Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam:
الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ
الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ
”Dosa-dosa besar adalah menyekutukan
Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh nyawa (orang lain) dan sumpah
ghamus.” (HR Bukhari)
Kesaksian Abdullah Bani’mah: Musibah yang
Menyebabkanku Lumpuh
Kun Fa Yakun (Musibah yang Menyebabkanku
Lumpuh)
Menyebabkan Aku LumpuhPada suatu hari
ayahku datang kepadaku dan berkata tentang suatu hal yang aku perbuat. Yaitu
sebuah perbuatan maksiat dan sebuah hal yang tidak diinginkan oleh setiap bapak
terjadi pada anaknya, maka iapun berkata kepadaku, ” Engkau merokok?!”
Aku berkata kala itu, ”Demi Allah yang
Mahaagung, aku tidaklah merokok !!”
Aku bersumpah atas nama Allah bahwa aku
tidak merokok, namun aku lupa dengan apa yang disabdakan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam:
الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ
الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ
”Dosa-dosa besar adalah menyekutukan
Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh nyawa (orang lain) dan sumpah
ghamus.” (HR Bukhari)
Sumpah ghamus adalah sumpah yang di
dalamnya ia berdusta dengan sengaja. Sumpah dusta tersebut menjerumuskan pelakunya
ke dalam dosa dan berhak untuk diadzab di neraka. Sumpah dusta ini tiada
baginya tebusan kecuali taubat yang sebenar-benarnya taubat. Wahai saudaraku,
jika sumpah seorang pendusta tidak ada baginya tebusan melainkan dengan taubat
yang benar, berapa banyakkah dari umat Islam sekarang ini yang berdusta dalam
sumpahnya?
Kemudian — ketika itu — aku mengangkat
suaraku di hadapan ayahku. Aku mempraktikkan sebuah pepatah ”Yakinkanlah mereka
dengan suara yang keras” karena sesungguhnya ayahku tidak melihatku merokok
secara langsung. Ia hanyalah mendengar tentangku saja. Aku telah mengangkat
suaraku padahal Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya
perkataan ”ah” dan janganlah kamu membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada
keduanya perkataan yang baik.” (QS Al-Isra: 23)
Subhanallah!! Kata “ah” saja merupakan
kedurhakaan yang paling kecil yang dapat mendatangkan kemurkaan Allah. Wahai
saudaraku, bagaimanakah halnya tatkala engkau mengangkat suaramu? Tentunya
perkataan yang keluar dari mulutmu itu lebih dari sekedar kata “ah”. Dan engkau
telah membuat ayahmu marah, padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
“Ridha Allah pada ridha orangtua dan
murka Allah pada murka orangtua.”
Sementara kematian datang seperti kilat,
datang hanya di antara dua huruf saja (كن ‘kun’) jadilah maka
jadilah. Allah Ta’ala hanya berkata ‘kun’ (jadilah), kata tersebut dapat
mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkan derajat kaum yang lain,
memuliakan atau menghinakan suatu kaum, melapangkan atau menyempitkan rezeki
suatu kaum, mematikan atau menghidupkan, dengan kata ‘kun’ saja…
Wahai saudaraku, bagaimana engkau dapat
mendurhakai ayahmu atau ibumu jika engkau tidak mengetahui kapan engkau mati?
Ketika aku berkata kepadanya, “Demi Allah
aku tidak merokok” dan aku mengangkat suaraku di hadapannya, jadilah suaraku
itu lebih tinggi dari suaranya, padahal dia sangat yakin bahwa aku merokok.
Lepaslah doa dari ayahku kepadaku, maka ia berkata: “Jika kamu berdusta, semoga
Allah mematahkan lehermu.”
Sekiranya saja wahai saudaraku, aku
meninggal seketika itu juga sungguh betapa meruginya aku, rugi kehidupanku
semuanya. Aku layak mendapatkan api neraka, karena ridha Allah terdapat pada
ridha orangtua dan marah Allah terdapat pada marah orangtua.
Baiklah wahai saudaraku…bagaimakah jika
halnya aku tidak meninggal…namun tatkala aku kembali ke rumah lantas aku
mendapati kedua orangtuaku itu yang lebih dahulu meninggal dunia? Atau
seandainya salah seorang dari kalian telah membuat ayahnya murka lalu ia
kembali dan mendapatinya telah menjadi mayat? Sekiranya anak yang meninggal
dahulu mungkin orangtuanya masih bisa memaafkan kesalahannya. Tetapi jika
ayahnya meninggal terlebih dahulu, siapa yang akan memaafkannya? Bagaimana ia
bertemu Rabbnya kelak pada hari kiamat?
Keesokan harinya aku pergi ke laut untuk
berenang bersama adikku dan teman-temanku. Selesai berenang di laut, kami pergi
ke kolam renang dekat pantai. Kolam renang masih dalam keadaan tertutup.
Teman-temanku hampir pulang. Aku tidak berputus asa dan melarang mereka pulang.
Aku punya ide untuk memanjat pagar. Akhirnya teman-temanku senang dengan ideku.
Kami memanjat pagar dan masuk ke kolam renang.
Kedalaman air kolam satu setengah meter
dan ada pula yang tiga meter. Tinggiku saat itu seratus delapan puluh dua senti
meter dalam keadaan sehat wal afiat. Saat itu aku terjun melompat ke kolam
renang. Allah telah menetapkan “Jadilah Anda lumpuh” maka seketika itu juga aku
lumpuh.
Dapatkah Anda membayangkan, berapakah
waktu yang ditempuh saat aku terjun sampai aku lumpuh? Hanya hitungan detik.
Aku bertanya kepadamu, bagaimana jika Allah memutuskan saat itu “Jadilah anda
mati”? Jika aku mati saat itu, di mana tempatku? Di surga atau di neraka?
Sebelumnya aku telah berbuat dosa dengan sumpah palsu, aku durhaka kepada orang
tuaku dengan meninggikan suaraku di hadapan ayahku; aku terlambat shalat Shubuh
padahal ayahku telah membangunkanku saat Shubuh tiba, tapi aku mengatakan “ya”
dan setelah ayahku pergi aku tidur lagi sampai bangun kesiangan dan shalat
terlambat. Padahal Allah berfirman,
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya…” (QS Al-Ma’un: 4-5)
Aku bergaul dengan teman-teman yang tidak
baik. Jika aku meninggal saat itu, bukankah aku meninggal dalam keadaan su’ul khatimah
(akhir yang buruk)? Allah Maha Penyayang, Allah memberikan kesempatan kepadaku
untuk bertaubat. Saat aku meluncur ke kolam renang, kepalaku membentur dasar
kolam renang dan kudengar suara leher patah dengan jelas beberapa kali.
Seketika itu juga aku lumpuh total tidak bisa menggerakkan badanku. Darah
keluar dari hidungku. Aku juga tidak bisa berbicara. Teman-temanku dan adikku
Haitsam yang ikut bersama kami tidak ada yang tahu kalau aku dalam keadaan
sekarat. Ada seorang temanku yang curiga dan berkata kepada adikku bahwa aku
belum juga muncul dari dasar kolam. Adikku menjawab, “Kakakku gemar menyelam,
nanti juga akan muncul.” Kemudian adikku keluar dari kolam dan mengambil
sebatang rokok dari saku bajunya dan menyalakan korek api untuk merokok menjauh
dari kolam renang.
Aku sempat bertahan dan sadar sampai
sekitar beberapa menit. Biasanya aku mampu menyelam selama dua sampai dua
setengah menit. Tapi saat itu aku berjuang untuk bertahan hidup dan menahan
nafas lebih dari tiga menit. Aku sempat mengeluarkan nafas agar gelembung udara
di air bisa sampai di atas kolam dan terlihat oleh teman-temanku dan segera
menolongku.
Dalam keadaan sadar tersebut terlihat di
benakku rekaman film hidupku selama sembilan belas tahun. Sejak masa kecilku
sampai aku mengalami musibah ini. Aku banyak melakukan kemaksiatan. Terakhir
terlihat dalam film itu kejadian beberapa waktu yang lalu ketika aku bersedekah
kepada ibu pemulung dan membelikan makanan untuknya. Ibu pemulung tersebut
terharu dengan perbuatanku tersebut dan menengadahkan kedua tangannya
mendoakanku. Selesai makan ibu itu menengadahkan kedua tangannya kembali dan
mendoakanku kemudian pergi. Selesai melihat rekaman kejadian ibu pemulung
tersebut, Allah lapangkan dadaku, maka aku teringat hadits Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam,
” من كان
آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة ” رواه أبو داود
“Barangsiapa akhir ucapannya La ilaha
illallah maka ia akan masuk surga.” (HR Abu Daud dan dimuat oleh Syaikh Albani
dalam kitab Shahih Abu Daud )
Aku mengucapkan dua kalimat syahadat
dengan menggerakkan bibirku. Setelah itu aku kemasukan air dan pingsan tak
sadarkan diri dalam air. Adikku selesai merokok kembali ke kolam renang dan
belum melihatku muncul dari dasar kolam. Ia lalu mencariku dan menemukanku
pingsan dalam air. Segera ia mengangkatku dibantu teman-temanku. Ia berusaha
mengeluarkan air dari perutku. Adikku melihat kepalaku dalam keadaan terbalik
dan segera membawaku ke rumah sakit.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, salah
seorang temanku membuat nafas buatan dari mulutnya ke mulutku. Aku sempat
siuman dan mengatakan kepada adikku dan teman-temanku bahwa aku lumpuh. Aku
berpesan agar adikku menelpon ke rumah, jika ibuku yang mengangkat telpon
jangan beritahukan keadaanku tapi jika ayahku yang mengangkat telpon maka
beritahukan kepadanya. Adikku menelpon ke rumah dan ayahku yang mengangkat
telpon dan segera ayahku ke rumah sakit King Fahd. Tidak lama kemudian ibuku
datang ke rumah sakit sambil menangis.
Setelah kejadian tersebut ayahku
menyesal, menangis melihat penderitaanku. Aku tidaklah menyalahkan ayahku, aku
menyalahkan diriku sendiri. Ini semua merupakan takdir Allah yang mesti aku
terima dengan ridha dan berprasangka baik kepada Allah. Ayahku mendoakanku
dengan kebaikan setelah kejadian tersebut “Allahu yakhtaru laka ath thayyib”
“Semoga Allah memilihkan kebaikan untukmu”, “Allahu yakfika syarraka” “Semoga
Allah mencukupimu dari keburukanmu” Ibuku mendoakanku “Semoga Allah mengganti
teman-temanmu dengan teman-teman yang saleh.”
(Saat Hidayah Menyapa, Fariq Gasim Anuz,
Daun Publishing, 2010)