Oleh
Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra MA
Sudah suatu kelaziman dalam berbagai
bidang keahlian maupun produk tertentu harus memenuhi standarnya; sehingga
keabsahan, kualitas dan validasinya terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kalau tidak demikian halnya, tentu semua orang bisa berkata atau berbohong dan
melanggar berbagai aturan main dan kaidah yang sudah baku yang ditetapkan dan
disepakati para ahli pada setiap bidang keilmuan.
Demikian pula halnya pemahaman terhadap
agama, harus sesuai dengan standarisasi yang berlaku dalam Islam; agar kita
tidak terbalik dalam berjalan, kita ingin maju tapi malah mundur jadinya, maju
dalam pemikiran tapi mundur dalam keimanan. Karena pada akhir-akhir ini terjadi
semacam kerancuan dalam standarisasi keabsahan pemahaman agama. Sehingga timbul
berbagai asumsi dan opini-opini yang menyesatkan dalam keyakinan beragama.
Maka selayaknyalah seorang Muslim mampu
memilih dan memilah mana yang harus di terima dan mana yang harus ditolak. Agar
tidak terbalik dalam menilai sebuah permasalahan, yang benar dianggap salah, dan
yang salah dianggap benar. Tentu untuk sampai pada titik penentuan pilihan
tersebut harus mengenali standarisasinya. Dewasa ini banyak orang menjadikan
gelar, kedudukan, kekayaan, ketenaran, kesepuhan, peninggalan kuno dan galian
fosil sebagai standarisasi. Padahal itu bukan standarisasi untuk menentukan
kebenaran dalam Islam.
Islam memiliki standar yang valid dan
akurat dalam menilai sebuah pandangan dan pendapat. Sehingga pandangan dan
pendapat itu berlaku kebenarannya di mana dan kapan saja; tanpa dibatasi oleh
masa dan tempat tertentu. Karenanya, berbagai pandangan dan pendapat para Ulama
dapat diadobsi dan diterima di zaman sekarang; walaupun masa mereka sudah amat
jauh berlalu. Yang dimaksud di sini adalah pendapat-pendapat yang benar-benar
sesuai dengan standarisasi yang terdapat dalam Islam.
Berikut ini dipaparkan sebagian dari
standarisasi kebenaran dalam Islam, sesuai dengan apa yang diamalkan dan
dipraktekkan oleh generasi terbaik umat ini; yang selanjutnya diikuti oleh para
Ulama terkemuka pada setiap generasi mereka.
1. Berpegang Kepada Al-Qur’ân.
Meyakininya Sebagai Wahyu Yang Mutlak Kebenarannya. Maka Segala Pendapat Dan
Pandangan Yang Bertentangan Dan Berseberangan Dengan Kebenaran Al-Qur’ân
Dinyatakan Sesat Dan Batil Secara Mutlak.
ﻗﺎَﻝَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّ : « ﻛُﻞُّ ﻣُﺘَﻜَﻠِّﻢٍ
ﻋَﻠَﻰ ﺍْﻟﻜِﺘﺎَﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻓَﻬُﻮَ ﺍﻟْﺤَﺪُّ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳَﺠِﺐُ، ﻭَﻛُﻞُّ
ﻣُﺘَﻜَﻠِّﻢٍ ﻋَﻠﻰَ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﺻْﻞِ ﻛِﺘَﺎﺏٍ ﻭَﻻَ ﺳُﻨَّﺔٍ ﻓَﻬُﻮَ ﻫَﺬَﻳَﺎﻥٌ » (
ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻓﻲ « ﻣﻨﺎﻗﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ (
Imam Syafi’i berkata: “Setiap orang yang
berbicara berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah, maka (ucapan) itu adalah ketentuan
yang wajib diikuti. Dan setiap orang yang berbicara tidak berlandaskan kepada
al-Qur’ân dan Sunnah, maka (ucapannya) itu adalah kebingungan”[1]
.
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻤُﺰَﻧِﻲْ ﻭَﺍﻟﺮَّﺑِﻴْﻊُ ﻛُﻨَّﺎ ﻳَﻮْﻣﺎً
ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﺇِﺫْ ﺟَﺎﺀَ ﺷَﻴْﺦٌ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﺃَﺳْﺄَﻝُ ﻗﺎَﻝَ
ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّ ﺳَﻞْ ﻗﺎَﻝَ ﺇِﻳْﺶٌ ﺍﻟْﺤُﺠَّﺔُ ﻓِﻲْ ﺩِﻳْﻦِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻘَﺎﻝَ
ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻗﺎَﻝَ ﻭَﻣَﺎﺫَﺍ ﻗﺎَﻝَ ﺳُﻨَّﺔُ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ …”
Al Muzany dan ar-Rabî’ berkata: “Pada
suatu hari saat kami berada di samping Imam Syâfi’i, tiba-tiba datang seorang
orang tua lalu ia berkata kepada Imam Syâfi’i: “Aku ingin bertanya.” Jawab Imam
Syâfi’i: “Silakan.” Lalu ia berkata: “Apakah hujjah dalam agama Allah Azza wa Jalla
?” Maka Imam Syâfi’i menjawab: “Kitab Allah Azza wa Jalla (al-Qur’ân).” Ia
bertanya lagi: “Kemudian apa?” Jawab Syâfi’i: “Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ” “[2]
Di sini terlihat bahwa Imam Syâfi’i
sangat mengagungkan al-Qur’ân dalam berdalil. Menurut Imam Syâfi’i mestinya
setiap orang menjadikan al-Qur’ân sebagai pedoman saat menentukan sebuah hukum
atau berpendapat. Jika hal ini ia dilakukan, maka pendapatnya berhak untuk
diterima. Sebaliknya bila tidak pendapatnya adalah sebuah kebingungan. Orang
tersebut adalah sibingung yang membuat kebingungan di tengah masyarakat.
Betapa banyaknya orang zaman sekarang
yang membuat kebingungan di tengah masyarakat dengan pendapat-pendapatnya. Baik
dalam hal keyakinan beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang
seolah-olah bebas melontarkan segala pendapat yang terlintas di benaknya, tanpa
pertimbangan terlebih dahulu.
Bahkan menurut Imam Syâfi’i pendapat dan
pemahaman yang tidak berdasarkan kapada dalil al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bisikan-bisikan setan. Betapa banyak di
zaman sekarang orang yang mengikuti bisikan-bisikan setan. Semoga Allah Azza wa
Jalla melindungi kaum Muslimin dari fitnah mereka.
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻤُﺰَﻧِﻲْ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲَّ
ﻳَﻘُﻮْﻝُ “ ﻣَﻦْ ﺗَﻌَﻠَّﻢ َﺍْﻟﻘُﺮﺁﻥَ ﻋَﻈُﻤَﺖْ ﻗِﻴْﻤَﺘُﻪُ ”
Berkata al-Muzany: aku mendengar Syâfi’i
berkata: “Barangsiapa yang mempelajari al-Qur’ân telah tinggi kedudukannya”[3]
.
Demikianlah, Imam Syâfi’i rahimahullah
sangat menghargai orang-orang yang mempelajari al-Qur’ân, sebagai motivasi bagi
mereka agar bersungguh-sungguh untuk mempelajari al-Qur’ân. Sekaligus
menegaskan kepada kita untuk menghormati orang yang mempelajari dan mengamalkan
hukum-hukum al-Qur’ân. Oleh sebab itu Allah Azza wa Jalla mengangkat derajat
orang yang mempelajari al-Qur’ân dan merendahkan derajat orang yang tidak mau
mempelajari dan mengamalkan al-Qur’ân. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﺮْﻓَﻊُ ﺑِﻬَﺬَﺍ ﺍْﻟﻜِﺘَﺎﺏِ
ﺃَﻗْﻮَﺍﻣًﺎ ﻭَﻳَﻀَﻊُ ﺑِﻪِ ﺁﺧَﺮِﻳْﻦَ
Sesungguhnya Allah meninggikan dengan
kitab ini (al-Qur’ân) kedudukan beberapa kaum dan merendahkan dengannya
kedudukan yang lain. [HR. Muslim]
Allah Azza wa Jalla mengangkat derajat
orang mau menerima ajaran al-Qur`ân dan berjuangan untuk menegakkannya di
tengah-tengah umat manusia. Sebaliknya Allah Azza wa Jalla hinakan dan
rendahkan derajat orang yang menetang ajaran al-Qur’ân atau merendahkan
orang-orang mengamalkannya dan berjuang untuk menegakkannya di tengah-tengah
umat manusia.
Sebagian orang di masa sekarang ada yang
meremehkan orang-orang yang mempelajari dan mengamalkan al-Qur’ân dalam
berakidah, beribadah, bermu’alah dan berakhlak. Apalagi yang mengajak untuk
menjalankan al-Qur’ân dalam segala aspek kehidupan. Mereka dianggap sebagai kaum
terbelakang dan anti moderenisme. Mereka diejek dengan berbagai tuduhan-tuduhan
dusta. Sebaliknya, orang-orang yang merusak ajaran al-Qur’ân justru disanjung
dan dipuji. Bahkan sebahagian mereka berani mengatakan bahwa sebab
keterbelakangan adalah akibat menjalankan al-Qur’ân. Mereka menganggap
teori-teori mereka jauh lebih jitu dan lebih hebat daripada al-Qur’ân. Demi
Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya ini adalah suatu kekufuran dan kebohongan
yang nyata terhadap al-Qur’ân.
Hal ini tidak beda dengan sikap kaum
kafir, mereka sudah merasa cukup dengan ilmu pengetahuan yang ada pada mereka.
Mereka tidak merasa perlu lagi dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh
rasul-rasul. Justru, mereka memandang enteng dan memperolok-olok keterangan
yang dibawa rasul-rasul itu. Allah Azza wa Jalla berfirman :
ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَﺗْﻬُﻢْ ﺭُﺳُﻠُﻬُﻢْ ﺑِﺎﻟْﺒَﻴِّﻨَﺎﺕِ
ﻓَﺮِﺣُﻮﺍ ﺑِﻤَﺎ ﻋِﻨْﺪَﻫُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻭَﺣَﺎﻕَ ﺑِﻬِﻢْ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺑِﻪِ
ﻳَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ
Maka tatkala datang kepada mereka
rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan,
mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka
dikepung oleh azab Allah yang senantiasa mereka perolok-olokkan
[al-Mukmin/40:83]
Banyak sekali ayat maupun hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang wajibnya berpegang
kepada al-Qur’ân.
Di antaranya, firman Allah Azza wa Jalla
:
ﺍﺗَّﺒِﻌُﻮﺍ ﻣَﺎ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﺇِﻟَﻴْﻜُﻢْ ﻣِﻦْ
ﺭَﺑِّﻜُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﺩُﻭﻧِﻪِ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺀَ ۗ ﻗَﻠِﻴﻠًﺎ ﻣَﺎ
ﺗَﺬَﻛَّﺮُﻭﻥَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu
dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat
sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A`râf/7:3]
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
ﻭَﻗَﺪْ ﺗَﺮَﻛْﺖُ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﻟَﻦْ ﺗَﻀِﻠُّﻮﺍ
ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﺇِﻥِ ﺍﻋْﺘَﺼَﻤْﺘُﻢْ ﺑِﻪِ ﻛِﺘَﺎﺏَ ﺍﻟﻠَّﻪِ
Dan sesungguhnya aku telah meninggalkan
pada kalian sesuatu, kalian tidak akan sesat selamanya jika kalian berpegang
dengannya, yaitu kitab Allah. [HR. Muslim]
2. Berpegang Pada Sunnah.
Sunnah adalah sejoli al-Qur’ân;
kedua-duanya adalah wahyu yang wajib kita ikuti, sebagaimana firman Allah Azza
wa Jalla :
ﻭَﻣَﺎ ﻳَﻨْﻄِﻖُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻬَﻮَﻯٰ ﺇِﻥْ ﻫُﻮَ ﺇِﻟَّﺎ
ﻭَﺣْﻲٌ ﻳُﻮﺣَﻰٰ ﻋَﻠَّﻤَﻪُ ﺷَﺪِﻳﺪُ ﺍﻟْﻘُﻮَﻯٰ
Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(al-Qur`ân) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [an-Najm/53:3-5]
ﻭَﻟَﻮْ ﺗَﻘَﻮَّﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﺑَﻌْﺾَ ﺍﻟْﺄَﻗَﺎﻭِﻳﻞِ
ﻟَﺄَﺧَﺬْﻧَﺎ ﻣِﻨْﻪُ ﺑِﺎﻟْﻴَﻤِﻴﻦِ ﺛُﻢَّ ﻟَﻘَﻄَﻌْﻨَﺎ ﻣِﻨْﻪُ ﺍﻟْﻮَﺗِﻴﻦَ
Seandainya dia (Muhammad) mengadakan
sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada
tangan kanannya, Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.
[al-Haqqah/69:54-56]
Dua ayat di atas menjelaskan kepada kita
tentang kevalidan sunnah sebagai hujjah dalam agama Islam. Oleh sebab itu Allah
Azza wa Jalla mewajibkan kita berpegang teguh kepada sunnah.
Dalam pengamalan, seorang Muslim tidak
boleh membedakan-bedakan antara al-Qur’ân dan sunnah. Orang yang
membeda-bedakan antara al-Qur’ân dan Sunnah dalam hal pengamalannya,
sesungguhnya ia telah membeda-bedakan pula antara taat kepada Allah Azza wa
Jalla dan taat kepada Rasul-Nya. Ini adalah sikap yang dianggap menyelisihi
al-Qur’ân itu sendiri, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla.
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻜْﻔُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ
ﻭَﺭُﺳُﻠِﻪِ ﻭَﻳُﺮِﻳﺪُﻭﻥَ ﺃَﻥْ ﻳُﻔَﺮِّﻗُﻮﺍ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭُﺳُﻠِﻪِ ﻭَﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ
ﻧُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺒَﻌْﺾٍ ﻭَﻧَﻜْﻔُﺮُ ﺑِﺒَﻌْﺾٍ ﻭَﻳُﺮِﻳﺪُﻭﻥَ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَّﺨِﺬُﻭﺍ ﺑَﻴْﻦَ
ﺫَٰﻟِﻚَ ﺳَﺒِﻴﻠًﺎ ﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻜَﺎﻓِﺮُﻭﻥَ ﺣَﻘًّﺎ ۚ ﻭَﺃَﻋْﺘَﺪْﻧَﺎ ﻟِﻠْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ
ﻋَﺬَﺍﺑًﺎ ﻣُﻬِﻴﻨًﺎ
”Sesungguhnya orang-orang yang kafir
kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan
kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang
sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud
(dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman
atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan”.
[an-Nisâ/4/150-151]
Sebagai konsekuensi ketaatan kita kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kita wajib menerima semua yang beliau
perintahkan dan beliau sampaikan, termasuk hadits-hadits yang berkategori ahad.
Karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
ﻭَﻣَﺎ ﺁﺗَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝُ ﻓَﺨُﺬُﻭﻩُ ﻭَﻣَﺎ
ﻧَﻬَﺎﻛُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬُﻮﺍ
Apa yang dibawa Rasul kepada kalian, maka
ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59:7]
Orang yang menolak sunnah, niscaya mereka
akan ditimpa oleh fitnah kesesatan waktu di dunia dan diancam azab yang pedih
di akhirat. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ﻓَﻠْﻴَﺤْﺬَﺭِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻔُﻮﻥَ ﻋَﻦْ
ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﺃَﻥْ ﺗُﺼِﻴﺒَﻬُﻢْ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﺃَﻭْ ﻳُﺼِﻴﺒَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
[an-Nûr/24:63]
Tidak Membedakan Dalam Masalah Ibadah Dan
Masalah Akidah.
Dalam mengamalkan dan menerima sunnah
kita tidak boleh membedakan-bedakan antara hadits ahad dalam masalah akidah dan
masalah ibadah, sebagaimana pandangan orang-orang ahli kalam.
Firman Allah Azza wa Jalla :
ﻓَﻠَﺎ ﻭَﺭَﺑِّﻚَ ﻟَﺎ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺣَﺘَّﻰٰ
ﻳُﺤَﻜِّﻤُﻮﻙَ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺷَﺠَﺮَ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺛُﻢَّ ﻟَﺎ ﻳَﺠِﺪُﻭﺍ ﻓِﻲ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ
ﺣَﺮَﺟًﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﻗَﻀَﻴْﺖَ ﻭَﻳُﺴَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ
Maka demi rabbmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.[an-Nisâ`/4:65]
Dalam segala hal yang kita berbeda
pandangan baik secara akidah maupun ibadah dan seterusnya; maka kita wajib
mengembalikannya kepada al-Qur’ân dan sunnah berdasarkan firman Allah Azza wa
Jalla :
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ
ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻭَﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ۖ ﻓَﺈِﻥْ
ﺗَﻨَﺎﺯَﻋْﺘُﻢْ ﻓِﻲ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺮُﺩُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ
ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ۚ ﺫَٰﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦُ
ﺗَﺄْﻭِﻳﻠًﺎ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al
Qur`ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
[an-Nisâ`/4:59]
3. Dalam Memahami Al-Qur’ân Dan Sunnah
Merujuk Kepada Pemahaman Para Sahabat.
Dalil yang mewajibkan kita untuk merujuk
dalam memahami kitab dan sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shaleh, berikut
di antaranya :
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ﻭَﺍﻟﺴَّﺎﺑِﻘُﻮﻥَ ﺍْﻷَﻭَّﻟُﻮﻥَ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻳﻦَ ﻭَﺍْﻷَﻧْﺼَﺎﺭِ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺍﺗَّﺒَﻌُﻮﻫُﻢْ ﺑِﺈِﺣْﺴَﺎﻥٍ ﺭَﺿِﻲَ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﻭَﺭَﺿُﻮﺍ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺃَﻋَﺪَّ ﻟَﻬُﻢْ ﺟَﻨَّﺎﺕٍ ﺗَﺠْﺮِﻱ ﺗَﺤْﺘَﻬَﺎ
ﺍْﻷَﻧْﻬَﺎﺭُ ﺧَﺎﻟِﺪِﻳﻦَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺃَﺑَﺪًﺍ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﻔَﻮْﺯُ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar.[at-Taubah/9:100]
Imam Ibnu Katsîr berkata ketika
menafsirkan ayat di atas: “Maka sesungguhnya Allah yang Maha agung telah
memberitahu, bahwa Allah Azza wa Jalla telah ridha terhadap generasi terkemuka
yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik. Maka celakalah orang yang membenci dan mencela
mereka. Atau membenci dan mencela sebagian mereka. terutama penghulu para
Sahabat yang terbaik dan paling mulia setelah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Yang aku maksud as-Shiddîq yang mulia, khalifah yang agung, Abu Bakar
bin Quhafah Radhiyallahu anhu. Sesungguhnya kelompok yang hina dari orang-orang
Rafidhah memusuhi para Sahabat yang mulia, mereka membenci dan mencaci para
Sahabat. Kita berlindung dengan dari hal yang demikian. Ini menunjukkan bahwa
akal mereka terbalik, dan hati mereka tertelungkup. Di mana keimanan mereka
kepada al-Qur’ân, ketika mereka mencaci maki orang-orang yang diridhai oleh
Allah Azza wa Jalla ?! Adapun Ahlus sunnah ; mereka meridhai orang yang
diridhai Allah Azza wa Jalla dan mencela orang yang dicela oleh Allah Azza wa
Jalla . Mereka berolayalitas kepada orang yang cintai Allah Azza wa Jalla dan
memusuhi orang yang memusuhi Allah Azza wa Jalla . Mereka mengikuti tidak
melakukan bid’ah. Karena itu mereka adalah golongan Allah Azza wa Jalla yang
menang, hamba-hamba-Nya yang beriman”[4] .
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻗَﺮْﻧِﻰ ﺛُﻢَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﻳَﻠُﻮﻧَﻬُﻢْ ﺛُﻢَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻠُﻮﻧَﻬُﻢْ
Sebaik-baik manusia dalah generasiku,
kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka
[Muttafaq`alaihi]
Peringkat kebaikan tertinggi yang
diberikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambagi para Sahabat, Tâbi’în dan
Tâbi’ ut Tâbi’în dalam hadits ini adalah dalam segi pemahaman dan pengamalan
ilmu serta dalam hal menyampaikannya kepada umat. Secara tidak langsung
terkandung di dalamnya perintah bagi umat untuk menjadikan mereka sebagai
panutan dan acuan dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’ân dan Sunnah; serta
untuk menyampaikannya kepada umat manusia.
Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallamyang lain disebutkan yang artinya:
Dari ‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu
anhu Pada suatau hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimani
kami shalat subuh. Kemudian beliau menghadap kami (setelah salam) dan memberi
nasehat yang sangat dalam; membuat air mata bercucuran, membuat hati bergetar
ketakutan. Salah seorang berkata: “Ini bagaikan nasehat perpisahan wahai
Rasulullah! Apa wasiat engkau kepada kami?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: “Aku wasiatkan, dengar dan patuhlah kepada penguasa sekalipun
ia seorang budak Habasyi yang cacat. Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian
yang hidup lama setelahku, pasti akan melihat perpecahan yang banyak. Maka
berpeganglah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafâ’ ar-râsyidîn
al-mahdiyîn. Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan geraham. Dah hati-hatilah
kalian terhadap perkara-perkara yang baru dalam hal beragama. Karena perkara
yang baru dalam hal beragama adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Dalam hadits ini Rasullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak hanya menegaskan agar kita berpegang dengan sunnah
beliau; tetapi juga menekankan agar kita berpegang kepada sunnah para Sahabat.
Karena sudah semestinya seorang yang mengaku sebagai Muslim berpegang kepada
al-Qur’ân dan Sunnah. Namun amat jarang orang memperhatikan sunnah para Sahabat
dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’ân dan Sunnah tersebut. Terlebih lagi ketika
terdapat perbedaan pendapat dalam permasalahan agama. Sering mereka kemukakan
pemahamannya sendiri atau pendapat tuan guru, figur dan pimpinan organisasinya.
Demikian pula dalam hadits yang
menerangkan tentang perpecahan umat ini ke dalam tujuh puluh tiga golongan:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮْﺩَ ﺍﺧْﺘَﻠَﻔُﻮْﺍ ﻋَﻠﻰَ ﺇِﺣْﺪَﻯ
ﻭَﺳَﺒْﻌِﻴْﻦَ ﻓِﺮْﻗَﺔً، ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ ﺍﺧْﺘَﻠَﻔُﻮْﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﺛْﻨَﺘَﻴْﻦِ
ﻭَﺳَﺒْﻌِﻴْﻦَ ﻓِﺮْﻗَﺔً ﻭَﺳَﺘَﻔْﺘَﺮِﻕُ ﻫَﺬِﻩِ ﺍْﻷَﻣَّﺔِ ﻋَﻠَﻰ ﺛَﻼَﺙٍ ﻭَﺳَﺒْﻌِﻴْﻦَ
ﻓِﺮْﻗَﺔً، ﻛُﻠُّﻬَﺎ ﻓِﻲْ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﺇِﻻَّ ﻭَﺍﺣِﺪَﺓً . ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ : ﻣَﻦْ ﻫُﻢْ ﻳَﺎ
ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻗﺎَﻝَ : “ ﻣﺎَ ﺃَﻧﺎَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻲْ”
Sesungguhnya orang Yahudi terpecah
menjadi tujuh puluh satu golongan dan orang terpecah menjadi tujuh puluh dua
golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.
Seluruhnya masuk neraka kecuali satu. Sahabat bertanya siapa mereka ya
Rasulullah ? Jawab beliau: “Apa yang aku berada di atasnya dan para
Sahabatku”.[HR at-Tirmidzi dan selainnya, di hasankan oleh Syaikh al-Albâni]
Dalam hadits yang di atas Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan golongan yang selamat dari tujuh
puluh tiga golongan tersebut, yaitu orang yang pemahaman, amalan dan dakwahnya
sesuai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya mengatakan orang yang berpegang
dengan sunnah semata tapi juga memahami dan mengamalkan sunnah tersebut sesuai
dengan pemahaman dan pengamalan para Sahabat.
Umar bin Abdul ‘Azîz rahimahullah
berkata:
ﺳَﻦَّ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻭُﻻَﺓُ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ
ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﺳُﻨَﻨًﺎ ﺍْﻷَﺧْﺬُ ﺑِﻬَﺎ ﺗَﺼْﺪِﻳْﻖٌ ﻟِﻜِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﺳْﺘِﻜْﻤَﺎﻝٍ
ﻟِﻄَﺎﻋَﺔِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻗُﻮَّﺓٍ ﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳْﻦِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻟَﻴْﺲَ ِﻷَﺣَﺪٍ ﺗَﺒْﺪِﻳْﻠُﻬَﺎ ﻭَﻻَ
ﺗَﻐْﻴِﻴْﺮُﻫَﺎ ﻭَﻻَ ﺍﻟﻨَّﻈَﺮُ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺧَﺎﻟَﻔَﻬَﺎ ﻣَﻦِ ﺍﻗْﺘَﺪَﻯ ﺑِﻬَﺎ ﻓَﻬُﻮَ
ﻣُﻬْﺘَﺪٍ ﻭَﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﻨْﺼَﺮَ ﺑِﻬَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﻨْﺼُﻮْﺭٌ ﻭَﻣَﻦْ ﺧَﺎﻟَﻔَﻬَﺎ
ﻭَﺍﺗَّﺒَﻊَ ﻏَﻴْﺮَ ﺳَﺒِﻴْﻞِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﻻَّﻩُ ﺍﻟﻠﻪ ُﻣَﺎ ﺗَﻮَﻟَّﻰ
ﻭَﺃَﺻْﻼَﻩُ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﻭَﺳَﺎﺀَﺕْ ﻣَﺼِﻴْﺮًﺍ
Rasulullah dan para penguasa setelahnya
telah menetapkan sunnah-sunnah. Mengambilnya adalah pembenaran terhadap kitab
Allah dan penyempurnaan bagi ketaatan kepada Allah serta memberi kekuatan di
atas agama Allah. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk merubahnya, dan tidak
pula menukarnya, dan tidak pula melihat kepada sesuatu yang menyelisihinya.
Barangsiapa yang mengambil petunjuk dengannya maka dia akan mendapat petunjuk.
Barangsiapa yang mencari kemenangan dengannya maka dia akan ditolong.
Barangsiapa yang menyelisihinya dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang
Mukmin, niscaya Allah memalingkannya kemana dia berpaling. Dan akan
memasukkannya ke dalam neraka Jahanam yang sejelek-jelek tempat [5]
Betapa indahnya ungkapan Imam Syâfi’i
rahimahullah tentang kedudukan Sahabat Radhiyallahu anhum:
ﻫُﻢْ ﻓَﻮْﻗَﻨَﺎ ﻓِﻲْ ﻛُﻞِّ ﻋِﻠْﻢٍ ﻭَﻋَﻘْﻞٍ
ﻭَﺩِﻳْﻦٍ ﻭَﻓَﻀْﻞٍ ﻭَﻛُﻞِّ ﺳَﺒَﺐٍ ﻳُﻨَﺎﻝُ ﺑِﻪِ ﻋِﻠْﻢٌ ﺃَﻭْ ﻳُﺪْﺭَﻙُ ﺑِﻪِ ﻫُﺪًﻯ
ﻭَﺭَﺃُﻳُﻬُﻢْ ﻟَﻨَﺎ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺭَﺃْﻳِﻨَﺎ ِﻷَﻧْﻔُﺴِﻨَﺎ
Mereka di atas kita dalam segala bidang
ilmu, pemikiran, agama dan keutamaan. Serta dalam segala sebab yang diperoleh
dengannya ilmu atau diketahui dengan petunjuk. Pendapat mereka lebih baik untuk
kita, daripada pendapat kita sendiri untuk diri kita[6]”
4. Meneliti Keshahîhan Dalil.
Hal ini hanya berlaku ketika menjadikan
hadits sebagai dalil, maka hadits yang dijadikan dalil selemah-lemah derajatnya
adalah hasan lighairih. Sebaliknya tidak berpegang kepada hadits-hadits dhaîf,
apalagi kepada mimpi dan khayalan dan akal yang rusak.
Di antara sebab timbulnya sebuah
kesesatan dan bid’ah adalah karena berpegang kepada hadits-hadits yang lemah
atau palsu. Seperti hadits yang menjadi pegangan orang-orang Ahlulkalam
(Rasionalisme) :
ﺃَﻭَّﻝُ ﻣَﺎ ﺧَﻠَﻘَﻪُ ﺍﻟﻠﻪ ُﺍﻟْﻌَﻘْﻞُ
Yang pertama kali diciptakan Allah adalah
akal
Sebagian orang ada pula yang berpegang
kepada mimpi dalam melestarikan sebuah kesesatan dan bid’ah. Seperti bermimpi
bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamatau orang shaleh lalu
mengajarkan sesuatu kepadanya dalam mimpi tersebut. Ini suatu kekeliruan yang
amat nyata, sebab mimpi tidak layak untuk dijadikan hujjah dalam agama, apalagi
menentang sesuatu yang sudah baku dalam agama. Jika dalam mimpi ia
diperintahkan kepada sesuatu yang sesuai dengan tuntunan agama, maka ia
mengambilnya bukan sebagai dalil utama tetapi sebagai pendukung saja. Kenapa
kita harus termotivasi dengan mimpi! Tetapi tidak termotivasi dengan perintah
yang secara tegas disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu
beliau hidup.
Apalagi kebanyakan orang yang mengaku
bermimpi tersebut tidak jujur, cuma demi untuk membuatnya tenar dan disanjung
di depan orang ramai serta di anggap memiliki keistimewaan. Dan yang lebih
sesat lagi bermimpi mendapat ajaran baru atau dibebaskan dari menjalankan
perintah-perintah agama.
5. Keshahîhan Dalam Beristidlâl
(Menempatkan Dalil). Tidak Sebatas Keshahîhan Dalil Tetapi Perlu Lagi
Keshahîhan Dalam Beristidlal Ketika Mengambil Sebuah Hukum Dari Dalil Tersebut.
Di antara hal yang penting lagi setelah meneliti
keshahîhan dalil adalah meneliti keshahîhan dalam beristilal yaitu benar dalam
mengambil hukum dari sebuah dalil tersebut. Betapa banyak sekali kelompok sesat
yang memutarbalikkan pengertian dalil yang shahîh.
Berikut ini beberapa contoh tindakan gegebah
orang-orang sesat dalah mengambil sebuah hukum dari sebuah dalil.
Dalam sebuah buletin orang tarekat
menyebutkan tentang kebenaran bertarekat adalah firman Allah Azza wa Jalla :
ﻭَﺃَﻥْ ﻟَﻮِ ﺍﺳْﺘَﻘَﺎﻣُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳﻘَﺔِ
ﻟَﺄَﺳْﻘَﻴْﻨَﺎﻫُﻢْ ﻣَﺎﺀً ﻏَﺪَﻗًﺎ
Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap
istiqamah di atas jalan itu (tharîqah), benar-benar Kami akan memberi minum
kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).[al-Jinn/72:16]
Kata-kata Tharîqah mereka terjemahkan
dengan sesukanya saja, yaitu tarikat. Padahal semua orang Muslim tahu bahwa
tarikat tersebut tidak pernah ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam demikian pula di masa tâbi’în dan tâbi’ tâbi”în. Yang dimaksud dengan
tharîqah dalam ayat tersebut adalah jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yaitu agama Islam. Tidak ada seorangpun Ulama yang menafsirkan ayat
tersebut dengan penafsiran sesat ahli tarikat tersebut.
Dalam tafsir Jalalain yaitu tafsir
kebanggaan orang-orang tarekat di sebutkan:
ﻟَﻮِ ﺍﺳْﺘَﻘَﺎﻣُﻮْﺍ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻘَﺔِ ﺃَﻱْ
ﻃَﺮِﻳْﻘَﺔُ ﺍْﻹِﺳْﻼَﻡِ
Dan jika mereka tetap istiqâmah di atas
at-tharîqah (jalan) maksudnya adalah “Tharîqah (jalan) Islam [7] “.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain,
seperti orang-orang eling (Jawa-ingat) yang berhujjah dengan firman Allah Azza
wa Jalla :
ﻭَﺃَﻗِﻢِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﻟِﺬِﻛْﺮِﻱ
Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku
[Thaha/20:14]
Mereka memahami ayat tersebut, bahwa bila
sudah ingat Allah Azza wa Jalla berarti sudah shalat. Semua orang Islam
mengetahui tentang kesesatan penafsiran mereka tersebut. Karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah memahami ayat
tersebut seperti penafsiran sesat mereka. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah mengajarkan bahwa shalat ada tata caranya, ada waktunya, ada
bacaa-bacaannya, ada rukunnya, ada syaratnya, ada hal-hal yang membatalkannya.
6. Berpegang Kepada Ijmâ’.
Sebuah pendapat dan pemahaman tidak boleh
bertentangan dengan ijmâ’ para Ulama. Ijmâ’adalah kesepakatan para Ulama dalam
satu masa terhadap sebuah hukum. Sumber ijmâ’ adalah al-Qur’ân dan Sunnah.
Terjadinya ijmâ’ karena begitu banyak dalil dan penjelasan persoalan tersebut
dalam agama ini. Tidak ada lagi keraguan tentang hal tersebut. Sehingga semua
orang yang berilmu bersepakat dalam hal tersebut. Ini menunjukkan tentang
kevalitannya untuk dijadikan hujjah. Karena tidak ada perbedaan dalam
menetapkannya. Seperti ijmâ’ tentang bahwa al-Qur’ân terjaga keasliannya dan
kemurniannya sampai hari kiamat. Bila ada orang yang melanggar kesepakantan
ijmâ’ maka ia telah bertolak belakang dengan banyak dalil dan banyak Ulama.
Oleh sebab itu Imam Syâfi’i menyebutkan
tentang hujjah ijmâ’ dalam al-Qur’ân, yaitu firman Allah Azza wa Jalla : [8]
ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﺸَﺎﻗِﻖِ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻣَﺎ
ﺗَﺒَﻴَّﻦَ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯٰ ﻭَﻳَﺘَّﺒِﻊْ ﻏَﻴْﺮَ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻧُﻮَﻟِّﻪِ
ﻣَﺎ ﺗَﻮَﻟَّﻰٰ ﻭَﻧُﺼْﻠِﻪِ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ۖ ﻭَﺳَﺎﺀَﺕْ ﻣَﺼِﻴﺮًﺍ
Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami palingkan ia kemana ia hendak berpaling dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.[an-Nisâ`/4:115]
Dalam ayat yang mulia ini terdapat
beberapa ancaman bagi orang yang melanggar ijmâ’:
1. Waktu di dunia ia akan dibiarkan Allah
Azza wa Jalla bergelimang dan terombang-ambing dalam kesesatannya.
2. Di akhirat kelak ia kan dikembalikan
kepada tempat yang sejelek-jeleknya yaitu neraka Jahannam yang menyala-nyala.
Demikian pula dalam hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan:
ﺇِﻥَّ ﺃُﻣَّﺘِﻲْ ﻻَ ﺗَﺠْﺘَﻤِﻊُ ﻋَﻠﻰَ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ
Sesungguhnya Umatku tidak akan pernah
bersepakat di atas sebuah kesesatan. [HR. Abu Dâwud 4253; at-Tirmidzi 2167 dan
Ibnu Mâjah 3590. dishahîhkan al-Albâni dalam dhilâlul jannah]
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa
kesepakatan para Ulama dalam menetapkan sebuah hukum amat jauh dari kesesatan.
Bahkan telah dijamin oleh Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan
pernah terjadi ijmâ’ dalam sebuah kesesatan.
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺮِّﺳَﺎﻟَﺔِ ﻭَﻣَﻦْ
ﻗَﺎﻝَ ﺑِﻤَﺎ ﺗَﻘُﻮْﻝُ ﺑِﻪِ ﺟَﻤَﺎﻋَﺔُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻓَﻘَﺪْ ﻟَﺰِﻡَ
ﺟَﻤَﺎﻋَﺘَﻬُﻢْ، ﻭَﻣَﻦْ ﺧَﺎﻟَﻒَ ﻣَﺎ ﺗَﻘُﻮْﻝُ ﺑِﻪِ ﺟَﻤَﺎﻋَﺔُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ
ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺎﻟَﻒَ ﺟَﻤَﺎﻋَﺘَﻬُﻢُ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻠُﺰُﻭْﻣِﻬَﺎ، ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺗَﻜُﻮْﻥُ
ﺍﻟْﻐَﻔْﻠَﺔِ ﻓِﻲْ ﺍﻟﻔُﺮْﻗَﺔِ، ﻓَﺄَﻣَّﺎ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔُ ﻓَﻼَ ﻳُﻤْﻜِﻦُ ﻓِﻴْﻬَﺎ
ﻛَﺎﻓَّﺔَ ﻏَﻔْﻠَﺔٍ ﻋَﻦْ ﻣَﻌْﻨَﻰ ﻛِﺘَﺎٍﺏ ﻭَﻻَ ﺳُﻨَّﺔٍ ﻭَﻻَ ﻗِﻴﺎَﺱٍ، ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ
ﺍﻟﻠﻪُ. ﺍﻧْﺘَﻬَﻰ
Berkata Imam Syâfi’i: “Barang yang
berkata sesuai dengan apa yang dikatakan oleh jamaah (ijmâ’) orang Islam, maka
berarti dia tetap konsiten dalam jamaah mereka. Dan barang siapa yang
menyelisihi apa yang dikatakan oleh jamaah (ijmâ’) orang Islam, maka berarti
dia telah keluar dari jamaah mereka yang diperintahkan untuk tetap di dalamnya.
Sesungguhnya kesalahan itu terdapat dalam berpecah belah. Adapun jamaah maka
tidak akan mungkin seluruhnya tersalah dalam memahami makna al-Qur’ân dan
Sunnah begitu pula Qiyâs. Insya Allâh”. [“Ar Risâlah” hal: 475]
7. Bertopang Kepada Qiyâs Yang Shahîh,
Sebaliknya Tidak Menyadarkan Sebuah Pemahaman Kepada Qiyâs Al-Fâsid.
Seperti mengqiyâskan sifat Allah Azza wa
Jalla dengan sifat makhluk, menqiyâskan alam barzakh dengan alam dunia,
menqiyâskan kejadian-kejadian pada hari akhirat dengan kejadian di dunia ini.
Demikian beberapa contoh standarisasi
kebenaran dalam Islam yang dapat disajikan, semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
05/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat: “Manâqib Asy Syâfi’i”: 470.
[2]. Lihat: “Ahkâmul Qur’ân”: 39.
[3]. Lihat: “Al-Muntazhim”: 10/137 &
“Shafwatush shafwah”: 2/254.
[4]. Lihat “tafsir Ibnu Katsîr”: 4/203.
[5]. Lihat “As-Sunnah”/`Abdullah bin
Ahmad”: 1/357.