Warga
Saudi dan Arab pada umumnya sama, mereka merasa Erdogan selalu melakukan
“kebijakan yang negatif” terhadap negara Arab.
Dan
apa yang disinyalir selama ini, terafirmasi oleh Erdogan sendiri dalam beberapa
kali pernyataannya saat berpidato di negerinya.
Yang
terbaru, pidato Erdogan tampak penuh permusuhan terhadap negara-negara Arab
Teluk, kembali beredar.
Sebuah
akun mengatasnamakan @rterdogan_ar pada 1 Oktober lalu, mengedarkan video yang
diberi subtitle bahasa Arab. Dalam
pidatonya, Erdogan tampak menegaskan posisinya bersama negara Iran dan Qatar,
dua negara yang dikucilkan di Timur Tengah atas dukungannya terhadap terorisme.
Setelah
video tersebut beredar luas, netizen Arab kemudian membuat tag #اردوغان_يهدد_العرب sambil kembali mengancam Erdogan. Selain
juga memunculkan dokumentasi foto-foto dan video bukti pengkhianatan Erdogan
terhadap umat Islam, seperti kemesraannya dengan Israel, foto syur dengan
penyanyi wanita, dan banyak lagi.
Beberapa
hari sebelum ini, muncul tuntutan kepada Presiden Turki Tayyip Erdogan, yang
harus diselidiki dan didakwa atas kejahatan perang atas serangan militer
negaranya di Suriah.
Ini
disampaikan oleh mantan Jaksa Penuntut dan Penyelidik PBB untuk Suriah, Carla
del Ponte. Dia menyatakan bahwa intervensi Turki telah melanggar hukum
internasional dan telah menyalakan kembali konflik di Suriah.
Simak
pidatonya yang menunjukkan sikap sejatinya terhadap negara Arab, terutama di
kawasan Teluk:
Ancaman
Erdogan Terhadap Negara Arab Teluk
Mereka
Dengan Hati Penuh Kebencian Terhadap Negara Ini
Hampir-hampir,
tidak ada kebaikan pada Saudi. Sehingga ada yang menstigma, “Arab Saudi adalah
negara Islam yang berusaha menjadi sekuler.”
Kesimpulan
yang tergesa-gesa tanpa pijakan ilmiah. Tetapi menjadi wajar, karena didahului
dengan slogan “Turki adalah sekuler yang berusaha menjadi Islam.”
Warga
Saudi sebenarnya sadar, bahwa negaranya menjadi target (mustahdaf). Bukan
perkara politik saja, tetapi juga kebudayaan dan agama.
Yang
sulit dicegah adalah kebijakan yang mengarah kepada dekadensi moral, bahkan
melanggar syari’ah, seperti yang tampak dilakukan Haiyah Tarfiyah.
Aib
yang demikian tersebut, oleh media hater, langsung dituding “berusaha
menjadi sekuler.”
Sementara
di negara Turki dan keumuman negara muslim lainnya, lokalisasi pelacuran legal,
miras, diskotek, bahkan LGBT, dibanggakan sebagai negara yang “berusaha menjadi
Islam.”
Padahal,
semua itu dilarang dan tidak ada di negeri Raja Salman.
Kerajaan
Arab Saudi adalah negara Arab Islam, berdaulat penuh, beragama Islam, dan
konstitusinya adalah Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Berbahasa Arab dan ibukotanya adalah Riyadh.
Tetapi
pelanggaran pasti terjadi, penyelisihan terhadap syariat, memungkinkan terjadi,
mengingat bukan negara yang dipimpin malaikat dan rakyatnya para nabi.
Yang
perlu dicatat di sini, Saudi dan rakyatnya tidak mentolelir kesyirikan atau
pebuatan yang dapat menjadi sebab keluar dari agama Islam.
Tetap
saja, ada sebagian kelompok yang menampakkan kebenciannya tanpa batas. Mereka
gagal memahami konsep kerajaan dengan ulamanya yang bermanhaj salaf.
Atas
dasar kekeliruan tersebut, penguasa Saudi harus dikritik secara terbuka,
sebagian mengatakan “memberi menasehat” tetapi di muka umum.
Beberapa
Kasus Pelanggaran
Setiap waktu media mengekspos kehidupan sosial di Arab Saudi. Sayangnya, yang
ditampilkan keburukan atau aib yang tidak dikehendaki terjadi.
Netizen
Saudi paham, negaranya menghadapi kampanye kotor yang belum pernah terjadi
sebelumnya.
Mereka
yang kerap menviralkan perbuatan menyalahi tradisi dan agama tersebut,
kebanyakan warga asing yang menetap di Saudi, seperti warga Suriah dan Yaman.
Mereka
tidak memiliki kualifikasi kecuali menari dan mempromosikan keburukan, dan Anda
hanya akan melihat yang terburuk dari mereka dengan hati yang penuh kebencian
terhadap negara ini! Siapa yang mendukung mereka? Siapa yang membayar mereka?
Siapa dalangnya?
Tidak
lupa di akhir curhatannya, ditag akun Niyabah ‘Ammah, sebagai pihak
berwenang yang menangangi kasus pelanggaran adab dan kriminal
Arab Saudi Boikot Turki, Mulai dari
Produk Impor, Investasi hingga Pariwisata
Kepala
Kamar Dagang Arab Saudi menyerukan
pada hari Sabtu, 3 Oktober 2020 untuk memboikot "semua yang ada di Turki" termasuk
impor, investasi, dan pariwisata, dengan mengatakan itu adalah "tanggung
jawab setiap orang Saudi."
Seruan
boikot datang setelah Presiden Turki Recep Tayyip
Erdogan mengatakan bahwa beberapa negara di Teluk Arab menargetkan Turki dan mengejar
kebijakan yang membuat kawasan itu tidak stabil.
“Tidak boleh dilupakan bahwa negara-negara
tersebut tidak ada kemarin, dan mungkin tidak akan ada besok. Namun, kami akan
terus mengibarkan bendera kami di wilayah ini selamanya, dengan izin Allah,”
kata Erdogan pada hari Kamis 1 Oktober, berbicara kepada Majelis Umum Turki.
Kata-katanya
itu memicu reaksi balik, kepala Kamar Dagang Arab SaudiAjlan
al-Ajlan menyerukan boikot barang-barang Turki. "Memboikot
semua orang Turki,
baik pada tingkat impor, investasi atau pariwisata, adalah tanggung jawab setiap
Saudi - pedagang dan konsumen - sebagai tanggapan atas permusuhan berkelanjutan
dari pemerintah Turki terhadap
kepemimpinan kami, negara kami dan warga negara kami," kata al -Ajlan dalam
sebuah posting di Twitter. Jika
arahan itu diikuti, itu akan mempengaruhi ribuan eksportir Turki pada saat
ekonomi Turki sedang
goyah.
Lira Turki telah menukik,
turun ke rekor terendah pada hari Senin di lebih dari 7,7 versus dolar AS. Lira
adalah salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di dunia tahun ini, turun
22 persen, menurut Reuters. Dampak
virus corona dikombinasikan dengan krisis mata uang yang dimulai pada 2018
telah menyebabkan resesi tajam, dengan cadangan devisa bruto di bank sentral
turun hampir setengahnya tahun ini.
Ibu
kota Barat juga melarikan diri dari pasar Turki, menurut mantan
anggota parlemen Turki Aykan
Erdemir. "Turki menderita
defisit transaksi berjalan kronis dan eksodus Barat yang sedang berlangsung
dari obligasi dan ekuitas Turki memperburuk
masalah," kata Erdemir kepada Al Arabiya English.
Siapa
yang harus disalahkan?
Presiden Turki Erdogan
menyalahkan aktor asing atas keadaan ekonomi, mengklaim pada Mei bahwa plot
asing berusaha merusak perdagangan negara. Para
penentang malah menunjuk pada kebijakan menteri keuangan Berat Albayrak, 41
tahun, yang merupakan menantu Erdogan.
Mantan
Perdana Menteri Turki Ahmet
Davutoglu mengatakan bulan lalu bahwa Albayrak "menghancurkan
ekonomi Turki"
dalam pidatonya dan nepotisme adalah satu-satunya alasan penunjukan Albayrak. "Seseorang
perlu dimintai pertanggungjawaban atas hilangnya nilai lira," kata
Davutoglu, menurut kantor berita Turki Duvar. Argumen
lain yang dibuat oleh kritikus Erdogan adalah bahwa pemerintah Turki lebih
memperhatikan kemenangan di medan perang asing daripada memperbaiki krisis
ekonomi, dan menggunakan sumber daya negara untuk berperang di Suriah, Libya,
dan sekarang Azerbaijan.***
Wajah Baru Turki di Bawah Erdogan:
Kebangkitan Neo-Ottomanisme?
Selama
bertahun-tahun pasca runtuhnya Kekaisaran Ottoman, Turki dikenal sebagai
masyarakat modern, sekuler, dan pro-Barat setidaknya hingga dekade
terakhir. Turki adalah negara sekuler yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Konstitusi Turki menjamin kebebasan beragama dan tidak memiliki agama resmi
yang didukung negara.
Turki
terletak di ujung Eropa dan Timur Tengah, tidak hanya menarik secara geografis
tetapi juga dalam arti tertentu, secara politik. Meskipun berada di Timur
Tengah, Turki adalah anggota NATO dan telah berupaya agar bisa bergabung dengan
Uni Eropa. Tetapi banyak hal telah berubah dalam dua puluh tahun terakhir.
Sementara
itu, sejak awal tahun 2000-an, sistem politik Turki terus bergerak menuju
sistem yang dibentuk oleh ide-ide Islam. Turki telah mendanai dan mengaktifkan
kelompok-kelompok pejuang Islam, seperti Hamas. Turki juga berebut pengaruh
dengan Arab Saudi dan Iran untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin komunitas
Muslim global.
Bagaimana
ini bisa terjadi? Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kebangkitan Islamisme
di Turki?
Untuk
memahami transformasi ini, Direktur Ayn Rand Institute, Elan Journo berbicara
dengan Dr. Michael Rubin, mantan pejabat Pentagon dan peneliti di American
Enterprise Institute. Rubin yang berspesialisasi sebagai pengamat Timur Tengah,
Turki dan Iran termasuk di antara sedikit suara yang sejak awal meningkatkan
peringatan tentang tren yang diambil oleh Turki, bangkitnya neo-Ottomanisme.
Menurut
Dr. Michael Rubin, kekuatan pendorong di balik pembentukan kembali Turki adalah
pemimpin negara itu, Recep Tayyip Erdogan -seorang pria yang digambarkan oleh
Rubin sebagai seorang jihadis dalam setelan bisnis. Rubin berpendapat bahwa
Arab Saudi adalah kebangkitan gerakan Islam di abad ke-20, (dengan menjadi
sponsor keuangan global dengan membuka lembaga-lembaga pendidikan Islam di
berbagai negara), Turki bertujuan untuk mengambil peran itu di abad ke-21.
Beberapa
kesimpulan menonjol terkait transformasi Turki dari sekuler menjadi Islamis :
Pertama, Erdogan
memulai rencana yang diperhitungkan untuk memasukkan ide-ide Islam ke dalam
masyarakat Turki. Kedua, kampanye Erdogan bersifat inkrementalis,
membentuk kembali institusi dan sistem hukum dari dalam, tetapi juga
oportunistik, mengeksploitasi dalih untuk membungkam perbedaan pendapat.
Akhirnya, penting untuk menyadari bahwa otoritarianisme Erdogan sekarang sedang
bergerak menuju kediktatoran, dan bahwa perebutan kekuasaan yang lebih besar
ini adalah cara untuk mencapai tujuan akhir dari penciptaan masyarakat Islam di
bawah pengaruh neo-Ottomanisme.
Dengan
kata lain, rezim-rezim Islamis di Iran, Arab Saudi, Afghanistan dan di tempat
lain terkadang mencapai kekuatan totaliter, tetapi variasi yang dapat dikenali
dari pemerintahan Islam ini bukanlah satu-satunya. Bisa juga terlihat seperti
di Turki. (DH/MTD)
90 Tahun National Day: Propaganda Anti
Arab Saudi Dari Turki
Hari
Nasional ke-90 tahun Arab Saudi, dimaknai berbeda oleh sebagian pihak. Di
antaranya, seperti orang Turki yang masih melanjutkan propaganda anti Arab.
Mereka
menganggap bahwa tanggal 23 September adalah hari di mana rakyat Saudi
merayakan “Hari Kemerdekaan” dari Turki (Gambar 1).
Padahal,
tanggal tersebut merupakan hari di mana nama Kerajaan Arab Saudi (Al-Mamlakah
al-Arabiyah al-Saudiyah) resmi ditetapkan sebagai ganti dari nama “Kerajaan
Nejd dan Hijaz beserta Anneksnya” (Mamlakah al-Najd wa al-Hijaz wa Mulhaqatiha).
Sesuai
Dekrit Raja Abdulaziz bin Saud nomor: 2716 tahun 1932, menyusul keberhasilan
penyatuan wilayah-wilayah Kerajaan yang memakan waktu lebih dari 30 tahun
(Gambar 2).
Daulah
Utsmaniyah atau Turki Utsmani, tidak pernah menguasai seluruh Jazirah Arab.
Tetapi mereka menguasai sebagian saja, bersekutu dengan penguasa di Hijaz
(Gambar 3).
Sekutu
mereka, Shareef Hussain, adalah orang yang berperang melawan Daulah Utsmaniyah
untuk membebaskan tanah Arab, bukan Al Saud yang mendirikan Arab Saudi di Najd
(Gambar 4).
Pemahaman
yang keliru seperti, menjangkiti sebagian pembenci Saudi, sejarah bias dan
propaganda yang disebarluaskan untuk tujuan politis.
Maka,
sangat keliru jika National Day di Arab Saudi sebagai perayaan terbebasnya dari
penjajahan Utsmaniyah.
Padahal,
Turki Utsmani hancur karena oleh anak bangsanya sendiri. Seperti dalam Perang
Kemerdekaan Turki, bangsanya sendiri yang melawan.
Sementara
orang Arab hanya mengusir mereka dari tanah Arab, tetapi tidak menghancurkan
kekaisaran Turki Utsmani (Gambar 5 & 6).
Stigma Wahabi-Khawarij Sejak Era Daulah
Utsmaniyah
Daulah
Utsmaniyah atau Turki Ustmani memiliki saham terbesar dalam menghasut umat
Islam dengan melabeli Kerajaan Arab Saudi sebagai wahabi-khawarij.
Sejarah
ini kembali pada masa penyerbuan Daulah Utsmaniyah terhadap Kerajaan Arab Saudi
pertama, di tahun 1213 H.
Utsman
bin Bisyr dalam bukunya yang berjudul “Unwan Al Majd,” mengisahkannya cukup
detail.
Di
antaranya, tentara gabungan Utsmani yang sangat banyak menuju Najd, buah
propaganda Turki kepada Saudi pertama yang dituduh khawarij dan kafir.
Dengan
kekuatan penuh, didukung persenjataan mutakhir, pasukan Utsmani mengarah menuju
Najd.
Di
waktu yang sama, Sultan Utsmani membiarkan penjajah Perancis menguasai Mesir,
yang saat itu di bawah kekuasaannya.
Dr
Sultan al-Ashqah dalam kajiannya kali ini, memaparkan bahwa Turki Utsmani lebih
memerangi siapa saja yang mendakwahkan tauhid dan aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.
Hingga
ketika Makkah dan Madinah telah dikuasai Kerajaan Arab Saudi, sebagai puncak
amarah Utsmani.
Hal
ini sebagaimana disebutkan oleh Dr. Abdurrahim Abdurrahman dalam bukunya “Al
Watsaiqy” di jilid pertama.
Setelah
Utsmani putus asa atas lepasnya Irak dan Syam, maka dibentuklah pasukan di
Mesir, yang dikomandoi Muhammad Ali Pasha.
Selama
pembentukan tentara dan pasukan bersenjata itulah, Utsmani tidak berhenti
membuat propaganda besar-besaran dengan tuduhan yang buruk terhadap Saudi.
Tujuannya,
menjauhkan kaum muslimin di penjuru timur dan barat dari dakwah Imam al-mujaddid Syaikh
Muhammad Bin Abdil Wahhab, yang didukung oleh Kerajaan Arab Saudi.
Kala
itu, disebarkan berita dusta oleh Daulah Ustmani, bahwa Imam Besar Saudi
melarang penduduk Syam dan Mesir melaksanakan haji dan umroh.
Al-Jabarti
dalam buku sejarahnya, memberikan bantahan atas tuduhan tersebut.
Yang
tepat adalah Imam Besar Saudi melarang apa yang dibawa oleh jemaah haji yang
disebut “mahmal.”
Al-Mahmal ini
membawa qiswah Ka’bah yang dibawa oleh rombongan jama’ah besar dan diiringi
oleh rebana, gong, terompet, gendang dan lainnya.
Sejak
di perjalanannya dari Mesir dan Syam, orang-orang mengusapnya, bertabarruk
dengannya dan menciuminya.
Inilah
yang dilarang masuk Makkah oleh Imam Besar Saudi, dengan mengutip perkataan:
Jika
kalian datang dengan mahmal pada tahun depan, maka kami akan melarang kalian
masuk Makkah. Apabila kalian datang tanpa bid’ah dan khurafat, kami menyambut
dengan kelapangan. Dan dari Daulah Saudia bagi kalian, jaminan keamanan haji
dari awal sampai akhir.
Kedustaan
juga disebarkan melalui Mufti Makkah Daulah Utsmani kala itu, Ahmad Zaini
Dahlan dalam bukunya “Ad Durrar As Sinniyyah Ar Rad A’la Wahhabiyyah.“
Dalam
buku tersebut, ditulis berbagai kebohongan terhadap Saudi, terhadap ulamanya
dan penduduk Najd.
Di
antaranya, Dahlan mengatakan bahwa ulama Najd mengkafirkan siapa saja yang
menyelisihi mereka.
Termasuk
menuduh bahwa Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab menciptakan risalah nubuwwah baru.
Jelas ini mengada-ada dan dusta.
Sebagai
bantahan atas kedustaan Dahlan. ulama India, Syaikh Bisyri Syah Syawani menulis
sebuah buku yang berjudul “ Shiyanatul Insan ‘an Was Wasati Syaikh Dahna.”
Isinya
membantah tulisan Dahlan dan membongkar kebohongan-kebohongannya terhadap
Daulah Saudi dan dakwah salafiyyah di Najd.
Fakta-fakta
sejarah lainnya yang lebih lengkap terkait tema ini, tonton kajian Dr Sultan di
video berikut ini.
Tudingan
Wahabi Khawarij Ditujukan ke Arab Saudi Oleh Daulah Utsmani