya yaitu Mukhtashor al-’Uluw. Dan masih banyak lagi ulama-ulama ahlus sunnah yang membongkar kesesatan faham jahmiyah ini, yang sekarang sedang dijajakan dan dibela mati-matian oleh as-Saqqof dan didukung oleh pembebeknya dari kalangan shufiyun dan Hizbut Tahrir.

[halbaru]

MEMBONGKAR KEBODOHAN AS-SAQQOF DALAM ILMU HADITS DARI KITAB GELAPNYA ”TANAQUDLAAT ALBANY”

Diantara pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya yang jujur dan ittiba’ terhadap sunnah rasul-Nya adalah dimenangkannya mereka atas sekelompok kaum pengumbar fitnah dan kebatilan. Perputaran sejarah telah membuktikan bahwa Ahlu Bid’ah senantiasa terkalahkan, tertumpas dan binasa, walaupun kalimat-kalimat mereka dihiasi dengan keindahan yang menipu atau walaupun kalimat-kalimat mereka menyebar luas dan seolah-olah memiliki argumentasi yang kuat, namun pada hakikatnya kalimat-kalimat mereka rapuh dan lemah, lebih rapuh dari sarang laba-laba.

Ahlus sunnah beserta segenap penyerunya, senantiasa menumpas dan memerangi kebid’ahan mereka. Diantara senjata utama Ahlul Bid’ah dan Ahwa’ adalah pengkhianatan ilmiah, kedustaan dan talbis antara haq dan bathil. Seorang penuntut ilmu dan peneliti hadits yang adil, pastilah akan mengetahui bahwa apa yang dimuntahkan oleh as-Saqqof di dalam Tanaqudlaat-nya tidak lebih daripada cermin kedengkian, kebodohan, kedustaan dan pengkhianatan ilmiah.

Syaikh Abdul Basith bin Yusuf al-Gharib dalam at-Tanbiihatul Maliihah berkata: “semua hadits-hadits yg dikemukakan as-saqqof dalam kitabnya at-tanaqudlaat telah aku telusuri semua, dimana ia menyangka bahwa hadits-hadits yang dikemukakan oleh Syaikh al-Albany adalah bentuk pertentangan antara satu dengan lainnya, padahal sebenarnya bukanlah pertentangan, tetapi lebih merupakan ralat atau koreksi atau ruju’, dan ini sesuatu yang dapat difahami oleh para penuntut ilmu. Jika kita membaca suatu hukum atau ketetapan Syaikh al-Albany terhadap suatu hadits dalam sebuah kitab, kemudian kita mendapati Syaikh al-Albany menyalahi hukum tersebut di dalam kitab lain, maka itu artinya beliau meralat atau ruju’ dalam hal ini, dan ini sering terjadi di kalangan para ulama salaf sebelumnya…”[22]

Syaikh Abdul Basith menelusuri kitab-kitab Syaikh Al-Albany dan mencatat koreksi atau ruju’ beliau dan beliau bagi dalam lima bagian, yaitu :

1. Hadits-hadits yang syaikh al-Albany sendiri menegaskan ruju’ beliau.

2. Hadits-hadits yang tertera secara tidak sengaja atau karena lupa, bukan pada tempat yang seharusnya.

3. Ketiga, Hadits-hadits yang beliau ruju’ darinya berdasarkan pengetahuan mana yang lebih dulu (al-Mutaqoddim) dari yang belakangan (al-Muta`akhir) dari kitab-kitab beliau.

4. Hadits-hadits yang belaiu ruju’ dari yang derajadnya hasan kepada shahih dan yang shahih kepada yang hasan.

5. Penjelasan beberapa hadits yang beliau diamkan dalam al-Misykah kemudian beliau jelaskan hukumnya.[23]

Syaikh Ali Hasan al-Halaby al-Atsary berkata dalam al-Anwaarul Kaasyifah membantah kebodohan as-Saqqof :

”Ketahuilah, bahwasanya para muhaddits memiliki ucapan-ucapan tentang jarh wa ta’dil terhadap perawi yang berubah-ubah, pendapat tentang tashhih (penshahihah) dan tadl’if (pendhaifan) hadits yang berbeda-beda sebagaimana para fuqoha’ memiliki ucapan dan hukum yang bermacam-macam…

Berapa banyak dari permasalahan fikih yang imam Syafi’i memiliki dua perkataan atau pendapat di dalamnya?!!

Berapa banyak dari hukum syar’i yang Imam Ahmad memiliki pendapat lebih dari satu di dalamnya?!!

Lantas, apakah mereka dikatakan Tanaaqudl (Kontradiktif)?!!

Berapa banyak hadits yang ditetapkan keshahihannya oleh Imam adz-Dzahabi di dalam talkhish-nya terhadap Mustadrak al-Hakim namun didha’ifkan olehnya di dalam al-Mizan atau Muhadzdzab Sunan al-Baihaqi atau selainnya?!!

Berapa banyak hadits yang diletakkan oleh Ibnul Jauzi di dalam al-Maudlu’aat namun beliau letakkan pula di dalam al-Ilal al-Mutanaahiyah.

Berapa banyak perawi yang ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban namun belaiu letakkan di dalam al-Majruhin.

Berapa banyak perawi yang diperselisihkan oleh al-Hafizh di dalam Taqribut Tahdzib atau Fathul Bari` atau di at-Talkhishul Habiir.

Lantas, apakah mereka ini anda katakan tanaaqudl (kontradiktif)?!! Padahal, sesungguhnya hal ini adalah karena ijtihad yang berubah.

Al-Allamah al-Luknawi berkata di dalam Raf’ut Takmil (hal. 113) : ”Banyak anda jumpai perselisihan Ibnu Ma’in dan selain beliau dari para imam ahli naqd (kritikus hadits) terhadap seorang perawi yang mana hal ini dikarenakan berubahnya ijtihad…”

Syaikh Ali Hasan kembali berkata : ”Ketahuilah bahwa banyak hadits-hadits yang diperselisihkan oleh para ulama –diantaranya Syaikhul Albany- termasuk hadits hasan yang masih sulit membatasi kaidah di dalamnya, karena perlunya kedalaman di dalam meneliti dan banyaknya perbincangan dari pengkritik perawi di dalamnya…

Al-Imam al-Hafizh Syamsuddin adz-Dzahabi rahimahullahu berkata di dalam al-Muuqizhoh (hal. 28-29) : ”…Tidaklah cukup bagi hadits hasan suatu kaidah yang dapat memasukkan seluruh hadits hasan ke dalamnya, aku benar-benar pesimis terhadap hal ini, karena berapa banyak hadits yang para hafizh berubah-ubah penilaiannya di dalamnya, entah tentang hasannya, dlaifnya maupun shahihnya! Bahkan seorang hafizh dapat berubah ijtihadnya tentang sebuah hadits, suatu hari ia menyatakan shahih namun di hari lain menyatakan hasan dan hari lainnya lagi seringkali menyatakan dha’if!!!”

Lantas, dimanakah ucapan yang tinggi ini di hadapan as-Safsaf (gelar yang diberikan Syaikh Ali kepada as-Saqqof)?!!

Imam al-Albany berkata di dalam Irwa’ul Ghalil (IV/363) : ”Sesungguhnya hadits hasan lighoirihi dan hasan lidzaatihi termasuk ilmu hadits yang paling rumit dan sulit, karena keduanya akan senantiasa berputar di sekitar perselisihan ulama tentang perawinya diantara yang mentsiqohkan dan mendhaifkan. Maka tidaklah dapat mengkompromikan diantara ucapan-ucapan tsb atau mentarjih pendapat yang paling kuat dari pendapat lainnya, kecuali orang-orang yang mumpuni keilmuannya tentang ushul dan kaidah ilmu hadits, mengetahui secara kuat tentang ilmu Jarh wa Ta’dil dan terbiasa dengannya semenjak waktu yang lama, mengambil faidah dari buku-buku takhrij dan kritikan para kritikus hadits, juga mengetahui kritikus yang mutasyaddid (keras) dan yang mutasaahil (lemah) serta yang pertengahan. Sehingga dengan demikian tidak terjatuh kepada Ifrath dan tafrith. Dan perkara ini adalah perkara yang sulit dan sangat sedikit sekali orang yang mampu memetik buahnya. Sehingga tidaklah salah jika ilmu ini menjadi asing di tengah-tengah ulama, dan Allahlah yang mengkhususkan keutamaannya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya.”

Saya berkata : Inilah diantara kebodohan-kebodohan as-Saqqof al-Jahmi, sehingga ia bagaikan orang yang meludah ke atas jatuh ke wajahnya sendiri. Ia tidak faham tentang kaidah taraju’ di dalam ilmu hadits dan ia anggap hal ini sebagai tanaaqudl.

Syaikh Ali berkata kembali : ”Ketahuilah, bahwa perkataan seorang alim tentang sanad suatu hadits : ’ini sanadnya dha’if’, tidaklah menafikan ucapannya terhadap hadits tersebut di tempat lain : ’sanadnya shahih’… karena terkadang suatu sanad yang dha’if dapat dishahihkan atau dihasankan dengan adanya jalan-jalan periwayatan lain dan syawaahid serta mutaabi’ (penyerta) lainnya. (Lihat Ulumul Hadits hal. 35 karya Ibnu Sholaah dan an-Nukat (I/473) karya al-Hafizh Ibnu Hajar), apakah kaidah ini dikatakan tanaaqudl wahai as-Saqqof?!!

Berikut ini adalah lemparan kepada as-Saqqof dan pendukungnya…

Hadits : ”Barangsiapa memakai celak, maka hendaknya ia mengganjilkannya. Siapa yang memakainya maka ia mendatangkan kebaikan dan siapa yang tidak maka tidak ada dosa baginya…”

Al-Hafizh melemahkannya karena ’illat majhulnya al-Hushain bin al-Jubrani di dalam at-Talkhisul Habiir (I/102,103), namun beliau menghasankannya di dalam Fathul Baari` (I/206).

Hadits tentang turunnya firman Allah : fiihi rijaalun yuhibbuwna an yatathohharuw terhadap Ahli Quba’.

Al-Hafizh mendha’ifkan sanadnya di dalam at-Talhiishul Habiir (I/113) namun beliau shahihkan di dalam Fathul Bari` (VII/195) dan di dalam ad-Diroyah (I/97).

Hadits : ”Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah…”

Al-Hafizh mendha’ifkannya di dalam Bulughul Maram (no. 11) namun beliau shahihkan di dalam at-Talkhiisul Habiir (I/261).

Hadits : ”Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat terhadap barisan shaf pertama”.

Imam Nawawi menshahihkannya di dalam al-Majmu’ (IV/301) namun beliau menghasankannya di dalam Riyadlus Shaalihin (no. 1090).

Hadits : ”Ingatlah penghancur kelezatan yaitu kematian”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani menghasankannya di dalam Takhriijil Adzkaar sebagaimana di dalam at-Taujiihaatur Robbaaniyyah (IV/50) namun beliau mensepakati Ibnu Hibban, Hakim, Ibnu Thahir dan Ibnu Sakkan atas keshahihannya di dalam at-Talkhiishul Habiir (II/101).

Idris bin Yasin al-Audi. Al-Hafizh mentsiqohkannya di dalam at-Taqriib namun mendhaifkannya di dalam al-Fath (II/115).

Nauf bin Fadloolah. Al-Hafizh menilainya di dalam at-Taqrib sebagai mastuur namun menghukuminya sebagai shaduq di dalam al-Fath (VIII/413).

Abdurrahman bin Abdil Aziz al-Ausi. Al-Hafizh menilainya di dalam at-Taqriib sebagai perawi yang shaduq qad yukhthi’ (terkadang salah), namun beliau mendhaifkannya di dalam al-Fath (III/210).

Al-Hafizh Ibnu Hajar menshahihkan di dalam an-Nukat ’ala Ibni ash-Sholaah (I/355-356) hadits yg diriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajlaan namun di dalam Amaalii al-Adzkaar (I/110) beliau menjelaskan bahwa haditsnya tidaklah terangkat dari derajat hasan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil di dalam at-Talkhishul Habiir (IV/176) dari Nawawi di dalam ar-Roudloh tentang perkataannya mengenai hadits : “Tidak ada nadzar di dalam perkara kemaksiatan”, beliau berkata : “hadits dha’if menurut kesepakatan para muhadditsin”. Namun al-Hafizh membantah sendiri dengan ucapannya : “Hadits ini telah dishahihkan oleh ath-Thohawi dan Abu ‘Ali bin as-Sakkan, lantas dimanakah kesepakatan itu?!!”

Imam Nawawi berkata di dalam al-Majmu’ (II/42) mengenai hadits memegang kemaluan : ”Tidaklah kemaluanmu itu hanyalah bagian dari tubuhmu!”, beliau mengomentari : “Sesungguhnya hadits ini dha’if menurut kesepakatan huffazh”, sedangkan hadits tersebut dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Hazm, ath-Thabrani, Ibnu at-Turkumani dan selain mereka. Demikian pula ucapan Ibnu Abdul Hadi di dalam al-Muharrar (hal. 19) : ”telah salah orang yang meriwayatkan kesepakatan akan kedha’ifannya.”

Dan masih banyak lagi contoh-contoh semacam ini bertebaran.

Saya katakan : Apakah mereka semua ini adalah orang-orang yang tanaaqudl?!! Jika melihat dari kaidah yang digunakan oleh as-Saqqof, maka mereka semua ini –para imam muhadditsin- dikatakan sebagai mutaanaqidlin (orang-orang yang kontradiktif)!!! Dan di sinilah letak kebodohan as-Saqqof yang lemah dan dangkal pemahamannya terhadap kaidah dan prinsip ilmu hadits. Fa’tabiru ya ulil albaab!!!

[halbaru]

MEMBONGKAR KEDUSTAAN, TALBIS DAN TADLIS AS-SAQQOF SERTA PENGKHIANATANNYA DARI KITAB GELAPNYA ”TANAQUDLAAT ALBANY”

Sesungguhnya, kitab Tanaqudlaat Albany yg ditulis oleh si pendengki ini penuh dengan fitnah, kedustaan, tadlis, talbis dan pengkhianatan ilmiah. Ia sepertinya telah termakan bujuk rayu iblis dengan menjajakan kaidah sesatnya yang berbunyi al-Ghooyah tubarrirul wasiilah (Tujuan membenarkan segala cara), sebagaimana kaidah yang juga dipegang oleh Hizbut Tahrir yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi tujuan. Ternyata as-Saqqof dan Hizbut Tahrir ini bagaikan pinang dibelah dua, sama-sama pahitnya dan hitamnya. Oleh karena itu tidak heran, jika Nuh Hamim Keller[24] sang pembela kebid’ahan didukung oleh simpatisan Hizbut Tahrir seperti Muhammad Lazuardi al-Jawi bersepakat di dalam kegelapan as-Saqqof di dalam memerangi Ahlu Sunnah. Karena demikianlah karakteristik Ahlul Bid’ah, mereka menenggelamkan kepalanya ke dalam tanah namun ekornya siap menyengat siapa saja yang mendekat, bagaikan kalajengking!

Berikut ini pengkhianatan, talbis dan tadlis as-Saqqof sang pendusta[25]…

1. As-Saqqof berkata dalam kitabnya at-Tanaaqudlaat, hal. 97. Hadits : ”Tabayun –dalam lafazh lain Ta`anni (sikap kehati-hatian)- adalah dari Allah dan al-’Ajalah (tergesa-gesa) datangnya dari Syaithan. Maka bertabayunlah…”

Tuduhan : As-Saqqof berkata : ”Hadits ini didhaifkan oleh Syaikh Albani dalam Dha’if al-Jami’ wa Ziyaadatuhu (III/45 no. 2503), dimana lafazh : ”Tabayun dari Allah” dishahihkan oleh beliau di dalam Silsilah al-Ahaadits As-Shahiihah (IV/404, dengan nomor 1795).”

Cek : Ketika melihat kembali kitab Syaikh Albani Dha’if al-Jami’, beliau mengisyaratkan kedhaifannya dan menisbatkan riwayatnya kepada Ibnu Abi Dunya dalam kitab Dzammul Ghadlab serta al-Khairathi dalam kitab Makarimul Akhlaq yang diriwayatkan dari al-Hasan secara mursal. (lihat Dha’if al-Jami’ : 2504). Ketika melihat Silsilah ash-Shahihah (IV/404), di dalamnya terdapat perkataan Syaikh Albani, yaitu : ”at-Ta`anni datangnya dari Allah dan tergesa-gesa datangnya dari Syaithan”. Lafazh hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam al-Musnad (III/1054) dan al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubra (X/104) dari jalur al-Laits, dari Yazid bin Abi Habib, dari Sa’ad bin Sinan, dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda… (sama seperti redaksi hadits tadi).

Kesimpulan : As-Saqqof telah bersikap tidak fair dan tidak menampakkan yang sebenarnya dengan menganggap bahwa hadits di atas adalah satu, padahal yang disebutkan dalam Dha’if al-Jami’ dan Silsilah ash-Shahihah adalah dua hadits yang berbeda. Jadi as-Saqqof secara sembrono telah mengatakan dalam kitabnya at-Tanaqudlaat : ”-dan dalam lafazh lain at-Ta’anni-”. Maka kami pertanyakan : dimanakah kejujuran dan keadilanmu wahai as-Saqqof? Dimana pula letak tanaqudl (kontradiktif) kedua hadits di atas???[26]

2. As-Saqqof berkata di dalam kitabnya at-Tanaqudlaat (no. 99), hadits : “Tidak boleh (menerima) dalam Islam kesaksian seorang lelaki yang pengkhianat begitu pula seorang wanita pengkhianat, orang yang dikenakan hukuman jilid dan yang dengki terhadap saudaranya.”

Tuduhan : as-Saqqof berkata : ”Hadits ini disebutkan oleh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah (II/44 no. 1916), yang dianggap bertentangan karena beliau mendhaifkannya. Oleh karena itu beliau menyebutkannya dalam kumpulan hadits-hadits dhaif pada kitab Dha’if al-Jami’ wa Ziyadatuhu (VI/62, no. 6212).

Cek : Ketika melihat ke dalam buku Shahih Sunan Ibnu Majah (no. 1930) dan al-Ma’arif, disebutkan bahwa Syaikh Albani berkata : ”Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma, beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Tidak boleh (menerima) dalam Islam kesaksian seorang lelaki yang pengkhianat begitu pula seorang wanita pengkhianat, orang yang dikenakan hukuman jilid dan yang dengki terhadap saudaranya.” Sementara hadits yang ada di dalam Dha’if al-Jami’ (no. 6199) dengan lafazh : ” “Tidak boleh (menerima) dalam Islam kesaksian seorang lelaki yang pengkhianat begitu pula seorang wanita pengkhianat, orang yang dikenakan hukuman jilid dan yang dengki terhadap saudaranya, yang pernah melakukan sumpah palsu, yang mengikut kepada anggota keluarga mereka, yang dicurigai sebagai hamba sahayanya atau sanak kerabatnya.” hadits ini dia sandarkan sebagai riwayat Tirmidzi.

Kesimpulan : As-Saqqof telah menyembunyikan hakikat sebenarnya. Ia menduga bahwa kedua hadits ini sama, padahal berbeda, walaupun sebagian lafazhnya sama. Yang pertama adalah riwayat Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah tanpa ada penambahan, dan yang kedua adalah riwayat Aisyah yang dikeluarkan at-Tirmidzi. Maka kami pertanyakan : Wahai Saqqof, manakah kejujuran dan keadilanmu serta sifat amanahmu???[27]

3. As-Saqqof berkata di dalam at-Tanaqudlaat (no. 92) hadits : “Jika salah seorang dari kalian mengerjakan suatu amalan, maka sempurnakanlah…”

Tuduhan : as-Saqqof berkata : ”hadits ini dishahihkan oleh al-Albani sehingga beliau memasukkan dalam Shahih al-Jami’ (II/144 no. 1876) dengan lafazh : ”Sesungguhnya Allah mencintai jika salah seorang dari kalian mengerjakan suatu amalan dan ia menyempurnakannya.” Lalu ia menyelisihinya dan memutuskan hadits ini sangat dhaif di dalam Dla’if al-Jami’ (I/207 no 698).

Cek : Ketika melihat ke dalam ash-Shahihul Jami’ (no. 1888) kami mendapati hadits tersebut dengan lafazh : ” Sesungguhnya Allah mencintai jika salah seorang dari kalian mengerjakan suatu amalan dan ia menyempurnakannya”. Hadits ini beliau sandarkan sebagai riwayat al-Baihaqi dalam Syua’bul Iman dari Aisyah radhiallahu ‘anha, sedangkan hadits dalam Dla’iful Jami’ wa Ziyaadatuhu berbunyi : ”Jika salah seorang dari kalian mengerjakan suatu pekerjaan, maka sempurnakanlah karena sesungguhnya hal itu termasuk menghibur yang dikerjakan sendiri.” Hadits ini beliau sandarkan sebagai riwayat Ibnu Sa’ad dari Atha’ secara mursal dan menetapkannya sebagai hadits yang sangat dhaif.

Kesimpulan : Sunguh as-Saqqof telah menduga bahwa dia hadits ini sama padahal keduanya berbeda baik periwayatannya maupun tempat keduanya disebutkan. Lantas dimanakah sikap amanah dan penghargaan terhadap ilmu wahai as-Saqqof???[28]

4. Pada halaman 39, as-Saqqof memaparkan hadits Abdullah bin ’Amru : ”Jum’at wajib bagi yang mendengarkan seruan (adzan)”. As-Saqqof mengklaim bahwa syaikh al-Albani menghasankannya di dalam al-Irwa’ dan mendhaifkan sanadnya di dalam al-Misykaah.

Komentar : Kedua tidak kontradiktif, dimana beliau juga mendhaifkan sanadnya di al-Irwa’, namun beliau mengisyaratkan akan adanya syawahid yang menguatkannya, kemudian beliau berkata di akhir sanadnya : ”maka hadits ini dengan adanya syawahid menjadi hasan insya Allah.” Dimanakah akalmu wahai orang-orang yang berfikir??

5. Pada halaman 39-40, as-Saqqof memaparkan hadits Anas : ”Janganlah kalian bersikap keras terhadap diri kalian niscaya Allah akan bersikap keras terhadap kalian…”. Kemudian as-Saqqof mendakwakan bahwa Syaikh al-Albani mendhaifkannya di Takhrijil Misykaah. Sesungguhnya menurut akal si orang yang kontradiktif ini dan pemahaman orang yang bingung ini, bahwa perkataan syaikh Albani di dalam Ghoyatul Maraam (hal. 140) merupakan sumber penghukuman hadits bahwa hadits tersebut dhaif, akan tetapi beliau mengisyaratkan syahid yang mursal, sehingga beliau jadikan di akhir penelitian beliau di dalam takhrijnya dengan perkataan : ”Semoga hadits ini hasan dengan syahidnya yang mursal dari Abi Qilabah, wallahu a’lam”. Namun setelah itu, beliau mendapatkan jalur hadits ketiga di sebagian referensi-referensi sunnah, maka beliau menetapkan keshahihannya secara pasti di dalam Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (3694). Maka inilah ilmu dan keadilan itu, dan tinggalkan oleh kalian perancuan dan kedustaan oleh as-Saqqof.

6. Pada hal. 40, ia menukil hadits Aisyah : ”Barangsiapa yang menceritakan kalian bahwa nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kencing sambil berdiri maka janganlah kau benarkan…”. Kemudian si Saqqof ini mendakwakan bahwa Syaikh Albani mendhaifkan sanadnya di dalam al-Misykah kemudian ia shahihkan di dalam Silsilah Shahihah-nya, dan mendakwakan bahwa Syaikh al-Albani tanaaqudl dalam hal ini.

Komentar : Bahwasanya keduanya tidak tanaaqudl dan ini hanyalah dakwaan dusta dan kebodohan dari as-Saqqof. Syaikh menyatakan cacat riwayat Tirmidzi di dalam al-Misykah karena dhaifnya Syarik an-Nakha’i. Namun beliau menemukan mutaaba’ah dan menshahihkannya di Silsilah Shahihah sembari memberikan komentar bahwa beliau mengakui tentang terlalu ringkasnya ta’liq (komentar) beliau di dalam al-Misykah setelah beliau menghimpun mutaba’ah yang akhirnya beliau shahihkan. Namun as-Saqqof menyembunyikan hal ini dan melakukan kedustaan terhadap umat.

Inilah sebagian hadits yang ia sebutkan dan di sini saya menyebutkannya hanya sebagai contoh untuk menunjukkan kejahilan, kedustaan, perancuan, pengkhianatan ilmiah, penyembunyian al-Haq dan kedengkian as-Saqqof kepada Syaikh al-Albani. Dan bukan artinya apa yang disebutkan di sini berarti telah disebutkan semua kebohongannya dan kedustaannya, karena jika disebutkan niscaya risalah akan menjadi sebuah buku tersendiri yang tebal. Bagi yang ingin mengetahui kedustaan as-Saqqof ini, bisa merujuk ke kitab al-Anwaarul Kaasyifah karya Syaikh Ali Hasan dan at-Tanbiihatul Maliihah karya Syaikh Abdul Basith, maka anda akan menemukan kebobrokan as-Saqqof yang dipenuhi dengan fitnah, kedustaan dan kejahilan ini.

Berikut ini kami ringkaskan kedustaan as-Saqqof terhadap Syaikh al-Albani yang bisa dirujuk sendiri di dalam kitabnya at-Tanaqudlaat dalam nomor-nomor haditsnya, yaitu Juz I : no. 46, 68, 69, 81, 93, 105, 108, 117, 131, 141, 142, dan 171. Juz II : 17, 18 dan 19. sedangkan juz III : no. 19. semuanya yang disebutkan ini adalah ralat atau ruju’ Syaikh al-Albani yang ia (as-Saqqof) sembunyikan.

Bahkan, syaikh Ali Hasan menghimpun nomor-nomor hadits pada kitab gelapnya bahwa yang dijadikan patokan oleh as-Saqqof untuk mendakwakan tanaqudl Syaikh al-Albani adalah kebanyakan dari al-Misykaah dan dikontradiktifkan dengan kitab Syaikh yang lainnya. Padahal al-Misykaah ini merupakan ta’liq atas Shahih Ibnu Khuzaimah, yang mana ta’liq ini pada hakikatnya bukanlah merupakan tahqiq Syaikh al-Albani maupun ta’liq beliau murni. Muhaqqiq (peneliti) sebenarnya adalah Syaikh al-Fadhil DR. Muhammad Mustofa al-A’zhami yang meminta kepada syaikh Albani untuk mengoreksinya dengan koreksi secara umum.

Oleh karena itulah ta’liq beliau begitu ringkas dan sedikit, yang merupakan penyempurna dari ta’liq sebelumnya yang dilakukan oleh DR. Muhamad Mustofa al-A’zhami. Oleh karena itulah ketika beliau melakukan penelitian dan takhrij lebih dalam terhadap suatu hadits dengan mengumpulkan jalur-jalur periwayatannya atau ditemukannya syawahid dan mutaba’ah, maka beliau taraju’ dengan mengambil takhrij beliau yang terakhir. Inilah seharusnya yang diambil… Namun as-Saqqof pura-pura tidak tahu atau benar-benar tidak tahu, sehingga ia menghimpun hadits-hadits yang menurutnya tanaaqudl padahal dirinyalah yang tanaaqudl…

Berikut inilah nomor-nomor hadits yang disebutkan oleh as-Saqqof sebagai suatu bentuk tanaaqudl padahal sebenarnya adalah suatu taraaju’ yang as-Saqqof menyembunyikan hakikatnya, yaitu : no. 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 19, 20, 21, 26, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 45, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65,66,67, 69, 72, 73, 75, 76, 78, 81, 82, 83, 84, 85, 87, 88, 89, 90, 95, 103, 143, 144, 147, 153, 158, 164, 185, 186, 187, 188, 189, 198, 199, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250.

Yang aneh lagi, supaya terkesan lebih banyak tanaqudlaat yang dituduhkan oleh dirinya kepada Syaikh al-Albani, maka ia mengulang-ulang hal yang sama di dalam kitab gelapnya tersebut. Seperti : yang dipaparkannya di hal 7 diulanginya lagi pada hal. 70 dan 161. Yang dipaparkannya pada hal. 9, diulanginya lagi pada hal. 114, 136 dan 140. Yang dipaparkannya pada hal. 10 diulanginya lagi pada hal. 98. yang dipaparkannya pada hal. 10, diulanginya lagi pada hal. 11 dan 140. Yang dipaparkannya pada hal. 64 diulanginya lagi pada hal. 105. Yang dipaparkannya pada hal. 96 diulanginya lagi pada hal. 145.[29]

[halbaru]

KETIDAKADILAN AS-SAQQOF DAN KEFANATIKANNYA TERHADAP GURUNYA MUHAMMAD ZAHID AL-KAUTSARI AL-HANAFI

Diantara tuduhan as-Saqqof al-Haqid (pendengki) ini terhadap Syaikh al-Albani adalah tadh’if (pendhaifan) yang dilakukan oleh Albani terhadap hadits Bukhari dan Muslim atau salah satu dari keduanya. Hal yang serupa juga dilakukan oleh seorang pendengki dari Mesir yang bernama Mahmud Sa’id Mamduh asy-Syafi’i al-Mishri yang menulis kitab Tanbihul Muslim ila Ta’addi al-Albani ’ala Shahih Muslim (Peringatan terhadap Muslim terhadap kelancangan Albani terhadap Shahih Muslim), yang merupakan murid dari Syaikh Abdullah bin Muhammad ash-Shiddiq al-Ghumari, lawan Albani yang menulis risalah tipis berjudul Al-Qoul al-Muqni’ fir Raddi ’alal Albani al-Mubtadi’ (Perkataan yang terang di dalam membantah Albani si pelaku bid’ah), ia saudara dari Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shidiq al-Ghumari, lawan Albani pula yang menulis buku berbahaya bagi aqidah muslim yang berjudul Ihya’ul Maqbuur min Adillati Istihbaabi Bina’il Masjid wal Qobaab ’alal Qubuur (Menghidupkan pekuburan tentang dalil-dalil disunnahkannya membangun masjid dan kubah di atas kuburan). Dan yang merupakan guru besar bagi keduanya adalah Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari al-Hanafi, seorang pembesar dan fanatikus madzhab Hanafi dan penghulu aqidah asy’ari zaman ini. Dia sangat getol sekali di dalam menyerang dan menghantam aqidah ahlus sunnah atau salafiyah dan para ulamanya. Kefanatikan terhadap madzhabnya sangat dikenal sehingga al-Ghumari sendiri membantah dirinya dalam kitab Bida’u at-Tafasir dan menyatakan bahwa al-Kautsari ini adalah orang yang fanatik buta dan ghuluw pada Imam Abu Hanifah.

Al-Kautsari, tidak jauh beda dengan muridnya, as-Saqqof, sangat membenci Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, terutama Syaikhul Islam kedua Ibnul Qoyyim. Mereka menuduh bahwa Syaikhul Islam adalah mujassim dan beraqidah tahayyuz, sehingga mereka memerangi aqidah salafiyah yang mengajarkan kemurnian aqidah. Syaikh Zuhair asy-Syawisy membantah al-Kautsari di dalam hasyiah (foot note) beliau terhadap kitab Syarh Ath-Thohawiyah lil Albani. Samahatus Syaikh al-Allamah Mu’allimi al-Yamani membantah dan membongkar kedok kesesatannya di dalam kitab yang berjudul at-Tanqiil bima fii Ta’nibil Kautsari minal Abathil.

As-Saqqof dan al-Mamduh tidak fair. Mereka menghantam Syaikh al-Albany di dalam beberapa hal pendhaifan beliau terhadap beberapa riwayat Muslim dan Bukhari. Padahal al-Kautsari jauh lebih ekstrim di dalam menolak hadits Bukhari Muslim, yang mana al-Kaustari melakukannya didorong oleh fanatik madzhabiyah. Diantara hadits yg ditolak oleh al-Kautsari adalah :

1. Hadits ”Allah menciptakan debu…” yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang ditolaknya di dalam kitab gelapnya al-Asma’ wash Shifaat. (hal. 26,383).

2. Hadits kisah tentang Musa menyebabkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kembali kepada Allah pada malam Israa’ tentang kewajiban sholat 50 rakaat, yang muttafaq ’alaihi, namun ditolaknya di dalam al-Asma’ wash Shifaat (hal. 189)

3. Hadits tentang dilihatnya Allah pada hari kiamat yang Muttafaq ’alaihi, ditolaknya di dalam al-Asma’ wash Shifat (hal. 292).

4. Hadits tentang hari kiamat bumi akan menjadi dataran putih yang dikeluarkan oleh Bukhari Muslim, ditolaknya dalam al-Asma’ wash Shifat (hal. 320)

5. Hadits tentang ”dimana Allah” kepada seorang budak sahaya wanita yang masih anak-anak yang dikeluarkan oleh Muslim, ditolaknya di dalam al-Asma’ wash Shifat (hal. 421)

Dan masih banyak lainnya, dimana al-Kautsari menolaknya tidak dikembalikan kepada ilmu hadits, namun dia menolaknya karena menyelisihi madzhabnya yang asy’ariyah dan madzhab hanafiyahnya. Namun, anehnya… as-Saqqof si pengkhianat ilmiah ini menyembunyikan kebobrokan gurunya, menutup mata darinya dan mencari kesalahan-kesalahan ulama ahlul atsar dikarenakan kebenciannya terhadap ahlul atsar, dan kefanatikannya terhadap madzhabnya dan gurunya yang Jahmiyah.

Al-Albani berkata tentang al-Kautsari di dalam Syarh Aqidah ath-Thohawiyah, setelah membantah murid al-Kautsari yang bernama Abdul Fattah Abu Ghuddah, seorang yang didaulat sebagai ahli hadits oeh Ikhwanul Muslimin yang berakidah sufi dan jahmi (hal. 45) : ”Zahid al-Kautsari dulunya adalah orang yang berada di atas pengetahuan yang dalam terhadap ilmu hadits dan para perawinya, namun sungguh disayangkan, ilmunya menjadi hujjah atasnya (yang melawannya) dan menyedihkan, karena ilmunya tidak menambah hidayah dan cahaya kebenaran baginya, tidak di dalam masalah furu’ tidak pula di dalam masalah ushul. Dia adalah seorang Jahmiyah yang menolak sifat-sifat Allah. Seorang Hanafiyah yang binasa karena kefanatikannya. Dia sangat kasar di dalam menghantam Ahlul Hadits, baik terdahulu maupun yang belakangan. Dia, di dalam masalah aqidah, memberi gelar Ahlul Hadits dengan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan tajsim (mengatakan Allah punya jism). Dia gelari mereka (Ahlul Hadits) di dalam muqoddimah Saifus Saqiil-nya sebagai Hasyawiyah Jahil. Dia mengatakan bahwa Kitabut Tauhid Ibnu Khuzaimah adalah buku kesyirikan! Dan ia menuduh Imam Ibnu Khuzaimah sebagai mujassim dan jahil terhadap ushuludin. Di dalam masalah fikih, ia menuduh Ahlul Hadits itu jumud (kaku) dan pemahamannya pendek, dan penyandang kitab-kitab. Di dalam masalah hadits, ia mencerca habis hampir 300 perawi yang mayoritasnya adalah perawi yang tsiqoh dan dhabit. Diantaranya adalah 80 haafizh, dan sejumlah Imam seperti Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad. Ia menjelaskan bahwa ia tidak menganggap Syaikh Ibnu Hayyan sebagai orang yang tsiqoh, tidak pula al-Khatib al-Baghdadi dan yang semisalnya. Dia juga menyatakan bahwa Imam Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal yang secara sendirian meriwayatkan Musnad (Imam Ahmad) sebagai pendusta. Dan dia menyatakan bahwa Musnad Imam Ahmad tidak dianggap sebagai kitab Musnad yang perlu dirujuk sebagai referensi sebagaimana termaktub dalam kitabnya al-Isyfaq ’ala Ahkamit Thalaq (hal. 23)… dia juga menyatakan dhaif hadits-hadits yang disepakati kesahihannya, walaupun hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim sekalipun… di sini lain, dia menshahihkan hadits yang mendukung kefanatikannya terhadap madzhabnya, yang mana setiap orang yang memiliki ilmu hadits dapat mempersaksikan kelemahannya ataupun kepalsuannya. Seperti hadits : ”Abu Hanifah adalah pelita ummat ini”, dan perkara lainnya yang tidak mungkin menyebutkan dan memaparkannya semua di sini. Al-Allamah Abdurrahman al-Mu’allimi al-Yamani membantah dirinya secara baik dan ilmiah di dalam kitabnya Tali’atut Tankil dan at-Tankil bima fi Ta’nibil Kautsari minal Abaathil, jadi barangsiapa yang menghendaki kebenaran silakan merujuk kepadanya dan ia akan mendapatkan hal yang lebih parah ketimbang apa yang telah disebutkan di sini.”

Al-Ghumari –yang bermadzhab Syafi’i- membantahnya pula di dalam Bid’atut Tafasir (hal. 180-181) yang menyingkap kebatilan al-Kautsari : ”Kita sering menjadi terkagum dengan al-Kautsari di dalam ilmu dan kecermatannya di dalam meneliti sebagaimana kita juga tidak menyukai kefanatikan yang luar biasa terhadap Hanafiyah, kefanatikan yang melebihi fanatiknya Zamakhsyari terhadap Mu’tazilah. Sampai-sampai ke suatu tingkat dimana saudara kami tercinta, al-Hafizh Abul Faidh (Ahmad al-Ghumari, pent.) biasa menyebut dirinya, ”Majnun Abi Hanifah”. Dan ketika aku diberi hadiah bukunya yang berjudul Ihqaaqul Haq yang berhubungan dengan bantahan terhadap risalah Imam al-Haramain yang lebih memilih madzhab Syafi’i, aku melihatnya dia