Hanya Arab (Saudi Arabia),
atas Pertolongan Allah, yang bisa Merdekakan Palestina, Peranan dan
Pengorbanannya sejak Negeri Zionis Israel berdiri luar biasa, bahkan Raja
Salman veteran perang Arab VS Zionis Israel.Hal tersebut bisa terjadi jika
trio penghancur;” Turki, Iran dan Qatar" keluar dari Palestina, karena
membuat kerusakan Aqidah dan halangan Pertolongan Allah. Mereka tidak punya
jasa sama sekali dengan bebasnya Gaza dan Tepi Barat. Tidak mungkin bisa
kalahkan zionis israel, dengan aqidah Rafidhah Syiah dan Sufiyah. Sepanjang
sejarah mereka pengkhianat Islam, munafiq, dan zindiq. Juga mereka tidak marwah
dan ghirahnya seperti Arab. Sepanjang sejarah, hanya Arab yg bisa menaklukan
super power dunia, Persia, Rumawi dan sebagian besar eropa. Turki hanya
menjajah Arab.(admin lamurkha)
Syarat Saudi Damai Dengan Israel dan “Trio
Penghancur” Palestina
Uni Emirate Arab (UEA) mengejutkan kami atas
kesepakatan dengan Amerika Serikat (AS) dan Israel, untuk menormalisasi
hubungannya dengan Israel.
Kontroversi yang biasa muncul, tentang langkah
mana yang harus diambil terkait masalah Palestina.
Menurut pernyataan UEA, keputusannya didasari
prinsip kedaulatan negara dalam mengambil keputusan, yang dipandang memiliki
kepentingan bagi rakyatnya, tentunya ini adalah haknya.
UEA menambahkan, bahwa normalisasi mensyaratkan
AS dan Israel untuk menghentikan aneksasi terhadap tanah Palestina yang
direncanakan akan dilakukan.
Wilayah yang dimaksud adalah sepertiga dari apa
yang tersisa di Tepi Barat, selain apa yang sebelumnya dianeksasi oleh Israel.
Tentunya ini menimbulkan kontroversi, apa yang
bisa diraih UEA dan apa yang bisa didapatkan untuk Palestina?
Ada yang mengatakan, bahwa aneksasi bersifat
sementara, berdasarkan kata yang terdapat dalam teks perjanjian dalam bahasa
Inggris (suspend).
Ada juga yang berpendapat bahwa larangan
aneksasi akan membuka jalan untuk kembali ke perundingan dan memperkuat dasar
solusi kedua negara.
Di sisi lain, “trio
penghancur;” Qatar, Turki dan Iran, bergegas menuduh UEA melakukan
pengkhianatan dan menikam dari belakang.
Dan ini semua biasa kami
dengar dari mereka.
Yang disayangkan, pemerintah Palestina
yang menempatkan dirinya di belakang “trio” tersebut, sejak dulu tidak
mendapatkan apapun, maupun yang akan datang, kecuali slogan-slogan kosong.
Turki
mengerutkan kening dan mengancam atas normalisasi UEA dan Israel.
Padahal
Turki adalah negara pelopor, sejak pengakuan berdirinya Israel, sampai
perjanjian yang disepakati oleh perdana menterinya dengan Israel, di mana Turki
mengakui Al-Quds sebagai ibu kota Israel.
Tapi
inilah yang dikatakan oleh Presiden Turki, bahwa dia akan menarik duta besarnya
dari UEA!
Sementara
duta besarnya bersantai dan bersenang- senang di negara Zion, ratusan ribu
turis Israel bersenang-senang di tempat hiburan Turki, belum lagi kerja sama
militer dan intelijen antara kedua negara tersebut.
Adapun Khameni, penerus orang yang menyulut
perselisihan di antara umat Islam, baik Syiah maupun Sunni.
Apakah kita sudah melupakan kerja sama
pendahulunya, serta aksesnya ke senjata Israel selama perang Iran-Irak?
Apakah kita lupa bahwa dia mengarahkan milisi
dan misilnya untuk membunuh Muslim di Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, Bahrain,
dan Arab Saudi, bukan ke Israel?
Dia sekarang mengancam akan
menyerang Uni Emirat Arab!
Dan
pengikut mereka, Qatar, hanya berhasil menghina dan mengutuk, di waktu yang
sama mendanai teroris, baik Syiah maupun Sunni.
Qatar
sebenarnya ada di genggaman Israel, sejak putra mahkota berhasil mengkudeta
ayahnya.
Dan terakhir, wahai para
pemimpin Palestina!
Simak apa yang dikatakan
pimpinan gerakan Reformasi Demokrasi Fatah, Samir Al-Mashharawi; “Kekanglah
orang-orang yang hanya mencaci maki dan tidak tahu malu dari wargamu!”
Dan jangan lupa bahwa
kepentingan rakyat Palestina ada pada UEA, negara yang menampung lebih dari
tiga ratus ribu rakyat Palestina untuk mengais rezeki.
UEA dengan senang hati
merawat mereka.
Maka jangan lupa bahwa Anda
telah mengakui Israel lebih dari seperempat abad yang lalu, sebagaimana
Otoritas Palestina yang mengakui Israel dan mengakhiri perang dengannya.
Kemudian perbaiki urusan
rumah tangga negara Anda, akhiri perpecahan, yang kita lihat satu kelompok
merayu dan tunduk kepada Khameni, sementara juga menerima uang dari Israel.
Adapun Presiden AS, mengambil
keuntungan dibalik ini.
UEA dimanfaatkan oleh
pemimpin negara terbesar di dunia untuk mencari suara di Pemilu yang akan
berlangsung.
Meskipun dengan syarat
menghentikan keputusan aneksasi Israel, yang merupakan bagian dari “Kesepakatan
Abad Ini.”
Jika ada negara Arab yang
bergabung dengan Uni Emirat Arab, maka harus dengan kompensasi!
Dan itu harus dengan harga
yang sangat mahal.
Adapun Arab Saudi, telah
menetapkan harga untuk mencapai perdamaian antara Israel dan Arab.
Yaitu berdaulatnya negara
Palestina dengan Al-Quds sebagai ibukotanya, berdasarkan inisiatif Raja
Abdullah bin Abdul Aziz rahimahullah.
Barangkali esok, akan segera
terwujud.
) Dari tulisan خواطر كورونية oleh Turki Al-Faisal, Mantan Kepala Intelijen
Arab Saudi, diterbitkan di koran Al-Syarq al-Awsath, 2 Muharram 1442.
https://saudinesia.com/2020/08/22/syarat-saudi-damai-dengan-israel-dan-trio-penghancur-palestina/
Turki Bakar Hubungan dengan
UEA, Tetapi Mempertahankan Hubungan dengan Israel, Mengapa?
Presiden Turki Recep Tayyip
Erdogan, Jumat (14/8/2020 mengancam akan memutuskan hubungan diplomatik dengan
UEA.
Hal itu menyusul kesepakatan
membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Tetapi, tanpa merujuk pada
penurunan hubungan diplomatiknya sendiri dengan Tel Aviv, langkah itu dikritik
oleh banyak orang yang dinilai sebagai kemunafikan.
Kesepakatan antara Israel dan
UEA mengharuskan Israel menunda rencana aneksasi bagian-bagian Tepi Barat
dengan imbalan normalisasi hubungan dengan Abu Dhabi.
Sebagai tanggapan, Otoritas
Palestina mengumumkan penarikan segera duta besarnya untuk UEA.
Kementerian Luar Negeri Turki
menggambarkan kesepakatan itu sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat
Palestina.
Meskipun Turki sebagai
pendukung kuat Palestina menyangkut tindakan Israel di Jalur Gaza dan Tepi
Barat, Turki terus mempertahankan hubungan diplomatiknya dengan Israel.
"Turki memiliki sikap
munafik, mengecam UEA karena membahas hubungan dengan Israel, sementara Turki
juga memiliki hubungan dengan Israel," kata Seth J. Frantzman, Direktur
Eksekutif Pusat Pelaporan dan Analisis Timur Tengah.
Turki telah menjalin hubungan
diplomatik dengan Israel sejak 1949.
Meskipun ada ketidakpercayaan
yang mendalam antara kedua negara.
Terutama sejak insiden Mavi
Marmara pada 2010, ketika pasukan komando Israel menaiki kapal bantuan Turki
dan menewaskan sepuluh aktivis Turki.
Tetapi, perdagangan bilateral
antara kedua negara mencapai 6 miliar dolar AS tahun lalu, seperti dilansir
ArabNews. Minggu (16/8/2020).
Israel termasuk di antara 10
pasar ekspor teratas Turki.
Dalam dua tahun terakhir,
perwakilan diplomatik telah berada pada level kurang membaik, menanggapi
pemindahan Kedubes AS ke Jerusalem dan kebijakan Israel di Jalur Gaza.
Menurut Frantzman, retorika
ini adalah bagian dari pilihan yang disengaja oleh Ankara untuk mengalihkan
perhatian dari kegagalan ekonomi di dalam negeri.
“Ankara, dipandu oleh partai
yang berkuasa saat ini, sedang bergerak menuju rezim paling anti-Israel di
wilayah tersebut."
"Pengumuman bombastis
baru-baru ini tentang 'membebaskan Al-Aqsa setelah Hagia Sophia' untuk
mengipasi ekstremisme agama."
"Sebagai bagian dari
agenda Ankara untuk mencoba menghidupkan kembali pandangan populis, agama dan
nasionalis di seluruh wilayah yang berakar pada mentalitas dan perang abad sebelumnya,"
jelasnya.
Pada 13 Agustus 2020, British
Daily Telegraph menuduh Turki memberikan kewarganegaraan kepada tujuh operator
senior Hamas.
Kemudian, menyuarakan
keprihatinan tentang potensi dampak dari langkah-langkah tersebut untuk memberi
kelompok itu lebih banyak kebebasan untuk melakukan serangan terhadap warga
Israel di seluruh dunia.
Tuduhan itu dibantah oleh
juru bicara pemerintah Turki.
Hamas terdaftar oleh AS dan
UE sebagai kelompok teroris, tetapi Ankara menganggapnya sebagai gerakan politik
yang sah.
Sekutu Barat telah
memperingatkan Turki beberapa kali tentang kehadiran Hamas di tanah Turki.
Frantzman berpikir partai
penguasa Turki, yang mendukung Hamas dan tumbuh lebih dekat dengan rezim Iran,
hanya mempertahankan hubungannya saat ini dengan Israel.
Karena Washington ingin
mengeksploitasi NATO dan Uni Eropa.
“Agenda nyata Ankara adalah
mencoba mendominasi dunia Arab."
"Menurutnya pandangan
anti-Israel akan mendapatkan dukungan, sama seperti Iran berusaha
mengeksploitasi penderitaan Palestina untuk tujuan rezim itu sendiri."
"Baik Turki atau Iran
sejauh ini tidak berhasil membawa lebih banyak hak kepada rakyat Palestina,
semua yang telah mereka lakukan mengarah pada harapan palsu dan menghancurkan
peluang perdamaian dan toleransi, ”katanya.
Tetapi Frantzman merasa Turki
menjalankan kebijakan ini daripada keterlibatan karena Ankara pernah berperan
dalam diskusi Israel-Suriah dan pekerjaan produktif lainnya di wilayah
tersebut.
Hubungan teknis dan
fungsional antara Israel dan Turki masih terus berlanjut.
Perusahaan penerbangan utama
Israel, El Al, yang menangguhkan penerbangannya ke Turki satu dekade lalu
setelah krisis Mavi Marmara, mendarat di Istanbul Mei 2020.
Beroperasi dua kali seminggu
antara Istanbul dan Tel Aviv.
“Turki adalah negara
mayoritas Muslim pertama yang memperluas pengakuan diplomatik ke Israel."
"Itu tidak berubah di
bawah AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) yang berkuasa."
"Jadi, semua yang
dilakukan UEA adalah apa yang telah dilakukan Turki selama hampir 70 tahun, ”kata
Bill Park, peneliti tamu di King's College London.
Selain itu, karena
perdagangan Turki dengan Israel terus meningkat di bawah AKP yang menguntungkan
Turki, Park meragukan Erdogan benar-benar dapat membahayakan perdagangan karena
alasan ini.
Jika ini hanya perang
kata-kata, mengapa Erdogan terlibat dalam ancaman ini?
"Dia sudah berkonflik
dengan UEA atas Libya, Qatar dan dukungan regional Turki untuk elemen-elemen
Islam dan Ikhwanul Muslimin," kata Park.
“Jadi retorika Erdogan
menjadi bagian dari ketegangan yang sedang berlangsung ini."
"Dia tidak menyukai
Israel dengan rencana mencaplok Tepi Barat, jadi mungkin mencoba mencapai moral
dan politik yang tinggi di dalam negeri dan wilayah ini. "
Park berpikir jika
negara-negara Arab lainnya, seperti Oman, Bahrain dan bahkan Asaudi mengikuti
contoh UEA, ini akan semakin mengisolasi Erdogan.
“UEA sebagian besar didorong
oleh ketakutan dan permusuhan terhadap Iran, sentimen yang dimiliki oleh
Israel.
"Ini sekarang tampak
lebih besar bagi banyak pemerintah Arab daripada penderitaan rakyat
Palestina."
"Turki sekali lagi
menemukan dirinya berselisih dengan sebagian besar wilayah tersebut."
"Meskipun ada tingkat
kecurigaan timbal balik antara Teheran dan Ankara, ada sedikit permusuhan, dan
Turki berperan penting dalam memungkinkan Iran untuk mengurangi dampak sanksi
yang diilhami AS, ”kata Park.
Park mengatakan Erdogan bisa
terlibat dalam retorika demi dirinya sendiri, atau bermain-main di galeri opini
publik.
Bahkan bersedia merusak
kepentingan ekonomi Turki, atau sekadar menambah isolasi regional Turki yang
mencolok.
“Apa yang tidak akan
dilakukan oleh pendiriannya adalah menyelesaikan masalah apapun yang dihadapi
di kawasan ini atau Turki sendiri,” katanya.
https://aceh.tribunnews.com/amp/2020/08/16/turki-bakar-hubungan-dengan-uea-tetapi-mempertahankan-hubungan-dengan-israel-mengapa?page=all
Erdogan yang Mencoba Menguasai
Negara-Negara Arab
Erdogan dan Turki memiliki
misi untuk menguasai negara-negara Arab.
Oleh Jameel
Altheyabi, Saudi Gazzette
Banyak orang berpikir bahwa
"ekspor revolusi" atau dalam arti lain ekspor kerusuhan dan masalah
di luar perbatasan adalah monopoli rezim mullah jahat.
Namun, Presiden Turki Recep
Tayyip Erdogan, dalam sebuah kompetisi dengan Iran, berusaha untuk merebut
gelar tersebut. Ini terjadi ketika ia berusaha merusak keamanan dan stabilitas
negara-negara Arab, yang ia yakini harus berada di bawah "Sultan
Ottoman".
Pasukan Erdogan telah
menyebar kehancuran dan kematian di Suriah barat laut serta di tanah Libya, di
samping gangguan mereka di Irak utara dan mendirikan pangkalan militer di
Qatar.
Erdogan, dalam kapasitasnya
sebagai pewaralaba Ikhwanul Muslimin, berupaya merebut hak-hak orang Arab
atas kebijakan dan kemerdekaan mereka. Dia menjadi tuan rumah unsur-unsur
Ikhwanul Muslimin, yang membuka kantor di Istanbul dan Ankara dalam upaya
mereka untuk menyerang negara-negara Arab.
Beberapa elemen ini
mengimplementasikan rencana di Mesir sementara tim lain merencanakan serangan
atas stabilitas pemerintahan transisi di Sudan.
Dan tim ketiga bekerja dengan
cabang-cabang di Ikhwanul Muslimin di wilayah Maghreb Arab, terutama di Tunisia
dan Maroko.
Adapun tim Persaudaraan yang
dipercayakan dengan destabilisasi Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya,
mereka menikmati sabotase dan konspirasi dari Istanbul dan ibu kota Qatar di
Doha, yang sebagian darinya, Erdogan menempati atas nama "pangkalan
militer Turki."
Ada kelompok-kelompok
Persaudaraan Erdoganian, yang telah disewa dan dipercaya untuk menyebarkan
hasutan, kebencian, dan terorisme, melalui saluran satelit yang mengirimkan
racun mereka dari Istanbul.
Ini termasuk saluran yang
telah ditetapkan Erdogan untuk pengkhianat Tawakkol Karman, untuk terlibat
dalam kegiatan melawan negaranya, Yaman, dan negara-negara Teluk.
Banyak orang mungkin terkejut
mengapa tidak terjadi perselisihan di antara rezim dan kelompok jahat ini?
Yang benar adalah bahwa
perbedaan mereka tidak terhitung, meskipun mereka muncul yang mewakili ideologi
monolitik, menampilkan campuran Erdoganian-Persaudaraan Muslimin.
Ini adalah campuran beracun
yang terdiri dari unsur-unsur Ikhwanul Muslimin yang mendapatkan peningkatan
kerja sama dari Sultan Ottoman baru dan pakaian ISIS. Juga, dengan Iran, yang
memiliki senjata dan geng subversif Persaudaraan, dan rezim
"Hamadain" dengan tujuan mendominasi negara-negara Arab untuk
menggagalkan kemampuan dan keuntungan mereka serta melanggar kedaulatan mereka.
Yang pasti adalah bahwa
kebijakan Erdogan telah gagal ketika ia menggunakan. Suatu hari akan datang
ketika dia menghadapi saat perhitungan karena itulah yang dinanti-nantikan oleh
oposisi Turki.
Turki, Iran dan 15 Negara
Arab
Tampaknya kita menghadapi
ancaman terbesar dalam setengah abad ini. Iran dan Turki secara terpisah,
berkembang secara tak terduga di wilayah Arab. Oleh karena itu, semua negara
Arab di kawasan terancam.
Ikut campur Turki di Libya merupakan
ancaman langsung ke Mesir, yang paling berbahaya sejak perjanjian perdamaian
Camp David, yang mengakhiri prospek perang.
Tunisia dan Aljazair secara
tidak langsung terancam dengan mobilisasi kelompok-kelompok bersenjata
multinasional di Tripoli. Demikian juga, Sudan rentan terhadap infiltrasi
kelompok-kelompok tersebut, dengan perbatasan terdekat Libya, sekitar empat
ratus kilometer.
Iran, proyeknya ingin menjadi
kekuatan regional, di antaranya telah memegang kendali atas Irak, Lebanon dan
Suriah. Dan melalui Irak, mengancam Arab Saudi, Kuwait, Bahrain dan UEA.
Kedua kekuatan, Turki dan
Iran, menyebar tentara dan milisi yang saat ini berperang di Suriah, Yaman,
Irak, Somalia dan Libya.
Situasi baru ini mengancam
semua orang, yang membutuhkan pertemuan politik untuk menghadapinya.
Juga sebagai pesan yang jelas
bahwa ada 15 negara Arab yang terancam karena campur tangan Iran dan Turki di
konflik negara sekitar.
Meskipun sebenarnya, negara
Arab siap membentuk aliansi sebagai aksi kolektif mereka.
Tetapi aksi kolektif tersebut
tampaknya terbatas, mungkin karena opini publik berbeda di kawasan tersebut.
Misalnya, di Libya, semua
orang dikejutkan oleh intervensi militer langsung Turki yang tak terbayangkan.
Sebelum itu, perang Libya
dipandang sebagai perpanjangan dari krisis sembilan tahun lalu.
Intervensi militer Turki dan
milisi Suriah, menjadi seperti penampakan “ular,” yang mengancam dan melahirkan
naluri defensif. Hal ini tampak dari perubahan sikap di negara-negara tetangga
Libya.
Selama bertahun-tahun,
Tunisia dan Aljazair tidak menganggap intervensi Turki sebagai ancaman serius.
Tetapi sekedar sebagai konflik antar rakyat Libya, didukung oleh pihak luar.
Demikian juga, Mesir tidak
berpikir bahwa pasukan Erdogan akan mendekat ke perbatasannya.
Saat ini terendus bahaya yang
serius dan sudah pasti targetnya.
Demikian juga, Aljazair
menjadi tidak aman, mengingat Turki tidak akan diam dalam memperluas
pengaruhnya lebih dalam, jika terjadi ketidakseimbangan keamanan
Sebenarnya, niat buruk Turki
telah “ditulis di dinding” untuk waktu yang lama, sebagaimana yang beredar.
Tetapi tidak ada yang siap
untuk mempercayainya, karena ada anggapan “paranoid,” menggapnya berlebihan.
Juga karena perselisihan dengan Presiden Erdogan.
Sekarang, tidak ada yang
meragukannya. Secara resmi dan terbuka, Ankara mengirim pasukan dan
peralatannya, serta ribuan milisi Suriah untuk berperang di Libya di bawah
bendera Turki.
Dan mereka telah mencapai
Sirte dan al-Hilal al-Nafthiy. Tidak ada lagi yang meragukannya sebagai
“paranoid,” tetapi fakta nyata. Dan ceritanya tidak akan berakhir di sini.
Beberapa orang bertanya,
mengapa Turki mengambil risiko perang di daerah yang jauh?
Jawabannya, ini bagian dari
strategi Turki untuk mencari pengaruh di Afrika Utara, yang terpenting adalah
untuk mengamankan Eropa.
Keberadaan Turki di Afrika,
akan memberikan pengaruh kepada negara-negara Uni Eropa. Yaitu, memaksa untuk
menerima tuntutannya.
Kita telah melihat bagaimana
Erdogan, presiden Turki, menggunakan jutaan pengungsi Suriah untuk memaksakan
tuntutan politik dan keuangannya pada Eropa.
Skenario ini akan diulangi
dengan kontrolnya atas Libya dan memeras negara Eropa sekaligus mengancam
tetangganya; Mesir, Tunisia, Aljazair dan Sudan.
Adapun pertempuran
berikutnya, dia akan berada di Yaman. Mengapa? Juga, itu akan memberi Turki,
dan pemodalnya Qatar, memanfaatkan Washington, untuk melemahkan negara-negara
Teluk lainnya.[]
*) Diterjemahkan dari tulisan
opini Turkiya wa Iran wa 15 Daulah Arabiyah, Abdul Rahman Al-Rashid,
jurnalis dan cendekiawan Saudi, mantan Pemred al-Syarq -al-Awsath, mantan
Pimpinan Umum al-Arabiya.
https://saudinesia.com/2020/07/28/turki-iran-dan-15-negara-arab/
Turki Bakar Hubungan dengan
UEA, Tetapi Mempertahankan Hubungan dengan Israel, Mengapa?
Erdogan yang Mencoba Menguasai
Negara-Negara Arab
Turki, Iran dan 15 Negara
Arab
Raja Abdulaziz Kepada Roosevelt: Orang Arab Memilih Mati Daripada Menyerahkan Palestina
75 tahun yang lalu, Raja Abdulaziz Al Saud, pendiri Arab Saudi, mengadakan
pertemuan yang masyhur dengan Presiden AS, Franklin Roosevelt di atas kapal
induk USS Quincy di Terusan Suez.
Kantor Sejarah Amerika, badan resmi yang bertanggung jawab menerbitkan dokumen
kebijakan luar negeri AS, menerbitkan dokumen sejarah tentang pertemuan
tersebut.
Saat itu, Roosevelt sedang kembali dari konferensi di Yalta, di mana dia
bertemu dengan para pemimpin Arab yang paling penting, sekaligus pertemuan
pertama antara Raja Saudi dan seorang presiden Amerika.
Di antara yang ditemui Roosevelt adalah Raja Farouk dari Mesir dan Haile
Selassie, Kaisar Ethiopia.
Pertemuan antara Roosevelt dan Raja Abdulaziz difokuskan pada permasalahan
Arab.
Raja Abdulaziz menekankan hak-hak rakyat Arab untuk menjaga dan hidup di tanah
mereka.
Di antaranya, membicarakan nasib Lebanon dan Suriah, yang saat itu berada di
bawah kendali kolonialisme Prancis.
Dalam pertemuan tersebut, Roosevelt juga mengungkapkan ketertarikannya pada
pertanian dan pengembangan sumber daya air di negara-negara Arab.
Porsi terbesar dalam pertemuan tersebut adalah membahas masalah Palestina,
imigrasi Yahudi dan hak rakyat Palestina untuk hidup damai di tanah mereka.
Dokumen sejarah Amerika tersebut, terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama
inilah yang fokus terkait Palestina dan Yahudi.
Dari hasil pertemuan saat itu, menghasilkan “Quincy Agreement” yang
ditandatangani kedua belah pihak.
Raja Abdulaziz menandatangani teks bahasa Arab pada 14 Februari 1945, dan
Presiden Roosevelt menandatangani teks bahasa Inggris keesokan harinya di
Alexandria.
Isinya kemudian ditunjukkan kepada Presiden Truman sebagai informasi.
Di awal dialog, Roosevelt “meminta nasihat” raja tentang masalah “pengungsi
Yahudi” yang diusir dari Eropa.
Raja Abdulaziz menanggapi, bahwa mereka harus kembali tinggal di tempat asal
mereka diusir.
Adapun bagi mereka yang rumahnya hancur dan tidak memiliki kesempatan untuk
tinggal di tanah airnya, mereka harus diberi tempat tinggal di negara yang
menganiaya mereka.
Raja Abdulaziz menyampaikan kepada Roosevelt tentang permasalahan rakyat Arab
dan hak mereka yang sah untuk hidup di tanah mereka.
Beliau juga mengatakan kepada Presiden Amerika, bahwa orang Arab tidak dapat
bekerja sama dengan orang Yahudi, baik di Palestina maupun di negara lain.
Dokumen Kantor Sejarah Amerika tersebut juga menyebutkan, “Yang Mulia menaruh
perhatian terhadap ancaman yang terus meningkat terhadap keberadaan orang
Arab.”
“Serta krisis yang diakibatkan karena berlanjutnya imigrasi Yahudi dan
pembelian tanah oleh orang Yahudi.”
Raja Abdulaziz juga menyatakan bahwa orang Arab akan memilih untuk mati
daripada menyerahkan tanah mereka kepada orang Yahudi.
Dokumen tersebut juga menyebutkan bahwa Raja Abdulaziz mengungkapkan harapan
rakyat Arab terhadap AS.
Didasari atas penghormatan sebagai sekutu dan kecintaan AS akan keadilan,
diharapkan dukungan AS untuk rakyat Arab melawan Yahudi.
Menanggapi hal tersebut, Roosevelt meyakinkannya bahwa dia tidak akan melakukan
apa pun untuk membantu orang Yahudi melawan rakyat Arab dan tidak akan
mengambil kebijakan anti-Arab.
Tetapi dia menambahkan, bahwa pada saat yang sama, tidak mungkin mencegah suara
dan keputusan yang dikeluarkan oleh Kongres atau opini pers tentang masalah
apapun.
Roosevelt meninggal dua bulan setelah pertemuan itu, dan digantikan oleh Harry
Turman.
Pandangan Turman tidak semanis janji Roosevelt. Dia tidak dapat berdamai
tentang masalah Israel, sehingga lebih memihak Israel.
Adapun Raja Abdulaziz meninggal 8 tahun paska pertemuan beresejarah tersebut,
tepatnya pada tahun 1953.
Raja Abdulaziz sempat mengirim pesan kepada presiden Amerika, mengingatkan
tentang janji sebelumnya di antara mereka, ketika konflik Arab-Israel
meningkat.
Penulis Amerika Rachel Burenson mendokumentasikan pertemuan bersejarah itu
dalam sebuah buku yang menceritakan orang-orang yang hadir di kapal USS Quincy.
Burenson menyebutkan, ada sekitar 42 orang delegasi yang menyertai Raja
Abdulaziz dalam pertemuan tersebut.
Mereka ada yang membawa pedang, ikat pinggang emas dan belati. Saat itu,
delegasi Saudi membawa makanannya sendiri, dengan mengangkut 8 domba ke kapal
perang tersebut.[]
*) Dari berbagai sumber, di antaranya buku “Khomsuun ‘Aaman fi Jazirah
al-Arab,” karya Hafiz Wahba.
https://saudinesia.com/2020/08/09/raja-abdulaziz-kepada-roosevelt-orang-arab-memilih-mati-daripada-menyerahkan-palestina/
Menlu Saudi: Tidak Ada Normalisasi Dengan Israel Tanpa Perdamaian Palestina
Menteri Luar Negeri Saudi,
Pangeran Faisal bin Farhan, menegaskan bahwa Arab Saudi tidak akan mengikuti
Uni Emirate Arab dalam menormalisasi hubungan dengan Israel.
Menurutnya, hal ini
sehubungan dengan kegagalan kesepakatan damai Palestina.
Sebagai respon pertama Saudi
terhadap perjanjian Emirat-Israel, Menlu Faisal menyampaikannya dalam konferensi
pers dengan mitranya dari Jerman, Heiko Maas, di Berlin (Rabu 19/8).
“Kerajaan Arab Saudi
menegaskan komitmennya atas perdamaian sebagai pilihan strategis, tetapi
berdasarkan inisiatif perdamaian Arab dan legitimasi dunia internasional,”
tegasnya.
“Jika ini tercapai, semua hal
jadi memungkinkan,” tambahnya.
Normalisasi yang diumumkan
minggu lalu antara Israel dan UEA merupakan yang ketiga yang dibuat Israel
dengan negara Arab, setelah Mesir dan Yordania.
Langkah serupa tidak menutup
kemungkinan diikuti oleh negara Arab Teluk lainnya, seperti Oman dan Bahrain.
“Kerajaan memandang bahwa
setiap tindakan sepihak Israel yang mencaplok wilayah Palestina, adalah merusak
solusi perdamaian antar dua negara,” tambah Menlu Farhan. an-nahar
https://saudinesia.com/2020/08/19/menlu-saudi-tidak-ada-normalisasi-dengan-israel-tanpa-perdamaian-palestina/
Saudi Arabia Negeri Pembela Islam Dan Kaum Muslimin
Saudi Arabia Negeri Pembela Islam Dan Kaum Muslimin