Saturday, August 22, 2020

Sejarah Najd Dan Hubungannya Dengan Daulah ‘Utsmaniyyah

 Sejarah Najd dan Hubungannya dengan Daulah ‘Utsmaniyyah

Berawal dari dakwah yang dikembangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, negeri Najd dan sekitarnya berkembang menjadi negeri tauhid yang diliputi ketentraman, setelah keterpurukan agama dan keterbelakangan sosial menggayuti negeri ini. Namun hal ini justru dianggap sebagai ancaman besar bagi Daulah Utsmaniyah yang banyak dipengaruhi aqidah Sufi.
 
Pengetahuan tentang sejarah Najd dan negeri-negeri di sekitarnya sangatlah penting untuk diketahui setiap muslim dalam rangka mengenal hakekat sebenarnya dari dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, di mana fakta dan sejarah tentang dakwah beliau telah banyak diputarbalikan oleh ahlul batil hingga kini, baik dari kalangan Syi’ah Rafidhah, Tashawwuf, ataupun kaum hizbiyyin dari kalangan neo Khawarij, baik dari kelompok Hizbut Tahrir ataupun yang lainnya.
 
Perlu diketahui bahwa Negeri Najd sejak sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahkan sejak jauh hari sebelum kelahiran beliau, benar-benar dalam keadaan yang menyedihkan dan sangat bertentangan dengan syariat Islam.
 
Hal ini ditinjau dari dua sisi, baik dari sisi kehidupan keagamaan masyarakat Najd secara umum pada masa itu, ataupun dari sisi kehidupan sosial politik serta keamanan negeri tersebut dan sekitarnya. Najd adalah bagian dari kawasan Jazirah Arabia yang terletak antara Hijaz dan Iraq[1].
 
Sejarah Kehidupan Keagamaan Najd
 
Pada masa itu, kaum muslimin di negeri Najd dan Al-Ahsa` serta negeri-negeri yang lainnya, sejak sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, telah tenggelam dalam kehidupan yang penuh kesyirikan, bid’ah, dan khurafat, serta kemaksiatan.
 
Mereka telah mencampakkan bimbingan Al-Qur`an dan Sunnah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabat radhiallahu ‘anhum. Berbagai macam bentuk ibadah kepada selain Allah mereka lakukan, ber-istighatsah dan meminta tolong serta perlindungan kepada makhluk-makhluk, baik wali, jin, batu, pohon, dan yang lainnya.
 
Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di salah satu daerah Najd yang terkenal dengan nama Balidah. Ada sebuah sebuah pohon kurma pejantan, yang terkenal dengan nama Al-Fida’.
 
Pohon itu dikenal karena kejantanannya, sehingga manusia berdatangan ke tempat tersebut untuk meminta berbagai macam permohonan kepadanya. Orang-orang yang mengalami kesempitan rizki, musibah, atau penyakit, berdatangan untuk memohon jalan keluar dari musibah-musibah yang mereka alami. Begitu juga seorang wanita yang ingin segera mendapatkan jodoh, memohon dengan mengatakan:
 
“Wahai pohon pejantan yang ampuh, berilah aku seorang suami…dst.”[2]
 
Tak luput pula di daerah Ad-Dir’iyyah, tempat cikal bakal kemunculan dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ad-Dir’iyyah telah dipenuhi dengan berbagai macam kesyirikan.
 
Di antaranya adalah adanya sebuah makam di salah satu gua pada sebuah gunung di negeri tersebut yang kebanyakan orang meyakininya sebagai makam seorang wanita cantik yang terkenal dengan julukan Bintul Amir. Konon, dia adalah seorang wanita yang bertakwa dan banyak beribadah.
 
Suatu hari, ia keluar rumah dan sampai di gunung tersebut. Ternyata di sana ada segerombolan pria jahat yang hendak menodai kehormatannya.
Melihat kondisi ini, wanita tersebut berdoa kepada Allah, memohon perlindungan dari bahaya. Belum selesai dari doanya, ternyata salah satu sisi dari gunung tersebut terbelah, kemudian wanita itu segera memasukinya hingga dia pun mengakhiri hidupnya di goa tersebut. Setelah itu, beredar keyakinan bahwa wanita itu adalah salah seorang wali Allah. Maka berdatanganlah manusia ke tempat itu meminta barakah, rizki, dan jalan keluar atas segala penyakit maupun musibah yang menimpa mereka. [3]
 
Kemudian, beberapa negeri di luar Najd, seperti Mesir, Iraq, India, dan Yaman, dan juga sebagian besar daerah di wilayah kekuasaan Dinasti ‘Utsmani telah dipenuhi berbagai macam praktek kesyirikan, bid’ah, khurafat, dan kemaksiatan.
 
Di Mesir, pada waktu itu umat Islam melakukan doa dan istighatsah serta penyembelihan hewan-hewan sebagai sesaji untuk kuburan Al-Badawi dan Ar-Rifa’i.
 
Di Iraq, kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi kuburan Abdul Qadir Al-Jailani.
 
Di Makkah dan Ath-Taif pun tak luput dari praktek-praktek kesyirikan, di mana mereka beramai-ramai mendatangi kuburan Ibnu ‘Abbas. Demikian pula negeri Yaman dengan kuburan Ibnu ‘Alwan-nya.[4]
 
Sejarah Kehidupan Politik dan Keamanan Najd
 
Kehidupan sosial politik dan keamanan di Negeri Najd sejak sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu adalah sebuah kehidupan yang sangat mengerikan.
 
Hukum yang berlaku adalah hukum kekabilahan. Masing-masing daerah terpisah dari daerah yang lainnya dan tercerai berai di bawah kekuasaan para pemimpin kabilah, yang mayoritas mereka terkungkung kejahilan dan hawa nafsu. Penguasa negeri yang memiliki kekuatan berambisi untuk mencaplok negeri lainnya yang cenderung lebih lemah.
 
Di setiap negeri terjadi peperangan, pembunuhan, serta kedzaliman. Perasaan takut dan mencekam meliputi negeri Najd. Kaum wanita pun menjadi tawanan yang ternodai dan diperjualbelikan harga dirinya. Para perampok di jalan-jalan menjadi momok besar bagi para pedagang yang hendak lewat.
 
Salah satu pembesar kabilah yang terkenal dengan kekejamannya adalah penguasa kota Ar-Riyadh yang dikenal dengan Dahham bin Dawwas. Seorang pendusta yang dzalim, yang dikenal dengan kemunafikannya, menghalalkan berbagai macam perkara yang diharamkan. Dia adalah seorang pelayan di istana penguasa Riyadh, yang kemudian dengan segala tipu dayanya berhasil menduduki kursi kekuasaan.
 
Disebutkan di antara kekejamannya adalah ketika suatu hari dia marah terhadap seorang wanita, maka mulut wanita tersebut dijahit. Dan pada hari lain, dia menyiksa seorang lelaki yang tak bersalah dengan bentuk siksaan yang tidak pernah tercatat dalam sejarah. Dia potong paha lelaki tersebut dan diperintahkannya untuk memakan potongan daging pahanya sendiri. Kondisi yang mengerikan ini, tak ada satu pihak pun yang mampu menghentikannya.
 
Hingga Allah lahirkan seorang ulama besar yang menyeru kepada tauhid dan Sunnah, serta mengajak umat untuk menegakkan syariat Islam di bumi Najd khususnya dan negeri-negeri muslimin secara umum. Dialah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu.
 
Yang tidak kalah pentingnya dengan pembahasan di atas adalah pengenalan kondisi Daulah ‘Utsmaniyyah pada masa itu kaitannya dengan keberlangsungan dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu di daerah Najd.
 
Pembahasan ini meliputi hubungan Najd dengan Daulah ‘Utsmaniyyah
 
Banyak pihak menyatakan kawasan Najd pada masa itu adalah bagian dari teritorial kekuasaan Dinasti ‘Utsmani. Sehingga dari sinilah muncul anggapan bahwa gerakan dakwah di Najd yang dipimpin Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dengan dukungan penuh dari Penguasa Ad-Dir’iyyah, yaitu Al-Amir Muhammad bin Su’ud dan keluarganya, sebagai bentuk pemberontakan atau gerakan separatis yang memberontak terhadap Dinasti ‘Utsmani.
 
Tuduhan miring ini muncul disebabkan beberapa faktor, antara lain:
 
01.Adanya pihak-pihak yang benci dan sakit hati terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang mendorong mereka untuk memutarbalikkan fakta serta menyebarkan isu-isu dusta tentang dakwah beliau sebagaimana akan kami jelaskan dalam kajian Musuh-musuh Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
 
02.Jauhnya umat dari para ulama Ahlus Sunnah dan referensi-referensi Islam yang bisa dipertanggungjawabkan. Untuk menjawab beberapa tuduhan miring di atas, maka perlu kami jelaskan tentang eksistensi Najd dan hubungannya dengan Dinasti ‘Utsmani.
 
03.Sejarah mencatat bahwa Najd secara umum pada waktu itu atau daerah Ad-Dir’iyyah secara khusus, yaitu negeri tempat munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, tidak termasuk wilayah kekuasaan Khilafah ‘Utsmaniyyah. Bukti dari hal ini adalah apa yang dipaparkan Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud, Rektor Al-Jami’ah Al-Islamiyyah (Universitas Islam) Madinah, dalam disertasi doktoral yang beliau susun dengan judul ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab As-Salafiyyah wa atsaruha fi Al-‘Alam Al-Islamy (Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyah serta pengaruhnya dalam dunia Islam), beliau berkata (I/40-41):
 
“Belahan bumi Najd secara umum tidak menyaksikan adanya pengaruh apapun dari Daulah ‘Utsmaniyyah terhadapnya. Demikian juga kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah tidak sampai menyentuh bumi Najd.” (lihat Tarikh Al-Biladil ‘Arabiyyah As-Su’udiyyah, Dr. Munir Al-‘Ajlani).
 
Tidak seorangpun penguasa ‘Utsmaniyyah yang datang ke sana. Tidak pula perlindungan keamanan Turki menyentuh daerah-daerah Najd sejak jauh hari sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullahu.
 
Di antara bukti yang menunjukkan hakekat sejarah tersebut adalah penelitian pembagian daerah-daerah kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah, dari sebuah cacatan resmi Turki yang berjudul Qawanin Ali ‘Utsman Durr Madhamin Daftar Diwan (Undang-undang Dinasti ‘Utsmani yang dikandung oleh catatan sipil negeri tersebut) karya Yamin ‘Ali Afnadi, seorang penanggung jawab resmi catatan sipil Al-Khaqani pada tahun 1018 H, bertepatan dengan tahun 1690 M.
 
Catatan tersebut disebarkan Sathi’ Al-Hashri melalui buku Negara-negara Arab dan Daulah ‘Utsmaniyyah.
Melalui catatan resmi tersebut, diketahui dengan jelas bahwasanya sejak awal abad ke-11 H, Daulah ‘Utsmaniyyah terbagi menjadi 32 propinsi, 14 di antaranya adalah propinsi-propinsi Arab.
 
Dan daerah Najd tidak termasuk dalam 14 bagian tersebut, kecuali hanya wilayah Al-Ahsa, itupun jika kita menganggap Al-Ahsa merupakan bagian dari Najd. (lihat kitab Al-Biladul ‘Arabiyyah wa Ad-Daulah Al-‘Utsmaniyyah, karya Sathi’ Al-Hashri hal. 230-240; dan Intisyaru Da’wati Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Kharija Al-Jazirah Al-’Arabiyyah, karya Muhammad Kamal Jam’ah, hal. 13).
 
Sehingga atas dasar penjelasan di atas, sangat tidak benar jika pergerakan dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu 
merupakan gerakan pemberontakan terhadap penguasa yang sah pada waktu itu. Karena Najd berada di luar daerah teritorial Daulah ‘Utsmaniyyah.
 
Namun yang ada adalah upaya pembenahan dan penataan kembali daerah Najd dan negeri-negeri yang di bawah naungannya, yang sebelumnya telah dipenuhi berbagai macam keterpurukan, baik dalam bidang keagamaan yang mayoritas umat dan negeri-negeri di Najd telah melakukan praktek-praktek kesyirikan, bid’ah dan khurafat, maupun dalam bidang sosial politik dan keamanan yang dipenuhi dengan pembunuhan, penindasan, dan saling menyerang satu terhadap yang lainnya.
 
Dengan pergerakan dakwah tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, Najd berubah menjadi sebuah kekuatan besar yang mengkhawatirkan musuh-musuh tauhid, baik dari kalangan penjajah ataupun dari kalangan ahlul batil, baik tashawwuf ataupun kaum Syi’ah Rafidhah.
 
Kondisi Politik dan Keamanan Daulah ‘Utsmaniyyah di Masa Itu
 
Banyak pihak menangisi dan meratapi keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah. Namun sangat disayangkan, tangisan dan ratapan tersebut tidak disertai dengan sikap yang adil dan ilmiah untuk menjadikannya sebagai pelajaran dan upaya instrospeksi diri, mengapa dan apa sebab-sebab keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah.
 
Yang ada justru sikap mengkambinghitamkan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini yang menjadi sasarannya adalah dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
 
Dakwah ini dinyatakan sebagai salah satu biang keladi runtuhnya Daulah ‘Utsmaniyyah. Padahal kalau mereka mau jujur dan mempelajari dengan seksama bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah telah hilang kekuatan dan wibawanya sejak jauh hari sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
 
Disebutkan Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud dalam disertasi doktoralnya yang berjudul ‘Aqidatu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam Al-Islami (Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Serta Pengaruhnya Dalam Dunia Islam):
 
“Bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh sejak awal abad ke-12 H -yaitu sejak jauh hari sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab- telah lemah, bahkan secara de facto (kenyataan) dinyatakan fi hukmiz zawal (dihukumi/ dianggap tidak ada).
 
Banyak penguasanya yang telah tunduk bertekuk lutut di hadapan beberapa negara kafir pada waktu itu, baik negara-negara Eropa Barat maupun Eropa Timur. Hal itu ditandai dengan adanya penandatanganan Perjanjian Damai Karlpetes di wilayah Tenggara Zagreb (ibukota Croatia sekarang, red.), dekat Sungai Danube pada tahun 1110 H, bertepatan dengan 1699 M [5] dengan Pemerintahan Rusia.
 
Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mushthafa II. Hal itu merupakan bukti resmi kelemahan mereka untuk melindungi negaranya dari kekuatan negara-negara Nashara yang memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Akibat kelemahan tersebut, negara-negara Eropa (Barat) berambisi untuk melemahkan Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh. Barat menggelari penguasa Dinasti ‘Utsmani pada waktu itu sebagai penguasa yang sedang sakit.
 
Kemudian Barat sepakat untuk mulai membagi-bagi ‘warisan’ dari penguasa Dinasti ‘Utsmani ini kepada negara-negara kafir yang bersekutu dengan mereka pada waktu itu. Namun terjadi perselisihan di antara mereka tentang rincian hak masing-masing negara sekutu dari ‘warisan’ tersebut. Perselisihan yang terjadi antara mereka itu menyebabkan tertundanya makar peruntuhan total Daulah ‘Utsmaniyyah dalam beberapa waktu lamanya.
 
Secara kenyataan, Penguasa Dinasti ‘Utsmaniyyah tidak lagi memiliki kekuasaan dan wewenang apapun dalam pemerintahan. Kekuasaan dan wewenang pada waktu itu justru ada pada beberapa menterinya yang kebanyakan mereka adalah unsur-unsur asing dari Eropa dan dari kalangan Yahudi yang menampakkan keislaman, dan terdiri pula dari orang-orang yang silau dan kagum terhadap kafir Nashara. [6]
 
Akibat dari ini semua, muncul sejumlah pemberontakan, kerusuhan, atau pembunuhan. Bahkan sebagian menteri dan penguasa di daerah melakukan gerakan revolusi dengan membentuk pemerintahan-pemerintahan kecil. [7]
 
Muhammad Kamal Jam’ah berkata dalam kitabnya Al-Intisyar:
 
“Di kala itu, istana negara dan para menteri serta orang-orang penting negara telah dipenuhi dengan wanita-wanita tawanan perang, yang ternyata wanita-wanita asing tersebut berfungsi sebagai mata-mata dalam gerakan spionase yang dilancarkan negara-negara kafir terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah.”
 
Keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah sebagaimana tersebut di atas semakin diperlemah dengan adanya perselisihan-perselisihan yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri dan adanya gerakan-gerakan separatis dari daerah-daerah kekuasaannya yang ingin melepaskan diri dari Daulah (lihat At-Tarikh…, Al-‘Ajlani, hal. 47). Sehingga pada akhirnya Daulah ‘Utsmaniyyah terpaksa meninggalkan kekuasaannya di negeri Yaman disebabkan adanya revolusi para pimpinan Shan’a melawan mereka.
 
Hingga kemudian terpaksa pula mereka hengkang dari Al-Ahsa disebabkan revolusi perlawanan dari pimpinan Bani Khalid, Barak bin Gharir serta para pengikutnya pada tahun 1080 H. (lihat ‘Unwanul Majd fi Tarikh Najd, karya Ibnu Bisyr) –sekian keterangan Asy-Syaikh Shalih Al-‘Ubud
 
Kondisi Aqidah dan Keagamaan Daulah ‘Utsmaniyyah
 
Daulah ‘Utsmaniyyah ternyata adalah daulah yang banyak dipengaruhi aqidah tashawwuf, mendukung penuh gerakan sufi dengan berbagai macam tarekat-tarekatnya, yang sangat bertentangan dengan Islam dan tauhid.
 
Dalam pemerintahan Daulah ‘Utsmaniyyah telah masuk berbagai macam bentuk adat, termasuk sebagian adat peribadatan Nashara, seperti cara kehidupan kependetaan yang dikenal dengan Ar-Rahbaniyyah, melantunkan dzikir-dzikir dengan lantunan nada diiringi tari-tarian, disertai pula teriakan-teriakan dan tepuk tangan. Berbagai macam bentuk peringatan maulid, dan berbagai macam aliran bid’ah yang lainnya.
 
Bahkan telah masuk pula adat istiadat Hindu, Persia, dan Yunani dengan berbagai macam dakwah aqidah yang menyesatkan. Seperti aqidah Al-Hulul dan Al-Ittihad serta Wihdatul Wujud (aqidah yang meyakini bahwa Allah ada di mana-mana dan telah menyatu dengan dzat makhluk-makhluk-Nya, atau sering dikenal di negeri Indonesia ini dengan manunggaling kawula gusti).
 
Aqidah ini merupakan aqidah sesat dan menyesatkan yang dimotori tokoh-tokoh sesat tashawwuf semacam Al-Hallaj dan yang lainnya.
 
Pemerintahan Daulah ‘Utsmaniyyah beranggapan bahwa gerakan tashawwuf merupakan inti agama Islam. Sehingga para penguasanya benar-benar menghormati dan merendahkan dirinya di hadapan tokoh-tokoh tashawwuf serta berlebihan dalam mengagungkan mereka. Di negeri tersebut dan daerah-daerah kekuasaannya, dipenuhi dengan kubur-kubur yang diagungkan dan dikeramatkan dengan didirikan kubah-kubah di atasnya.
 
Hal itu dilindungi secara resmi oleh Daulah ‘Utsmaniyyah, sehingga banyak umat yang berdatangan ke kubur-kubur dalam rangka mengagungkannya. Demikian juga menyembelih qurban dan bernadzar untuk selain Allah telah tersebar luas dan merata di Daulah ‘Utsmaniyyah. Doa dan istighatsah kepada kubur merupakan suatu keadaan yang menyelimuti negeri tersebut. [8]
 
Gambaran dan kondisi Daulah ‘Utsmaniyyah yang bobrok dan bejat aqidahnya seperti di atas, telah ada jauh sebelum dilahirkannya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
 
Semua itu berakibat semakin lemahnya Daulah ‘Utsmaniyyah, tercerai berainya persatuan mereka, sehingga mereka benar-benar lemah di hadapan musuh-musuhnya. Hilang wibawa mereka sehingga dengan penuh kerendahan dan kehinaan mereka harus menandatangani perjanjian damai dengan negara-negara kafir, yang menunjukkan betapa lemahnya Daulah ‘Utsmaniyyah.
 
Ini semua merupakan bukti nyata bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah tidak menjunjung tinggi tauhid dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, Allah tidak memberikan pertolongan-Nya kepada mereka. Telah hilang dari mereka janji Allah dalam firman-Nya:
 
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
 
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.”(Muhammad: 7)
 
Mereka tercerai berai karena mereka telah meninggalkan prinsip dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maha Benar Allah yang telah berkata di dalam kitab-Nya:
 
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
 
“Dan inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan jangan kalian ikuti as-subul (bid’ah dan syahwat), karena (jalan-jalan itu) menyebabkan kalian tercerai berai dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian, agar kalian bertakwa.” (Al-An’am: 153)
 
Dengan tercerai-berainya ini, karena meninggalkan tauhid dan Sunnah, yang kemudian diikuti ambisi masing-masing pihak dalam bentuk berbagai pemberontakan, akhirnya berujung pada hilangnya kekuatan dan kewibawaan mereka di hadapan musuh-musuh-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 
وَأَطِيْعُوا اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ
 
“Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian.” (Al Anfal: 46).
 
Dan benar pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah menyatakan:
 
وَجُعِلَ الذِّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي
 
“Dan dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi pihak-pihak yang menyelisihi perintahku.” (HR. Ahmad) [9]
Jika boleh disimpulkan, bahwa keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah disebabkan dua faktor utama:
1. Faktor kelemahan politik dan keamanan Daulah ‘Utsmaniyyah yang ditandai dengan:
>Kekalahan dalam perang menghadapi kekuatan kafir Eropa sehingga terpaksa harus menandatangani perjanjian damai, sejak jauh hari sebelum lahirnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
>Banyaknya gerakan separatis di daerah yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah.
>Keadaan parlemen dan kementerian negara yang telah banyak disusupi oleh kaki tangan asing dalam rangka meruntuhkan kekuatan negara dari dalam.
2. Faktor aqidah dan kehidupan keagamaan pemerintah Daulah ‘Utsmaniyyah maupun rakyatnya, yang telah banyak diwarnai kesyirikan, bid’ah, khurafat, serta kemaksiatan.
Dengan adanya faktor-faktor tersebut di atas, hilanglah kesempatan mereka untuk meraih janji Allah yang disebutkan dalam firman-Nya:
 
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِي لاَ يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا
 
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menggantikan kondisi mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada memper-sekutukan sesuatu apapun dengan-Ku….” (An-Nur: 55)
Wallahu a’lam.
Footnote:
01.Sebagaimana dalam Al-Mu’jamul Wasith, penerbit Al-Maktabatul Islamiyyah
02.Lihat kitab Muhammad bin Abdul Wahhab, karya Ahmad Abdul Ghafur ‘Aththar, hal. 20; dan kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Asy-Syaikh Mas’ud An-Nadwi, hal. 36.
03.Ibid, hal. 21.
04.Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi. Karya Asy-Syaikh Mas’ud An-Nadwi; hal 32.
05.Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu lahir 1115 H, 5 tahun setelah perjanjian damai tersebut ditandatangani. Sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan bentuk persekongkolan untuk meruntuhkan Daulah ‘Utsmaniyah. Maka sangat tidak benar apa yang dituduhkan beberapa penulis dari kelompok Hizbut Tahrir dalam bukunya Kaifa Hudimatil Khilafah (edisi Indonesia: Persekongkolan Meruntuhkan Khilafah)
06.Lihat kitab Fikrah Al-Qaumiyyah Al-’Arabiyyah ‘ala Dhau`i Al-Islam, Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud, hal. 35-56; Intisyaru Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Kharija Al-Jazirah Al-’Arabiyyah, M. Kamal Jam’ah, hal. 11-12.
07.Lihat kitab Hadhirul ‘Alam Al-Islamiy, Watsrub Al-Imriky dengan footnote dari Asy-Syaikh As-Salam, 1/259.
08.Lihat Al-Intisyar, hal. 11-14.’mys’
*) Sumber tulisan Kompasiana