Penyimpangan Perjuangan, Berawal Dari Kerusakan Aqidah
Penyimpangan
dari aqidah yang benar adalah sumber kehancuran dan kesesatan. Karena aqidah
yang benar merupakan motivator utama bagi amal yang bermanfaat. Tanpa aqidah
yang benar manusia seperti hewan, bahkan lebih sesat dan lebih buruk dari
binatang.
Ungkapan
di atas adalah kesimpulan Syaikh DR. Shalih al-Fauzan, seorang pakar aqidah
kontemporer. Urgensi aqidah shahihah telah ditegaskan dalam sirah Nabi Muhammad
saw. Tema dakwah awal beliau selama kurang lebih 13 tahun di Makkah, adalah
seputar masalah aqidah tauhid. Selebihnya tentang akhlak dan cinta akhirat.
Kesimpulan
ini diperkuat dengat ayat-ayat yang turun pada fase Makkah (Makkiyah). Hampir
seluruh ayat Makkiyah menekankan kemurnian aqidah dari berbagai macam
penyimpangan.
Ini
menunjukkan bahwa aqidah merupakan asas perjuangan yang sangat menentukan bagi
masa depan umat Islam. Maka, sebelum kewajiban iqamatuddin yang lebih berat,
seperti jihad, haji, puasa dan selainnya dibebankan kepada umat Islam,
Rasulullah saw terlebih dahulu meluruskan aqidah para sahabatnya.
Beliau
saw menyadari, kelak mereka akan dibebani syariat iqamatuddin yang lebih berat.
Seakan-akan beliau ingin mengajarkan kepada umatnya, kelurusan aqidah dan
ibadah adalah pondasi perjuangan serta titik tolak kelurusan manhaj pergerakan
Islam.
Berawal
dari Penyimpangan
Sebaliknya,
penyimpangan dalam aqidah dan ibadah adalah faktor utama penyimpangan gerakan
atau organisasi Islam. Penyimpangan ini bisa ditandai dengan ketidakjelasan
manhaj yang ditempuh, bahkan bisa berujung pada kerjasama dengan orang kafir
dalam memusuhi Islam dan umatnya.
Sejarah
telah mencatat banyak bukti tentang ini. Salah satunya, penyimpangan aqidah
sekte Syiah. Hal itu menjadi faktor dominan yang menyebabkan mereka bekerjasama
dengan orang-orang kafir dalam menumpahkan darah umat Islam.
Pada
tahun 331 H, orang-orang Syiah bekerja sama dengan Tozon “salah satu panglima
Tartar- dalam memerangi umat Islam di Baghdad. Ibnu Katsier rhm menuturkan
kejadian ini, Pada tahun ini (331 H), banyak sekali orang-orang Syiah di
Baghdad. Mereka sering mengumandangkan yel-yel, ˜Siapa yang berani menyebut
seorang sahabat dengan panggilan yang buruk maka ia akan mendapat perlindungan.
Mereka
juga membunuh Perdana Menteri Nizhamul Muluk. Seorang pemuda Syiah berpura-pura
meminta sumbangan ke rumah Nizhamul Muluk. Saat beliau mengulurkan tangan
memberikan bantuan, pemuda Syiah tersebut menusuknya hingga meninggal.
Di
tahun 498 H, mereka membantai jamaah haji dari Khurasan dan India yang sedang
sahur di kota Rayy. Beberapa hari sebelumnya, mereka membunuh Abu Jafar bin
Al-Masyat, salah satu imam dalam Madzhab Syafii pada zaman itu. Juga membunuh
Khalifah Abbasiyah, Al-Mustarsyid Billah. Raja Damaskus, Buri bin Tigtikin juga
meninggal di tangan Syiah. Imam An-Naisaburi dan al-Harawi, meninggal setelah
ditusuk oleh orang-orang Syiah.
Pernah
ada seorang Muslim di Mesir dibunuh oleh orang-orang Syiah. Lalu mayatnya
diarak-arak keliling kota. Sebabnya, mereka memergoki lelaki itu membaca kitab
hadits Al-Muwatha karya Imam Malik.
Tidak
mungkin menghitung satu-persatu kekejaman Syiah di lembaran ini. Syaikh Dr.
Muhammad Abdah, telah membahasnya dengan baik dalam bukunya, Akankah Sejarah
Terulang.
Kelak,
penyimpangan aqidah, ibadah dan kekejaman Syiah terhadap umat Islam ini
terulang kembali. Yaitu pada masa kekuasaan Ayatullah Khumaini di Iran dan
Hasan Nasrullah bersama Hizbullah-nya di Lebanon.
Demikian
juga yang terjadi di India pada masa penjajahan Inggris. Sekte Ahmadiyah yang
sangat jauh menyimpang dalam aqidah dan praktek ibadah, menjadi tangan kanan
Inggris menghadang jihad umat Islam. Berbagai syubhat untuk menghalangi laju
dakwah Islam dikarang, seperti; jihad tidak ada hingga ada izin dari imam atau
hingga kemunculan Imam Mahdi.
Pun
demikian dengan ormas dan jamaah Islam di berbagai belahan dunia hari ini,
termasuk di Persada Nusantara. Penyimpangan aqidah dan ibadah pada diri mereka,
menyebabkan mereka mudah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk memerangi
Islam.
Sama
seperti sekte-sekte sesat sebelumnya, untuk melegitimasi kezhaliman orang kafir
atas umat Islam, ormas dan jamaah tersebut menciptakan berbagai macam syubhat.
Seperti menuduh para dai dan ulama yang tegas menentang kebidahan, kesyirikan
dan kezhaliman orang-orang kafir serta antek-anteknya dari kalangan penguasa
lalim, dengan sebutan Khawarij, atau Salafi Wahabi. Tuduhan terakhir ini,
sekarang lagi populer.
Ulama
Rabbani
Kesesatan
aqidah berbagai sekte sesat itu bisa dilawan dengan ilmu dan bashirah ulama
Rabbani. Yaitu para ulama yang menyampaikan al-haq sesuai Al-Quran dan Sunnah
serta menyingkap setiap kemunafikan dan kezindikan yang menyusup ke dalam tubuh
umat Islam. Inilah yang ditakutkan oleh aliran, kelompok dan ormas yang
menyempal dari aqidah serta ibadah shahihah.
Kehadiran
dai dan ulama Rabbani dalam pergerakan Islam adalah mimpi yang sangat menakutkan
bagi jamaah dan kelompok yang menyimpang dari aqidah-tauhid. Ulama Rabbani ini
memadukan antara keberanian menyampaikan kebenaran dengan kezuhudan terhadap
dunia. Ilmu yang mendalam membuat mereka hanya takut kepada Allah swt. Tentang
sifat ini, Allah menjelaskan
Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (Fathir: 28)
Ulama
Rabbani ini telah hadir dalam medan perjuangan Islam di masa lalu dan akan
senantiasa hadir bersama pejuang kebenaran dimanapun mereka berada, hingga
akhir zaman. Rasulullah saw menjelaskan
Akan
senantiasa ada sekelompok dari umatku, selalu unggul di atas kebenaran.
Orang-orang yang membenci mereka tidak akan mampu membahayakan mereka. Keadaan
mereka akan senantiasa seperti itu, hingga ketentuan Allah (kiamat) datang. (HR.
Muslim)
Pada
masa Sultan Nuruddin Zanki, ulama Rabbani hadir mengawal beliau dalam berjuang
menegakkan Islam. Beliau adalah Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Ulama kharismatik
penyebar aqidah ahlu sunnah.
Keluhuran
akhlak dan kegagahan Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk kota Konstatinopel,
tidak lepas dari jasa alim Rabbani, Syaikh Syamsuddin Aaq. Sejak muda, Sultan
al-Fatih dididik dengan akhlak mulia oleh Syaikh Aaq. Beliaulah yang mendukung
dan memberikan arahan-arahan kepada Sultan Muhammad al-Fatih dalam penaklukan
Konstatinopel.
Saat
pasukan Islam merayakan kemenangan atas Byzantium, mereka berhasil merebut kota
Konstatinopel, Sultan al-Fatih berkata, Kegembiraanku bukan karena kita mampu
menaklukkan kota ini, akan tetapi kegembiraanku adalah karena adanya laki-laki
ini “Syaikh ˜Aaq- pada zamanku.
Syaikh
Aaq mengingatkan Sultan dan pasukan Islam untuk tidak berlarut dalam kemenangan
dan tidak terlena dengan dunia. Pernah suatu hari, Sultan al-Fatih mengirim
1000 dinar emas kepada beliau sebagai hadiah, namun dengan halus beliau
menolaknya. Di sini kezuhudan beliau teruji.
Dari
sejarah Nusantara, kisah serupa pun muncul. Keberanian dan keistiqamahan Sultan
Ageng Tirtayasa berjihad melawan kafir Belanda, tidak lepas dari bimbingan
Syaikh Yusuf, ulama mujahid mantan panglima Sultan Hasanuddin.
Sementara
Pangeran Diponegoro yang bergelar, Khalifatullah Amirul Mukminin Panotogomo ing
Tanah Jawi, selalu didampingi ulama mujahid, Kyai Mojo dan Kyai Ghozali
dari Solo. Kemurnian aqidahnya menjadikan beliau tidak
sudi bekerja sama dan tunduk dibawah kekuasaan Kristen Belanda. Kedalaman ilmu
diennya, membuat beliau menuntut Belanda agar hengkang dari tanah jawa,
sehingga umat Islam bebas menerapkan syariat Islam.
Aqidah
Shahihah
Demikianlah,
kelurusan aqidah dan ibadah telah mengantarkan para ulama dan pemimpin Islam
meraih kemulian dunia dan akhirat. Bagaimanapun, kelurusan aqidah dan ibadah
adalah syarat mutlak kebangkitan umat Islam. Ibarat pondasi rumah, aqidah
adalah faktor utama kekokohan para pejuangnya di medan perjuangan.
Syaikh
DR. Ali Muhammad Ash-Shalabi pakar sejarah dan aqidah Islam telah melakukakan
penelitian terhadap bangkit dan runtuhnya umat Islam, sejak zaman khulafarasyidin,
Umayyah, Abbasiyah, Murabithin hingga runtuhnya Daulah Utsmaniyah. Penelitian
beliau yang dituang dalam beberapa bukunya berkesimpulan; kebangkitan umat
Islam berawal dari kelurusan aqidah, ibadah dan penerapan syariat Islam
terutama al-Wala wal Baro. Juga bersihnya masyarakat dari bidah dan
khurafat.
Sebagai
contohnya, kebangkitan Daulah Zankiyah dan Murabithun, berawal dari penyebaran
aqidah ahlu sunnah wal jamaah serta penerapan syariat Islam di negeri mereka.
Sebaliknya,
keruntuhan dan kemunduran masyarakat Islam terjadi ketika aqidah dan ibadah
telah menyimpang serta tersebarnya berbagai macam kebidahan dan khurafat.
Keruntuhan Daulah Utsmaniyah adalah salah satu contohnya. Di penghujung
kekuasaannya, bidah dan khurafat tersebar di wilayah Turki. Tarian sufi,
pengagungan terhadap pohon keramat dan kuburan menjadi tradisi yang tidak dapat
dipisahkan dengan sebagian besar masyarakat Turki Utsmani. Wajarlah jika daulah
ini mengalami nasib mengenaskan, runtuh dari dalam. *(Akrom)
https://www.an-najah.net/penyimpangan-perjuangan-berawal-dari-kerusakan-aqidah/amp/