Banyak orang terkejut ketika seorang ulama Wahabi mengusulkan agar
kitab-kitab Imam Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, diajarkan di
pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah Islam di Indonesia.
Hal itu karena selama ini dikesankan
bahwa paham Wahabi yang dianut oleh pemerintah dan mayoritas warga Arab Saudi
itu berseberangan dengan ajaran Nahdlatul Ulama yang merupakan mayoritas umat
Islam Indonesia.
Tampaknya selama ini ada kesalahan informasi tentang Wahabi dan NU. Banyak
orang Wahabi yang mendengar informasi tentang NU dari sumber-sumber lain yang
bukan karya tulis ulama NU, khususnya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Sebaliknya,
banyak orang NU yang memperoleh informasi tentang Wahabi tidak dari
sumber-sumber asli karya tulis ulama-ulama yang menjadi rujukan paham Wahabi.
Akibatnya, sejumlah orang Wahabi hanya melihat sisi negatif NU dan banyak orang
NU yang melihat sisi negatif Wahabi. Penilaian seperti ini tentulah tidak objektif,
apalagi ada faktor eksternal, seperti yang tertulis dalam Protokol Zionisme No
7 bahwa kaum Zionis akan berupaya untuk menciptakan konflik dan kekacauan di
seluruh dunia dengan mengobarkan permusuhan dan pertentangan.
Untuk menilai paham Wahabi, kita haruslah membaca kitab-kitab yang menjadi
rujukan paham Wahabi, seperti kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah, Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, dan termasuk kitab-kitab karya Syekh Muhammad bin Abdul
Wahab yang kepadanya paham Wahabi itu dinisbatkan.
Sementara untuk mengetahui paham keagamaan Nahdlatul Ulama, kita harus membaca,
khususnya kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy'ari yang mendirikan
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Kami telah mencoba menelaah kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan
membandingkannya dengan kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah dan lain-lain.
Kemudian, kami berkesimpulan bahwa lebih dari 20 poin persamaan ajaran antara
Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan imam Ibnu Taymiyyah.
Bahkan, seorang kawan yang bukan warga NU, alumnus Universitas Islam Madinah,
mengatakan kepada kami, lebih kurang 90 persen ajaran Nahdlatul Ulama itu sama
dengan ajaran Wahabi.
Kesamaan ajaran Wahabi dan NU itu justru dalam hal-hal yang selama ini
dikesankan sebagai sesuatu yang bertolak belakang antara Wahabi dan NU. Orang
yang tidak mengetahui ajaran Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, maka ia
tentu akan terkejut.
Namun, bagi orang yang mengetahui Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, mereka
justru akan mengatakan, "Itulah persamaan antara Wahabi dan NU, mengapa
kedua kelompok ini selalu dibenturkan?"
Di antara titik-titik temu antara ajaran Wahabi dan NU yang jumlahnya puluhan,
bahkan ratusan itu adalah sebagai berikut. Pertama, sumber syariat Islam, baik
menurut Wahabi maupun NU, adalah Alquran, hadis, ijma, dan qiyas. Hadis yang
dipakai oleh keduanya adalah hadis yang sahih kendati hadis itu hadis ahad,
bukan mutawatir.
Karenanya, baik Wahabi maupun NU, memercayai adanya siksa kubur, syafaat Nabi
dan orang saleh pada hari kiamat nanti, dan lain sebagainya karena hal itu
terdapat dalam hadis-hadis sahih.
Kedua, sebagai konsekuensi menjadikan ijma sebagai sumber syariat Islam, baik
Wahabi maupun NU, shalat Jumat dengan dua kali azan dan shalat Tarawih 20
rakaat. Selama tinggal di Arab Saudi (1976-1985), kami tidak menemukan shalat
Jumat di masjid-masjid Saudi kecuali azannya dua kali, dan kami tidak menemukan
shalat Tarawih di Saudi di luar 20 rakaat.
Ketika kami coba memancing pendapat ulama Saudi tentang pendapat yang
mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat itu sama dengan shalat Zhuhur lima rakaat,
ia justru menyerang balik kami, katanya, "Bagaimana mungkin shalat Tarawih
20 rakaat itu tidak benar, sementara dalam hadis yang sahih para sahabat shalat
Tarawih 20 rakaat dan tidak ada satu pun yang membantah hal itu." Inilah
ijma para sahabat.
Ketiga, dalam beragama, baik Wahabi maupun NU, menganut satu mazhab dari mazhab
fikih yang empat. Wahabi bermazhab Hanbali dan NU bermazhab salah satu dari
mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Baik Wahabi (Imam Ibnu Taymiyyah) maupun NU (Imam Muhammad Hasyim Asy’ari),
sama-sama berpendapat bahwa bertawasul (berdoa dengan menyebut nama Nabi
Muhammad SAW atau orang saleh) itu dibenarkan dan bukan syirik.
Kendati demikian, Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, al-Nur al-Mubin
fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, mensyaratkan bahwa dalam berdoa dengan tawasul
menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh, kita tetap harus yakin bahwa
yang mengabulkan doa kita adalah Allah SWT, bukan orang yang namanya kita sebut
dalam tawasul itu. Wahabi dan NU sama-sama memercayai adanya karamah para wali
(karamat al-awliya) tanpa mengultuskan mereka.
Memang ada perbedaan antara Wahabi dan NU atau antara Imam Ibnu Taymiyyah dan
Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Namun, perbedaan itu sifatnya tidak prinsip dan
hal itu sudah terjadi sebelum lahirnya Wahabi dan NU.
Dalam praktiknya, baik Wahabi maupun NU, tidak pernah mempermasalahkan
keduanya. Banyak anak NU yang belajar di Saudi yang notabenenya adalah Wahabi.
Bahkan, banyak jamaah haji warga NU yang shalat di belakang imam yang Wahabi,
dan ternyata hal itu tidak menjadi masalah.
Wahabi dan NU adalah dua keluarga besar dari umat Islam di dunia yang harus
saling mendukung. Karenanya, membenturkan antara keduanya sama saja kita
menjadi relawan gratis Zionis untuk melaksanakan agenda Zionisme, seperti
tertulis dalam Protokol Zionisme di atas. Wallahu al-muwaffiq. (Titik Temu Wahabi-NU/KH. Ali Mustafa Yaqub/Republika)
KH. Ali Mushofa Ya'qub Tegas Terhadap Kesesatan Syiah
KH. Dr. Ali Musthofa Ya’qub M.A.,saat menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal
Jakarta, sangat tegas berbicara tentang kesesatan dan bahaya Syiah. Dia dikenal
sebagai tokoh Umat yang sangat lugas dan tegas dalam membela Islam dan Umat
Islam. Kiai juga tak segan mengingatkan bahaya Syiah bagi Umat dan NKRI.
Dirinya mengaku kecolongan saat ada pendeta Syiah berbicara di Masjid Istiqlal.
Kiai Ali Musthofa pernah mengatakan ceramah pendeta Syiah di Masjid Istiqlal
yang meresahan kaum Muslimin Ahlus Sunnah sudah masuk dalam kategori
membahayakan NKRI.
“Memang benar, ada ulama Syi’ah dari Iran yang memberikan ceramah di masjid
Istiqlal hari Jum’at Kemarin. Cuma yang mempunyai wewenang untuk memberikan
izin itu bukan saya tetapi Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal di bawah
pengawasan Kementerian Agama,” kata Kiai Musthofa lansir hidayatullah.com,
Sabtu (22/11/2014).
Menurutnya, ceramah salah satu pendeta Syi’ah asal Iran di Masjid Istiqlal hari
Jum’at (21/11/2014) lalu telah membuat keresahan kalangan umat Islam, khususnya
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dia membenarkan bila acara itu diadakan di Masjid Istiqlal pada hari Jumat
kemarin, di mana ketika itu dirinya sedang ada urusan ke Pontianak. Awalnya
informasi yang dia terima ada dua tamu, satu imam Masjid Kubah (Madinah),
satunya lagi dari Iraq. Rupanya setelah datang dari Pontianak dia baru faham
jika yang ceramah itu justru dari Iran, bukan dari Iraq.
Kiai Ali Musthofa mengatakan dirinya sudah berulangkali memberikan masukan
kepada Badan Pengelola Pelaksana Masjid Istiqlal untuk tidak memberikan
kesempatan kepada ulama Syi’ah untuk berceramah di Masjid Istiqlal karena hal
itu hanya akan menimbulkan kontroversi, kecuali hanya untuk melaksanakan shalat
saja.
“Silahkan memberikan izin kepada tamu dari Iran (orang-orang Syi’ah,red) untuk
melaksanakan shalat di masjid Istiqlal tapi jangan sampai memberikan kesempatan
berceramah karena akan membahayakan umat Islam,” tegasnya mengulang nasehatnya
yang diberikan kepada Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal Jakarta.
Apalagi menurut Kiai sudah jelas bahwa Syi’ah sendiri merupakan ancaman
terbesar yang membahayakan umat Islam, khususnya NKRI. Jadi jangan sampai
memberikan kesempatan kepada orang-orang Syiah untuk angkat bicara berceramah
di masjid Istiqlal.
Hanya saja nasehatnya sering tidak diindahkan. Apalagi, kewenangan memberikan
izin tamu-tamu internasional untuk berceramah di masjid Istiqlal Jakarta
dipegang oleh Ketua Badan Pengelola Pelaksana Masjid Istiqlal, langsung dalam
pengawasan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) RI, ujar Kiai.
Karena itu Syiah bergembira atas digantinya KH Ali Mustafa Yaqub sebagai Imam
Besar Masjid Istiqlal. Hal itu dinyatakan lewat akun IJABI Pusat @ijabipp. KH
Ali Mustafa Yaqub dicopot sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Jum’at,
22 Januari 2016, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengukuhkan Nasaruddin
Umar, pendukung Islam liberal sebagai imam besar Masjid Istiqlal Jakarta
menggantikan KH Ali Mustafa Yaqub.
Bongkar liberal dan Syiah di PBNU
Kia Ali juga pernah mengungkapkan bahwa aliran sesat Syi’ah dan kelompok Islam
Liberal (Islib) sudah masuk dan menyusup ke salah satu ormas Islam terbesar di
Indonesia, yakni PBNU pimpinan Said Agil Siroj.
“Ada pengurus PBNU yang selalu membela Syi’ah dan selalu hadir dalam
acara-acara Syi’ah. Paling tidak dia selalu hadir dalam acara Asyura dan selalu
menjadi pembicara utama,” kata Ali Mustafa kepada bangsaomline.com, Jum’at
(24/4/2015).
Menurutnya berbeda dengan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) yang toleran
terhadap perbedaan, aliran sesat Syi’ah hanya memberi dua pilihan.
“Ikut saya atau saya bunuh,” ujar Ali Mustafa mencontohkan doktrin paham dan
ajaran Syi’ah. Karena itu menurut dia, Syi’ah sangat bahaya jika berkembang di
Indonesia.
Kiai Ali Mustafa mengungkapkan, indikasi aliran sesat Syi’ah sudah masuk ke
dalam PBNU sangat jelas. “Dulu Jamiyatul Qurra Wal Huffadz (Jamqur) pernah
kerjasama dengan Syi’ah, saya sempat baca MoU-nya. Tapi akhirnya ketahuan lalu
dibatalkan,” ungkapnya.
MoU (Memorandum of Understanding) atau nota kesepahaman antara PBNU dengan
Syi’ah ini sempat heboh. Banyak media online melansir berita MoU PBNU dengan
Universitas al-Mustafa al-‘Alamiyah, Qom, Iran itu.
Dokumen kerjasama di bidang pendidikan, riset dan kebudayaan itu dilakukan
tanpa sepengetahuan dan persetujuan Syuriah PBNU. Dokumen tertanggal 27 Oktober
2011 itu dibuat dalam dua bahasa, Persia dan Indonesia. KH Sahal Mahfudz yang
saat itu menjabat sebagai Rais ‘Aam marah dan membatalkan MoU tersebut.
kabarmakkah.com
kabarmakkah.com
Saya Adalah Wahabi, Tapi Saya Tidak
Membenci NU
Ya… Saya adalah penganut Wahabi. Tapi
saya tidak membenci NU.
Sebaliknya, apabila ada segelintir orang
NU yang anti dan benci Wahabi, pasti dia memperoleh informasi keliru. Dan
seperti sengaja dikelirukan oleh banyaknya opini dan pemikiran yang tidak
bersumber pada ulama Wahabi.
Buku-buku ulama Wahabi seperti Ibnul
Qoyyim al Jauzi, juga banyak dibaca dan disukai oleh orang-orang NU.
Ulamah beraliran Wahabi, Ibnu Taimiyah,
pada akhirnya juga memiliki paham yang sama dengan apa yang umumnya dipahami
NU.
Tahukah Anda, si Arab Wahabi yang Anda
benci itu, juga mempraktikkan apa yang diamalkan oleh NU. Mereka tarawih 20
rekaat. Bahkan di sana juga ada qunut.
Wahabi juga mengakui bahwa bila berdoa
harus bersholawat yang disebut oleh orang NU sebagai bertawassul. Wahabi juga
mengakui adanya karomah.
Ulama Wahabi bahkan yang menganjurkan
buku-buku karya Hadrotussyaikh Hasyim Asyari, pendiri NU itu, agar diajarkan di
madrasah-madrasah dan pesantren di Indonesia.
Pendiri Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan di
saat muda di Makkah juga belajar kepada guru yang juga adalah gurunya pendiri
NU itu. Jadi keduanya adalah murid satu guru.
Anak-anak NU banyak belajar di Ummul Qura
dan universitas Islam Madinah. Artinya, mereka juga generasi intelektual
‘Wahabi’.
Lantas di mana perbedaan Wahabi – NU?
Jawabannya: 90 persen sama.
Tak ada perbedaan mendasar. Kecuali
hal-hal furuiyah (cabang-cabang teknis amaliyah) yang hanya 10 persen.
Saudaraku yang merasa Wahabi, cobalah
baca kitab-kitab Hadrotussyaikh Hasyim Asy’ary. Bergaullah dengan para murid
beliau laiknya kakak kandungmu sendiri.
Sebaliknya, saudaraku yang NU bacalah
kitab-kitab ulama Wahabi yang otentik. Bukan dari opini-opini menyimpang dan
disimpangkan. Sapalah kami seperti adik-adik kandungmu sendiri.
Aku yakin, setelah itu kalian akan malu
dan menyesal menghabiskan energi bertikai meributkan kulit-kulit. Sementara
daging-dagingnya kalian buang.