Sanad/isnad merupakan kekhususan umat
Islam. Al-Qur’an telah diriwayatkan kepada kita oleh para perawi dengan sanad
yang mutawatir. Demikian pula telah sampai kepada kita hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad-sanad yang shahih. Berbeda dengan
kitab Injil dan Taurat yang ada pada kaum Nashrani dan Yahudi tanpa sanad yang
bersambung dan shahih, sehingga sangat diragukan keabsahan kedua kitab
tersebut.
Isnad hadits adalah silsilah para perawi yang
meriwayatkan matan (sabda) hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Para ahli hadits telah memberikan
kriteria yang ketat agar suatu hadits dinilai sebagai hadits yang shahih,
mereka ketat dalam menilai para perawi hadits tersebut. Karenanya mereka (para
ahli hadits) mendefinisikan hadits shahih dengan definisi berikut : Yaitu para
perawinya dari bawah hingga ke atas seluruhnya harus tsiqoh dan memiliki
kredibilitas hafalan yang sempurna, serta sanad tersebut harus bersambung dan
tidak ada ‘illahnya (penyakit) yang bisa merusak keshahihan suatu hadits.
Ibnu Siiriin berkata : Mereka dahulu
tidak bertanya tentang isnad, akan tetapi tatkala terjadi fitnah maka mereka
berkata : “Sebutkanlah nama-nama para perawi kalian“,
maka dilihatlah Ahlus sunnah dan diambilah periwayatan hadits mereka dan
dilihatlah ahlul bid’ah maka tidak diambil periwayatan hadits mereka.
Sebagian orang salah faham dengan
perkataan Ibnul Mubaarok rahimahullah :
“Isnad adalah bagian dari agama, kalau
bukan karena isnad maka setiap orang yang berkeinginan akan mengucapkan apa
yang ia kehendaki”
Mereka memahami bahwasanya : “Perkataan
Ibnul Mubarok ini menunjukkan bahwasanya orang yang tidak punya isnad bicaranya
akan ngawur, dan sebaliknya orang yang punya isnad maka bicaranya pasti lurus”
Akan tetapi bukan demikian maksud
perkataan Ibnul Mubaarok rahimahullah. Maksud perkataan beliau adalah : Tidak
sembarang orang bisa menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, akan tetapi menyampaikan hadits Nabi harus ada
sanadnya. Dan jika sudah
ada sanadnya maka HARUS diperiksa para perawinya sehingga bisa
ketahuan haditsnya shahih ataukah lemah.
Praktek al-jarh wa at-ta’diil
Untuk menerapkan kriteria ini (yaitu
pengecekan kedudukan dan kredibilitas para perawi hadits) maka para ulama ahli
hadits menulis buku-buku al-jarh wa at-ta’diil yang menyebutkan tentang
biografi para perawi, dengan menjelaskan kedudukan para perawi tersebut apakah
tsiqoh ataukah dho’iif?
Berbagai macam buku yang ditulis oleh
para ulama:
Ada
kitab-kitab yang khusus berkaitan dengan para perawi yang tsiqoh
Ada
kitab-kitab yang khusus berkaitan dengan para perawi yang dho’if dan majruuh
Ada
kitab-kitab yang menggabungkan antara para perawi yang tsiqoh dan dho’iif
Ada
kitab-kitab yang berkaitan dengan para perawi yang menempati kota tertentu,
seperti Taariikh Baghdaad, Taariikh Dimasq, Taariikh Waasith, dll
Ada
kitab-kitab yang menjelaskan tentang para perawi kitab-kitab hadits tertentu,
seperti ada kitab yang khusus menjelaskan para perawi dalam kitab Muwaatho’
Imam Malik, ada kitab yang khusus menjelaskan tentang para perawi Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim, ada kitab yang khusus menjelaskan tentang
kedudukan para perawi al-kutub as-sittah
Dan
jenis-jenis kitab yang lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam buku-buku al-jarh
wa at-ta’diil atau ‘ilmu ar-rijaal.
Karenanya dengan meneliti kedudukan para
perawi tersebut –berdasarkan kaidah al jarh wa at-ta’diil yang diletakkan oleh
para ahli hadits- maka akan jelas apakan sanad suatu hadits shahih ataukah
lemah atau maudhuu’ (palsu).
Alhamdulillah para ulama telah
mengumpulkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak
kitab-kitab hadits sebagaimana yang masyhuur diantaranya : Muwatthho’ al-Imam
Maalik, Musnad Al-Imam Ahmad, Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Shahih Ibnu
Hibbaan, Shahih ibnu Khuziamah, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Thirmidzi, Sunan
An-Nasaai, Sunan Ibni Maajah, Mu’jam-mu’jam At-Thobrooni, Sunan Al-Baihaqi, dan
kitab-kitab hadits yang laiinya. Yang seluruh penulis kitab-kitab tersebut
meriwayatkan hadits dengan menyebutkan sanad mereka dari jalur mereka hingga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dengan penerapan kaidah ilmu
mustholah al-hadits dan ilmu al-jarh wa at-t’adiil terhadap para perawi yang
terdapat dalam sanad-sanad hadits maka bisa dinilai apakah suatu hadits dari
kitab-kitab tersebut shahih ataukah dhoiif.
Karenanya untuk mengecek keabsahan
hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab di atas adalah dengan mengecek
para perawi yang termaktub dalam isnad-isnad dari para penulis kitab-kitab
tersebut.
Sebagai contoh untuk mengecek shahih
tidaknya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Thirimidzi dalam kitab
“sunan” beliau maka kita mengecek para perawi di atas Imam At-Thirimidzi (dalam
hal ini adalah guru imam At-Thirmidzi) hingga keatas sampai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
SANAD ZAMAN SEKARANG ??
Di zaman kita sekarang ini masih banyak
ahli hadits atau para syaikh atau para penuntut ilmu yang masih melestarikan
kebiasaan para ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dengan sanad. Sehingga
banyak diantara mereka yang meriwayatkan hadits dengan beberapa model sanad
hadits, diantaranya:
Pertama :
sanad yang bersambung kepada salah satu dari para penulis hadits. Ada sanad di
zaman sekarang ini yang bersambung hingga Al-Imam Al-Bukhari atau kepada
At-Thirmidzi, atau kepada Abu Dawud, atau
Kedua :
Sanad yang bertemu di guru-guru para penulis tersebut, atau bertemu di para
perawi yang lebih di atasnya lagi (para guru dari para guru dari para penulis),
atau
Ketiga :
Sanad yang melalui jalur lain hingga kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tanpa melalui jalur para penulis kitab-kitab tersebut.
Dari sini jelas bahwasanya
fungsi sanad di zaman ini (jika berkaitan dengan sanad hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka kurang bermanfaat dari dua sisi:
Pertama :
Karena para perawi yang dibawah para penulis kitab-kitab hadits tersebut hingga
perawi di zaman kita sekarang ini tidak bisa diperiksa kredibilitasnya karena
biografi mereka tidak diperhatikan oleh para ulama dan tidak termaktub dalam
kitab-kitab al-jarh wa at-ta’diil
Kedua :
Kalaupun jika seluruh para perawi tersebut (dari zaman kita hingga ke penulis
kitab) kita anggap tsiqoh maka kembali lagi kita harus mengecek para perawi
dari zaman gurunya para penulis kitab-kitab hadits tersebut hingga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka seakan-akan kita ngecek langsung para perawi yang
terdapat dalam sanad-sanad yang terdapat dalam kitab-kitab hadits tersebut.
Jadi keberadaan isnad dari
zaman sekarang hingga nyambung ke para penulis kitab-kitab hadits tersebut
kurang bermanfaat, itu kalau tidak mau dikatakan tidak ada faedahnya !!!
Adapun jenis isnad yang
ketiga, yaitu periwayatan hadits yang diriwayatakan oleh seseorang di zaman
sekarang hingga zaman Rasulullah –tanpa melalui jalur para penulis kitab-kitab
hadits diatas- maka tentunya kita akan mendapatkan minimal sekitar 20 orang
perawi. Dan 20 orang perawi tersebut tidak mungkin kita cek kredibilitas mereka
karena tidak adanya kitab-kitab al-jarh wa at-tadiil yang menjelaskan biografi
mereka.
Dari sebab-sebab inilah
maka terlalu banyak para penuntut ilmu yang berpaling dari mencari sanad
hadits-hadits Nabi di zaman sekarang ini karena tidak ada faedah besar yang
bisa diperoleh. Namun meskipun demikian masih
saja ada para penuntut ilmu dan para ulama yang masih melestarikan periwayatan
hadits dengan sanad-sanad tersebut untuk melestarikan adatnya para ahli hadits.
Diringkas dari firanda.com
Periwayatan hadits di zaman modern
Diskusi di FB Group
Mendekatkan Hadits & Sunnah Ke Hadapan Ummat :
Quote :
“Bisa di bayangkan jika sanad
itu mesti di teliti hingga periwayat di masa ini.Para Ulama sudah mencukupkan
dengan sanad yang tersebut di kitab itu saja,untuk selanjutnya sebagian mereka
ada yang tetap menggunakan sanad periwayatan hingga ke pengarang kitab
tersebut,tapi ini bukan sanad hadits,tapi sanad kitab buat membuktikan bahwa
penisbatan sebuah kitab hadits memang benar telah di susun oleh Muhaddist
bersangkutan.”
Bisa dishare aqwal atau ijma’
ulama’mengenai hal ini ustadz?
Agar bisa sebagai bantahan
thd orang-orang yang selalu menggembar-gemborkan bahwa hanya yg punya “Sanad”
dan “Silsilah nasab yg mulia”, dalam tanda kutip, yg berhaq dan punya otoritas
dalam menjelaskan Sunnah dan Diin ini. Padahal dalam prakteknya mereka banyak
melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.
Jawaban diskusi :
Ustadz Habibi Ihsan :
Setau ana untuk sanad dari
masa kita kepada pengarang Kitab hadits bersangkutan bukan hal utama,sebab
kitab-kitab hadits telah masyhur dan mengemuka,yang seandainya seseorang
menemukan sebuah kitab ,shohih bukhari misalnya,lalu dia mengamalkannya dengan penjelasan
hadits sebagaimana para Ulama bawakan,ini adalah hal yang sah.
Ya,walaupun sebagian
Masyayikh kita,tetap ada yg mementingkan masalah sanad ini,hingga di antara
mereka mengambil sanad2 kitab itu dari para Ulama sebelumnya hingga ke penyusun
kitab-kitab hadits tersebut,Syaikh Ali HasanHalaby (muridnya Syaikh Al-albani)
misalnya beliau sempat mengambil sanad periwayatan berbagai kitab hadits dari
seorang Ulama yg di kenal punya ratusan sanad tersambung kepada penyusun
kitab-kitab hadits tersebut,yaitu Syaikh Yasin Al-padani.
Ana pribadi punya sanad
melalui jalur Syaikh Yasin ini.
Untuk penjelasan lebih luas
tentang masalah sanad-sanad Kutub Hadits bisa di tanyakan kepada Ustadz Rikrik
Aulia Rahman beliau spesialis dalam masalah ini
Diskusi Lebih Lanjut :
Na’am ustadz,
setau ana memang yg bersisa
hanyalah ijazah sanad periwayatan hadits dari kutubul hadits, dan juga
periwayatan dalam bentuk model wijadah (penemuan).
Sebagian besar dari ummat yg
belum memiliki kesempatan untuk talaqqi kepada Syaikh yg mempunyai sanad ijazah
periwayatan hadits dari kitab2 hadits, umumnya mengambil periwayatan hadits
dengan cara wijadah.
Imma dengan cara membeli
kitab, melihat dari tulisan di situs ataupun yg lain2 semisal.
Adapun maksud pertanyaan
saya:
Terdapat sebagian orang yg
ta’ashub dan muqollid, mengklaim bahwa yg berhaq memahami dan menjelaskan
hadits hanyalah orang yg mempunyai sanad ijazah periwayatan kitab hadits.
Orang Islam secara umum yg
biasanya mendapatkan hadits dengan cara wijadah dipandang tidak berhaq dan
tidak punya otoritas dalam memahami, menjelaskan, dan berdalil dengan hadits
dalam suatu perkara.
Bagaimanakah perincian
bantahan terhadap syubhat ini, terutama dari qoul ulama yg ahlul hadits itu
sendiri?
Padahal orang yg mendapatkan
ijazah itu bukanlah mesti orang yg mempunyai pemahaman dan manhaj yg shohih.
Dan sanad ijazahnya juga bukanlah sanad dalam artian dia adalah seorang perowi
yg berlaku padanya jarh wa ta’dil dalam kemaqbulan untuk menerima periwayatannya.
Jazakallloh khoir
Jawaban Diskusi :
Ustadz Rikrik Aulia Rahman :
Ahli Hadits Mesir Syaikh
Ahmad Syakir, pentahqiq musnad ahmad rahimahullahu berkata,
والكتب الأصول الامهات في السنة وغيرها : تواترت
روايتها الى مؤلفيها بالوجادة ومختلف الاصول العتيقة الخطية الموثوق بها. ولا
يتثكك في هدا الا غافل عن دقة المعنى في الراوية والوجادة اومتعنت لا تقنعه حجة
“Dan kitab-kitab pokok dalam sunnah dan
selainnya, telah mutawatir periwayatannya sampai kepada para penulisnya dengan
cara al-wijadah. Demikian pula berbagai macam buku pokok yang lama yang masih
berupa manuskrip tapi dapat dipercaya, Tidak meragukan keabsahannya kecuali
orang yang lalai dari ketelitian makna pada bidang riwayat dan al-wijadah, atau
orang yang membangkang, yang tidak puas dengan hujjah”. (Al Baitsul Hatsits hal
126 –cet Darul Kutub Al-Ilmiyah).
Imam As-Sayuthi (w. 911 H/
1505 M) dalam Tadribur Rawi fi Syarah Taqrib An-Nawawi hal 75-76 mengatakan,
قَالَ ابْنُ بَرْهَانٍ فِي الْأَوْسَطِ ذَهَبَ
الْفُقَهَاءُ كَافَّةً إلَى أَنَّهُ لَا يَتَوَقَّفُ الْعَمَلُ بِالْحَدِيثِ عَلَى
سَمَاعِهِ بَلْ إذَا صَحَّ عِنْدَهُ النُّسْخَةُ جَازَ لَهُ الْعَمَلُ بِهَا
وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ ، وَحَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو إِسْحَاقَ الْإسْفَرايِينِيّ
الْإِجْمَاعَ عَلَى جَوَازِ النَّقْلِ مِنْ الْكُتُبِ الْمُعْتَمَدَةِ وَلَا
يُشْتَرَطُ اتِّصَالُ السَّنَدِ إلَى مُصَنِّفِهَا وَذَلِكَ شَامِلٌ لِكُتُبِ
الْأَحَادِيثِ وَالْفِقْهِ ، وَقَالَ الطَّبَرِيُّ مَنْ وَجَدَ حَدِيثًا فِي
كِتَابٍ صَحِيحٍ جَازَ لَهُ أَنْ يَرْوِيَهُ وَيَحْتَجُّ بِهِ
“Berkata Ibn Barhan didalam kitab Al-Ausath:
Ahli fiqh secara keseluruhan berpendapat bahwa mengamalkan hadits tidak hanya
terbatas dengan mendengarkannya saja, bahkan jika teks hadits itu shahih
menurutnya, maka boleh mengamalkan teks hadits itu walaupun tidak didengarkan.
Ustadz Abu Ishaq Al-Asfarayaini menceritakan ijma atas bolehnya menukil dari
beberapa kitab yang menjadi pegangan dan tidak diisyaratkan bahwa sanadnya
harus bersambung dengan penulisnya, sama saja baik kitab-kitab hadits atau
fiqh. Ath-Thabari berkata, “Barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits didalam
kitab shahih, maka ia boleh meriwayatkannya dan berhujjah dengannya”.
Syaikh Muhammad Jamaluddin
Al-Qasimi Ahlu Hadits dari Syam menyebutkan pula nukilan ijma ini dalam
kitabnya Al-Mashu ’ala Al-Jaurabain hal 61. Kitab ini diberi muqadimah oleh
Syaikh Ahmad Syakir dan dikomentari oleh Syaikh Al-Albani. Al-Qasimi
menyebutkannya pula dalam Qawa’id al-Tahdits hal 213.
Perlu diketahui, semua Ahli
hadits yang telah ana sebutkan diatas memiliki sanad periwayatan,
barokallahufikum.
Khotimah
Jazakalloh khoir ustadz
Rikrik Aulia Rahman,
Alhamdulillaah,
ini hujjah yang sangat kuat
untuk membantah para muqollidin yg berusaha untuk menolak nasehat dan al-Haq
dari orang2 yg mendapatkan hadits shohih dengan cara “wijadah”, dengan syubhat
arogansi kesombongan “sanad ijazah” yang diaku-aku dimiliki oleh guru mereka yg
mereka taqlidi itu.
Izin untuk mengutip dan
menshare penjelasan para ulama yg antum berikan itu.
Baarokalloohu fiik