Tuesday, August 12, 2014

Hadits Tsaqalain : Ahlul-Bait Jaminan Keselamatan Dunia dan Akhirat



Diposting oleh Abu Al-Jauzaa' : di 20.45 
Label: Syi'ah
Hadits ats-tsaqalain adalah salah satu hadits yang menjadi pokok perbedaan manhaj beragama antara Ahlus-Sunnah dan Syi’ah. Dan dari hadits inilah kemudian muncul teologi ‘beragama menurut Ahlul-Bait’ yang dikembangkan oleh Syi’ah. Mereka beranggapan agama ini hanya akan betul dan sah jika dibawakan menurut jalur Ahlul-Bait, bukan selain mereka. Ahlul-Bait yang dimaksudkan di sini bukanlah sesuai dengan apa yang dipahami Ahlus-Sunnah. Penjelasan lebih lengkapnya, silakan baca artikel sebelumnya yang berjudul : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/ahlul-bait-nabi-shallallaahu-alaihi-wa.html dan http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/ahlul-bait-adalah-jaminan-keselamatan.html.  
Pada kesempatan kali ini, saya akan coba mendiskusikan hadits ats-tsaqalain ini dari beberapa jalur periwayatan, sekaligus bagaimana memahami makna yang ada di dalamnya. Sebagai pengantar, akan disebutkan beberapa (= tidak semua) riwayat hadits ats-tsaqalain sebagaimana di bawah :
1.         Shahih Muslim
Pertama :
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُلَيَّةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبُو حَيَّانَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Syuja’ bin Makhlad, keduanya dari Ibnu ‘Ulayyah : Telah berkata Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepadaku Abu Hayyaan : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Hayyaan, ia berkata : “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin Muslim. Setelah kami duduk. Hushain berkata kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda beliau, engkau bertempur menyertai beliau, dan engkau telah shalat di belakang beliau. Sungguh, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada kami - wahai Zaid – apa yang engkau dengan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid bin Arqam berkata : ‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya’. Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan : ‘Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda : ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), yaitu : Pertama,Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ – beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali – . Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’.
Kedua :
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِهِ بِمَعْنَى حَدِيثِ زُهَيْرٍ
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkar bin Ar-Rayyan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan - yaitu Ibnu Ibraahiim - , dari Sa'iid bin Masruuq, dari Yazid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, (lalu dia menyebutkan haditsnya yang semakna dengan hadits Zuhair).
Ketiga :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ كِلَاهُمَا عَنْ أَبِي حَيَّانَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَ حَدِيثِ إِسْمَعِيلَ وَزَادَ فِي حَدِيثِ جَرِيرٍ كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ مَنْ اسْتَمْسَكَ بِهِوَأَخَذَ بِهِ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail. Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah mengkhabarkan kepada kami Jariir; keduanya (Muhammad bin Fudlail dan Jariir) dari Abu Hayyan melalui jalur ini sebagaimana hadits Ismaa’iil, dan di dalam hadits Jariir ada tambahan : “Yaitu Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh dengannya dan mengambil pelajaran dari dalamnya maka dia akan berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat”.
Keempat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدٍ وَهُوَ ابْنُ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا لَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ خَيْرًا لَقَدْ صَاحَبْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي حَيَّانَ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ مَنْ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَفِيهِ فَقُلْنَا مَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ نِسَاؤُهُ قَالَ لَا وَايْمُ اللَّهِ إِنَّ الْمَرْأَةَ تَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ الْعَصْرَ مِنْ الدَّهْرِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَرْجِعُ إِلَى أَبِيهَا وَقَوْمِهَا أَهْلُ بَيْتِهِ أَصْلُهُ وَعَصَبَتُهُ الَّذِينَ حُرِمُوا الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkaar bin Ar-Rayyaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan - yaitu Ibnu Ibraahiim - , dari Sa'iid - yaitu Ibnu Masruuq - , dari Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam. Dia (Yaziid) berkata : “Kami menemui Zaid bin Arqam, lalu kami katakan kepadanya : 'Sungguh kamu telah memiliki banyak kebaikan. Kamu telah bertemu dengan Rasulullah, shalat di belakang beliau…dan seterusnya sebagaimana hadits Abu Hayyaan. Hanya saja dia berkata:  Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Ketahuilah sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat besar.Salah satunya adalah Al Qur'an, barang siapa yang mengikuti petunjuknya maka dia akan mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia akan tersesat.' Juga di dalamnya disebutkan perkataan : Lalu kami bertanya : “Siapakah ahlu baitnya, bukankah istri-istri beliau?”. Dia menjawab : “Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya. Yang dimaksud dengan ahlul-bait beliau adalah, keturunan dan keluarga beliau yang diharamkan bagi mereka untuk menerima zakat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2408].
2.         Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي حَيَّانَ التَّيْمِيِّ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ التَّيْمِيُّ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ مَعَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبُرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوهُ وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطِيبًا فِينَا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَنِي رَسُولُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فَأُجِيبُ وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ إِنَّ نِسَاءَهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنَّ أَهْلَ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ أَكُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Abu Hayyaan At-Taimiy : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Hayyaan At-Taimiy, ia berkata : “Aku, Hushain bin Sabrah, dan ‘Umar bin Muslim berangkat menemui Zaid bin Arqam. Ketika kami duduk bersamanya, Hushain berkata kepadanya : "Sesungguhnya Anda telah menuai kebaikan yang banyak wahai Zaid. Anda telah melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan mendengar haditsnya. Kemudian Anda juga telah berperang bersamanya dan shalat bersamanya. Sungguh, Anda telah melihat kebaikan yang banyak. Karena itu, ceritakanlah kepada kami apa yang telah Anda dengar dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam." Zaid berkata : "Wahai anak saudaraku, demi Allah, usiaku telah lanjut, dan masaku pun telah berlalu, dan aku telah lupa sebagian yang telah aku hafal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka apa yang aku ceritakan pada kalian, terimalah. Dan apa yang tidak, maka janganlah kalian membebankannya padaku". Zaid melanjutkan berkata : “Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah kepada kami di sebuah mata air yang biasa disebut Khumm, yakni bertempat antara Ka'bah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan mengungkapkan puji-pujian atas-Nya. Beliau memberi nasehat dan peringatan. Dan setelah itu beliau bersabda : ‘Amma ba'du, wahai sekalian manusia, aku hanyalah seorang manusia, yang hampir saja utusan Rabb-ku mendatangiku hingga aku pun memenuhinya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan dua perkara yang sangat berat di tengah-tengah kalian. Yang pertama adalah Kitabullah 'azza wajalla. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Karena itu, ambillah dan berpegang-teguhlah kalian dengannya". Beliau memberikan motivasi terkait dengan kitabullah dan mendorongnya. Kemudian beliau bersabda lagi : "Dan (yang kedua adalah) ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahli baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul-baitku, aku ingatkan kalian karena Allah terhadap akan ahlul-baitku." Kemudian Hushain bertanya kepada Zaid : "Dan siapakah ahlul-baitnya wahai Zaid?. Bukankah isteri-isteri beliau adalah termasuk ahlul-baitnya?". Zaid menjawab : "Isteri-isteri beliau termasuk bagian dari ahlul-baitnya. Akan tetapi, ahlul-bait beliau adalah siapa saja yang telah diharamkan baginya untuk menerima sedekah setelah beliau". Hushain bertanya lagi : "Siapakah mereka itu?". Zaid menjawab : "Mereka adalah keluarga ‘Aliy, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja'far, dan keluarga ‘Abbaas". Zaid bertanya lagi : "Apakah mereka semua diharamkan untuk menerima sedekah?". Ia menjawab : "Ya" [4/366-367].[1]
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ يَعْنِي ابْنَ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي أَلَا إِنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritkan kepada kami ‘Abdul-Malik – yaitu Ibnu Abi Sulaiman, dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih besar dari yang lain; Kitabullah, tali yang dibentangkan dari langit ke bumi, dan ‘itrahku ahlul-baitku, keduanya tidak akan berpisah hingga mereka tiba di telagaku”[3/26].[2]
3.         Sunan At-Tirmidziy
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحَسَنِ هُوَ الْأَنْمَاطِيُّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّتِهِ يَوْمَ عَرَفَةَ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ يَخْطُبُ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hasan – ia adalah Al-Anmaathiy - , dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hajinya ketika di 'Arafah, sementara beliau berkhutbah di atas untanya - Al Qahwa`- dan aku mendengar beliau bersabda : ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang dengannya, maka kalian tidak akan pernah sesat, yaitu Kitabullah, dan ‘itrahku  ahlul-baitku" [no. 3786].[3]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَالْأَعْمَشُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari  ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid. Dan Al-A’masy dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Zaid bin Arqam radliyallaahu ‘anhumaa, mereka berdua berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu lebih besar dari yang lain, yaitu; Kitabullah adalah tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi, dan ‘itrahku ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku" [no. 3788].[4]
4.         Al-Ma’rifah wat-Taarikh
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم  إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, dari Abudl-Dluhaa, dari Zaid bin Arqam, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan ‘itrahku ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [1/536; shahih].
5.         Mustadrak Al-Haakim.
حدثناه أبو بكر بن إسحاق ودعلج بن أحمد السجزي قالا أنبأ محمد بن أيوب ثنا الأزرق بن علي ثنا حسان بن إبراهيم الكرماني ثنا محمد بن سلمة بن كهيل عن أبيه عن أبي الطفيل عن بن واثلة أنه سمع زيد بن أرقم رضى الله تعالى عنه يقول نزل رسول الله صلى الله عليه وسلم بين مكة والمدينة عند شجرات خمس دوحات عظام فكنس الناس ما تحت الشجرات ثم راح رسول الله صلى الله عليه وسلم عشية فصلى ثم قام خطيبا فحمد الله وأثنى عليه وذكر ووعظ فقال ما شاء الله أن يقول ثم قال أيها الناس إني تارك فيكم أمرين لن تضلوا إن اتبعتموهما وهما كتاب الله وأهل بيتي عترتي ثم قال أتعلمون إني أولى بالمؤمنين من أنفسهم ثلاث مرات قالوا نعم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كنت مولاه فعلي مولاه
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq dan Da’laj bin Ahmad Al-Sajziy, keduanya berkata : Telah memberitakan Muhammad bin Ayub : Telah menceritakan kepada kami Al-Azraq bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin Ibraahiim Al-Kirmaaniy, : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah bin Kuhail, dari ayahnya, dari Abuth-Thufail bin Waatsilah : Bahwasannya ia mendengar Zaid bin Arqam radliyallaahu ta’ala ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti di suatu tempat antara Makkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat. Setelah itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan menyanjung Allah ta’ala, mengingatkan dan memberikan nasehat (kepada manusia). Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Wahai sekalian manusia, aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitabullah dan ahlul-baitku ‘itrahku”. Kemudian beliau melanjutkan :“Bukankah aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri?”. Orang-orang menjawab : “Ya”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya”. [no. 4577].[5]
6.         Musykiilul-Aatsaar.
حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ قَالَ ثنا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ ثنا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَضَرَ الشَّجَرَةَ بِخُمٍّ فَخَرَجَ آخِذًا بِيَدِ عَلِيٍّ فَقَالَ  يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ فَمَنْ كُنْت مَوْلَاهُ فَإِنَّ هَذَا مَوْلَاهُ أَوْ قَالَ فَإِنَّ عَلِيًّا مَوْلَاهُ شَكَّ ابْنُ مَرْزُوقٍ إنِّي قَدْ تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin Zaid, dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy, dari ayahnya, dari ‘Aliy : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berteduh di Khum kemudian beliau keluar sambil memegang tangan ‘Aliy. Beliau berkata : “Wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Rabb kalian?”. Orang-orang berkata : “Benar”. Beliau kembali bersabda : “Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri; serta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah maula bagi kalian?”. Orang-orang berkata “benar”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya maka dia ini juga sebagai maulanya” atau [Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda] : “Maka ‘Aliy sebagai maulanya” [keraguan ini dari Ibnu Marzuq]. Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitabullah yang berada di tangan kalian, dan Ahlul-Bait-ku” [3/56].[6]
Saya kira lafadh-lafadh di atas sudah cukup mewakili.
Kita akan melihat secara keseluruhan makna yang paling tepat akan hadits tsaqalain ini sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada.
Sebagaimana diketahui bahwa hadits di atas diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada waktu yang sama dan disaksikan lebih dari seorang shahabat. Yaitu saat haji wada’, tepatnya di satu tempat yang bernama Khumm. Jika kita ketahui bahwa hadits ini keluar pada orang yang satu (yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam), waktu yang satu (yaitu saat haji wada’), dan tempat yang satu (Khumm), maka lafadh hadits ini pun sebenarnya satu. Hukum dan maknanya pun juga satu.
Oleh karena itulah, kita perlu melihat keseluruhan lafadh hadits dari riwayat yang berbeda-beda sehingga kita bisa melihat lafadh hadits tersebut secara utuh. Karena telah ma’lum bahwa kadang satu hadits sengaja dibawakan oleh seorang perawi dengan meringkas, dan di lain riwayat ia bawakan secara lengkap. Juga, kadang seorang perawi menerima hadits dengan lafadh ringkas, namun perawi selain dirinya membawakan secara lengkap. Juga, adanya faktor kekurangan dalam sifat hifdh dari seorang perawi sehingga ia membawakan hadits yang semula panjang (lengkap), namun kemudian ia bawakan secara ringkas. Dan beberapa kemungkinan yang lainnya.
Kita juga harus memperhatikan bahwa hadits yang mempunyai latar belakang kisah itu lebih kuat penunjukkan hukumnya daripada yang tidak.
Ini semua mewajibkan kita untuk menelaah keseluruhan lafadh hadits yang ada.
Telah tsabt riwayat dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad (mohon untuk dibaca kembali dengan seksama hadits di atas) bahwa ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada umatnya tentang dua perkara yang berat (ats-tsaqalain), beliau berkata :
أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ
“Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya”.
Kemudian beliau menyambung perkara yang kedua :
وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“(Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku”.
Dari riwayat ini sangat jelas diketahui bahwa perintah untuk berpegang teguh ditujukan kepada Kitabullah. Adapun kepada Ahlul-Bait, beliau mengingatkan umatnya untuk memenuhi hak-haknya (sebagaimana diatur dalam syari’at).
Jika Syi’ah mengatakan bahwa Kitabullah dan Ahluk-Bait adalah dua hal yang sama dan setara, maka itu tidak dapat diterima. Sebab, dalam riwayat lain (ex :  Sunan At-Tirmidziy no. 3788) menjelaskan bahwa salah satu dari keduanya lebih besar dari yang lain :
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih besar dari yang lain”.
Hadits ini jelas menolak klaim kesetaraan.
Jika Syi’ah mengatakan bahwa kata Ahlul-Bait setelah huruf wawu merupakan ‘athafkepada Kitabullah – sebagaimana termaktub dalam Sunan At-Tirmidziy no. 3786 dan Al-Ma’rifah wat-Taariikh (sehingga mempunyai konsekuensi hukum yang sama dengan Al-Qur’an dalam perintah berpegang teguh dan jaminan tidak akan sesat ), ini pun tidak dapat diterima dengan alasan :
1.         Telah lalu perkataan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membedakan kedudukan keduanya.
2.         Dalam salah satu riwayat Muslim telah disebutkan lafadh :
كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ مَنْ اسْتَمْسَكَ بِهِ وَأَخَذَ بِهِ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
“Yaitu Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh dengannya dan mengambil pelajaran dari dalamnya maka dia akan berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat”.
Penunjukkan perintah itu secara tegas hanya tertuju pada Al-Qur’an (Kitabullah), tanpa ada tambahan keterangan ‘itrah ahlul-bait. Lafadh ini berkesesuaian dengan riwayat Muslim sebelumnya (dalam lafadh yang panjang) dan Ahmad (dalam lafadh yang panjang).
Sesuai pula dengan lafadh yang dibawakan Jaabir :
وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به. كتاب الله.
“Sungguh telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah” [Shahih Muslim no. 1218].[7]
yang tanpa ada keterangan tambahan berpegang teguh pada Ahlul-Bait.[8]
3.         Lafadh hadits :
إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي
Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh dengannyamaka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan ‘itrahku ahlul-baitku”.
Perhatikan kata yang di-bold merah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam memakai kata : bihi (به – “dengannya”), dimana ini merujuk pada satu hal saja, yaitu Kitabullah. Keterangan ini sesuai dengan hadits sebelumnya. Seandainya perintah tersebut mencakup dua hal (Kitabullah dan Ahlul-Bait) tentu ia memakai katabihimaa (بهما - “dengan keduanya”), sebagaimana lafadh riwayat :
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه
“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.
Hadits ‘Kitabullah wa sunnatii’ ini adalah dla’iif dengan seluruh jalannya. Di sini saya hanya ingin menunjukkan contoh penerapan dalam kalimat saja. Perintah berpegang teguh dan jaminan tidak akan tersesat dalam riwayat di atas dipahami merujuk pada Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena menggunakan bihimaa (بهما - “dengan keduanya”).[9] Ini adalah konsekeunsi logis dari kalimat itu sendiri.
Oleh karena itu, kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وعترتي أهل بيتيmansubkepada fi’il mahdzuuf dan itu merujuk pada kalimat : “aku ingatkan kalian akan Allah” (أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ) sebagaimana terdapat dalam riwayat Zaid bin Arqam yang dibawakan Muslim dan Ahmad.
وإني تارك فيكم الثقلين أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور من استمسك به وأخذ به كان على الهدى ومن تركه وأخطأه كان على الضلالة وأهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي ثلاث مرات
“Dan sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain. Yang pertama adalah Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh padanya dan mengambilnya (dengan melaksanakan kandungannya), maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya dan menyalahinya, maka ia berada dalam kesesatan. Dan (yang kedua adalah) Ahlul-Baitku.  Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku”– beliau mengatakannya tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2357; shahih].
4.         Ahlul-Bait bukanlah pribadi-pribadi yang ma’shum. Berbeda dengan Al-Qur’an yangma’shum dan pasti benar setiap huruf, kata, dan kalimatnya. ‘Aliy bin Abi Thaalib terbukti pernah keliru dengan meminang putri Abu Jahl sehingga mendapat teguran dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع. فحدثني فصدقني. وإن فاطمة بنت محمد مضغة مني. وأنما أكره أن يفتنوها. وإنها، والله! لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا
“Sesungguhnya aku telah mengawinkan Abul-‘Ash bin Ar-Rabii’, lalu ia memberitahuku dan membenarkanku. Sesungguhnya Fathimah bnti Muhammad adalah darah dagingku, karena itu aku tidak suka jika orang-orang memfitnahnya. Demi Allah, sungguh tidak boleh dikumpulkan selamanya antara anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah oleh seorang suami” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2449].
‘Aliy juga pernah salah ketika memberi hukuman terhadap para mulhidin dengan membakarnya :
عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).
Dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3017].
Dalam riwayat At-Tirmidziy disebutkan :
فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس
“Maka sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih. Diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya].
‘Aliy juga pernah keliru saat menegur Faathimah karena ia bercelak setelah tahallul:
وقدم علي من اليمن ببدن النبي صلى الله عليه وسلم فوجد فاطمة رضى الله تعالى عنها ممن حل ولبست ثيابا صبيغا واكتحلت فأنكر ذلك عليها فقالت إن أبي أمرني بهذا قال فكان علي يقول بالعراق فذهبت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم محرشا على فاطمة للذي صنعت مستفتيا لرسول الله صلى الله عليه وسلم فيما ذكرت عنه فأخبرته أني أنكرت ذلك عليها فقال صدقت صدقت
“…….Sementara itu ‘Aliy datang dari Yaman membawa hewan kurban Nabishallallaahu 'alaihi wa sallam. Didapatinya Fathimah termasuk orang yang tahallul; dia mengenakan pakaian bercelup dan bercelak mata. ‘Aliy melarangnya berbuat demikian. Fathimah menjawab : "Ayahku sendiri yang menyuruhku berbuat begini". ‘Aliy berkata : ‘Maka aku pergi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallamuntuk meminta fatwa terhadap perbuatan Fathimah tersebut. Kujelaskan kepada beliau bahwa aku mencegahnya berbuat demikian. Beliau pun bersabda : "Fathimah benar……." [Diriwayatkan Muslim no. 1218].
dan yang lainnya.
Bagaimana bisa kemudian Ahlul-Bait hendak disamakan dengan Al-Qur’an dalam perintah untuk selalu berpegang-teguh kepadanya dan jaminan aman dari kesesatan ? Kesesuaian mereka terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan tolok ukur dan jaminan petunjuk bagi manusia. Adapun kekeliruan mereka, maka sudah selayaknya tidak kita ikuti. Barangsiapa yang mengikuti kekeliruan mereka, maka ia telah menyimpang. Ahlul-Bait tetap dibebani kewajiban untuk berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa yang menetapinya keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) akan selamat, dan barangsiapa menyelisihinya akan tersesat.
Oleh karena itu, petunjuk yang dapat mereka berikan (kepada umat) tetap di-taqyiddengan kesesuaian terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sama seperti para shahabat, tabi’iin, dan tabi’ut-tabi’iin lainnya.
Jika ada yang mengatakan :
Telah ditunjukkan bahwa lafaz “berpegang teguh kepada Ahlul Bait” shahih dari Rasulullah SAW. Diantaranya kami menunjukkan bahwa riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam menyebutkan lafaz “berpegang teguh pada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Walaupun terdapat hadis lain yaitu riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam yang hanya menyebutkan lafaz “berpegang teguh kepada Kitab Allah” saja, tidaklah berarti riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam menjadi tertolak. Justru kalau kita menggabungkan keduanya maka hadis Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam melengkapi hadis Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam. Menjamak keduanya jelas lebih tepat dan hasil penggabungan keduanya adalah Rasulullah SAW menetapkan “berpegang teguh pada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Hal yang sangat ma’ruf bahwa penetapan yang satu bukan berarti menafikan yang satunya. Apalagi jika terdapat dalil shahih penetapan keduanya maka dalil penetapan yang satu harus dikembalikan kepada penetapan keduanya.
Saya tidak tahu apakah perkataan ini lahir dari pengetahuan penjamakan lafadh-lafadh hadits yang dikenal ulama. Dan siapa pula yang menolak hadits Abudl-Dluhaa ? Bisa dicermati hadits-hadits di atas. Hadits Abu Dluhaa dari Zaid bin Arqam merupakan lafadh yang lebih ringkas daripada lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam. Juga, lafadh hadits Abudl-Dluhaa bukan merupakan jenis lafadh ziyaadatuts-tsiqahkarena tidak ada lafadh yang bisa ditambahkan pada lafadh Yaziid bin Hayyaan. Tidak lebih, ia hanya merupakan ikhtishar saja. Jenis-jenis semacam ini banyak dalamkutubus-sunnah. Justru lafadh yang lengkap ada pada hadits Yaziid bin Hayyaan. Jika demikian, bagaimana bisa dipahami bahwa hadits Abu Dluhaa adalah pelengkap lafadh Yaziid bin Hayyaan ?. Di bagian mana lafadh hadits Abudl-Dluhaa melengkapi lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan ?
Jangan kita terpengaruh oleh syubhat : Apalagi dalam riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid terdapat lafal dimana Zaid berkata “aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Bukankah ini menunjukkan kalau hadis yang mengandung lafal seperti ini membutuhkan penjelasan dari hadis lain.  
Kalimat di atas sepertinya punya kecenderungan untuk diarahkan bahwa saat Zaid bin Arqam menceritakan kepada Yaziid bin Hayyaan dalam keadaan telah tua dan sebagian hal ada yang telah terlupakan dari ingatannya, termasuk hadits ini.
Mari kita cermati apa sebenanya yang dikatakan Zaid bin Arqam :
“Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku telah tua dan ajalku semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya”.
Dapat kita pahami bahwa hadits yang disampaikan Zaid bin Arqam kepada Yaziid bin Hayyaan adalah hadits yang masih ia ingat betul. Saya sepakat, mungkin saja ada beberapa lafadh yang kurang dalam hadits Yaziid bin Hayyaan, dan itu bisa ditambahi dari riwayat-riwayat lain yang termasuk dalam katagori : ziyaadatuts-tsiqah. Memperhatikan riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas, beberapa lafadh yang dapat ditambahkan ke dalam lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam sebagai berikut (yang asal sanadnya hasan atau shahih) :
أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم ثقلين، [أحدهما أعظم من الآخرِ] : أولهما كتاب الله [حبل ممدود من السَّماء إلى الأرض] فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به [ومن تركه كان على ضلالة]" فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال "وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي [فانظروا كيف تخلفوني فيهما]. [ألستم تشهدون أن اللَّه عزّ وجلّ ربّكم ؟ قالوا بلى قال ألستم تشهدون أنّ اللَّه ورسوله أولى بكم من أنفسكم وأنّ اللَّه عزّ وجلّ ورسوله مولياكم ؟ قالوا بلى قال فمن كنت مولاه فإنّ هذا مولاه أو قال فإنّ عليّا مولاه]
“Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), [salah satu dari keduanya itu lebih besar dari yang lain]. Pertama,Kitabullah [yaitu tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi] yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya, [dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat]”. (Perawi berkata) : Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku. [karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku]. [Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Rabb kalian?”. Orang-orang berkata : “Benar”. Beliau kembali bersabda : “Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri; serta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah maula bagi kalian?”. Orang-orang berkata “benar”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya maka dia ini juga sebagai maulanya”].
Adakah ruang bagi riwayat Abudl-Dluhaa untuk menambah lafadh Yaziid bin Hayyaan ? (Jawabnya : Tidak).[10]
Ringkasnya, riwayat Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam merupakan penjelas dari riwayat Abudl-Dluhaa dari Zaid bin Arqam, terutama di bagian kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’. Bukan sebaliknya.
Tidak ada penunjukan dalam hadits ats-tsaqalain untuk selalu berpegang tegus pada ahlul-bait dan jaminan pasti aman dari kesesatan. Hadits ats-tsaqalain memberikan penjelasan tentang kewajiban untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang dipahami oleh para shahabat radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَصَدَقَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ ارْقُبُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ
Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Ma’iin dan Shadaqah, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Waaqid bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Telah berkata Abu Bakr : “Peliharalah hubungan dengan Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan cara menjaga hubungan baik dengan ahlul-bait beliau” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3751].
Semoga yang dituliskan ini ada manfaatnya.
Wallaahu ta’ala a’lam bishs-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai].



[1]      Sanad hadits ini shahih.
[2]      Sanad hadits ini lemah dengan kelemahan terletak pada ‘Athiyyah, ia adalah Ibnu Sa’d bin Janaadah Al-‘Aufiy. Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli hadiits. Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits. Telah sampai kepadaku bahwasannya ‘Athiyyah mendatangi Al-Kalbiy dan mengambil darinya tafsir, dan ‘Athiyyah memberikan kunyah kepadanya (Al-Kalbiy) Abu Sa’iid. Kemudian (saat meriwayatkan) ia berkata : ‘Telah berkata Abu Sa’iid’. Husyaim telah mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah” [Al-‘Ilal, no. 1306 dan Al-Kaamil 7/84 no. 1530]. Ahmad juga berkata : “Sufyan – yaitu Ats-Tsauriy – telah mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah” [Al-‘Ilal, no. 4502]. Yahyaa bin Ma’iin dalam riwayat Ad-Duuriy berkata : “Shaalih” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/383 no. 2125]. Namun dalam riwayat lain, seperti Abul-Waliid bin Jaarud, Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif” [Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir, hal. 1064 no. 1395].  Juga riwayat Ibnu Abi Maryam, bahwasannya Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif, kecuali jika ia menuliskan haditsnya” [Al-Kaamil, 7/84 no. 1530]. Abu Haatim berkata : “Dla’iiful-hadiits, ditulis haditsnya. Abu Nadlrah lebih aku sukai daripadanya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/383 no. 2125]. Abu Zur’ah berkata : “Layyin (lemah)” [idem]. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun no. 481]. Al-Bukhaariy berkata : “Telah berkata Ahmad terhadap hadits ‘Abdul-Malik dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :‘Telah aku tinggalkan pada kalian ats-tsaqalain…’ : “Hadits-Hadits orang-orang Kuffah inimunkar” [Taariikh Ash-Shaghiir, 1/267]. Abu Dawud berkata : “Ia bukan termasuk orang yang dipercaya (dapat dijadikan sandaran)” [Suaalaat Abi ‘Ubaid Al-Aajuriiy, hal. 105 no. 24]. Ad-Daaruqthniy berkata : “Mudltharibul-hadiits” [Al-‘Ilal, 4/291]. Di tempat lain ia juga berkata : “Dla’iif” [As-Sunan, 4/39 – dari Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy, hal. 453]. Ibnu ‘Adiy berkata : “Bersamaan dengan kedla’ifannya, ia ditulis haditsnya” [Al-Kaamil, 7/85]. Ibnu Sa’d berkata : “Ia tsiqahinsya Allah. Memiliki hadits-hadits yang baik dan sebagian orang tidak menjadikannya sebagai hujjah” [Thabaqaat Ibni Sa’ad, 6/304]. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah yang tsiqah, namun tidak kuat (haditsnya)” [Ma’rifatuts-Tsiqaat, 2/140 no. 1255]. Ibnu Syaahiin berkata : “Tidak mengapa dengannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’iin” [Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat, hal. 247 no. 970]. Adz-Dzahabiy berkata : “Para ulama telah mendla’ifkannya” [Al-Kaasyif 2/27 no. 3820]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, banyak salahnya, orang Syi’ah mudallis” [Tahriirut-Taqriib 3/20 no. 4616].
[lihat juga : Tahdziibul-Kamaal, 20/145-149 no. 3956 dan Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 2/209 no. 2937.
Di sini ‘Athiyyah juga membawakan riwayat dengan ‘an’anah sedangkan ia seorang mudallistingkat keempat – sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 130 no. 122]. Jenis tadliis yang ia lakukan adalah jenis tadliis yang buruk, sebagaimana ditunjukkan dari perkataan Ahmad di atas.
Janganlah Anda terpedaya oleh ucapan : “Sebagian ulama menta’dilkan Athiyah dan sebagian yang lain mendhaifkannya. Mereka yang mendhaifkan Athiyyah tidak memiliki alasan yang kuat kecuali kalau Athiyyah dinyatakan melakukan tadlis syuyukh”.
Bagaimana bisa dikatakan tidak kuat ? Mereka men-jarh tidak semata-mata karena tadlis syuyukh yang qabiih (jelek) dari ‘Athiyyah. Silakan perhatikan benar-benar daftar perkataan para ulama terhadap diri ‘Athiyyah di atas. Jarh yang mereka alamatkan adalah dari sisi hapalannya. Bukankah Ibnu Ma’iin berkata bahwa ia seorang yang lemah kecuali jika ia menuliskan haditsnya ? Bukankah Ad-Daaruquthniy mengatakan ia seorang yang mudltharib(goncang) ? Juga jarh layyin dari Abu Zur’ah, ini menunjukkan jeleknya hapalan (suu’ul-hifdhiy). Ad-Daaruquthniy telah menjelaskan bahwa jika seseorang di-jarh dengan perkataanlayyin, maka ia di-jarh bukan dari sisi ‘adalah-nya (maksudnya di sini, ia di-jarh dari sisidlabth-nya) [lihat : Al-Khulaashah fii ‘Ilmil-Jarh wat-Ta’diil, hal. 312]. Ini semua menunjukkan cacat di sisi ke-dlabith-annya. Ini bukan jenis jarh yang mubham. Selain itu, darimana dapat disimpulkan tajrih Husyaim, Ats-Tsauriy, Abu Haatim, An-Nasaa’iy, Abu Dawud, dan Ibnu ‘Adiy keluar semata-mata dengan sebab tadlis syuyuukh dari ‘Athiyyah ?
Pen-tsiqah-an Ibnu Syaahin bersandar pada perkataan Ibnu Ma’iin, padahal ia (Ibnu Ma’iin) telah mempunyai perkataan yang lebih rinci sebagaimana ternukil dari riwayat Ibnu Abi Maryam. Adapun pen-tautsiq-an Al-‘Ijliy – bersamaan dengan tasahul­-nya dalam pen-tautsiq-an perawi – ada hujjah yang menunjukkan jarh yang saya tunjukkan, yaitu tambahan keterangan : “Wa laisa bil-qawiy (dan ia bukan orang yang kuat)”. Maksudnya di sini, ‘Athiyyah tidak kuat dari sisi hapalannya (dlabth), namun terpercaya dari sisi ‘adalah-nya. Adapun bersandar pada tahsin At-Tirmidziy - kalaupun kita menganggap bahwa tahsinterhadap hadits itu dimutlakkan pada tahsin perawinya - , ia termasuk ulama yang tasaahuldalam pen-tautsiq-an perawi. Dan yang tersisa tinggallah tautsiq dari Ibnu Sa’d.
Pen-tautsiq-an ini sangatlah tidak memadai untuk mengalahkan ta’yin jarh ulama pada diri ‘Athiyyah, karena jarh yang mereka pakai adalah mufassar – selain juga merupakan pendapat mayoritas dalam pendla’ifan.
Jika ada yang mengatakan : Imam Bukhari berkata “Ahmad berkata tentang hadis Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Athiyyah dari Abu Sa’id bahwa Nabi SAW bersabda “aku tinggalkan untuk kalian Ats Tsaqalain” hadis orang-orang kufah yang mungkar [Tarikh As Saghir juz 1 no 1300]. Perkataan Ahmad bin Hanbal ini sangat jelas kebathilannya. Hadis Tsaqalain tidak hanya diriwayatkan oleh Abdul Malik dari Athiyyah dari Abu Sa’id tetapi telah diriwayatkan dengan banyak jalan dan diantaranya terdapat jalan yang shahih seperti halnya riwayat Zaid bin Arqam sebelumnya”.
Justru perkataan di atas lah yang lebih jelas kebathilannya karena minimnya pengetahuan atas istilah-istilah ilmu hadits. Perkataan hadits munkar itu menunjukkan adanya kelemahan dari perawinya. Bukankah definisi dari hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan olehperawi dla’iif yang menyelisihi perawi tsiqah. Dalam definisi lain mengatakan : Hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang banyak kelirunya, banyak lupanya, atau menampakkan kefasikannya [lihat dua definisi ini dalam Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Mahmuud Ath-Thahhaan, hal. 74]. Jika memang tidak ada cacat dari para perawinya, apakah mungkin satu hadits dikatakan munkar ? (menurut ilmu mushthalah yang sudah ma’ruuf). Di sini Al-Imam Ahmad sedang membicarakan hadits ‘Athiyyah yang ia sendiri telah men-jarh-nya dengan : “Dla’iif”. Ia pun menukil pen-dla’if-an itu juga dari Husyaim dan Ats-Tsauriy. Apakah menjadi ‘sangat tidak mungkin’ jarh tersebut adalah jarh yang dilamatkan karena ke-dla’ifan-an diri ‘Athiyyah ? Jadi sangat tidak ‘nyambung’ menolak pendlaifan ‘Athiyyah dari Al-Imam Ahmad ini dan menyanggahnya dengan alasan : ‘Hadis Tsaqalain tidak hanya diriwayatkan oleh Abdul Malik dari Athiyyah dari Abu Sa’id tetapi telah diriwayatkan dengan banyak jalan dan diantaranya terdapat jalan yang shahih seperti halnya riwayat Zaid bin Arqam sebelumnya’Memang benar hadits ats-tsaqalain ini bukan hanya diriwayatkan dari jalur tersebut. Namun sekali lagi tidak ‘nyambung’ jika alasan ini digunakan untuk menolak pen-dla’if-an ‘Athiyyah.
[3]      Sanad hadits ini lemah, dengan kelemahan yang terletak pada Zaid bin Al-Hasan Al-Anmathiy. Ia seorang perawi yang diperselisihkan. Abu Haatim berkata : “Matruukul-hadiits”. Sedangkan Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Ia telah didla’ifkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqriib – dan ini disepakati oleh Basyar ‘Awaad dalam Tahriir Taqriibit-Tahdziib (1/433 no. 2127) dan tahqiq-nya terhadap Sunan At-Tirmidziy (6/124). Begitu pula Adz-Dzahabiy dalam Al-Kaasyif (1/416 no. 1731).
Dalam ilmu hadits, Abu Haatim adalah ulama yang tasyaddud, dan sebaliknya Ibnu Hibbaan adalah ulama yang tasaahul. Kesepakatan dua orang haafidh (yaitu Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabiy) dalam pendla’ifan mempunyai nilai tersendiri. Hal itu bisa dibuktikan dari pengambilan perkataan mereka dalam pendla’ifan Al-Anmathiy oleh para ulama setelahnya. Apalagi, Adz-Dzahabiy yang menjadi salah satu sumber penilaian tasyaddud-nya Abu Haatim (dalam kitab As-Siyaar, 13/260), maka di sini ia telah memberikan penilaian dengan mengambil pendla’ifan Abu Haatim.
Qarinah yang lebih menunjukkan kelemahan diri Al-Anmathiy adalah bahwasannya ia telah diselisihi oleh Haatim bin Ismaa’iil Al-Madiniy dan Hafsh bin Ghiyaats, dimana mereka berdua meriwayatkan Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang khutbah wada’, dimana beliau bersabda :
وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به. كتاب الله.
“Sungguh telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah” [Shahih Muslim no. 1218].
yaitu tanpa tambahan lafadh : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي).
Maka dari itu, yang raajih – sebagaimana ini diambil oleh para muhaqqiq – adalah ta’yin atas kelemahan diri Zaid bin Al-Hasan Al-Anmathiy. Dan untuk tambahan (ziyadah) lafadh : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي) adalah tambahan yang munkar, karena dibawakan oleh perawi dla’if – sebagaimana kaidah ini dijelaskan Ibnu Shalah dalam ‘Uluumul-Hadiits.
NB : Jika ada yang mengatakan bahwa At-Tirmidziy memberikan tautsiq kepada Zaid bin Al-Hasan, maka perkataannya perlu ditinjau ulang. Jika ia mengatakan hal itu dengan melihat penghukumannya atas hadits : hasan ghariib; maka para ulama telah bersilang pendapat mengenai makna perkataan ini. Beda peristilahan antara ghariibhasan, hasan ghariibhasan shahih, dan hasan shahih ghariib. Ini berawal dari persyaratan hadits hasan yang diberikan sendiri oleh At-Tirmidziy dalam Sunan-nya, yaitu : (1) Ketiadaan perawi yang dituduh berdusta (muttaham bil-kidzb), (2) sanadnya tidak syadz, dan (3) mempunyai jalan periwayatan lain selain dari sanad hadits itu. Dan seterusnya. Oleh karena itu, tidak layak berpegang pada perkataan At-Tirmidziy : ‘hasan ghariib’ sebagai tanda pen-tautsiq-anterhadap seluruh rawinya.
[4]      Hadits ini terdiri dari dua sanad yang poros sanadnya pada Al-A’masy.
a.   Hadits Abu Sa’iid; yaitu dari ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’iid.
Sanad ini lemah karena ‘Athiyyah, ia adalah Ibnu Sa’d bin Janaadah Al-‘Aufiy. Telah lalu penjelasannya di atas.
Di sini ia juga membawakan dengan ‘an’anah sedangkan ia seorang mudallis tingkat keempat – sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 130 no. 122].
b.   Hadits Zaid bin Al-Arqam; yaitu dari ‘Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Zaid bin Arqam.
Sanad hadits ini lemah, karena Habiib bin Abi Tsaabit. Ia adalah perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim. Akan tetapi  ia adalah seorang yang banyak melakukan tadliisdan irsal. Ibnu Hajar memasukkannya mudallis tingkat tiga [Thabaqaatul-Mudallisiin, no. 69]. Riwayatnya tidak diterima kecuali jika ia membawakan dengan tashriihpenyimakannya [lihat Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwad Al-Khalaf, hal. 283]. Dan dalam sanad riwayat ini, ia membawakan dengan ‘an’anah.
Ada sebagian orang yang menolak pensifatan tadlis dan irsal terhadap Habiib sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar (- yang kemungkinan orang tersebut bertaqlid pada Dr. Basyar ‘Awwaad dalam At-Tahriir).
Penolakan sifat banyak tadliis dan irsaal ini sangatlah aneh. Penisbatan sifat ini telah dikatakan oleh Ibnu Hibbaan, Ibnu Khuzaimah, dan Ad-Daaruquthniy. Apa yang mereka katakan punya sandaran, yaitu apa yang dikatakan oleh Ibnu Ja’far An-Nuhaas dimana Habiib pernah berkata kepadanya : “Apabila seseorang menceritakan hadits kepadaku yang berasal darimu, kemudian aku menceritakannya langsung darimu maka itu benar bagiku” [dari ta’liq Dr. ‘Abdul-Ghafaar bin Sulaimaan dan Prof. Muhammad bin Ahmad terhadap Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 87]. Semisal dengan ini telah dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Ta’rif dari Al-A’masy saat menyebutkan keterangan Habiib bin Abi Tsaabit. Ad-Daaruquthniy juga telah mengisyaratkan apa yang dikatakan Ibnu Hajar ini dengan perkataannya : “Habiib tidak mendengar hadits ini dari Abul-Hayyaaj. Ia hanyalah mendengar dari Abu Waail Syaqiiq bin Salamah, dari Abul-Hayyaaj, sebagaimana dikatakan oleh Ats-Tsauriy” [Al-‘Ilal, 4/183 – melalui perantaraan Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy hal. 185 no. 861]. Semua ini adalah indikasi yang menguatkan apa yang dikatakan Ibnu Hajar.
Pensifatan tadlis ini juga dikatakan oleh Al-‘Alaaiy, Al-‘Iraaqiy, Adz-Dzahabiy, Al-Maqdisiy, As-Sabth bin ‘Ajamiy Asy-Syaafi’iy, Al-Halabiy, dan As-Suyuuthiy [lihatRiwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwad Al-Khalaf, hal. 283, Al-Mudallisiin oleh Al-‘Iraaqiy hal. 39-40 no. 7, Asmaaul-Mudalisiin oleh As-Suyuthiy hal. 36 no. 7, dan At-Tabyiin li-Asmaail-Mudallisiin oleh As-Sabth bin Al-‘Ajamiy Asy-Syaafi’iy hal. 19-20 no. 10].
Sangat keliru jika menghilangkan sifat tadlis dengan pernyataan bahwa : Habib bin Abi Tsabit lahir pada tahun 46 H sedangkan Zaid bin Arqam wafat pada tahun 68 H. jadi ketika Zaid wafat Habib berumur 22 tahun dan keduanya tinggal di kufah sehingga sangat memungkinkan bagi Habib bin Abi Tsabit bertemu dengan Zaid bin Arqam dan mendengar hadis darinya. Karena yang dimaksud dengan tadlis – sebagaimana ma’rufdalam ilmu mushthalah – adalah :
“Jika si perawi meriwayatkan hadits yang tidak pernah ia dengar dari orang yang pernah ia dengan haditsnya; tanpa menyebutkan bahwa perawi tersebut mendengar hadits itu darinya….. Penjelasan definisi tadlis isnad ini adalah bahwa seorang perawi meriwayatkan beberapa hadits yang ia dengar dari seorang syaikh (guru), namun hadits yang ia tadlis­-kan tidak pernah ia dengan dari gurunya itu. Hadits itu ia dengar melalui (perantara)syaikh yang lain, dari syaikh-nya yang pertama tadi. Orang tersebut (si mudallis) menggugurkan syaikh yang menjadi perantara, dan kemudian ia (si mudallis) meriwayatkan darinya (syaikh yang pertama) dengan lafadh yang mengandung kemungkinan mendengar (samaa’) atau yang semisalnya; seperti lafadh قَالَ (telah berkata) atau عَنْ (dari) – agar orang lain menyangka bahwa ia telah mendengar darisyaikh tersebut. Padahal tidak benar orang itu telah mendengar hadits ini. Ia tidak mengatakan سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atau حَدَّةَنِيْ (telah menceritakan kepadaku), sehingga ia tidak bisa disebut sebagai pendusta atas perbuatan itu. Orang yang ia gugurkan tadi bisa satu orang atau lebih” [lihat Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhaan hal. 62 dan Ta’riifu Ahlit-Taqdiis bi-Maraatibil-Maushuufiina bit-Tadliis oleh Ibnu Hajar hal. 10, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Ghaffaar Sulaiman & Muhammad bin Ahmad ‘Abdil-‘Aziiz].
Oleh karena itu, kemungkinan bertemu atau bahkan bertemu sekalipun tidak dapat menghilangkan sifat tadlis bagi orang-orang berada pada martabat ketiga mudallisiin, jika ia tidak menjelaskan tashriih sima’-nya. Sebenarnya ini sudah sangat ma’ruf.
Jika ada yang mengatakan : “Disebutkan dalam Al Mustadrak no 4576 kalau Habib bin Abi Tsabit meriwayatkan hadis Tsaqalain dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam. Kami katakan keduanya shahih, Habib meriwayatkan dari Zaid bin Arqam dan Habib meriwayatkan dari Abu Thufail dari Zaid. Zaid bin Arqam dan Abu Thufail keduanya adalah sahabat Nabi. Bisa saja dikatakan bahwa riwayat Habib dari Abu Thufail dari Zaid menunjukkan bahwa Habib melakukan tadlis sehingga ia menghilangkan nama Abu Thufail dan meriwayatkan langsung dari Zaid. Kami katakan perkataan ini hanya bersifat dugaan semata dan jika benar maka tadlis yang dilakukannya tidak bersifat cacat karena nama yang Habib hilangkan adalah nama sahabat Nabi yaitu Abu Thufail sehingga kalau mau dikatakan tadlis maka kedudukan Habib adalah mudallis martabat pertama yaitu yang sedikit melakukan tadlis atau ia melakukan tadlis dari perawi yang tsiqat atau adil. Tadlis yang seperti ini jelas bisa dijadikan hujjah.
Pernyataan ini justru hanya duga-duga semata. Bagaimana bisa dipastikan bahwa tadlisyang dilakukan Habiib terhadap Zaid bin Arqam adalah pengguguran Abu Thufail ? Justru riwayat sebelumnya (no. 4576) juga kita pertanyakan karena ia membawakan secara‘an’anah dari periwayatan Abu Thufail, dari Zaid bin Arqam. Sependek pengetahuan saya, yang dapat menggugurkan tadlis dari mudallis level seperti Habiib ini adalah tashrih bis-sima’. Seandainya saja riwayat Habiib dari Abu Thufail ini menggunakan tashrih simaa’, maka saya sepakat bahwa yang digugurkan pada hadits no. 4577 adalah Abu Thufail. Tapi kenyataan kan tidak ? [lihat At-Tatabbu’ oleh Muqbil Al-Wadi’iy, 3/126 no. 4640].
Mari kita baca kembali mushthalah hadits.
Lagi pula, kepastian bertemu tidaknya antara Habiib dengan Abuth-Thufail dan Zaid bin Arqam ini juga dipermasalahkan sebagian ulama. Al-‘Alaa’iy berkata : “’Aliy bin Al-Madiniy berkata : ‘Habiib bin Abi Tsaabit bertemu dengan Ibnu ‘Abbaas, mendengar (riwayat) dari ‘Aaisyah, dan tidak mendengar dari selain keduanya dari kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum’. Telah berkata Abu Zur’ah : ‘Ia tidak mendengar dari Ummu Salamah’. At-Tirmidziy berkata dalam haditsnya yang berasal dari Hakiim bin Hizaam mengenai pembelian hewan kurban : ‘Menurut (pengetahuan)ku, Habiib bin Abi Tsaabit tidak mendengar dari Hakiim bin Hizaam. Telah berkata Sufyaan Ats-Tsauriy, Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, Al-Bukhaariy. Dan yang lainnya bahwasannya Habiib bin Abi Tsaabit tidak pernah mendengar dari ‘Urwah bin Zubair sama sekali” [Jaami’ut-Tahshiil fii Ahkaamil-Maraasil, hal. 158-159 no. 117].
Dari perkataan didapat satu pengetahuan bahwa hukum umum riwayat Habiib bin Abi Tsaabit dari para shahabat adalah mursal, kecuali jika ditunjukkan padanya bayyinahakan sima’-nya. Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir (2/313 no. 2592) telah menetapkan bahwa Habiib mendengar riwayat dari Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umarradliyallaahu ‘anhum.
Sangat dimaklumi jika Syu’aib Al-Arna’uth (Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad, 17/171) menghukumi riwayat Habiib dari Abi Thufail maupun Zaid bin Arqam sebagai riwayat yang munqathi’.
Sebenarnya di sini bahasan di point ini bukan untuk men-dla’if-kan riwayat At-Tirmidziy (no. 3788), karena saya sepakat bahwa riwayat ini adalah hasan lighairihi karena ada penguat dari jalur lain. Hanya saja, saya tidak sepakat dengan metode ‘aneh’ sebagian orang dalam penilaian hadits.
[5]      Sanad riwayat ini lemah dikarenakan Muhammad bin Salamah bin Kuhail. Al-Juzjaaniy berkata : “Dzaahibul-hadiits” [Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 2/310 no. 5577]. Ibnu Ma’iin berkata : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)” [Lisaanul-Miizaan, 7/168]. Ia juga dinisbatkan padatasyayyu’ dan mempunyai hadits-hadits munkar [Al-Kaamil, 7/444]. As-Sa’diy berkata :“Waahiyul-hadiits (lemah haditsnya)” [Adl-Dlu’afaa wal-Matruukuun li-Ibnil-Jauziy 3/67 no. 3017]. Ibnu Syaahiin berkata : “Dla’iif” [Taariikh Asmaa’ Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzaabiin, hal. 166 no. 566]. Ibnu Hibbaan dengan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ahmad berkata : “Muqaaribul-hadiits” [Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 3/267 no. 2335]. Ad-Daaruquthniy mengatakan : “Bisa dijadikan i’tibar” [Suaalaat Al-Barqaaniy, no. 539].
Ada yang mengatakan : Muhammad bin Salamah bin Kuhail diikuti oleh Yahya bin Salamah bin Kuhail sebagaimana disebutkan dalam Juz Abu Thahir dengan sanad dari Qasim bin Zakaria bin Yahya dari Yusuf bin Musa dari Ubaidillah bin Musa dari Yahya bin Salamah bin Kuhail dari ayahnya dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam [Juz Abu Thahir no 143]. Paraperawinya tsiqah kecuali Yahya bin Salamah bin Kuhail seorang yang matruk sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar [At Taqrib 2/304].
Perkataan tersebut adalah benar bahwa Ibnu Hajar telah mengatakannya dalam At-Taqriib. Perawi matruk tidak bisa dijadikan sebagai penguat.
Ada yang mengatakan :
“Muhammad bin Salamah juga memiliki mutaba’ah dari Syu’aib bin Khalid yang juga disebutkan dalam Juz Abu Thahir dengan jalan sanad dari Abu Bakar Qasim bin Zakaria bin Yahya dari Muhammad bin Humaid dari Harun bin Mughirah dari Amr bin Abi Qais dari Syu’aib bin Khalid dari Salamah bin Kuhail dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam [Juz Abu Thahir no 142]. Hadis ini para perawinya tsiqat kecuali Muhammad bin Humaid, ia seorang yang dhaif. Ibnu Ma’in, Muhammad bin Yahya Adz Dzahiliy, Ahmad, dan Ja’far bin Abi Utsman Ath Thayalisi telah menta’dilkannya. Nasa’i berkata “tidak tsiqat”. Ia didustakan oleh Shalih bin Muhammad, Abu Zur’ah dan Ibnu Khirasy. Yaqub bin Syaibah berkata “banyak meriwayatkan hadis munkar” [At Tahdzib juz 9 no 181]. Ibnu Hajar berkata “seorang hafizh yang dhaif” [At Taqrib 2/69]”.
Saya berkata :
Tentang Muhammad bin Humaid ini; Al-Bukhaariy berkata : “Fiihi nadhar” [At-Taariikh Al-Kabiir, 1/167]. Ya’quub bin Syaibah As-Saduusiy berkata : “Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy padanya banyak perkara yang diingkari (katsiirul-manaakir)” [Tahdziibul-Kamaal, 25/102]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah” [Taariikh Baghdaad, 2/263 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ishaaq bin Manshuur berkata : “Aku bersaksi di hadapan Allah bahwa Muhammad bin Humaid dan ‘Ubaid bin Ishaaq Al-‘Aththaar adalah pendusta” [Taariikh Baghdaad, 2/263]. Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy Al-Haafidh berkata : “Aku tidak melihat seorang pun yang yang lebih banyak dustanya daripada dua orang, yaitu Sulaimaan Asy-Syaadzakuuniy dan Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy…” [Taariikh Baghdaad, 2/262]. Ia telah didustakan oleh Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Ibnu Waarah [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia termasuk orang yang menyendiri dalam periwayatan dari orang-orang tsiqah dengan sesuatu yang terbolak-balik, khususnya jika ia meriwayatkan dari para syaikh negerinya” [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005]. Ibraahiim bin Ya’quub Al-Jauzajaaniy berkata : “Ia seorang yang bermadzhab buruk, tidak tsiqah” [Ahwaalur-Rijaal,hal. 207 no. 382]. ‘Abdurrahmaan bin Yuusuf bin Khiraasy dan jama’ah ahli-hadits negeri Ray saat disebut Muhammad bin Humaid, maka mereka sepakat bahwa ia sangat lemah dalam haditsnya [Taariikh Baghdaad, 2/261]. Ibnu Khiraasy sendiri mendustakannya [idem, 2/263]. Sudah menjadi pengetahuan bahwa jarh penduduk yang satu negeri dengan perawi lebih kuat, karena mereka lebih mengetahui keadaan negerinya sendiri dibandingkan yang lain. Ad-Daaruquthniy berkata : “Diperselisihkan” [Suaalaat As-Sulamiy no. 287]. Ibnul-Jauziy memasukkanya dalam Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin (3/54). Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ (2/289 no. 5452) dan berkata : “Dla’iif, bukan dari sisi hapalannya”. Ibnu Hajar berkata : “Seorang haafidh yang dla’iif. Ibnu Ma’iin mempunyai pandangan baik terhadapnya” [At-Taqriib, hal. 839 no. 5871]. Ahmad memujinya bahwa negeri Ray akan tetap diliputi ilmu selama Muhammad bin Humaid hidup. Namun ia pujiannya ini dikritik oleh Ibnu Khuzaimah bahwasannya dalam hal ini Ahmad tidak mengetahui perihal Ibnu Humaid. Seandainya ia mengetahui sebagaimana yang diketahui Ibnu Khuzaimah, niscaya ia tidak akan memujinya [Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 3/255-256 no. 2311]. Ibnu Hibbaan menyebutkan bahwa setelah Al-Imam Ahmad mengetahui Abu Zur’ah dan Ibnu Waarah mendustakan Ibnu Humaid, maka Shaalih bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Sejak saat itu aku melihat ayahku jika disebutkan Ibnu Humaid, beliau mengibaskan tangannya” [Al-Majruuhiin, 2/321]. Inilah pendapat terakhir Ahmad (yaitu menyepakati jarh Abu Zur’ah dan Ibnu Waraah). Ibnu Ma’iin dan Ja’far bin Abi ‘Utsmaan Ath-Thayaalisiy men-tsiqah-kannya.
Perkataan yang tepat tentang diri Muhammad bin Humaid adalah ia perawi yang sangat lemah. Ia dikritik dari ulama baik dari segi hapalannya maupun ‘adalah-nya.
Kedua mutaba’ah di atas tidak bisa dipakai sebagai mutaba’ah.
Dikatakan :
Secara keseluruhan riwayat Salamah bin Kuhail dari Abu Thufail dari Zaid bin Arqam kedudukannya hasan lighairihi karena riwayat Muhammad bin Salamah bin Kuhail dikuatkan oleh riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam serta riwayat Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.
Riwayat Abu Dluhaa adalah shahih, namun riwayat yang ia bawakan berbeda dengan riwayat Muhammad bin Salamah bin Kuhail, bahkan lebih ringkas. Adapun riwayat Habiib bin Abi Tsaabit, ia hasan, namun lafadhnya juga berbeda dengan yang dibawakan Muhammad bin Salamah bin Kuhail.
Oleh karena itu, lafadh yang dipertimbangkan di sini bukan dari sisi lafadh yang dibawakan oleh Muhammad bin Salamah bin Kuhail.
[6]      Sanad riwayat ini hasan. Katsiir bin Zaid, ia adalah Al-Aslamiy As-Sahmiy, Abu Muhammad Al-Madiniy. Para ulama telah berselisih pendapat mengenainya. Yang raajih, ia adalah perawi yang hasan haditsnya selama tidak ada penyelisihan.
Catatan :
Sangat berlebihan sebagian orang yang menyatakan ke-tsiqah-an Katsiir bin Zaid ini secara mutlak sehingga menghukumi haditsnya adalah shahih. Para ulama telah mengkritik sisi hapalannya (dlabth), diantaranya :
Telah berkata Ibnu Abi Khaitsamah dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tidak kuat (laisa bi-dzaakal-qawiy)” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 7/151; sanad riwayat ini shahih]. Abu Haatim berkata : “Shaalih, tidak kuat, namun ditulis haditsnya” [idem]. Abu Zur’ah berkata : “Shaduuq, padanya ada kelemahan (layyin)” [idem]. Telah lewat penjelasan tentang makna layyin.
Adapun ulama yang mendla’ifkannya secara umum adalah An-Nasaa’iy dan Ath-Thabariy.
Jarh yang diberikan adalah jenis mufassar. Jenis jarh seperti ini bukanlah jenis jarh yang patut diabaikan. Ada tambahan keterangan – selain dari ulama yang memberikan tautsiqkepadanya - bahwa padanya ada kelemahan dalam masalah hapalan.
Bagaimana bisa dikatakan jarh-jarh tersebut tidak memberikan mudlarat sama sekali sehingga ia dianggap tsiqah secara mutlak layaknya perawi yang tanpa jarh ? Aneh.
Oleh karena itu Ibnu Hajar telah tepat memberikan komentar kepadanya : ‘Shaduuq yukhthi’(jujur, namun kadang keliru)”. Artinya, haditsnya hasan selama tidak ada penyelisihan.
[7]      Lengkapnya sebagai berikut :
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وإسحاق بن إبراهيم جميعا عن حاتم قال أبو بكر حدثنا حاتم بن إسماعيل المدني عن جعفر بن محمد عن أبيه قال دخلنا على جابر بن عبد الله فسأل عن القوم حتى انتهى إلي فقلت أنا محمد بن علي بن حسين فأهوى بيده إلى رأسي فنزع زري الأعلى ثم نزع زري الأسفل ثم وضع كفه بين ثديي وأنا يومئذ غلام شاب فقال مرحبا بك يا بن أخي سل عما شئت فسألته وهو أعمى وحضر وقت الصلاة فقام في نساجة ملتحفا بها كلما وضعها علي منكبه رجع طرفاها إليه من صغرها ورداؤه إلى جنبه على المشجب فصلى بنا فقلت أخبرني عن حجة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال بيده فعقد تسعا فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم مكث تسع سنين لم يحج ثم أذن في الناس في العاشرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حاج فقدم المدينة بشر كثير كلهم يلتمس أن يأتم برسول الله صلى الله عليه وسلم ويعمل مثل عمله فخرجنا معه حتى أتينا ذا الحليفة فولدت أسماء بنت عميس محمد بن أبي بكر فأرسلت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم كيف أصنع قال اغتسلي واستثفري بثوب وأحرمي فصلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في المسجد ثم ركب القصواء حتى إذا استوت به ناقته على البيداء نظرت إلى مد بصري بين يديه من راكب وماش وعن يمينه مثل ذلك وعن يساره مثل ذلك ومن خلفه مثل ذلك ورسول الله صلى الله عليه وسلم بين أظهرنا وعليه ينزل القرآن وهو يعرف تأويله وما عمل به من شيء عملنا به فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك وأهل الناس بهذا الذي يهلون به فلم يرد رسول الله صلى الله عليه وسلم عليهم شيئا منه ولزم رسول الله صلى الله عليه وسلم تلبيته قال جابر رضى الله تعالى عنه لسنا ننوي إلا الحج لسنا نعرف العمرة حتى إذا أتينا البيت معه استلم الركن فرمل ثلاثا ومشى أربعا ثم نفذ إلى مقام إبراهيم عليه السلام فقرأ { واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى }  فجعل المقام بينه وبين البيت فكان أبي يقول ولا أعلمه ذكره إلا عن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في الركعتين قل هو الله أحد وقل يا أيها الكافرون ثم رجع إلى الركن فاستلمه ثم خرج من الباب إلى الصفا فلما دنا من الصفا قرأ { إن الصفا والمروة من شعائر الله }  أبدأ بما بدأ الله به فبدأ بالصفا فرقي عليه حتى رأى البيت فاستقبل القبلة فوحد الله وكبره وقال لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير لا إله إلا الله وحده أنجز وعده ونصر عبده وهزم الأحزاب وحده ثم دعا بين ذلك قال مثل هذا ثلاث مرات ثم نزل إلى المروة حتى إذا انصبت قدماه في بطن الوادي سعى حتى إذا صعدتا مشى حتى أتى المروة ففعل على المروة كما فعل على الصفا حتى إذا كان آخر طوافه على المروة فقال لو أني استقبلت من أمري ما استدبرت لم أسق الهدي وجعلتها عمرة فمن كان منكم ليس معه هدي فليحل وليجعلها عمرة فقام سراقة بن مالك بن جعشم فقال يا رسول الله ألعامنا هذا أم لأبد فشبك رسول الله صلى الله عليه وسلم أصابعه واحدة في الأخرى وقال دخلت العمرة في الحج مرتين لا بل لأبد أبد وقدم علي من اليمن ببدن النبي صلى الله عليه وسلم فوجد فاطمة رضى الله تعالى عنها ممن حل ولبست ثيابا صبيغا واكتحلت فأنكر ذلك عليها فقالت إن أبي أمرني بهذا قال فكان علي يقول بالعراق فذهبت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم محرشا على فاطمة للذي صنعت مستفتيا لرسول الله صلى الله عليه وسلم فيما ذكرت عنه فأخبرته أني أنكرت ذلك عليها فقال صدقت صدقت ماذا قلت حين فرضت الحج قال قلت اللهم إني أهل بما أهل به رسولك قال فإن معي الهدي فلا تحل قال فكان جماعة الهدي الذي قدم به علي من اليمن والذي أتى به النبي صلى الله عليه وسلم مائة قال فحل الناس كلهم وقصروا إلا النبي صلى الله عليه وسلم ومن كان معه هدي فلما كان يوم التروية توجهوا إلى منى فأهلوا بالحج وركب رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى بها الظهر والعصر والمغرب والعشاء والفجر ثم مكث قليلا حتى طلعت الشمس وأمر بقبة من شعر تضرب له بنمرة فسار رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا تشك قريش إلا أنه واقف عند المشعر الحرام كما كانت قريش تصنع في الجاهلية فأجاز رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أتى عرفة فوجد القبة قد ضربت له بنمرة فنزل بها حتى إذا زاغت الشمس أمر بالقصواء فرحلت له فأتى بطن الوادي فخطب الناس وقال إن دماءكم وأموالكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا ألا كل شيء من أمر الجاهلية تحت قدمي موضوع ودماء الجاهلية موضوعة وإن أول دم أضع من دمائنا دم بن ربيعة بن الحارث كان مسترضعا في بني سعد فقتلته هذيل وربا الجاهلية موضوع وأول ربا أضع ربانا ربا عباس بن عبد المطلب فإنه موضوع كله فاتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن أن لا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب الله وأنتم تسألون عني فما أنتم قائلون قالوا نشهد أنك قد بلغت وأديت ونصحت فقال بإصبعه السبابة يرفعها إلى السماء وينكتها إلى الناس اللهم اشهد اللهم اشهد ثلاث مرات ثم أذن ثم أقام فصلى الظهر ثم أقام فصلى العصر ولم يصل بينهما شيئا ثم ركب رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أتى الموقف فجعل بطن ناقته القصواء إلى الصخرات وجعل حبل المشاة بين يديه واستقبل القبلة فلم يزل واقفا حتى غربت الشمس وذهبت الصفرة قليلا حتى غاب القرص وأردف أسامة خلفه ودفع رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد شنق للقصواء الزمام حتى إن رأسها ليصيب مورك رحله ويقول بيده اليمني أيها الناس السكينة السكينة كلما أتى حبلا من الحبال أرخى لها قليلا حتى تصعد حتى أتى المزدلفة فصلى بها المغرب والعشاء بأذان واحد وإقامتين ولم يسبح بينهما شيئا ثم اضطجع رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى طلع الفجر وصلى الفجر حين تبين له الصبح بأذان وإقامة ثم ركب القصواء حتى أتى المشعر الحرام فاستقبل القبلة فدعاه وكبره وهلله ووحده فلم يزل واقفا حتى أسفر جدا فدفع قبل أن تطلع الشمس وأردف الفضل بن عباس وكان رجلا حسن الشعر أبيض وسيما فلما دفع رسول الله صلى الله عليه وسلم مرت به ظعن يجرين فطفق الفضل ينظر إليهن فوضع رسول الله صلى الله عليه وسلم يده على وجه الفضل فحول الفضل وجهه إلى الشق الآخر ينظر فحول رسول الله صلى الله عليه وسلم يده من الشق الآخر على وجه الفضل يصرف وجهه من الشق الآخر ينظر حتى أتى بطن محسر فحرك قليلا ثم سلك الطريق الوسطى التي تخرج على الجمرة الكبرى حتى أتى الجمرة التي عند الشجرة فرماها بسبع حصيات يكبر مع كل حصاة منها حصى الحذف رمى من بطن الوادي ثم انصرف إلى المنحر فنحر ثلاثا وستين بيده ثم أعطى عليا فنحر ما غبر وأشركه في هديه ثم أمر من كل بدنة ببضعة فجعلت في قدر فطبخت فأكلا من لحمها وشربا من مرقها ثم ركب رسول الله صلى الله عليه وسلم فأفاض إلى البيت فصلى بمكة الظهر فأتى بني عبد المطلب يسقون على زمزم فقال انزعوا بني عبد المطلب فلولا أن يغلبكم الناس على سقايتكم لنزعت معكم فناولوه دلوا فشرب منه
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ishaaq bin Ibraahiim, keduanya dari Haatim ia berkata, - Abu Bakr berkata - : Telah menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa'iil Al-Madaniy, dari Ja'far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata : Kami datang ke rumah Jaabir bin Abdillah, lalu ia menanyai kami satu persatu, siapa nama kami masing-masing. Sampai giliranku, kusebutkan namaku Muhammad bin ‘Aliy bin Husain. Lalu dibukanya kancing bajuku yang atas dan yang bawah. Kemudian diletakkannya telapak tangannya antara kedua susuku. Ketika itu, aku masih muda belia. Lalu dia berkata, "Selamat datang wahai anak saudaraku, tanyakanlah apa yang hendak kamu tanyakan." Maka aku pun bertanya kepadanya. Dia telah buta. Ketika waktu shalat tiba, dia berdiri di atas sehelai sajadah yang selalu dibawanya. Tiap kali sajadah itu diletakkannya ke bahunya, pinggirnya selalu lekat padanya karena kecilnya sajadah itu. Aku bertanya kepadanya : "Terangkanlah kepadaku bagaimana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam melakukan ibadah haji." Lalu ia bicara dengan isyarat tangannya sambil memegang sembilan anak jarinya. Ia berkata : “Sembilan tahun lamanya beliau menetap di Madinah, namun beliau belum haji. Kemudian beliau memberitahukan bahwa tahun kesepuluh beliau akan naik haji. Karena itu, berbondong-bondonglah orang datang ke Madinah, hendak ikut bersama-sama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk beramal seperti amalan beliau. Lalu kami berangkat bersama-sama dengan beliau. Ketika sampai di Dzulhulaifah, Asmaa` binti ‘Umais melahirkan puteranya, Muhammad bin Abi Bakar. Dia menyuruh untuk menanyakan kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam apa yang harus dilakukannya (karena melahirkan itu). Maka beliau pun bersabda : "Mandi dan pakai kain pembalutmu. Kemudian pakai pakaian ihrammu kembali." Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at di masjid Dzulhulaifah, kemudian beliau naiki untanya yang bernama Qashwa. Setelah sampai di Baida`, kulihat sekelilingku, alangkah banyaknya orang yang mengiringi beliau, yang berkendaraan dan yang berjalan kaki, di kanan-kiri dan di belakang beliau. Ketika itu turun Al Quran (wahyu), dimana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengerti maksudnya, yaitu sebagaimana petunjuk amal yang harus kami amalkan. Lalu beliau teriakan bacaan talbiyah:"LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIKA LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA LABBAIKA INNALHAMDA WAN NI'MATA LAKA WALMULKU LAA SYARIIKA LAKA (Aku patuhi perintah-Mu ya Allah, aku patuhi, aku patuhi. Tiada sekutu bagi-Mu, aku patuhi perintah-Mu; sesungguhnya puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu, aku patuhi perintah-Mu)." Maka talbiyah pula orang banyak seperti talbiyah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam itu. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak melarang mereka membacanya, bahkan senantiasa membaca terus-menerus. Niat kami hanya untuk mengerjakan haji, dan kami belum mengenal umrah. Setelah sampai di Baitullah, beliau cium salah satu sudutnya (Hajar Aswad), kemudian beliau thawaf, lari-lari kecil tiga kali dan berjalan biasa empat kali. Kemudian beliau terus menuju ke Maqam. Ibrahim 'Alais Salam, lalu beliau baca ayat: "Jadikanlah maqam Ibrahim sebagai tempat shalat..." (Al Baqarah: 125). Lalu ditempatkannya maqam itu diantaranya dengan Baitullah. Sementara itu ayahku berkata bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam membaca dalam shalatnya : "QUL HUWALLAHU AHAD…" (Al Ikhlas: 1-4). Dan: "QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN.." (Al Kafirun: 1-6). Kemudian beliau kembali ke sudut Bait (hajar Aswad) lalu diciumnya pula. Kemudian melalui pintu, beliau pergi ke Shafa. Setelah dekat ke bukit Shafa beliau membaca ayat:"Sesungguhnya Sa'i antara Shafa dan Marwah termasuk lambang-lambang kebesaran Agama Allah..." (Al Baqarah: 1589). Kemudian mulailah dia melaksanakan perintah Allah. Maka dinaikinya bukit Shafa. Setelah kelihatan Baitullah, lalu beliau menghadap ke kiblat seraya mentauhidkan Allah dan mengagungkan-Nya. Dan beliau membaca: "LAA ILAAHA ILAALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA 'ALAA KULLI SYAI`IN QADIIR LAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU ANJAZA WA'DAHU WANASHARA 'ABDAHU WAHAZAMAL AHZABA WAHDAH (Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah kerajaan dan segala puji, sedangkan Dia Maha Kuasa atas segala-galanya. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah satu-satu-Nya, Yang Maha Menepati janji-Nya dan menolong hamba-hamba-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya sendiri-Nya)." Kemudian beliau berdo'a. Ucapan tahlil itu diulanginya sampai tiga kali. Kemudian beliau turun di Marwa. Ketika sampai di lembah, beliau berlari-lari kecil. Dan sesudah itu, beliau menuju bukit Marwa sambil berjalan kembali. setelah sampai di bukit Marwa, beliau berbuat apa yang diperbuatnya di bukit Shafa. Tatkala beliau mengakhiri sa'i-nya di bukit Marwa, beliau berujar: "Kalau aku belum lakukan apa yang telah kuperbuat, niscaya aku tidak membawa hadya dan menjadikannya umrah." Lalu Suraqah bin Malik bin Ju'tsyum, "Ya, Rasulullah! Apakah untuk tahun ini saja ataukah untuk selama-lamanya?" Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memperpanjangkan jari-jari tangannya yang lain seraya bersabda : "Memasukkan umrah ke dalam haji. Memasukkan umrah ke dalam haji, tidak! Bahkan untuk selama-lamanya”. Sementara itu ‘Aliy datang dari Yaman membawa hewan kurban Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Didapatinya Fathimah termasuk orang yang tahallul; dia mengenakan pakaian bercelup dan bercelak mata. ‘Aliy melarangnya berbuat demikian. Fathimah menjawab : "Ayahku sendiri yang menyuruhku berbuat begini". ‘Aliy berkata : ‘Maka aku pergi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta fatwa terhadap perbuatan Fathimah tersebut. Kujelaskan kepada beliau bahwa aku mencegahnya berbuat demikian. Beliau pun bersabda : "Fathimah benar." Kemudian beliau bertanya : "Apa yang kamu baca ketika hendak menunaikan haji?". ‘Aliy berkata : Aku menjawab : "Ya Allah, aku aku niat menunaikan ibadah haji seperti yang dicontohkan oleh Rasul-Mu." Kemudian ‘Aliy bertanya : "Tetapi aku membawa hewan kurban, bagaimana itu?". Beliau menjawab : "Kamu jangan tahallul". Ja'far berkata : “Jumlah hadyu yang dibawa ‘Aliy dari Yaman dan yang dibawa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ada seratus ekor. Para jama'ah telah tahallul dan bercukur semuanya, melainkan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang membawa hadyu beserta beliau. Ketika hari Tarwiyah (delapan Dzulhijjah) tiba, mereka berangkat menuju Mina untuk melakukan ibadah haji. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menunggang kendaraannya. Di sana beliau shalat Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh. Kemudian beliau menanti sebentar hingga terbit matahari; sementara itu beliau menyuruh orang lebih dahulu ke Namirah untuk mendirikan kemah di sana. Sedangkan Orang Quraisy mengira bahwa beliau tentu akan berhenti di Masy'aril Haram(sebuah bukit di Muzdalifah) sebagaimana biasanya orang-orang jahililiyah. Tetapi ternyata beliau terus saja menuju ‘Arafah. Sampai ke Namirah, didapatinya tenda-tenda telah didirikan orang. Lalu beliau berhenti untuk istirahat di situ. Ketika matahari telah condong, beliau menaiki untanya meneruskan. Sampai di tengah-tengah lembah beliau berkhutbah :"Sesungguhnya menumpahkan darah, merampas harta sesamamu adalah haram sebagaimana haramnya berperang pada hari ini, pada bulan ini, dan di negeri ini. Ketahuilah, semua yang berbau Jahiliyah telah dihapuskan di bawah undang-undangku, termasuk tebusan darah masa jahilijyah. Tebusan darah yang pertama-tama kuhapuskan adalah darah Ibnu Rabi'ah bin Harits yang disusukan oleh Bani Sa'ad, lalu ia dibunuh oleh Huzail. Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah; yang mula-mula kuhapuskan ialah riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya riba itu kuhapuskan semuanya. Kemudian jangalah dirimu terhadap wanita. Kamu boleh mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan mereka halal bagimu dengan mematuhi peraturan-peraturan Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki tikarmu. Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan. Sebaliknya mereka punya hak atasmu. Yaitu nafkah dan pakaian yang pantas. Sungguh telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah. Kalian semua akan ditanya mengenai diriku, lalu bagaimana nanti jawab kalian?". Mereka menjawab : "Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar telah menyampaikan risalah, engkau telah menunaikan tugas dan telah memberi nasehat kepada kami". Kemudian beliau bersabda sambil mengangkat jari telunjuknya ke atas langit dan menunjuk kepada orang banyak : "Ya, Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah”. Sesudah itu, beliau adzan kemudian iqamat, lalu shalat Zhuhur. Lalu iqamat lagi dan shalat Ashar tanpa shalat sunnah antara keduanya. Setelah itu, beliau meneruskan perjalanan menuju tempat wukuf. Sampai di sana, dihentikannya unta Qashwa di tempat berbatu-batu dan orang-orang yang berjalan kaki berada di hadapannya. Beliau menghadap ke kiblat, dan senantiasa wukuf sampai matahari terbenam dan mega merah hilang. Kemudian beliau teruskan pula perjalanan dengan membonceng Usamah di belakangnya, sedang beliau sendiri memegang kendali. Beliau tarik tali kekang Unta Qashwa, hingga kepalanya hampir menyentuh bantal pelana. Beliau bersabda dengan isyarat tangannya : "Saudara-saudara, tenanglah, tenanglah”. Setiap beliau sampai di bukit, beliau dikendorkannya tali unta sedikit, untuk memudahkannya mendaki. Sampai di Muzdalifah beliau shalat Maghrib dan Isya`dengan satu kali adzan dan dua qamat tanpa shalat sunnah antara keduanya. Kemudian beliau tidur hingga terbit fajar. Setelah tiba waktu Shubuh, beliau shalat Shubuh dengan satu adzan dan satu iqamat. Kemudian beliau tunggangi pula unta Qashwa meneruskan perjalanan sampai ke Masy'aril Haram. Sampai di sana beliau menghadap ke kiblat, berdo'a, takbir, tahlil dan membaca kaliamat tauhid. Beliau wukuf disana hingga langit kekuning-kuningan dan berangkat sebelum matahari terbit sambil membonceng Fadhl bin Abbas. Fadhl adalah seorang laki-laki berambut indah dan berwajah putih. Ketika beliau berangkat, berangkat pulalah orang-orang besertanya. Fadhl menengok pada mereka, lalu mukanya ditutup oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan tangannya. Tetapi Fadlal menoleh ke arah lain untuk melihat. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menutup pula mukanya dengan tangan lain, sehingga Fadhl mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Sampai di tengah lembah Muhassir, dipercepatnya untanya melalui jalan tengah yang langsung menembus ke Jumratul Kubra. Sampai di Jumrah yang dekat dengan sebatang pohon, beliau melempar dengan tujuh buah batu kerikil sambil membaca takbir pada setiap lemparan. Kemudian beliau terus ke tempat penyembelihan kurban. Di sana beliau menyembelih enam puluh tiga hewan kurban dengan tangannya dan sisanya diserahkannya kepada Ali untuk menyembelihnya, yaitu hewan kurban bersama-sama dengan anggota jama'ah yang lain. Kemudian beliau suruh ambil dari setiap hewan kurban itu sepotong kecil, lalu disuruhnya masak dan kemudian beliau makan dagingnya serta beliau minum kuahnya. Sesudah itu, beliau naiki kendaraan beliau menuju ke Baitullah untuk tawaf. Beliau shalat Zhuhur di Makkah. Sesudah itu, beliau datangi Bani Abdul Muthalib yang sedang menimba sumur zamzam. Beliau bersabda kepada mereka : "Wahai Bani Abdul Muthalib, berilah kami minum. Kalaulah orang banyak tidak akan salah tangkap, tentu akan kutolong kamu menimba bersama-sama". Lalu mereka timbakan seember, dan beliau pun minum daripadanya” [selesai].
[8]      Dan sesuai pula dengan riwayat ringkas Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam :
أخبرنا الحسن بن سفيان حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا عفان حدثنا حسان بن إبراهيم عن سعيد بن مسروق عن يزيد بن حيان عن زيد بن أرقم قال دخلنا عليه فقلنا له لقد رأيت خيرا صحبت رسول الله صلى الله عليه وسلم وصليت خلفه فقال نعم وإنه صلى الله عليه وسلم خطبنا فقال إني تارك فيكم كتاب الله هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin Ibraahiim, dari Sa’iid bin Masruuq, dari Yaziid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam. Yaziid berkata : Kami masuk menemuinya (Zaid) dan berkata : “Sungguh engkau telah melihat kebaikan, telah bershahabat dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan juga telah shalat di belakang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ia menjawab : Ya, benar. Sesungguhnya beliau pernah berkhutbah kepada kami dan bersabda :‘Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Kitabullah. Ia adalah tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya, maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 123; sanad hadits ini hasan].
Sesuai pula dengan riwayat ringkas dari Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy :
أخبرنا الحسن بن سفيان حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أبو خالد الأحمر عن عبد الحميد بن جعفر عن سعيد بن أبي سعيد المقبري عن أبي شريح الخزاعي قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أبشروا وأبشروا أليس تشهدون أن لا إله إلا الله وأني رسول الله قالوا نعم قال فإن هذا القرآن سبب طرفه بيد الله وطرفه بأيديكم فتمسكوا به فإنكم لن تضلوا ولن تهلكوا بعده أبدا
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami dan bersabda :“Berilah kabar gembira, berilah kabar gembira. Bukankah kalian bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasannya aku adalah utusan Allah ?”. Mereka menjawab : “Benar”. Beliau melanjutkan : “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah tali yang salah satu ujungnya ada di tangan Allah dan ujung yang lain di tangan kalian. Berpegang-teguhlah kalian dengannya, karena kalian tidak akan tersesat dan binasa selamanya sepeninggalku nanti (jika kalian melaksanakannya)”[Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 122. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah 10/481; sanadnya hasan sesuai dengan persyaratan Muslim].
Al-Hasan bin Sufyaan; menurut Ibnu Abi Haatim, shaduuq, sedangkan menurut Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy majhuul. Namun perkataan Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy ini tidak memudlaratkan karena tautsiq Abu Haatim mengangkat status kemajhulannya. Ibnu Abi Syaibah, seorang imam masyhur. Abu Khaalid Al-Ahmar, ia perawi dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya; sedikit dipermasalahkan dalam hapalannya, namun tidak turun dari derajat hasan. ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, ia seorang perawi yang dipakai Muslim dalamShahih-nya. Telah ditsiqahkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’iin, Yahyaa bin Sa’iid (Al-Qaththaan), dan yang lainnya. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, kadang keliru”. Adz-Dzahabiy berkata :“Tsiqah”. Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy adalah perawi yang dipakai Al-Bukhariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Abu Syuraih Al-Khuzaa’iy adalah salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[9]      Riwayat yang menggunakan kata ‘bihimaa’ (بهما) adalah lemah.
[10]     Ada lagi yang mengatakan :
Seandainyapun kita diharuskan mentarjih salah satu riwayat maka riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam lebih didahulukan dibanding riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid dengan alasan
a.    Abu Dhuha lebih tsiqat dan tsabit dibanding Yazid bin Hayyan. Abu Dhuha atau Muslim bin Shubaih telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Ibnu Hibban, Nasa’i, Ibnu Sa’ad dan Al Ijli [At Tahdzib juz 10 no 237]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat fadhl” [At Taqrib 2/179]. Sedangkan Yazid bin Hayyan dinyatakan tsiqat oleh Nasa’i dan Ibnu Hibban saja [At Tahdzib juz 11 no 520]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/323]
b.    Riwayat Abu Dhuha dari Zaid telah dikuatkan oleh riwayat Jabir, Abu Sa’id dan Imam Ali seperti yang telah kami bahas di atas.
Permasalahan di sini bukan masalah tarjih sanad. Sudah jelas bahwa Yaziid bin Hayyaan adalah tsiqah dan haditsnya shahih dengan kesepakatan para ulama. Ditambah lagi, tidak ada ta’arudl antara hadits Yaziid dan Abudl-Dluhaa. Maka, tidak nyambung jika bergegas pergi ke tarjih sanad.
Haditsnya satu, yang satu lafadhnya lebih lengkap, yang lain lebih ringkas. Mana di antara keduanya yang dilalah hukumnya lebih jelas. Jika sedang bicara dilalah hukum, maka yang dilihat adalah matan haditsnya, bukan lagi sanadnya.
Anggapan bahwa riwayat Abudl-Dluhaa dari Zaid itu dikuatkan oleh riwayat Jaabir, Abu Sa’iid, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum, maka ini sebatas sanad saja. Itupun tidak tepat-tepat betul. Adapun riwayat Jaabir, yang shahih darinya hanyalah perintah untuk berpegang pada Kitabullah – sebagaimana riwayat Muslim. Justru ini menguatkan dilalah hukum dari hadits Yaziid bin Hayyaan.

COMMENTS

Anonim mengatakan...
Subhanallah, kok selama ini bisa terlewatkan bukti yang begitu terang, bahwa ternyata pemahaman Syi'ah terhadap hadits tsaqalain adalah keliru..

Barakallahu fiik Ustadz..

Anonim mengatakan...
Alhamdulillah, ulasan yg lengkap. Pada awal2 saya sempat bingung sama ulasannya, tp setelah nyampe ke tengah2 n akhirnya paragraf akhir, barulah saya ngerti maksud dari artikel ini yaitu jgn menyandingkan Kitabullah yg sudah jelas2 benar (karena datangnya dari Allah Ta'ala) dengan ahlul bait yg tidak ma'shum, dan jg titah Nabi Shallallahu alaihi wasallam adalah kita harus menghormati dan mencintai ahlul bait.

Saya, sangat mencintai ahlul bait, tetapi saya berlepas diri dari syi'ah...

Anonim mengatakan...
Jazakallah khairan ustad , sangat jelas dan lengkap untuk ana pribadi.

Beberapa kali pertanyaan ini ana ajukan di majelis ilmu di tempat ana dan sudah di jelaskan tapi baru jelas dan terang setelah membaca tulisan ustad.

Abu Constantine mengatakan...
ckckckckk.. abul.. bull..

kasian betul ana sama antum,

cape2 bikin kajian sejelimet ini tapi ujung2nya bathil..
lancang benar antum berani berkata bahwa ahlul bait tidak ma'shum, sedangkan Allah SWT telah mensucikan mereka dlm surah Al-ahzab:33.
Apakah antum ingin menantang Allah SWT?
Beranikah antum mempertanggung jawabkan pernyataan antum ini dihadapan Allah SWT kelak??
Kitabullah sejalan dgn ahlul bait yg suci,
tidak ada kitabullah tanpa ahlul bait,
"Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya(maknanya) kecuali orang-orang yang disucikan"(QS.al-Waqi'ah:77-79)
siapakah orang2 yg disucikan tersebut?
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya."(QS.al-Ahzab:33)
Kenapa harus ahlul bait yg suci? karena hanya orang2 sucilah yg dapat memahami makna alquran yg suci.
Bagaimana dengan orang2 selain ahlul bait?
Imam Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadist bahwa nabi SAW bersabda "Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran menurut pendapatnya sendiri, maka ia sedang mencari tempatnya di api neraka",
dalam riwayat lain dikatakan "Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran tanpa ilmu, maka ia sedang mencari tempatnya di api neraka"
HR. Abu Daud dan Tirmidzi " Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan pendapatnya semata, meskipun pendapatnya itu benar, ia telah melakukan dosa".

Abu Constantine mengatakan...
kalau postingan tadi tidak antum tampilkan, biarlah Allah SWT, malaikat & para anbiya yg jadi saksi siapa yg berdusta & menyembunyikan kebenaran diantara kita
Abu Constantine mengatakan...
Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ * إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 159-160].
Demi Allah terangkanlah kebenaran wahai Abul Jauzaa yg budiman..
Allahuma sholli ala Muhammad wa ali Muhammad

Anonim mengatakan...
assalamu'alaikum ust. hadits tntng Kisah Dialog antara Rasulullah dgn Iblis Derajatx apa Y???

syukran, barakallahu fik..

Anonim mengatakan...
afwan ust..,syiah kan terbagi2, mnjdi bbrp kelmpk adalah yg benar atau minimal mendekati kebenaran..,Syukran
1syahadat mengatakan...
Mohon izin berkomentar.

Hadith-hadith tsaqalain adalah salah satu akar perbedaan antara syiah dengan sunni. Yang dimaksud dengan hadith tsaqalain adalah hadith yang berisi sabda Nabi saw yang menyebutkan perihal tsaqalain (dua pusaka) yang beliau tinggalkan kepada ummat. Pada dasarnya hadith-hadith tsb menjadi kontroversi karena salah satu dari 2 pusaka yang dimaksud adalah “ahlul bayt”. Sedangkan mengenai salah satu pusaka yang lain, yaitu “Kitabullah”, dapat dikatakan tidak ada perselisihan atasnya bagi kedua pihak (syiah dan sunni). Atas dasar hadith inilah syiah menyandarkan doktrin kepatuhan mutlak kepada ahlul bayt (dan itrahnya). Didukung oleh hujjah lain yang diyakini oleh pihak syiah (surah 33:33 dan hadith kisa’), maka status ahlul bayt dan itrahnya sebagai petunjuk/pedoman juga menjadi ma’shum.

Realitas sejarah juga mencatat adanya upaya menyimpangkan hadith tsaqalain, termasuk yang dialami oleh saya sendiri, dimana dalam pelajaran agama Islam yang diajarkan sejak sekolah dasar, hadith tsaqalain yang diajarkan menyebutkan bahwa 2 pusaka yang dimaksud adalah: Kitabullah dan sunnah Nabi saw. Padahal hadith yang menyebutkan “sunnahku” ternyata derajatnya tidak sahih.
Saya sudah dapati ada 11 hadith tsaqalain (ada yang pernah mendapatkan lebih?). Semua hadith bersumber dari seorang saksi/pelaku sejarah, yakni Zaid bin Arqam ra. Kecuali 1 hadith yang menyebutkan Ali ra sebagai saksi/pelaku sejarah yang menjadi sumbernya (dalam kitab Musykil Al Athar, karya Ath Thahawi). Sementara 1 hadith lagi menyebutkan Jabir bin Abdillah ra (dalam kitab Sunan Tirmidzi). Hadith yang bersumber dari Ali diatas juga menjadi kontroversi perihal kata “mawla” yang oleh syiah dipahami sebagai pelantikan Ali ra menjadi pemimpin.

1syahadat mengatakan...
Sepemahaman saya, hadith-hadith tsaqalain awalnya dapat saya bagi menjadi setidaknya 3 kelompok:

Kelompok pertama adalah hadith-hadith tsaqalain yang terkait dengan peristiwa khutbah Nabi saw di ghadir khumm, yang juga terkenal dengan hadith-hadith ghadir khumm. Kontroversi pemahaman antara syiah dengan sunni terkait hadith ghadir khumm setidaknya mencakup 3 hal:

- 2 pusaka (Al Quran dan ahlul bayt)
- siapakah ahlul bayt
- serta pelantikan Ali ra sebagai pemimpin
Namun fokus kali ini adalah khusus membahas tsaqalain (2 pusaka) saja. Dalam kelompok ini ada 7 hadith, yaitu:
- 4 hadith dari Imam Muslim (nomor 5920-5923)
Yazid bin Hayyan berkata: “Aku bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui Zaid bin Arqam. Setelah kami duduk di sisinya, Husain berkata kepadanya (Zaid bin Arqam): Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau berjumpa dengan Rasulullah (saw), engkau mendengar sabda beliau, engkau berperang bersama beliau, dan engkau shalat di belakang beliau. Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Wahai Zaid, sampaikanlah kepada kami apa yang engkau dengar dari Rasulullah (saw). Ia (Zaid bin Arqam) berkata: Aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah (saw). Maka terimalah apa yang bisa aku sampaikan kepadamu dan apa yang tidak aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya. Kemudian ia (Zaid bin Arqam) berkata: Pada suatu hari Rasulullah (saw) berdiri menyampaikan khutbah di suatu daerah perairan yang bernama Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, meninggikanNya, lalu beliau berkhutbah menasehati (kami) dan bersabda: Sekarang mengenai tujuan kita. Wahai manusia, aku adalah manusia (seperti kalian). Sebentar lagi utusan Rabb-ku (malaikat pencabut nyawa) akan datang, dan aku akan menyambut panggilan Allah. Tapi aku akan meninggalkan kepada kalian tsaqalain (2 pusaka), yaitu: Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu berpegang teguhlah kalian padanya dan taatilah. Beliau menasehati (kami) untuk (berpegang teguh kepada) Kitabullah. Kemudian beliau bersabda: Kedua adalah ahlul baytku. Aku ingatkan kalian (akan tanggung jawab kalian) kepada ahlul baytku. Ia (Husain) bertanya kepada Zaid: Wahai Zaid, siapakah ahlul bayt beliau (Rasulullah saw)? Apakah istri-istri beliau bukan ahlul baytnya?. Maka ia (Zaid bin Arqam) menjawab: Istri-istri beliau memang ahlul-baitnya, (namun) ahlul bayt beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat. Dan ia (Husain) bertanya: Siapakah mereka?. Maka ia (Zaid bin Arqam) menjawab: Ali dan keluarga Ali, Aqil dan keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas. Husain berkata: Mereka semua adalah yang diharamkan menerima zakat. Zaid berkata: Ya”. (Hadith #5920)

Anonim mengatakan...
Hai abu jauza...

mana jawaban anda dari komentar saudara abu constantine....saya kwatir anda ini "siapa"??..jadi lah org yg bertanggung jawabbb.....

Arianto mengatakan...
Bagaimana dengan hadits dari al-Bazzar no.864 ini :



حدثنا الحسين بن علي بن جعفر قال حَدَّثَنَا علي بن ثابت قال حَدَّثَنَا سعاد بن سليمان عن أبي إسحاق عن الحارث عن علي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إني مقبوض وإني قد تركت فيكم الثقلين كتاب الله وأهل بيتي وأنكم لن تضلوا بعدهما وأنه لن تقوم الساعة حتى يبتغى أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم كما تبتغى الضالة فلا توجد

Bukankah jelas dikatakan : 
قد تركت فيكم الثقلين كتاب الله وأهل بيتي وأنكم لن تضلوا بعدهما
Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang berat, Kitabullah dan ahlul baitku, dan sungguh kamu tidak akan tersesat setelah (mengikuti)keduanya 

Bukankah disini jelas dikatakan bahwa mengikuti kedua merupakan jalan keselamatan ?
Bagaimana penjelasannya.
Syukron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Hadits dengan sanad dan lafadh itu adalah lemah. Dan menurut standar penilaian orang Syi'ah, bahkan sanadnya sangat lemah.
Anonim mengatakan...
komentar abu constantine kayaknya memang tidak perlu dijawab, karena sudah jelas bedanya yaitu :

menurut syi'ah : ahlul bait, mereka ma'shum

menurut ahlus sunnah : tidak ada yang ma'shum selain para Nabi dan Rasul.
Arianto mengatakan...
Abu Al-Jauzaa' berkata : Hadits dengan sanad dan lafadh itu adalah lemah. Dan menurut standar penilaian orang Syi'ah, bahkan sanadnya sangat lemah.

Afwan akhi, mohon penjelasan lengkapnya karena saya sangat membutuhkannya.

Syukron
Komentator mengatakan...
@Ariyanto



عن علي بن أبي طالب قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
"إني مقبوض وإني قد تركت فيكم الثقلين - يعني كتاب الله وأهل بيتي - وإنكم لن تضلوا بعدهما، وإنه لن تقوم الساعة حتى يبتغى أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم كما تبتغى الضالة فلا توجد".
رواه البزار وفيه الحارث وهو ضعيف

[Sumber: Majma' Az-Zawaaid versi Syaamilah]
Jadi jelas karena didalamnya terdapat rawi yang bernama Al-Haarits yang menurut Al-Haafizh Al-Haitsamiy sebagai rawi yang dha'if.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Benar sekali. Saya telah menuliskan bahasan perawi tersebut dalam artikel keutamaan Abu Bakr dan 'Umar. Baarakallaahu fiik.
Anonim mengatakan...
Asww, afwan bagaimana tentang hadis yang diriwyatkan oleh Imam Al Hakim dalam Mustadraknya??? Bukankah disitu disebut "Bihima"??? Ditunggu penjelasannya agar menambah pemahaman kita semua. Menurut saya perlu juga diberi jawaban yang jelas tentang tanggapan saudara abu constantine, secara ilmiah, dengan niat untuk saling belajar. Syukron, walafu.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tidak shahih.
northen forex trader mengatakan...
As-salam...saya perhatikan pada awal huraian tuan..tuan sentiasa highlight kan perkataan al-quran dan itrah ahlul bayt. dan bagi huraian pada setiap perkataan yang tuan highlightkan

tetapi kenapa bila tuan keluarkan rujukan dari mustadrak al-hakim dan musykiilul-aatsaar tuan tidak bahaskan pula berkenaan dgn sabda Rasul : “Bukankah aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri?”. Orang-orang menjawab : “Ya”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya”. 

Didalam Mustadrak Al-Hakim, Hadith Thaqalain bercantum dgn sabda Rasul tersebut. Jadi kenapa hanya bahaskan bahagian atas sahaja dan tidak dibahaskan kesemua sekali intipati dalam hadith thaqalain sebagai mana yang diriwayatkan didalam Mustadrak.
Mustadrak 'Ala Shohihain Al-hakim merupakan kitab yang mengumpulkan hadith-hadith yang mencapai darjat sahih tetapi tidak dimasukkan didalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.Jadi kita boleh simpulkan bahawa perlantikan Imam Ali di Ghadir Khum sebagai pengganti Rasul tidak boleh dipertikaikan lagi.
Bahkan Imam Fakhruddin Ar-Raziy As-Shafie didalam tafsirnya (Tafsir Al-Kabir)mengatakan bahawa peristiwa di Ghadir Khum (Hadith Thaqalain merupakan asbab nuzul kepada ayat 67 surah al-maidah dan mengatakan bahawa hadith tersebut mencapai darjat mutawatir kerana jumlah perawi mencapai sehingga 90,000 orang.
Ssaya harap pihak tuan dapat huraikan lagi berkenaan dgn hadith ini kerana sekiranya tuan hanya bahaskan sebahagian sahaja dari intipati hadith tersebut, maka tuan tetap tidak berlaku adil didalam segala hujah tuan..
Yang baik itu dari Allah, dan yang buruk itu dari saya sendiri.
p/s: Dahulu ramai yang pertikai Hadith Tsaqalain bahkan ada yang kata Hadith Tsaqalain adalah hadith palsu. Bila ramai yang sudah sedar hakikat sebenarnya, timbul pula pertikaian berkaitan dgn Ahlul Bayt didalam hadith tersebut..lepas ni tak tau la pula apa yang akan dipertikaikan lagi..silap2 satu hari nanti timbul pula golongan yang akan pertikaikan Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.. Na'uzubillah..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Jika Anda mengucapkan salam, sebaiknya yang lengkap. Minimal : Assalaamu 'alaikum.

Jika Anda cermat, artikel ini menyinggung dua hal :

1. Siapa yang dimaksud dengan Ahlul-Bait itu ?

2. Apakah benar Ahlul-Bait itu ma'shum sebagaimana klaim Syi'ah ?
Perkataan Anda bahwa Al-Mustadrak adalah kumpulan hadits-hadits shahih yang tidak terdapat dalam Shahihain, maka itu benar. Namun itu tidak mutlak. Maksudnya, hadits-hadits yang menurut penilaian Al-Haakim adalah shahih, sementara Al-Haakim dikenal oleh para ahli hadits sebagai orang yang tasaahul (bermudah-mudah) dalam tashhiih. Oleh karenannya, Anda akan menjumpai hadits-hadits lemah dalam Al-Mustadrak.

Adapun perkataan Anda bahwa dalam hadits Ghadiir Khum terdapat isyarat pelantikan 'Aliy sebagai pengganti Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka itu tidak benar. Anda keliru dalam memahami makna maulaa. Maulaa dalam bahasa 'Arab tidak ekuivalen dengan kepemimpinan. Tidak ada satu pun riwayat shahih yang mengatakan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mewariskan kepemimpinan kepada 'Aliy dalam riwayat Ahlus-Sunnah. Kecuali Anda berpegang pada riwayat-riwayat Syi'ah, maka banyak. Anda bisa membaca penjelasan ini di :

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/04/rasulullah-shallallaahu-alaihi-wa.html

northen forex trader mengatakan...
Assalamu'alaikum
@ Abu Al-Jauzaa'..
1) Sekiranya Al-Hakim dikatakan seorang yang tasaahul (bermudah2), harap tuan boleh nyatakan disini mereka yang sepakat mengatakan bahawa Al-Hakim sedemikian. Dan adakah hadith Tsaqalain didalam mustadrak juga boleh dikategorikan sebagai hadith yang lemah.?



2) Az-Zahidi merupakan seorang yang dikenali kerana membenci Ahlul Bayt dan Al-Hakim (kerana Al-Hakim meriwayatkan hadith yang banyak berkaitan dgn Ahlul Bayt). Tetapi didalam Talkhis Mustadrak, Az-zahidi sendiri terpaksa mengakui kesahihan hadith Tsaqalain. 

3) Minta pihak tuan beri komentar sedikit berkenaan dgn Tafsir al-Kabir (Imam Fakhruddin Ar-Razi) dimana beliau menjelaskan hadith Tsaqalain merupakan asbab nuzul kepada ayat 67 surah Al-Maidah. Beliau merupakan seorang Sunni dan bukan Syiah..

4) Sekiranya perkataan "Maula" yang disebutkan didalam hadith tersebut tidak ekuivalen dgn kepemimpinan, maka apakah maksud sebenar perkataan "Maula" didalam hadith tersebut.

yang baik itu dari Allah, dan yang buruk itu dari kelemahan saya sendiri.

p/s: persoalan diatas diajukan untuk mencari kebenaran, bukan kemenangan. semoga pintu kebenaran terbuka luas untuk kita InsyaAllah.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
1. Banyak ulama yang telah menerangkan. Satu saja saya nukil, yaitu perkataan An-Nawaawiy :



الحاكم متساهل كما سبق بيانه مراراً 

"Al-Haakim adalah orang yang bermudah-mudah (dalam tashhih) sebagaimana telah lalu penjelasannya beberapa kali" [Al-Majmu', 7/64].

2. Saya tidak ada urusannya dengan perkataan Anda tentang Az-Zahidiy. Hadits Ats-Tsaqalain itu banyak jalur dan lafadh. Ada yang shahih, dla'if, atau bahkan palsu - sebagaimana dihukumi para ulama. 

3. Untuk sementara, saya tidak ada waktu untuk melihat Tafsir Al-Kabiir. By the way, Anda sendiri sudah membaca Tafsir Al-Kabiir ? atau hanya dari terjemahan atau tulisan-tulisan yang sifatnya sekunder ?

4. Sudah saya tunjukkan penjelasan tentang hal itu di link yang saya tulis. Namun nampaknya Anda tidak memperhatikannya. Silakan baca :

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/04/rasulullah-shallallaahu-alaihi-wa.html

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ada orang Syi'ah membantah artikel di atas. Katanya, lafadh bihi pada riwayat Abudl-Dluhaa bisa kembali kepada Al-Qur'an dan Ahlul-Bait. Katanya, dalam bahasa Arab itu bisa terjadi dengan bukti semisal hadits :



حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة وابن حجر جميعا عن إسماعيل بن جعفر قال ابن أيوب حدثنا إسماعيل أخبرني العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات ؟ قالوا بلى يا رسول الله قال إسباغ الوضوء على المكاره وكثرة الخطا إلى المساجد وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayub, Qutaibah dan Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja’far. Ibnu Ayub berkata telah menceritakan kepada kami Ismail yang berkata telah mengabarkan kepadaku Al Alaa’ dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan kesalahan dan dengannya Allah mengangkat derajat?. Mereka berkata “tentu wahai Rasulullah”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Menyempurnakan wudhu di saat kesukaran, banyak berjalan menuju masjid dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat maka itulah ribath [Shahih Muslim 1/219 no 251].
Dan yang semisalnya.

SAYA JAWAB :

Ini adalah jawaban yang sok tahu. Ia tidak melihat keseluruhan riwayat dan bentuk kalimat yang ada, padahal saya telah membawakan qarinahnya dalam artikel di atas. Saya sebutkan :

1. Dalam lafadh-lafadh lain sangat jelas disebutkan bahwa hanyalah Al-Qur'an yang kita diwajibkan berpegang-teguh dengannya. 

Apalagi dalam riwayat Muslim, Ahmad, dan yang lainnya sangat jelas disebutkan setelah menyebutkan ats-tsaqalain, maka beliau mewajibkan berpegang teguh dengan dengan Al-Qur'an saja. Dan ketika menyebutkan 'Ithrah/ahlul-baitnya, beliau memperingatkan tentang hak-hak mereka yang wajib ditunaikan.

2. Ahlul-Bait tidak ma'shum, sehingga sangat musykil kita diwajibakan berpegang teguh dengannya dengan 'athaf kepada Al-Qur'an yang merupakan jaminan tidak tersesat. Buktinya telah saya paparkan.

3. Dalam lafadh At-Tirmidziy (no. 3788), ketika menyebut Al-Qur'an dan 'ithrah, disebutkan dengan bentuk mutsannaa :

Walay-yatafarraqaa hattaa yaridaa 'alayyal-haudl. Fandhuruu kaifa takhlufuunii fiihimaa.

وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا 

......dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku" [no. 3788].

Bagitu pula dengan lafadh Abudl-Dluhaa yang lain yang dibawakan Al-Fasawiy :

إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا: كِتَابُ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي، وَأَنَّهُمَا لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَى الْحَوْضِ

Innii taarikun fiikum maa in-tamassaktum bihi lan-tadlilluu : Kitaabullah wa 'Itratii ahlu baitii. Wa annahumaalay-yatafarraqaa hattaa yaridaa 'alayyal-haudl. 

Dan juga beberapa lafadh lain yang tidak disebutkan dalam artikel di atas seperti itu.

Seandainya yang dimaksud untuk berpegang teguh dengannya adalah Al-Qur'an dan 'Ithrah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, niscaya yang lebih fasih menggunakan bentuk mutsnannaa juga, yaitu bihimaa, sesuai dengan kalimat setelahnya. Namun di situ menggunakan bihi, sehingga dipahami merujuk pada satu hal saja (yaitu Al-Qur'an).

4. Kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وعترتي أهل بيتي) mansub kepada fi’il mahdzuuf dan itu merujuk pada kalimat : “aku ingatkan kalian akan Allah” (أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ) sebagaimana terdapat dalam riwayat Zaid bin Arqam yang dibawakan Muslim dan Ahmad.
Selebihnya,... telah saya sebutkan dalam artikel di atas.
Qarinah-qarinah yang saya sebutkan merupakan satu kesatuan sebab.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
-----

Tidak ada hubungannya artikel ini dengan nama 'Efendi' yang disebut orang Syi'ah itu. Saya mendapatkan penjelasan dalam artikel di atas dari Dr. Su'uud Ash-Shaa'idiy dalam Al-Ahaadiitsul-Waaridah fii Fadlaailush-Shahaabah (2/59-dst.). Dan beliau (2/66-67) menisbatkan penjelasan tersebut pada kitab Fathul-Bariy 7/98, Syarh An-Nawawiy 15/180, Hujiyyatus-Sunnah lis-Suyuuthiy, Haasyiyyah As-Sindiy 'alaa Musnad Ahmad (17/175), dan Al-Qur'aaniyyuun li-Khaadim Husain.

Anonim mengatakan...
Syiah syiah, sulit2 mau membuktikan kepercayaan mereka dengan hadits tsaqalayn,,,eh malah hadits itu bukti kebathilan faham mereka.
Kalau maksud hadits tsb nabi saw meninggalkan kitabullah & imam sebagai pedoman, maka pemahaman syiah terbukti salah. Apa maksud nabi saw pedoman itu cuma berlaku untuk 2 abad pertama?
Kitabullah alhamdulillah masih ada, tapi dimana imam? Syiahnya saja ngga pernah bertemu jadi pemimpin atau pedoman umat.

Alhamdulillah hadits yang syiah mau pakai membenarkan faham kalian, tapi ngga sadar justru membuktikan faham syiah salah.


Jadi nabi saw cuma memperingatkan kita akan hak2 ahlulbayt (termasuk istri2) bukan menyuruh menjadikan mereka pedoman selain dari kitabullah karena terbukti sekarang pedoman (imam) itu tidak ada.

Anonim mengatakan...
Pengupasan hadist yg dangkal......coba bandingkan dengan sumber2 dari kitab2 Syiah 12 imam......jangan sepihak aja. Juga hrs Ada ref dari Al'quran. Coba kupas mengenai isi buku Dialog Sunnah Syiah......itu lebih konkrit daripada ber teori secara sepihak Dan menafsiran secara partial. Pantas saja banyak orang Islam yg takut sama Amerika......Islam indentik dengan bodoh Dan miskin.....berantem melulu kerjanya.....
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Apa hubungan pembahasan hadits ini dengan Amerika ?. Cara pikir Anda tidak mencerminkan cara pikir pelajar, tapi cara pikir pelawak. Tidak ada urusannya bagi saya mempercayai kitab hadits Syi'ah yang validitasnya hampir menyentuh titik nadhir. 


Anyway, saya ucapkan selamat atas tertipunya Anda akan buku Syarafuddin Al-Musawiy (buku Dialog Sunnah Syi'ah, yang aslinya berjudul Al-Muraaja'aat). Semoga ucapan selamat saya ini dapat membuat Anda belajar dan kemudian lepas dari syubhat Al-Musawiy.....

hilman fauzi mengatakan...
Salam ta'dzim Ust Abul Jauzaa, sudah kebiasaan orang syiah ketika mereka sudah kehabisan dalil akhirnya mencak-mencak. Kurang lebih 6 bulan kami berdebat dengan orang syiah rafidah dalam berbagai topik dan akhirnya kami dapat menemukan inti ajaran syiah dan cara mereka mengambil dalil yaitu berbohong dan sepotong-sepotong.
Anonim mengatakan...
Sebenarnya kesahihan hadis Tsaqalain dengan redaksi :....Kitabullah .....wa ithrati ahlul baiti, sudah tidak bisa diutak utik lagi. Ada juga yg berusaha mengubah redaksi menjadi :......kitabullah.....wa sunnati..., tapi gagal. Nah sekarang ada mencoba mengutak ngutik sedemikian rupa shg artinya dimencengkan menjadi:...berpegang kpd Kitabullah saja.

Secara logika mana mungkin umat cuma berpegang kpd Kitabullah saja ? Bagaimana petunjuk pelaksanaannya ? Apa penafsiran ini untuk memberi landasan atau pembenaran atas ijtihad para sahabat yg banyak bertentangan dg Sunnah Nabi ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Siapa pula yang menyatakan ketidakshahihannya. Dan perkataan Anda 'mengubah' redaksi, ini adalah perkataan 'ngasal'. Perintah untuk berpegang pada sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika terjadi perselisihan itu banyak mas,... bukan hanya satu hadits. Misal :



Dari Al-‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما بعد صلاة الغداة موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب فقال رجل إن هذه موعظة مودع فماذا تعهد إلينا يا رسول الله قال أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم يرى اختلافا كثيرا وإياكم ومحدثات الأمور فإنها ضلالة فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi nasihat kepada kami pada suatu hari setelah shalat Shubuh dengan satu nasihat yang jelas hingga membuat air mata kami bercucuran dan hati kami bergetar. Seorang laki-laki berkata : ‘Sesungguhnya nasihat ini seperti nasihat orang yang hendak berpisah. Lalu apa yang hendak engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah ?’. Beliau bersabda : ‘Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Orang yang hidup di antara kalian (sepeninggalku nanti) akan menjumpai banyak perselisihan. Waspadailah hal-hal yang baru, karena semua itu adalah kesesatan. Barangsiapa yang menjumpainya, maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaa’ Ar-Raasyidiin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham” [selesai].

Hadits itu shahih.
Anda tidak suka ? sudah bisa saya tebak, karena itu lah tabiat yang biasa saya temui dari orang-orang sekelas Anda.
Tentang hadits 'itrah, yang jadi permasalahan kan pemahamannya. Kalau Anda mengatakan bahwa para shahabat itu banyak salahnya, memangnya ahlul-bait suci dari kesalahan ?. Jika 'Umar dianggap membuat-buat bid'ah, ternyata, ada saja Ahlul-Bait yang bertaqlid kepadanya :
Telah berkata Al-Imaam Al-Aajurriy rahimahullah :

وَحَدَّثَنَا ابْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الأَشَجُّ، قَالَ: سَمِعْتُ حَفْصَ بْنَ غِيَاثٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ جَعْفَرَ بْنَ مُحَمَّدٍ يَقُولُ: نَحْنُ أَهْلَ الْبَيْتِ نَقُولُ: " مَنْ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلاثًا فَهِيَ ثَلاثٌ "

Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Abdil-Hamiid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’iid Al-Asyaj, ia berkata : Aku mendengar Hafsh bin Ghiyaats berkata : Aku mendengar Ja’far bin Muhammad berkata : “Kami Ahlul-Bait berkata : ‘Barangsiapa yang menthalaq istrinya tiga kali sekaligus (dalam satu lafadh/majelis), maka ia terhitung tiga” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah, 3/560 no. 2071; muhaqqiq (Al-Waliid bin Muhammad) berkata : “Sanadnya shahih”].

Padahal diketahui, talaq 3 di jaman Rasul shallallaahu 'alaihi wa sallam itu dihitung 1.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
وحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ ، وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ ، قَالُوا : حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَهُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ ، عَنْ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ ، عَنْعَبْدِ اللَّهِ الدَّانَاجِ . ح وحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ ، أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُخْتَارِ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ فَيْرُوزَمَوْلَى ابْنِ عَامِرٍ الدَّانَاجِ ، حَدَّثَنَا حُضَيْنُ بْنُ الْمُنْذِرِ أَبُو سَاسَانَ قَالَ : "شَهِدْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَأُتِيَ بِالْوَلِيدِ قَدْ صَلَّى الصُّبْحَ رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ قَالَ : أَزِيدُكُمْ فَشَهِدَ عَلَيْهِ رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا حُمْرَانُ أَنَّهُ شَرِبَ الْخَمْرَ وَشَهِدَ آخَرُ أَنَّهُ رَآهُ يَتَقَيَّأُ ، فَقَالَ عُثْمَانُ : إِنَّهُ لَمْ يَتَقَيَّأْ حَتَّى شَرِبَهَا ، فَقَالَ : يَا عَلِيُّ قُمْ فَاجْلِدْهُ ، فَقَالَعَلِيٌّ : قُمْ يَا حَسَنُ فَاجْلِدْهُ ، فَقَالَ الْحَسَنُ : وَلِّ حَارَّهَا مَنْ تَوَلَّى قَارَّهَا فَكَأَنَّهُ وَجَدَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ : قُمْ فَاجْلِدْهُ ، فَجَلَدَهُ وَعَلِيٌّ يَعُدُّ حَتَّى بَلَغَ أَرْبَعِينَ ، فَقَالَ : أَمْسِكْ ثُمَّ ، قَالَ : جَلَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ ، وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ ، وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ "



Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan ‘Aliy bin Hujr, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, dari Ibnu Abi ‘Aruubah, dari ‘Abdullah Ad-Danaaj (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Al-Handhaliy – dan lafadh ini miliknya - : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Hammaad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Fairuuz maulaa Ibni ‘Aamir Ad-Danaaj : Telah menceritakan kepada kami Hudlain bin Al-Mundzir Abu Saasaan, ia berkata : “Aku menyaksikan ‘Utsmaan bin ‘Affaan, yang waktu itu Al-Waliid dibawa ke hadapannya yang baru saja menyelesaikan shalat Shubuh dua raka’at. (Penyebabnya adalah) Al-Waliid berkata (karena mabuk) : ‘Apakah aku menambah raka’at bagi kalian ?’. Dua orang shahabat memberikan kesaksian padanya. Salah satunya adalah Humraan yang memberikan kesaksian bahwasannya ia (Al-Waliid) telah meminum khamr. Sedangkan yang lain memberikan kesaksian bahwasannya ia melihatnya muntah (karena khamr). ‘Utsmaan berkata : ‘Ia tidak akan muntah jika tidak meminumnya’. Kemudian ia berkata : ‘Wahai ‘Aliy, berdirilah dan deralah orang ini !’. Lalu ‘Aliy berkata : ‘Berdirilah wahai Hasan, dan deralah ia !’. Al-Hasan (bin ‘Aliy) berkata : ‘Suruhlah orang yang menikmati jabatan (maksudnya ‘Utsmaan – Abul-Jauzaa’) yang mengerjakannya !’. Sepertinya Al-Hasan sedang marah kepadanya. Lalu ‘Aliy berkata : ‘Wahai ‘Abdullah bin Ja’far, berdirilah dan deralah ia !’. Lalu ‘Abdulah menderanya, sedangkan ‘Aliy menghitungnya, hingga pada hitungan keempatpuluh, ia berkata : ‘Tahan !’. Lalu ia melanjutkan perkataannya : ‘Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendera sebanyak empatpuluh kali, Abu Bakr empatpuluh kali, dan ‘Umar delapanpuluh kali. Semuanya sunnah. Namun ini (yaitu deraan empatpuluh kali) lebih aku sukai” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1707]
'Aliy mengatakan penyelisihan 'Umar terhadap Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam merupakan sunnah (loh ?). Dan ternyata kemudian - meski ia bilang lebih menyukai40 deraan) - 'Aliy sendiri yang mendorong mempopulerkan cara yang dipakai 'Umar.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
عن معمر عن أيوب عن عكرمة أن عمر ابن الخطاب شاور الناس في جلد الخمر، وقال : إن الناس قد شربوها واجترّوا عليها، فقال له علي : إن السكران إذا سكر هذى، وإذا هذى افترى، فاجعله حد الفرية، فجعله عمر حد الفرية ثمانين



Dari Ma’mar, dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab bermusyawarah dengan orang-orang tentang hukuman dera peminum khamr. Ia berkata : “Sesungguhnya orang-orang telah meminum khamr dan mereka tertarik kepadanya. ‘Aliy berkata kepadanya : “Sesungguhnya orang yang mabuk apabila ia mabuk akan ngomong tidak karuan. Dan apabila ia ngomong tidak karuan, ia akan berdusta. Jadikanlah ia seperti hukuman hadd bagi seorang pendusta”. Maka ‘Umar menjadikannya seperti hukuman pendusta sebanyak 80 kali deraan [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 7/378 no. 13542; hasan lighairihi].

[baca sumbernya di : sini].

Juga,.... lihat saja.... di antara 'pecinta ahlul-bait' itu ada yang mengeluarkan beberapa orang dari lingkaran ahlul-bait karena tidak menyocoki pemahamannya. Lihatlah sikap Syi'ah Raafidlah terhadap keturunan Al-Hasan bin 'Aliy !. Lihat sikap Syi'ah Raafidlah terhadap istri-istri Nabi ! Lihatlah sikap Syi'ah Raafidlah terhadap Al-Khulaafaur-Raasyidiin selain 'Aliy !.

Payah.....

Anonim mengatakan...
hadis tsaqalain dengan makna "kitabullah dan ahlubaitku" lebih shohih. soal maknanya udah terang benderang bagaikan matahari disiang bolong tidak perlu bertele2 mencari cari makna lain dan memperlemah hadist ini menjadikan bingung orang..dlm hadist tsb kita diwajibkan berpegang teguh pada "alquran dan ahlibait", demikianlah hadist tersebut dari Rasulullah
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Hadits tsaqalain itu ada yang shahih, hasan, dan dla'if. Di atas pun tidak ada yang menafikkan hadits tsaqalain. 

Bagi Syi'ah, hadits tsaqalain memang tidak dipahami dengan menggunakan akal sehat, akan tetapi akal yang sakit. Dalam Shahih Muslim sangat jelas dan gamblang kelengkapan lafadh haditsnya.

Anonim mengatakan...
14 abad berlalu , mazab syiah paling ditakuti yahuudi dan setan besar amrik, apalg si pengecut saudi yahudi. aku bangga iran mjd negara kuat dan siap jihad vs kafir dan munafik.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Mungkin Anda dulu ngantuk sewaktu diberikan pelajaran sejarah oleh guru Anda. 


14 abad yang lalu, Amerika itu belum ada.

Anonim mengatakan...
Assalamu'alaikum warrohamtullahi wabarokatu...
Segala puji bagi allah, tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabat beliau.

Bismillahirrahmanirrahim...

Nama ana Lukmannul Hakim Bin Hasan
salam ukhwh muslim smnya krna allah swt...
Ana membaca dari awal sampai akhir begitu banyak ilmu2 di paparkan smga smnya menjadi ilmu bermenfa'at dan berkah krna allah...
Muslim itu adalah saudara bagi muslim lainnya,;
Diriwayatkan dari anas Bin malik radiallahuanhu dari Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam,"tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri."(Disebutkan oleh imam al-bukhari pada kitab ke-2 kitab iman,bab ke-7 bab di antara sifat iman itu ialah mencintai untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri) "Al-Lu'lu'wal marjan'kumpulan Hadits shahih Bukhari muslim' dari muhammad fu'ad abdul baqi'"
Firman allah swt;"Dan sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu dan aku adalah tuhan-Mu, maka bertakwalah kepada-Ku."(Al-mu'minun surah 23 : ayat 52)

"Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) allah, dan janganlah kamu bercerai berai..."(Ali imran surah 3 ayat :103)

"...dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka."(Ar-rum surah 30 ayat : 32)

"Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat."(Ali imran surah 3 ayat:105)

"...kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada allah (al-qur'an) dan rasul (sunnahnya)..."(An-nisa surah 4 ayat:59)

"Dan apa pun yang kamu perselisihkan padanya tentang sesuatu, keputusannya (terserah) kepada allah. (Yang memiliki sifat-sifat demikian) itulah allah tuhanku. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya aku kembali."(Asy-syura surah 42 ayat:10

Firman Zein Alfirdausi mengatakan...
Assalamu'alaikum Wr Wb
Semoga shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga beserta para sahabatnya


Inilah yang terjadi ketika hadits tsaqalain diubah menjadi Alqur'an dan Sunnah yang lebih jauh lagi ditafsirkan Alqur'an dan hadits. Terjadi pertentangan-pertetangan yang dalam, penta'wilan-penta'wilan berdasarkan pendapat terhadap suatu hadits tanpa tahu arti dan maksud sesungguhnya hadits tersebut bermakna.

Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Umar RA dan Ali KWH hadits tidak boleh dituliskan, bahkan penah Abu Hurairah RA dimarahi oleh Umar RA dan Sayyidatina Aisyah RA karena membicarakan tentang hadits padahal dia bukan sahabat utama dan tidak selalu bersama Rasulullah SAW. Hadits-hadits dahulu dihafalkan, seperti Imam Syafii Rahimahullah yang hafal 100.000 sebagai murid dari Hujjatul Islam Al Muhaddits Al Imam Malik
rahimahullah hadits dengan sanad dan matannya, Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah hafal 1.000.000 hadits dengan sanad dan matannya.

Dan jelaslah Kitabullah itu harus dijelaskan oleh orang yang benar-benar kompeten dengan keilmuan yang bersanad yang bersambung ke Rasulullah SAW dan Rasulullah sudah jauh-jauh hari mengisyaratkan bahwa tidak akan tersesat bila berpegang pada Kitabullah dan ahlulbait

saiful anwar mengatakan...
Assalamu'alaikum
Abul Jauza' ini sangat aneh dan mengelabui pembaca, disatu sisi kajiannya menyatakan seolah olah memegang teguh Kitabullah (Al Quran), namun pada saat yang sama dia merendahkan Kitabullah (Al Quran) yakni dengan menyatakan bahwa Ahlul Bait tidak maksum berdalil dengan hadist-hadist yang sesuai dengan seleranya.


Kaidah apa yang dia gunakan Hujjah Al Quran (yang dia katakan sendiri dijamin suci) bisa dibatalkan oleh hadist-hadist (yang belum tentu suci dan benar)?


Padahal jelas dan gamblang Al Quran (QS 33:33) menyatakan bahwa Ahlul Bait disucikan sesuci sucinya oleh Allah SWT...

Anonim mengatakan...
@Bang Ipul Anwar:
@Saiful Anwar: Ketika anda menuduh demikian, bukankah lebih baik kalau anda sampaikan juga dalil shahih berkaitan dengan kemaksuman orang selain Rasul?
Karena tak akan berbobot tuduhan anda kalau cuman sekedar menuduh & mencela saja, seakan anda menulis di kolom komentar ini bukan dengan maksud mencari kebenaran, melainkan hanya sebatas emosi melihat tulisan ilmiah namun bertentangan dengan hawa nafsu anda.

QS 33-33 itu berbicara dalam konteks nasehat Allah pada mereka yang hendak menjadikan mereka bersih dari aib, bukan karena mereka disucikan dalam artian makshum.


Itupun yang dibicarakan adalah Ahlul Bait yang hidup pada masa itu, seperti istri & anak-anak Nabi sebagaimana isi ayatnya.
Silahkan baca kitab-kitab tafsir Ibnu Abbas, Qurthubi, dan kitab-kitab tafsir Ulama besar lainnya.

Anonim mengatakan...
Orang seperti mas Syaiful Anwar itu seandainya disuruh habib asy'ariyyin-nya untuk terjun ke sumur dengan diiming-imingi syafaat pasti juga akan nurut.

Atau seandainya habib asy'ariyyinnya bilang kalau matahari itu sebenarnya roti pun juga beliau pasti langsung percaya.

Memang luar biasa keadaan kaum Muslimin mayoritas di Indonesia ini.
Taqlid & kebiasaan membeonya susah dikalahin orang lain.
Seperti sapi yang dikurung ketat didalam kandang yang sempit & gelap tertutup, lalu diarahkan kesana kemari nurut saja.

suwardi Suwardi mengatakan...
untuk berpegang teguh pada kitabullah itu cukup jelas, tapi saya gk ngerti yang selama ini sering disebut2 "quran dan sunnah" itu ngambil dari hadis yang mana ya?


Diposting oleh Abu Al-Jauzaa' : di 07.56
Label: Syi'ah
Salah satu doktrin teologis primer bagi kaum Syi’ah menyatakan bahwa agama ini hanya akan tegak dengan wasilah (perantaraan) Ahlul-Bait. (Saat lawan bicara mereka adalah Ahlus-Sunnah), salah satu dalil penting yang mereka kemukakan adalah :
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, dari Abudl-Dluhaa, dari Zaid bin Arqam, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh padanya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla dan ‘itrahku ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [Diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyaan Al-Fasaawiy dalam Al-Ma’rifah wat-Taariikh, 1/536].
Yahya, menurut pen-tahqiq kitab Al-Ma’rifah (Dr. Akram Dliyaa’ Al-‘Umariyhafidhahullah) adalah Ibnu Yahyaa bin Bakiir, seorang perawi tsiqah. Sedangkan menurut jalan sanad Al-Haakim, ia adalah Ibnul-Mughiirah As-Sa’diy Ar-Raaziy. Abu Haatim mengatakan ia perawi shaduuq [Al-Jarh wat-Ta’diil, 9/191 no. 798]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [9/no. 16357]. Adapun perawi lain adalah perawi Shahihain, kecuali Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, ia hanya dipakai oleh Muslim saja.
Al-Haakim (sebagaimana diisyaratkan sebelumnya) juga meriwayatkan dengan sanad dari Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain bin Mushlih Al-Faqiih, dari Muhammad bin Ayyub, dari Yahyaa bin Al-Mughiirah As-Sa’diy, dan seterusnya sama dengan sanad seperti di atas; akan tetapi dengan lafadh :
إني تارك فيكم الثقلين كتاب الله وأهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض هذا حديث صحيح الإسناد على شرط الشيخين ولم يخرجاه
“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain, (yaitu) : Kitabullah dan ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [Al-Mustadrak ­– bersama At-Tatabbu’ – 3/173-174 no. 4774. Al-Haakim berkata : “Hadits ini shahih sanadnya berdasarkan persyaratan Al-Bukhariy dan Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkannya/meriwayatkannya”].
Atas dasar hadits ini, maka mereka menanamkan satu pemahaman bahwa Ahlul-Bait haruslah ma’shum, terbebas dari kesalahan besar maupun kecil. Jaminan keselamatan (sebagaimana dalam hadits Zaid bin Arqam di atas) – menurut mereka - hanya ada pada pribadi-pribadi yang mendapat jaminan perlindungan Allah dari melakukan dosa dan kesalahan (baik sengaja ataupun tidak sengaja). Inilah secara ringkas ‘maunya’ mereka.
Apabila kita tengok cara pendalilan mereka (Syi’ah), sangat aneh rasanya jika mereka bersusah payah memakai dalil-dalil Ahlus-Sunnah (dalam kitab-kitab yang dipakai Ahlus-Sunnah). Mungkin mereka tahu jika mereka memakai nash-nash dari kitab-kitab Syi’ah akan menimbulkan reaksi penolakan dari Ahlus-Sunnah atas jajanan ‘aqidah yang coba mereka tawarkan, karena para imam/ulama telah menjelaskan pondasi dasar agama Syi’ah adalah kedustaan.
Sehubungan pendalilan berasal dari sumber Ahlus-Sunnah, tentu kita pun akan memahami, menyikapi, (mencoba) mengkritisnya, dan mengkomparasikannya dengan dalil-dalil lain yang diakui eksistensinya oleh Ahlus-Sunnah.
Pemahaman ala mereka menimbulkan banyak ke-musykil-an bagi Ahlus-Sunnah, di antaranya adalah :
Definisi Ahlul-Bait.
Dalam blog ini telah ada pembahasan sebelumnya mengenai Ahlul-Bait [silakan baca di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/ahlul-bait-nabi-shallallaahu-alaihi-wa.html]. Jika mereka menggunakan dalil-dalil Ahlus-Sunnah, apakah mereka sepakat untuk mengambil keseluruhan dalil, atau sebagian dalil saja yang kebetulan sesuai dengan ‘aqidah dan ‘selera’ mereka ? Kita lihat. Dalil-dalil Ahlus-Sunnah menunjukkan bahwa Ahlul-Bait meliputi istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya, keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, serta keluarga ‘Abbas. Sebagian ulama lain menambahkan : seluruh keturunan Bani Hasyim, baik muslim dan muslimah. Merekalah golongan yang diharamkan menerima harta zakat. Apakah Syi’ah sepakat dengan dalil-dalil Ahlus-Sunnah ini ? Ternyata tidak. Mereka telah bersepakat bahwa para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk bagian Ahlul-Bait [lihat Tafsir Al-Qummiy 2/293,Shawaarimul-Muhriqah oleh At-Tustariy hal. 146, dan Siyarul-Aimmatil-Itsnay ‘Asyar hal. 13].
Ath-Thabaathabaa’iy berkata :
فالآية لم تكن بحسب النزول جزء اً من آيات نساء النبي ولا متَّصلة بها و إنما وضعت بينها إمّا بأمرٍ من النبي أو عند التأليف بعد الرحلة
“Ayat tersebut (QS. Al-Ahzaab : 33 atau ayat tahthiir kepada alul-bait)[1] bukan merupakan bagian dari ayat-ayat yang berbicara tentang istri-istri Nabi dan tidak ada kaitan dengannya. Hanya saja, ia ditaruh di antara ayat-ayat tersebut, mungkin dengan dasar perintah Nabi atau (ditaruh) pada waktu Al-Qur’an dituliskan setelah beliau wafat (oleh para shahabat)” [Al-Miizaan, 16/321 -http://www.ahl-ul-bait.com/newlib/Quran/almizan/almizan16/f7-16.htm].
Al-Majlisiy berkata :
فقد ظهر من تلك الأخبار المتواترة من الجانبين بطلان القول بأن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم داخلة في الآية، وكذا القول بعمومها لجميع الأقراب، ولا عبرة بما قاله زيد بن أرقم من نفسه مع معارضته بالأخبار المتواترة.
“Sungguh telah jelas/nyata dari khabar-khabar mutawatir tersebut sisi kebathilan pendapat yang mengatakan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam cakupan ayat (QS. Al-Ahzaab : 33). Begitu pula dengan perkataan/pendapat yang menyatakan keumumannya bagi seluruh keluarga dekat. Tidak ada ‘ibrah (yang dapat diambil) dari perkataan Zaid bin Arqam atas dirinya karena bertentangan dengan khabar-khabar mutawatir” [Bihaarul-Anwaar, 35/333].[2]
Bahkan dalam Tafsir Farman ‘Aliy (tafsir yang dipakai kaum Syi’ah kontemporer – pada komentar QS. Al-Ahzaab : 33) dikatakan bahwa jika kita menghilangkan ayattahthir (penyucian terhadap ahlul-bait) dari tengah ayat, maka ayat yang berbicara tentang istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi lebih baik dan lebih pas dibanding jika ada ayat tahthir tersebut.[3]
Padahal secara bahasa dan syari’at, kata ahlun (أَهْلٌ) dari seorang laki-laki itu termasuk istri-istrinya. Ayatullah Al-Khuu’iy – seorang ulama Syi’ah dari ‘Iraq – sendiri menjelaskan bahwa kata ahlun dari seseorang itu mencakup istri-istrinya.[4] Tapi entah kenapa jika dihubungkan dengan Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikeluarkan dari cakupan maknanya. Mengherankan !
Inilah wujud-wujud pengingkaran kaum Syi’ah tentang eksistensi istri-istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagian dari Ahlul-Bait beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Aasyuur rahimahullah (w. 1393 H) – ulama Ahlus-Sunnah - berkata :
أهل البيت : أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، والخطاب موجه إليهن، وكذلك ما قبله وما بعده. لا يخالط أحداً شك.وقد تلقف الشيعة حديث الكساء، فغصبوا وصف أهل البيت، وقصروه على فاطمة وزوجها وابنيها عليهم رضوان، وزعموا أنَّ أزواج النبي صلى الله عليه وسلم لسن من أهل البيت.وهذه مصادمة للقرآن؛ بجعل هذه الآية حشواً بين ما خوطب به أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، وليس في لفظ حديث الكساء ما يقتضي قصر هذا الوصف على أهل الكساء؛ إذ ليس في قوله : (هؤلاء أهل بيتي) صيغة قصر، وهو كقوله تعالى عن إبراهيم أنَّه قال : ((إِنَّ هَؤُلاءِ ضَيْفِي)) [الحجر : ٦٨]. ليس معناه : ليس لي ضيف غيرهم.وهو يقتضي أن تكون الآية مبتورة عمَّا قبلها وما بعدها.
“Ahlul-Bait adalah para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembicaraan tersebut diarahkan kepada mereka. Demikian pula apa yang sebelum dan setelahnya, tidak ada keraguan menyelubungi seorang pun. Kalangan Syi’ah telah menelan hadits kisaa’ (kain), lalu merampas kriteria ahlul-bait dengan membatasinya pada Faathimah, suami (‘Aliy bin Abi Thaalib), dan kedua puteranya (Al-Hasan dan Al-Husain) ridlwanullahu ‘alihim, lalu mereka mengklaim bahwa para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukanlah termasuk ahlul-bait. Dan ini berbenturan dengan Al-Qur’an, dengan menjadikan ayat ini sebagai ‘sesuatu yang sia-sia’ di tengah nasihat-nasihat yang diarahkan kepada para istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, sementara di dalam lafadh hadits kisaa’ itu tidak terdapat hal yang menuntut pembatasan kriteria ini pada orang-orang yang berada di dalam kisaa’ itu. Sebab di dalam sabda beliau : ‘Mereka adalah ahlul-bait-ku’ ; tidak terdapat shighah qashr (pembatasan). Ia seperti firman-Nya tentang Ibrahim ‘alaihis-salaam, bahwa ia berkata : ‘Sesungguhnya mereka adalah tamuku’(QS. Al-Hijr : 68). Maknanya bukan : ‘Aku tidak memiliki tamu selain mereka’. Dan ia berkonsekuensi pada terpenggalnya ayat tersebut dari apa yang sebelum dan setelahnya” [At-Tahriir wat-Tanwiir, 21/247-248].
Ketika mereka menggunakan hadits Zaid bin Arqam (yang diriwayatkan oleh Al-Fasawiy rahimahullah di atas) untuk berpegang teguh pada ahlul-bait yang jika kita berpegang-teguh dengannya, maka kita tidak akan tersesat; ternyata pada waktu yang bersamaan orang Syi’ah menolak hadits Zaid bin Arqam[5] yang mengatakan bahwa istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam !! Pilih-pilih hadits ?!!?!….
Tidak istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak keluarga ‘Aqil, tidak keluarga Ja’far, tidak pula keluarga ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Yang diakui hanyalah keluarga ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu saja.
Tentang shahabat mulia Al-‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib radliyallaahu ‘anhu – paman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – kaum Syi’ah berkata melalui riwayat dusta yang mereka sandarkan kepada Ahlul-Bait :
وعن علي بن الحسين أنه قرأ: إن قول الله عز وجل: ((وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً)) ، وقول الله عز وجل: ((وَلا يَنفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنصَحَ لَكُمْ)) نزلتا فيه
Dari ‘Aliy bin Al-Husain, bahwasanya ia membaca : “Sesungguhnya firman Allah‘azza wa jalla : ‘Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)’ (QS. Al-Israa’ : 72) dan ‘Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu’ (QS. Huud : 34); keduanya turun mengenainya (‘Al-‘Abbas)” [Rijaalul-Kasysyiy hal. 52-53].
Al-Maamiqaaniy Asy-Syi’iy menambahkan kedustaannya :
وأقول : الأخبار في حقه مختلفة جداً، والذامة منها أقوى دلالة.
“Aku katakan : Khabar-khabar mengenainya sangat bertentangan. Dan khabar yang mencelanya lebih kuat penunjukannya” [Tanqiihul-Maqaal, 2/126-128].
Mengenai Turjumanul-Qur’an, ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu, Syi’ah berkata tentangnya melalui riwayat dusta yang mereka sandarkan kepada Ahlul-Bait :
وعن علي أنه قال: (اللهم العن ابني فلان وأعم أبصارهما كما أعميت قلوبهما).
Dari ‘Aliy bahwasannya ia berkata : “Ya Allah, laknatlah dua anak dari si Fulan dan butakanlah mata keduanya sebagaimana telah Engkau butakan hati keduanya” [Rijaalul-Kasysyiy, hal. 52]. Muhaqqiq kitab ini berkata dalam hasyiyah-nya :
ابني فلان كناية عن عبد الله وعبيد الله ابني العباس عم النبي صلى الله عليه وسلم
“Dua anak dari si Fulan itu adalah kinayah dari ‘Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua anak Al-‘Abbas paman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Itulah perkataan keji mereka pada ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamdalam sisi pandang ‘aqidah Ahlus-Sunnah !!
Mereka membatasi cakupan Ahlul-Bait berdasarkan pandangan sempit mereka akan hadits kisaa’ :
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه وسلم قال نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه وسلم {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا} في بيت أم سلمة، فدعا النبي صلى الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء ثم قال: اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا. قالت أم سلمة وأنا معهم يا رسول الله؟ قال أنت على مكانك وأنت الى خير".
Dari ‘Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Ayat ini (Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) turun kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain, lalu beliau menyelimuti mereka dengan kisa’ (baju), dan beliau pun menyelimuti ‘Ali yang berada di belakang punggungnya dengan kisaa’. Kemudian beliau bersabda : “Ya Allah, mereka semua adalah Ahlul-Bait-ku. Hilangkanlah dari mereka rijs dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya”. Maka Ummu Salamah berkata : “Apakah aku bersama mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Tetaplah kamu di tempatmu,[6] dan kamu di atas kebaikan” [HR. At-Tirmidzi no. 3205; shahih].
Jumhur Syi’ah menyatakan bahwa yang dimaksud ahlul-bait adalah orang-orang yang diselubungi kisaa’ oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits di atas.[7]
Namun ternyata jika kita pahami sesuai dengan kemauan mereka, maka keluarga dan/atau keturunan ‘Aliy, Al-Hasan ataupun Al-Husain pun juga masih dipilih-pilih. Tidak semua diakui sebagai Ahlul-Bait. Dalam praktek,…. sebagian di antara mereka pun diliputi oleh celaan-celaan. Otomatis ditendang dari ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sedikit di antara banyak yang bisa dicontohkan :
Isma’il bin Ja’far Ash-Shaadiq – saudara Musa Al-Kadhiim – rahimahumallaah; ada riwayat yang disandarkan pada Ja’far Ash-Shaadiq bahwa ia pernah berkata tentangnya :
إنه عاص، لا يشبهني ولا يشبه أحداً من آبائي
“Sesungguhnya ia telah durhaka. Tidaklah ia menyerupaiku, tidak pula menyerupai seorang pun dari bapak-bapakku” [Bihaarul-Anwaar, 47/247].
Al-Hasan bin Al-Hasan (Al-Mutsannaa) dalam kitab Tanqiihul-Maqaal (1/35 & 273) ditemukan riwayat yang berbeda-beda apakah ia kafir atau fasik. Coba kita perhatikan pilihan antara kafir dan fasiq; dua-duanya tidak ada yang enak untuk diambil/dipilih. Semuanya tercela.
Muhammad bin ‘Abdillah bin Al-Hasan bin Al-Hasan yang dijuluki An-Nafsuz-Zakiyyah disebut sebagai pendusta yang mengaku sebagai imam [Tanqiihul-Maqaal, tarjamah no. 10953].
Dan saya tutup sedikit contoh ini dengan perkataan Al-Maamiqaaniy :
إِنَّ سائر بني الحسن بن علي كانت لهم أفعال شنيعة، لا تحمل على التقية؛ باستثناء زيد فإنَّه يمكن أن تحمل أفعاله الشنيعة على التقية.
“Sesungguhnya seluruh Bani Al-Hasan bin Al-Hasan bin ‘Aliy melakukan perbuatan-perbuatan keji, yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan taqiyyah, kecuali Zaid. Sebab perbuatan-perbuatan kejinya (?!!!) bisa dibenarkan dengan alasan taqiyyah” [Tanqiihul-Maqaal, 3/142].
Kita meyakini bahwa riwayat-riwayat yang dibawakan kaum Syi’ah itu adalah dusta yang diatasnamakan ahlul-bait. Mereka (ahlul-bait) telah memperingatkan lebih dari satu kesempatan terhadap riwayat para pendusta. Al-Kasysyiy meriwayatkan dari Abu ‘Abdillah bahwa ia berkata :
إِنَّا أهل البيت صادقون، لا نخلو من كذاب يكذب علينا، ويسقط صدقنا بِكَذبه علينا عند الناس.....
“Sesungguhnya kami, ahlul-bait, adalah orang-orang yang jujur, tidak terhindar dari pendusta yang berdusta atas nama kami, lantas jatuhlah kejujuran kami di mata manusia dengan kedustaannya atas kami”.
Kemudian ia (Al-Kasysyiy) menyebutkan para pendusta terhadap ahlul-bait, yaitu Maslamah, ‘Abdullah bin Saba’, Al-Mukhtar, Al-Haarits Asy-Syaamiy, Banaan, Al-Mughiirah bin Sa’iid, Buzaigh, As-Sariy, Abul-Khaththaab, Ma’mar, Basysyaar Asy-Sya’iiriy, Hamzah Al-Barbariy, dan Shaayid An-Nahdiy [selengkapnya lihat Majma’ur-Rijaal, 5/113].
Jadi, siapa sebenarnya yang mereka masukkan dalam Ahlul-Bait ? Jika kita lihat praktek Syi’ah, maka tidak ada dalil-dalil dalam kitab-kitab Ahlus-Sunnah yang dapat menjangkau pendefinisian mereka. Sebab, mereka memasukkan siapa saja yang mereka inginkan dan mengeluarkan siapa saja yang mereka inginkan berdasarkan riwayat-riwayat dusta yang mereka sandarkan kepada ahlul-bait. Diperparah lagi sikap taqlid pada marja’-marja’ mereka yang menjadi penentu arah kemana agama Syi’ah ini akan berjalan. 
Al-Bahraaniy Asy-Syi’iy menjelaskan definisi ahlul-bait dalam konteks al-‘itrah :
أما باعتبار العرف الشرعي فإن العترة هم أمير المؤمنين عليه السلام وفاطمة وولداها الحسن والحسين والأئمة من ذرية الحسين عليهم السلام
“Adapun yang dipertimbangkan/dianggap dalam ‘urf syar’iy, maka ‘itrah itu adalah Amiirul-Mukminiin ‘alaihis-salaam (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu), Faathimah, dan dua anaknya Al-Hasan dan Al-Husain; serta para imam dari keturunan Al-Husain ‘alaihis-salaam” [Manaarul-Hudaa, hal. 571-572].
Al-Majlisiy meriwayatkan dengan sanadnya dari Ash-Shaadiq, dari ayah-ayahnya, dari Al-Husain ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Amiirul-Mukminiin (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib) ‘alaihis-salaam pernah ditanya tentang makna sabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain, yaitu Kitabullah dan ‘itrahku’. Siapakah yang dimaksud al-’itrah itu ?’. Maka ia menjawab :
أنا والحسن والحسين، والأئمة التسعة من ولد الحسين تاسعهم مهديهم وقائمهم
“Aku, Al-Hasan, Al-Husain, para imam yang sembilan dari anak turun Al-Husain.[8] Yang kesembilan dari mereka adalah Mahdi mereka dan penopang mereka” [Bihaarul-Anwaar, 23/147].
Ternyata definisi ahlul-bait (‘itrah) telah mengeluarkan keturunan Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma dalam cakupan ini !!
Teori Kema’shuman Ahlul-Bait
Dilihat dari sub judulnya saja, kita sudah tahu bahwa ini sudah di luar konteks ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Tidak ada dalil atau nash yang menunjukkan adanya orang yang ma’shum setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi, definisi ma’shum/’ishmah yang mereka pakai sangat berbeda jauh dengan Ahlus-Sunnah.
Muhammad Ridlaa Al-Mudlaffar menjelaskan tentang doktrin ‘ishmah dalam teologi Syi’ah sebagai berikut :
Al-‘Ishmah itu pengertiannya adalah suci dari dosa-dosa dan dari kemaksiatan yang besar maupun yang kecil. Juga suci dari kesalahan dan lupa, bahkan harus suci pula dari perkara yang mubah tetapi mengurangi kewibawaan, seperti terlalu banyak makan, tertawa terbahak-bahak, dan dari segala perkara yang dianggap rendah oleh masyarakat. Al-‘Ishmah seperti ini ada pada para Nabi dan para Imam dari kalangan Ahlul-Bait” [‘Aqiidatul-Imaamah 'Aqaaidul-Imaamiyyah oleh Muhammad Ridla Al-Mudlaffar, hal. 53-54; Al-Maktabah Al-Islamiyyah Al-Kubraa, tanpa tahun].
Muhammad Al-Husain Kaasyiful-Ghithaa’ menyatakan :
“…..dan para imam itu disyaratkan pula harus sebagai orang-orang yang ma’shum seperti Nabi, yaitu terjaga dari kesalahan dan terjaga pula dari berbuat salah….” [Ashlusy-Syii’ah wa Ushuuluhaa oleh Muhammad Al-Husain Kasyful-Ghithaa’, hal. 102; Manshurat Maktabah Al-Irfan, Beirut, Cet. 9].
Ia menambahkan :
“….. dan bahwasannya Muhammad itu adalah penutup para Nabi dan junjungan para Rasul. Dan bahwasannya ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan perbuatan salah). Dan bahwasannya ia tidak pernah berbuat kemaksiatan sepanjang umurnya dan tidaklah berbuat suatu apapun kecuali yang sesuai dengan ridla Allah subhaanahu wa ta’alaa sehingga Allah mewafatkannya” [idem, hal. 106].
Definisi yang kelihatannya baik, namun keliru lagi salah besar karena bertolak belakang dengan nash. Dengan definisi ini, mereka pun menolak keberadaan beberapa riwayat shahih dalam kitab hadits standar Ahlus-Sunnah yang menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berbuat salah dan/atau lupa. Al-‘Ishmah dalam pemahaman Ahlus-Sunnah sama sekali tidak pernah menafikkan adanya kesalahan dan lupa. Hanya saja ‘ishmah itu menafikkan adanya dosa-dosa besar dan kesalahan-kesalahan yang menyangkut penyampaian risalah. Oleh karena itu, para Nabi dan Rasul tidak akan pernah lupa dari apa-apa yang Allah wahyukan kepada mereka kecuali sesuatu yang dihapuskan oleh Allah ta’ala.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فإن القول بأن الأنبياء معصومون عن الكبائر دون الصغائر، هو قول أكثر علماء الإسلام وجميع الطوائف، حتى إنه قول أكثر أهل الكلام، كما ذكر أبو الحسن الآمدي‏ ........ أن هذا قول أكثر الأشعرية، وهو ـ أيضًا ـ قول أكثر أهل التفسير والحديث والفقهاء، بل هو لم ينقل عن السلف والأئمة والصحابة والتابعين وتابعيهم إلا ما يوافق هذا القول
“Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa para Nabi itu ma’shum dari dosa-dosa besar, bukan dari dosa-dosa kecil, merupakan pendapat kebanyakan ulama Islam dan seluruh kelompok (dalam Islam), hingga ia merupakan pendapat kebanyakan ahlul-kalaam sebagaimana disebutkan oleh Abul-Hasan Al-Aamidiy…. Ini juga merupakan pendapat dari Asy’ariyyah, ahli tafsir, ahli hadits, dan fuqahaa’. Bahkan, tidak ternukil dari salaf, para imam, para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in kecuali menyepakati pendapat ini….” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/319].
Oleh karena itu kaum Syi’ah Raafidlah menolak secara tegas hadits-hadits yang menerangkan beliau pernah lupa dalam raka’at shalat.[9] Juga hadits tentangasbaabun-nuzuul QS. ‘Abasa : 1-10[10] bahwa beliau pernah mendapat teguran dari Allah ta’ala karena berpaling dari Ibnu Ummi Maktuum,[11] dan hadits-hadits lain yang semisal.
Dalam Al-Qur’an pun banyak ditegaskan bagaimana para Nabi dan Rasul bertaubat dari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan – dan mereka adalah orang yang paling banyak bertaubat kepada Allah ta’ala.
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 37].
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ * قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ * قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya." Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat) nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi." [QS. Huud : 45-47].
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun-Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman” [QS. Al-Anbiyaa’ : 87-88].
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. At-Tahriim : 1].
Kesalahan yang mereka (para Nabi dan Rasul) lakukan tidaklah mengurangi kedudukan mereka sebagai hamba-hamba Allah yang paling mulia dan mempunyai kedudukan tertinggi di sisi-Nya ta’ala. Karena salah satu kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah taubat dari dosa-dosa, sebagaimana firman Allah ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” [QS. Al-Baqarah : 222].
Para Nabi dan Rasul ‘alaihimus-salaam adalah manusia terdepan dalam bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla.
Jika permasalahannya demikian, maka sungguh aneh jika ahlul-bait – dalam teologi Syi’ah – bisa bersih dari segala kesalahan (baik besar dan kecil) dan juga lupa. Apakah kedudukan mereka bisa lebih tinggi dari para Nabi dan Rasul ? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…..
Pendalilan dengan hadits tsaqalain dalam riwayat Ahlus-Sunnah (sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan) seringkali diarahkan (baik secara eksplisit maupun implisit) ke arah kemaksuman – untuk mendukung paham mereka. Dan mohon maaf sebesar-besarnya jika kita katakan pada mereka : Pendalilan Anda ngawur dan tidak nyambung. Bahkan dalil-dalil yang ada (tentu saja dalil yang termaktub dalam kitab Ahlus-Sunnah, bukan dari kitab Syi’ah) tidak ada yang menunjukkan kemaksuman imam-imam mereka. Beberapa hadits shahih telah mencatat sejumlah kekeliruan ijtihad dari penghulu imam mereka, yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Saya akan sebut beberapa di antaranya :
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu pernah keliru dalam ijtihadnya saat ia membakar satu kaum yang murtad dari Islam.
عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).
Dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3017].
Dalam riwayat At-Tirmidziy disebutkan :
فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس
“Maka sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih. Diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya].
Ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berniat mempoligami Faathimahradliyallaahu ‘anhaa, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam marah atas perbuatannya.
عن المسور بن مخرمة : أن علي بن أبي طالب خطب بنت أبي جهل. وعنده فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم. فلما سمعت بذلك فاطمة أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت له: إن قومك يتحدثون أنك لا تغضب لبناتك. وهذا علي، ناكحا ابنة أبي جهل.قال المسور: فقام النبي صلى الله عليه وسلم فسمعته حين تشهد. ثم قال "أما بعد. فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع. فحدثني فصدقني. وإن فاطمة بنت محمد مضغة مني. وأنما أكره أن يفتنوها. وإنها، والله! لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا".قال، فترك علي الخطبة.
Dari Al-Miswar bin Makhramah : Bahwasannya ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah melamar anak perempuan Abu Jahl yang ketika itu ia masih beristri Faathimah binti Rasulullah. Ketika hal itu didengar oleh Fathimah, ia datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan kepada beliau : ‘Sesungguhnya kaummu mengatakan bahwa engkau tidak marah karena perlakukan terhadap anak-anak perempuanmu. Sekarang ini ‘Aliy akan menikahi anak perempuan Abu Jahl”. Al-Miswar berkata : “Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri (untuk berkhutbah) dan aku mendengar beliau saat beliau membaca syahadat. Setelah itu beliau bersabda : ‘Sesungguhnya akutelah mengawinkan Abul-‘Ash bin Ar-Rabii’, lalu ia memberitahuku dan membenarkanku. Sesungguhnya Fathimah bnti Muhammad adalah darah dagingku, karena itu aku tidak suka jika orang-orang memfitnahnya. Demi Allah, sungguh tidak boleh dikumpulkan selamanya antara anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah oleh seorang suami’. Miswar berkata : ‘Maka ‘Aliy membatalkan lamarannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2449].
Ini menunjukkan bahwa perbuatan ‘Aliy melamar anak perempuan Abu Jahl adalah satu kekeliruan.
عن علي بن أبي طالب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم طرقه وفاطمة بنت النبي عليه السلام ليلة، فقال: (ألا تصليان). فقلت: يا رسول الله، أنفسنا بيد الله، فإذا شاء أن يبعثنا بعثنا، فانصرف حين قلنا ذلك ولم يرجع إلي شيئا، ثم سمعته وهو مول، يضرب فخذه، وهو يقول: {وكان الإنسان أكثر شيء جدلا}.
Dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengetuk pintu kamar ‘Aliy bin Abi Thaalib untuk membangunkannya beserta Fathimah, putri Nabi ‘alaihis-salaam. Kemudian Rasulullah shallalllaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mengapa kalian berdua tidak melaksanakan shalat (tahajjud) ?”. Aku (‘Aliy) menjawab : “Wahai Rasulullah, diri kami dalam genggaman tangan Allah. Apabila Ia berkehendak untuk membangunkan kami, Ia pasti membuat kami terbangun”. Ketika aku mengatakannya, beliau kembali tanpa berkata apa-apa. Kemudian ketika beliau berpaling, aku mendengar beliau membaca ayat Al-Qur’an sambil menepuk pahanya : “…Manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah” (QS. Al-Kahfiy : 54) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1127 dan Muslim no. 775].
Dan yang lainnya yang terdapat dalam beberapa riwayat.
Beberapa contoh di atas menunjukkan ‘Aliy bin Abi Thaalib bukanlah seorang pribadi yang ma’shum yang terjaga dari kesalahan dan kelalaian seperti yang dipahami Syi’ah dari para imamnya. Hal yang sama juga terjadi pada diri shahabat besar lainnya seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum.
Lagi pula, teori kemaksuman Syi’ah itu jelas-jelas bertentangan dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
كل بني آدم خطاء وخير الخطائين التوابون
“Setiap anak Adam pasti pernah bersalah, dan sebaik-baik orang-orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat”.[12]
Oleh karena itu, sangat tidak nyambung jika mereka mencari-cari dalil untuk membenarkan pemahaman mereka. Sangat tidak laku (useless) di hadapan Ahlus-Sunnah, tidak lain karena pemahaman mereka sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kecuali….. jika mereka memakai riwayat-riwayat Syi’ah,… nah ini kita tidak terlalu ambil pusing. Iya to ?
Sekedar informasi saja (dan ini bukan hujjah primer), dalam Nahjul-Balaaghah ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dicatat oleh pengarangnya pernah berkata :
فلا تكفروا عن مقالة بحق، أو مشورة بعدل، فإنِّي لست في نفسي بفوق أن أخطئ، ولا آمن ذلك من فعلي، إلَّا أن يكفي الله من نفسي ما هو أملك به منِّي.
“Janganlah kamu berhenti dari mengatakan kebenaran, atau bermusyawarah dengan adil. Sebab aku pada diriku tidak terbebas dari kesalahan dan aku tidak menjamin hal itu dari perbuatanku, kecuali bila Allah mencukupkan dari diriku sesuatu yang Dia lebih memilikinya daripadaku” [Nahjul-Balaaghah, hal 485; Daarul-Ma’rifah, tanpa tahun, Beirut].
اللهم اغفر لي ما تقربت به إليك بلساني ثم خالفه قلبي، اللهم اغفر لي روزات الألحاظ، وسقطات الألفاظ، وشهوات الجنان، وهفوات اللسان.
“Ya Allah, ampunilah aku atas apa yang aku persembahkan kepada-Mu dengan lisanku, kemudian hatiku menyelisihinya. Ya Allah ampunilah aku dari isyarat pandangan, kesalahan lafadh, hawa nafsu yang dibuat anggota badan dan ketergelinciran lisan” [Nahjul-Balaaghah, hal. 183].
Makna perkataan di atas adalah benar bahwa ia (‘Ali bin Abi Thaalib) bukanlah pribadi yang ma’shum yang tentu saja tidak akan luput dari perbuatan salah, lupa, dan dosa.
Kembali pada riwayat Zaid bin Arqam di awal pembahasan. Ada riwayat lain yang dibawakan oleh Zaid bin Arqam dengan lafadh berbeda (disertai kisah di dalamnya) :
عن يزيد بن حيان. قال : انطلقت أنا وحصين بن سبرة وعمر بن مسلم إلى زيد بن أرقم. فلما جلسنا إليه قال له حصين: لقد لقيت، يا زيد! خيرا كثيرا. رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم. وسمعت حديثه. وغزوت معه. وصليت خلفه. لقد لقيت، يا زيد خيرا كثيرا. حدثنا، يا زيد! ما سمعت من رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال: يا ابن أخي! والله! لقد كبرت سني. وقدم عهدي. ونسيت بعض الذي كنت أعي من رسول الله صلى الله عليه وسلم. فما حدثتكم فاقبلوا. وما لا، فلا تكلفونيه. ثم قال: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فينا خطيبا. بماء يدعى خما. بين مكة والمدينة. فحمد الله وأثنى عليه. ووعظ وذكر. ثم قال "أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم ثقلين: أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به" فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال "وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي". فقال له حصين: ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس. قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال: نعم.
Dari Yaziid bin Hayyaan, ia berkata : “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin Muslim. Setelah kami duduk. Hushain berkata kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda beliau, engkau bertempur menyertai beliau, dan engkau telah shalat di belakang beliau. Sungguh, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada kami - wahai Zaid – apa yang engkau dengan dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid bin Arqam berkata : ‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku telah tua dan ajalku semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya’. Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan : ‘Pada suatu hari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Kumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda : ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), yaitu : Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ – beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali – . Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2408].
Dalam riwayat lain :
وإني تارك فيكم الثقلين أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور من استمسك به وأخذ به كان على الهدى ومن تركه وأخطأه كان على الضلالة وأهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي ثلاث مرات
“Dan sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain. Yang pertama adalah Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh padanya dan mengambilnya (dengan melaksanakan kandungannya), maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya dan menyalahinya, maka ia berada dalam kesesatan. Dan (yang kedua adalah) Ahlul-Baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku” – beliau mengatakannya tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2357; shahih][13].
Dalam riwayat lain, hanya disebutkan Kitabullah saja :
إني تارك فيكم كتاب الله هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
“Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Kitabullah. Ia adalah tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya, maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 123; shahih li-ghairihi, dan sanad hadits ini hasan].[14]
Lafadh ini (terutama lafadh yang dibawakan oleh Muslim dalam Shahih-nya) lebih shahih dan lebih kuat dibandingkan lafadh yang dibawakan oleh Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifahpada awal tulisan. Apalagi di dalamnya disebutkan kisah (latar belakang), dimana sudah menjadi satu hal yang ma’ruf dalam hal ilmu hadits bahwa hadits yang disertai kisah lebih kuat (penunjukkannya) dibandingkan hadits semisal tanpa disertai kisah. Sementara itu kita mengetahui bahwa tempat keluarnya perkataan ini adalah satu dan dalam peristiwa yang satu (Ghadir Khum). Apa yang disebutkan ini tentu saja bukan dalam rangka menolak hadits shahih, namun untuk mencoba memahami apa yang terkandung dalam hadits. Kisah yang disebutkan oleh Zaid bin Arqam tersebut sama sekali tidak nampak sesuatu yang dimaui oleh Syi’ah bahwa ahlul-bait itu setara dengan Al-Qur’an dalam jaminan keselamatan dunia dan akhirat. Apalagi dihubungkan dengan teori ke-ma’shum-an. Jauh sekali lah !... Kemutlakan adanya cahaya dan petunjuk beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ucapkan untuk Kitabullah. Adapun ahlul-bait, beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan dan memerintahkan kita untuk menjaganya serta memenuhi hak-haknya. Perintah untuk berpegang teguh kepada ‘itrah (ahlul-bait) bukan bersifat mutlak. Namun ia muqayyad mengikuti pada Al-Qur’an (dan As-Sunnah), sebagaimana sabdanya :
من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على الضلالة
“Barangsiapa yang mengikutinya (Al-Qur’an), maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan”
Apabila di antara mereka (ahlul-bait) yang berkesesuaian dengan keduanya, maka ia wajib untuk diikuti; dan melalui perantaranya, insya Allah, ia akan menjadi petunjuk bagi manusia di dunia menuju kebahagiaan hakiki di akhirat. Ahlul-bait semacam inilah yang nantinya kelak akan berkumpul bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Haudl. Dan mungkin inilah sebab ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu menikahi Ummu Kultsum binti ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuma. ‘Umar berkata :
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة إلا سببي ونسبي فأحببت أن يكون لي من رسول الله صلى الله عليه وسلم سبب ونسب
“Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Setiap sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku dan nasabku’. Oleh karena itu, aku ingin mempunyai sebab dan nasab dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 2036].
Kebalikan dari hal tersebut di atas, jika ia (ahlul-bait) melenceng dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka wajib untuk tidak diterima dan ditolak. Betapa banyak orang yang mengaku punya kaitan dengan ahlul-bait, namun dalam sebagian perkataan dan perbuatannya bertentangan dengan syari’at yang suci. Nasab yang mulia bukan jaminan keselamatan jika lambat beramal. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2699].
Muhammad bin Ya’quub Al-Kulainiy Asy-Syii’iy membuat bab dalam kitabnya Al-Kaafiy :Baab Al-Akhdzi bis-Sunnah wa Syawaahidil-Kitaab, padanya terdapat riwayat : Abu ‘Aliy Al-Asy’ariy (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Muhammad bin ‘Abdil-Jabbaar (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Ibnu Abi Nahjaan (tsiqah menurut kitab rijaalSyi’ah), dari Abu Jamiilah (tsiqah menurut kitab rijaal Syi’ah), dari Jaabir, dari Abu Ja’far ‘alaihis-salaam, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi :
يا معاشر قراء القرآن اتقوا الله عز وجل فيما حملكم من كتابه فإني مسؤول وإنكم مسؤولون إني مسؤول عن تبليغ الرسالة وأما أنتم فتسألون عما حملتم من كتاب الله وسنتي .
“Wahai pembaca Al-Qur’an sekalian, bertaqwalah kepada Allah ‘azza wa jalla pada apa yang dibebankan kepadamu dari Kitab-Nya. Aku bertanggung jawab, dan kalian pun bertanggung jawab pula. Adapun aku bertanggung jawab untk menyampaikan risalah, dan kalian kelak akan dimintai pertanggungjawaban apa yang dibebankan kepadamu dari Kitabullah dan Sunnahku” [Al-Kaafiy, 2/606].
Kata riwayat di atas, kita akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang dibebankan oleh Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sunnah para imam dua belas….
Dan inilah keyakinan dan pemahaman tentang hadits berpegang teguh pada ‘itrah (ahlul-bait) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Al-Munawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits Ats-Tsaqalain :
قوله أولاً إني تارك فيكم تلويح بل تصريح بأنهما كتوأمين خلفهما ووصى أمته بحسن معاملتهما وإيثار حقهما على أنفسهما واستمساك بهما في الدين أما الكتاب فلأنه معدن العلوم الدينية والأسرار والحكم الشرعية وكنوز الحقائق وخفايا الدقائق وأما العترة فلأن العنصر إذا طاب أعان على فهم الدين فطيب العنصر يؤدي إلى حسن الأخلاق ومحاسنها تؤدي إلى صفاء القلب ونزاهته وطهارته قال الحكيم: والمراد بعترته هنا العلماء العاملون إذ هم الذين لا يفارقون القرآن أما نحو جاهل وعالم مخلط فأجنبي من هذا المقام وإنما ينظر للأصل والعنصر عند التحلي بالفضائل والتخلي عن الرذائل فإذا كان العلم النافع في غير عنصرهم لزمنا اتباعه كائناً ما كان ولا يعارض حثه هنا على اتباع عترته حثه في خبر على اتباع قريش لأن الحكم على فرد من أفراد العام بحكم العام لا يوجب قصر العام على ذلك الفرد على الأصح ...
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang pertama : ‘Sesunguhnya akan aku tinggalkan kepada kalian’; merupakan isyarat, bahkan pernyataan jelas bahwa keduanya seperti saudara kembar yang beliau tinggalkan. Beliau berwasiat kepada umatnya agar memperlakukannya dengan baik, mendahulukan hak keduanya atas diri mereka dan berpegang kepada keduanya di dalam agama. Adapun Kitabullah, maka karena ia adalah sumber ilmu-ilmu agama, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah syari’at, pusaka-pusaka, dan kekayaan-kekayaan terpendam dari dokumen-dokumen terpercaya. Adapun ‘itrah, maka karena kebaikan unsur yang dapat membantu memahami agama. Baiknya unsur menyebabkan baiknya akhlak, dan baiknya akhlak menyebabkan beningnya hati, kebersihan, dan kesuciannya. Al-Hakiim berkata : ‘Dan yang dimaksud dengan ’itrah di sini adalah pada ulama ‘amilun (yang beramal), sebab merekalah yang tidak akan berpisah dengan Al-Qur’an. Sedangkan orang jahil dan orang ‘alim yang mencampur-aduk, maka dia asing dari kedudukan ini. Asal-usul dan unsur seseorang hanya dipandang ketika ia berhias dengan akhlak-akhlak mulia dan menghindar dari perbuatan-perbuatan keji. Bila ilmu yang bermanfaat itu ada pada selain unsur mereka, maka kita harus mengikutinya, siapapun ia, dan anjuran Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar mengikuti ‘itrah-nya di sini tidak bertentangan dengan anjuran beliau agar mengikuti Quraisy dalam sebuah hadits (yang lain) karena pemberian hukum ‘aam (umum) kepada salah satu anggotanya tidak mengharuskan pembatasan dalil ‘aam tersebut hanya pada anggota tersebut menurut pendapat yang paling shahih…” [Faidlul-Qadiir no. 2631][15]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ‘aqidah Ahlus-Sunnah tentang ahlul-bait Nabi :
ويحبون أهل بيت رسول الله ويتولونهم ويحفظون فيهم وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حيث قال يوم (غدير خم) : (أذكركم الله في أهل بيتي)، وقال أيضاً للعباس عمه وقد اشتكى إليه أن بعض قريش يجفو بني هاشم فقال : (والذي نفسي بيده لا يؤمنون حتى يحبوكم لله ولقرابتي (وقال) إن الله اصطفى بني إسماعيل واصطفى من بني إسماعيل كنانة واصطفى من كنانة قريشاً واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم). ويتولون أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ويؤمنون بأنهن أزواجه في الآخرة خصوصاً خديجة رضي الله عنها أم أكثر أولاده أول من آمن به وعاضده على أمره وكان لها منه المنزلة العالية والصِّدّيقة بنت الصّدّيق رضي الله عنها التي قال النبي صلى الله عليه وسلم : (فضل عائشة على النساء كفضل الثريد على سائر الطعام).
“Dan mereka (Ahlus-Sunnah) mencintai Ahlul-Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, setia kepada mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mereka, yaitu ketika beliau bersabda di satu hari (Ghaadir-Khum) : “Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul-Bait-ku”. Beliau juga berkata kepada pamannya, Al-‘Abbas, dimana ketika itu ia (Al-‘Abbas) mengeluh bahwa sebagian orang Quraisy membenci Bani Haasyim. Beliau bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, mereka itu tidak beriman sehingga mereka mencintai kalian karena Allah, dan karena mereka itu sanak kerabatku”. Beliau juga bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memilih dari Bani Isma’il yaitu suku Kinaanah, dan dari Bani Kinaanah, yaitu suku Quraisy, dari suku Quraisy, terpilih Bani Haasyim. Dan Allah memilihku dari Bani Haasyim”. Dan Ahlus-Sunnah senantiasa setia dan cinta kepada istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah Ummahatul-Mukminin, serta meyakini bahwasannya mereka adalah istri-istri beliau di akhirat nanti, khususnya Khadijah radliyallaahu ‘anhaa, ibu dari sebagian besar anak-anak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah orang yang pertama kali beriman kepada beliau, mendukungnya, serta mempunyai kedudukan yang tinggi. Dan juga Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhaa dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya : “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid atas semua jenis makanan” [selesai - Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah].
Begitu pula Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad hafidhahullah yang berkata :
ويَرَون أنَّ شرَفَ النَّسَب تابعٌ لشرَف الإيمان، ومَن جمع اللهُ له بينهما فقد جمع له بين الحُسْنَيَيْن، ومَن لَم يُوَفَّق للإيمان، فإنَّ شرَفَ النَّسَب لا يُفيدُه شيئاً، وقد قال الله عزَّ وجلَّ: {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ}، وقال صلى الله عليه وسلم في آخر حديث طويلٍ رواه مسلم في صحيحه (2699) عن أبي هريرة رضي الله عنه: ((ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه)).
“Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa ketinggian nasab mengikuti ketinggian iman. Barangsiapa yang Allah kumpulkan baginya dua hal tersebut, sungguh telah terkumpul baginya dua kebaikan. Dan barangsiapa tidak menetapi/konsekuen pada iman, maka ketinggian nasab tidak bermanfaat sedikitpun. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman :“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa”(QS. Al-Hujuraat : 13). Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam akhir satu hadits panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 2699 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : ““Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Fadhlu Ahlil-Bait wal-‘Uluwwu Makaanatihim ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad – www.dorar.net].
Inilah yang kita yakini dari hadits Ats-Tsaqalain. Kita mencintai ahlul-bait dengan ukuran-ukuran syari’at, bukan dengan ‘selera’ dan hawa nafsu. Tidak bersikap berlebih-lebihan, juga tidak meremehkan. Semoga Allah ta’ala mengumpulkan kita bersama ahlul-bait (yang shaalih) kelak di jannah-Nya. Dan semoga yang dituliskan di sini ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Abul-Jauzaa’, 12 Dzulhijjah 1430 H – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].
Diedit tanggal : 22 Desember 2009

Catatan kaki :
[1]   Yaitu firman Allah ta’ala :
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” [QS. Al-Ahzaab : 33].
[2]   Baca pula perkataan Al-Majlisiy yang mirip dengan Ath-Thabathaba’iy yang mengatakan bahwa kemungkinan ayat tahthiir (QS. Al-Ahzaab : 33 yang berbicara tentang Ahlul-Bait) diletakkan/ditambahkan oleh para shahabat agar ia disangka berhubungan dengan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di :http://www.yazahra.net/ara/html/4/behar43/index.html (sumber : Bihaarul-Anwaar hal. 234-235).
Sungguh keji tuduhan ini. Sekaligus menguatkan pandangan Syi’ah bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang ini tidak asli dan merupakan hasil rekayasa para shahabat Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallamAllaahul-Musta’aan [silakan baca artikel terkait : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/01/aqidah-syiah-tentang-al-quran.html].
[3]   Ini adalah scan kitabnya :
[4]   Ia pernah ditanya :
“Telah ada penekanan perintah untuk beramar ma’ruf nahi munkar terhadap ‘ahl’ (أَهْلٌ). Siapakah yang dimaksud ‘ahl’ (أَهْلٌ) itu ? Apakah istri seseorang dianggap ‘ahl’ dan masuk cakupan dalam penekanan perintah tersebut ?”.
Ia (Al-Khuu’iy) menjawab :
“Benar, istri termasuk bagian dari ‘ahl’. Dan penekanan perintah tersebut ada pada mereka. Wallaahu a’lam” [Shiraathun-Najaah oleh Al-Khuu’iy, hal. 426].
Berikut scan kitab dimaksud :
[5]   Muslim dalam Shahih-nya membawakan riwayat sebagai berikut :
فقال له حصين: ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس. قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال: نعم.
Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’ [Shahih Muslim no. 2408. Juga dalam Shahih Ibni Khuzaimah no. 2357].
[6]   Syi’ah mengeluarkan cakupan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari ahlul-bait dengan hadits ini berdasar perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa : “Tetaplah kamu di tempatmu, dan kamu di atas kebaikan”. Mereka – dengan kepicikan akal mereka – beranggapan perbuatan Nabi tidak memasukkan Ummu Salamah ke dalam kisaa’ (kain) sebagai alasan ia bukan termasuk Ahlul-Bait !!
Jika kita ikuti logika pemikiran mereka, seharusnya mereka mengeluarkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dari ahlul-bait berdasarkan hadits ini juga !! Perhatikan penggalan hadits ini :
فدعا النبي صلى الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء
“…Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain, lalu beliau menyelimuti mereka dengan kisa’ (baju), dan beliau pun menyelimuti ‘Ali yang berada di belakang punggungnya dengan kisaa’”.
Di sini ‘Aliy berada di belakang punggung Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berada dalam satu kisaa’ dengan Faathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain. Namun ia berada dalam kisaa’ yang lain. Dalam bahasan Arab, kata isyarat yang menggunakan هَؤُلاءِ hanya mencakup orang-orang yang berada di depan/di hadapan orang yang berbicara saja, tidak mencakup orang yang ada di belakangnya.
Oleh karena itu, cara pendalilan mereka justru kembali pada mereka sendiri…….
Sebagai tambahan : Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Ummu Salamah : “Engkau berada di atas kebaikan” ; apakah mereka juga mengatakan bahwa ia (Ummu Salamah) berada di atas kebaikan ? Tanyalah mereka untuk mengatakan berdasarkan ‘aqidah yang diajarkan para ulama mereka tentang Ummahaatul-Mukminiin !
[7]   Jumhur ulama Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah menetapkan cakupan ahlul-bait adalah ashhaabul-kisaa’ yang menjadi objek diturunkannya ayat tathhiir (QS. Al-Ahzaab : 33) yang berjumlah lima orang, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aliy bin Abi Thaalib, Faathimah, ‘Al-Hasan, dan Al-Husain radliyallaahu ‘anhum ajma’iin [lihat As-Saqiifah oleh Sulaim bin Qais Al-Hilaaliy hal. 59 & 95, Tafsiir Al-‘Askariy hal 161, Tafsiir Furaat Al-Kuufiyhal. 123, Ath-Tharaaifiy oleh Ibnu Thaawus hal. 123 & 128, Al-Amaaliy oleh Ath-Thuusiy 2/20, Minhaajul-Karaamah oleh Al-Hulliy 151-152, dan yang lainnya].
[8]   Dalam riwayat ini ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu seakan-akan berbicara memprediksi masa depan dengan mengatakan anak turunnya yang sembilan yang menjadi imam dari anak turun Al-Husain. Apakah ia mendapat wahyu (dari Allah) tentang masalah ini ? Tentu saja ini hanya ada dalam kamus ‘aqidah Syi’ah.
[9]   Misalnya :
عن عبد الله قال : صلى النبي صلى الله عليه وسلم - قال إبراهيم: لا أدري - زاد أو نقص، فلما سلم قيل له: يا رسول الله، أحدث في الصلاة شيء؟ قال: (وما ذاك). قالوا: صليت كذا وكذا، فثنى رجليه، واستقبل القبلة، وسجد سجدتين، ثم سلم. فلما أقبل علينا بوجهه قال: (إنه لو حدث في الصلاة شيء لنبأتكم به، ولكن، إنما أنا بشر مثلكم، أنسى كما تنسون، فإذا نسيت فذكروني، وإذا شك أحدكم في صلاته، فليتحر الصواب فليتم عليه، ثم ليسلم، ثم يسجد سجدتين).
Dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat – Ibrahim (perawi) berkata : ‘Aku tidak tahu – apakah beliau menambah atau mengurangi shalatnya. Setelah selesai salam, beliau ditanya : ‘Wahai Rasulullah, apakah ada ketentuan baru mengenai shalat ?’. Beliau bertanya : ‘Apa maksudnya ?’. Para shahabat mengatakan : ‘Tadi engkau shalat begini dan begitu, tidak seperti biasanya’. Kemudian beliau menekuk kedua kakinya dengan menghadap ke kiblat, lalu beliau sujud (sahwi) dua kali, setelah itu salam. Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya ke arah kami setelah salam, beliau bersabda : ‘Apabila ada ketentuan baru dalam shalat, niscaya telah aku beritahukan kepada kalian. Tetapi aku ini manusia seperti kalian. Aku juga pernah lupa sebagaimana kalian. Oleh karena itu, jika aku lupa, maka ingatkanlah aku. Apabila seorang ragu-ragu (tentang hitungan raka’at atau yang lainnya) dalam shalat, hendaklah ia memastikan apa yang ia anggap benar, lalu hendaklah ia menyempurnakan apa yang ia anggap kurang, kemudian melakukan salam dan sujud (sahwi) dua kali” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 401 & 404 & 667 & 7249, Muslim no. 572, Abu Dawud no. 1019-1022, At-Tirmidziy no. 392-393, dan An-Nasa’iy 3/28-33].
[10] Dalam kitab Ash-Shahihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul disebutkan sebagai berikut :
الترمذي ج4 ص209 حدثنا سعيد بن يحيى بن سعيد الأموي قال حدثني أبي قال: هذا ما عرضنا على هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أنزلت {عَبَسَ وَتَوَلَّى} في ابن أم مكتوم الأعمى أتى رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم رجل من عظماء المشركين، فجعل رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم يعرض عنه، ويقبل على الآخر. ويقول: "ترى بما أقول بأسا" ففي هذا نزل.. هذا حديث حسن غريب وروى بعضهم هذا الحديث عن هشام بن عروة عن أبيه قال أنزل عبس وتولى في ابن أم مكتوم ولم يذكر عائشة.
“At-Tirmidzi (4/209) berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Yahyaa bin Sa’iid Al-Umawiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Inilah yang kami paparkan kepada Hisyaam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari ‘Aisyah, ia berkata : “Telah turun (ayat) : ‘Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling’ mengenai Ibnu Ummi Maktuum, seorang buta yang datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : ‘Wahai Rasulullah, ajarilah aku’. Padahal saat itu di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada seorang dari pembesar kaum musyrikin. Sehingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya (Ibnu Ummi Maktuum) dan menghadap kepada pembesar kaum musyrikin dan Ibnu Ummi Maktuum berkata : ‘Apakah kamu keberatan dengan apa yang aku katakan ?’. Maka mengenai hal ini turun (ayat) ini” [lihat Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul oleh Muqbil bin Hadiy Al-Wadi’iy, hal. 230].
[11] Hingga mereka (Syi’ah) perlu bersusah payah menyusun buku – yang katanya ingin membela Nabi, tapi pada kenyataannya malah mengingkari Nabi karena menolak hadits shahih – yang berjudul : ‘Nabi SAWW Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam’ karangan Husein Al-Habsyiy, terbitan Al-Kautsar (Cet. 1/September 1992).
[12] Hadits hasan.
Diriwayatkan oleh Ahmad 3/198, Abu Ya’laa no. 2922, ‘Abd bin Humaid no. 1195, At-Tirmidziy no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Al-Haakim 4/272, Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 21/131; dari jalan Zaid bin Hubbaab, dari ‘Aliy bin Mas’adah, dari Qatadah, dari Anas bin Maalik secara marfu’. Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Adiy 5/1850, Ad-Daarimiy no. 2727, dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman no. 6725; dari Muslim bin Ibraahim, dari ‘Aliy bin Mas’adah, selanjutnya seperti sanad di atas.
‘Aliy bin Mas’adah dalam poros sanad ini diperbincangkan. Abu Dawud Ath-Thayaalisiy berkata : “Ia tsiqah”. Al-Bukhariy berkata : “Fiihi nadhar” (ada beberapa pembahasan dari para muhaqqiqiin mengenai peristilahan Al-Bukhariy ini). Ibnu Ma’in (riwayat Sa’id bin Manshuur) berkata : “Shaalih”. Dalam riwayat lain (Ad-Duuriy) : “Laisa bihi ba’s” - dantautsiq Ibnu Ma'iin ini disepakati oleh Ibnul-Qaththaan. Abu Haatim berkata : “Laa ba’sa bihi”. Disebutkan oleh Ibnul-Khalfuun dalam kitabnya Ats-Tsiqaat. An-Nasa’iy berkata : “Laisa bil-qawiy (tidak kuat)”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Hadits-haditsnya tidak mahfuudh”. Ibnu Hibbaan berkata : “Tidak dijadikan hujjah pada apa yang tidak berkesesuaian dengan para perawi tsiqah”. Adz-Dzahabiy saat berkomentar tentang tashhih Ibnu Hibban : “’Aliy adalah layyin (lemah)”. Ibnu Hajar berkata : "Shaduuq lahu auhaam".
Para ulama berselisih pendapat mengenai hadits ini. Ada yang men-dla'if-kan, ada pula yang menghasankan. Anyway, makna hadits ini adalah shahih.
[13] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan tahdits dari Yuusuf bin Musa, dengantahdits dari Jariir (bin ‘Abdil-Hamiid) dan Muhammad bin Fudlail, dari Abu Hayyaan Yahyaa bin Sa’iid At-Tamimiy, dari Yaziid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam secara marfu’.
1.   Yusuf bin Musa Al-Qaththaan; menurut Yahyaa biun Ma'iin, shaduuq – Abu Haatim,shaaduq – An-Nasaa’iy, laa ba’sa bihi – Abu Bakr Al-Khathiib, tsiqah. 
2.   Jariir bin ‘Abdil-Hamiid; menurut Ad-Daaruquthniy, tsiqah – Al-‘Ijliy, tsiqah. 
3.   Muhammad bin Fudlail; menurut Ahmad, hasanul-hadiits – Ibnu Ma’iin, tsiqah – Abu Zur’ah, shaduuq – Abu Haatim, syaikh – An-Nasa’iy, laisa bihi ba’s – Ibnu Hibban, tsiqah. 
4.   Yahyaa bin Sa’iid At-Tamimiy/Abu Hayyaan At-Tamimiy; menurut Sufyan, tsiqah – Muhammad bin Fudlail, shaduuq – Yahya bin Ma’iin, tsiqah – Al-‘Ijliy, tsiqah – Abu Haatim, shaalih – Ibnu Hibbaan, tsiqah. 
5.   Yaziid bin Hayyaan; menurut An-Nasa’iy dan Ibnu Hibbaan, tsiqaah. 
[14] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan dengan tahdits dari Al-Hasan bin Sufyaan, dengantahdits dari Abu Bakr bin Abi Syaibah, dengan tahdits dari ‘Affaan, dengan tahdits dari Hassaan bin Ibraahiim, dari Sa’iid bin Masruuq dari Yaziid bin Hayyaan, dari Zaid bin Arqam secara marfu’.
1.   Al-Hasan bin Sufyaan; menurut Ibnu Abi Haatim, shaduuq – Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy, majhuul.
2.   Abu Bakr bin Abi Syaibah, pengarang kitab Al-Mushannaf, imam masyhur.
3.   ‘Affaan (bin Muslim bin ‘Abdillah); Al-‘Ijliy, tsabt shaahibus-sunnah – Ibnu Ma’in, tsabt– Ibnu Hajar, tsiqah tsabt.
4.   Hassaan bin Ibraahiim; menurut Ahmad, tsiqah – Ibnu Ma’iin, laisa bihi ba’s (di lain riwayat : tsiqah) – Abu Zur’ah, laa ba’sa bihi - Al-Bazzaar, tsiqah – Ibnul-Madiiniy,tsiqah ­– An-Nasa’iy, laisa bil-qawiy (tidak kuat) – Ibnu ‘Adiy, laa ba’sa bihi.
5.   Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy (ayah Sufyaan Ats-Tsauriy, imam masyhur); menurut Ibnu Ma’iin, Abu Haatim, Al-‘Ijliy, dan An-Nasa’iy adalah tsiqah.
6.   Yaziid bin Hayyaan; menurut An-Nasa’iy dan Ibnu Hibbaan, tsiqaah.
[15] Sebenarnya di sini Al-Munawiy sedang menjelaskan salah satu hadits dla’if tentangAts-Tsaqalain (dengan lafadh : إني تارك فيكم خليفتين ‘Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian dua khalifah…dst.). Namun di sini saya hanya ingin mencuplik penjelasannya yang bermanfaat dimana kaum Syi’ah seringkali mengutipnya secara terpotong hanya di awal-awal kalimat bahwa Kitabullah dan ‘itrah adalah bagaikan dua saudara kembar.

COMMENTS
Anonim mengatakan...
syalom...kami sampaikan pada sdr-sdr muslim sunni, terimakasih atas dukungan menghancurkan syiah.
kami liga pemuda yahudi menampilkan titik temu antara ahlu sunnah dan israel.
Anonim mengatakan...
Salam Alaikum:
Begitulah cara syiah bertakiyah.
Akh : Abu Al Jauzza,afwan ana perlu alamat email antum.
Tafadhol kirim email ke ibnu_adab@yahoo.com
Wassalam
Adhiel Ibrahiem
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
saya di : abul.jauzaa@gmail.com
aku mengatakan...
ust, artikel antum ini sudah ditanggapi oleh second prince...dan ada yg menggelitik jg...antum sajalah yg membahas.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Gak usah dibahas,.... artikel tersebut tidak menanggapi inti masalah. Syi'ah menganggap bahwa imam mereka ma'shum. Kema'shuman ini sebagai syarat seseorang dijadikan pedoman. Dan harus kita catat, teologi kema'shuman Syi'ah berbeda dengan yang dimaksud Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Adapun Ahlus-Sunnah tetap mencintai dan menghormati Ahlul-Bait. Namun mereka tidak ma'shum. Karena tidak ma'shum, segala sesuatu yang ada pada diri mereka harus ditimbang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bagaimana kesesuaiannya. Oleh karena itu, 'mengikuti' di sini adalah muqayyad. Bukan mutlak.
Bukti di lapangan mereka (Syi'ah) sendiri tidak konsisten dengan konsekuensi hadits Tsaqalain atau Kisaa'. Bukankah mereka mengeluarkan siapa saja yang mereka kehendaki karena tidak sesuai dengan teologi yang mereka kembangkan ? Contohnya telah saya kemukakan di atas.
Ada hal yang menggelitik dari tulisan tersebut, yaitu pernyataannya saat membawakan lafadh lain hadits Zaid bin Arqam :

وإني تارك فيكم ثقلين أحدهما كتاب الله عز و جل هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى ومن تركه كان على ضلالة وفيه فقلنا من أهل بيته ؟ نساؤه ؟ قال لا وايم الله إن المرأة تكون مع الرجل العصر من الدهر ثم يطلقها فترجع إلى أبيها وقومها أهل بيته أصله وعصبته الذين حرموا الصدقة بعده

“Sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Ats Tsaqalain, salah satunya adalah Kitabullah Azza wajalla . Ia adalah tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya, maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia berada dalam kesesatan. Kami bertanya “siapakah Ahlul Bait?” istri-istri Beliau?”. Zaid menjawab “tidak, demi Allah seorang wanita [istri] hidup dengan suaminya dalam masa tertentu jika suaminya menceraikannya dia akan kembali ke orang tua dan kaumnya. Ahlul Bait Nabi adalah keturunannya yang diharamkan untuk menerima sedekah” [Shahih Muslim no 2408]

Dalam hadis ini Zaid bin Arqam justru bersumpah “demi Allah” bahwa istri Nabi bukan ahlul bait. Nah apakah yang akan dikatakan oleh salafy nashibi terhadap hadis ini?. Kami lihat jarang sekali mereka mengutip hadis Zaid bin Arqam dengan lafal ini.
.

Ini namanya su'ul-fahm. Yang dimaksud oleh Zaid bin Arqam itu adalah bahwa Ahlul-Bait bukanlah terbatas pada istri-istri Nabi. Namun Ahlul-Bait itu adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat. Istri Nabi termasuk di dalamnya. Pernyataan ini sangat jelas ditunjukkan dengan perkataan Zaid bin Arqam :

‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’.

Nah, 'Aisyah sendiri sebagai istri Nabi pernah menolak pemberian harta zakat.

عن ابن أبي مُلَيكة: ((أنَّ خالد بنَ سعيد بعث إلى عائشةَ ببقرةٍ من الصَّدقةِ فردَّتْها، وقالت: إنَّا آلَ محمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لا تَحلُّ لنا الصَّدقة)).

Dari Ibnu Abi Mulaikah : Bahwasannya Khaalid bin Sa’iid pernah diutus untuk memberikan seekor sapi shadaqah (zakat) kepada ‘Aisyah, namun ia menolaknya seraya berkata : “Sesungguhnya keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak dihalalkan menerima shadaqah (zakat)“ [HR. Ibnu Abi Syaibah3/214 dengan sanad hasan atau shahih].

Oleh karena itu, dua hadits Zaid bin Arqam itu semakna. Tidak ada yang bertentangan. Tapi kebiasaan Syi'ah adalah menjadikan sesuatu yang sebenarnya tidak bertentangan menjadi bertentangan.
Itu saja. Selebihnya, artikel di atas telah mewakili apa yang ingin saya sampaikan.
Anonim mengatakan...
jadi menurut Ustad Ahlul bait itu tdk perlu/mutlak diikuti yah...
karena bisa saja ngawur...
tdk seperti bunyi hadits itu...
lepas dari persoalan siapa itu ahlul bait..
sehingga sudah selayaknya ahlul bait itu ditimbang menurut quran dan sunnah menurut intrepetasi quran sunnah ibnu taimiyah atau , syekh albani atau kita ustad...
mohon dijelaskan siapa yg bisa menimbang mereka setelah hadits itu dan wafatnya nabi.
ditunggu komentnya
Abu mengatakan...
Jazakallahu khoiron ust atas postingannya.
Dan Buat anonim diatas;
sebelumnya, Harap anda baca dulu dengan seksama tulisan ustadz diatas, dan banyak tulisan lain diblog ini. masalahnya bukan kalo menimbang harus pakai pendapat Ibnu Taimiyah atau Al-Albani. akan tetapi timbangan yang tepat adalah Qur'an dan Sunnah. kalau konteks kema'suman ala syi'ah adalah seperti nukilan ust abul jauzaa diatas maka itu bathil, kenapa? karena menyelisihi banyak dalil (sudah disebutkan oleh ust diatas) kenapa ust mengambil perkataan Ibnu Taimiyyah, karena perkataan beliau dalam hal ini sesuai dengan dalil Sunnah. dan ingat, Ibnu Taimiyyah atau Al-Albani dan ulama' lainnya juga tidak ma'sum lho!
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@Anonim (2 Mei 2010 18:21).....
Kata ngawur itu adalah dari Anda. Dan saya tahu keperluan Anda menggunakan diksi ini.
Yang jelas, Ahlul-Bait itu tidak ma'shum. Bisa melakukan kekeliruan, kesalahan, bahkan dosa. Contohnya juga sudah saya berikan. Ini semua tentu saja harus ditimbang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Mengenai ditimbang menurut pemahaman siapa, ya tentu saja menurut pemahaman para shahabat; dan sebagian Ahlul-Bait masuk di dalamnya - seperti 'Aliy bin Abi Thaalib, Al-Hasan, dan Al-Husain. Mereka lah generasi terbaik dalam Islam.

Kecuali jika Anda ingin menta'wil segala kekeliruan Ahlul-Bait (baca : para imam 12) dengan nama taqiyyah, sebagaimana terlihat dalam banyak riwayat Syi'ah. Maka, Anda akan mendapati kema'shuman pada diri imam Syi'ah. Setiap kekeliruan selalu diatasnamakan taqiyyah. Padahal, kata ma'shum dan taqiyyah adalah dua hal yang sangat bertentangan. Jika digabungkan, maka akan dihasilkan sikap beragama yang plin-plan dan membingungkan.
Anonim mengatakan...
Assalamu'alaikum,...
boleh komentar ya pak abul-jauza,..analisa anda meloncat2 dan tidak fokus,..sehingga bangunanya rapuh,...silahkan anda membuka di http://secondprince.wordpress.com/
bahasan anda ini dipretelin satu persatu,..terutama antara membedakan hal yang 'aam dan khaas,..anda kurang jeli menurut saya...
walaikum salam...syukraan..
ayu khoiriyyah
STAIN Pekalongan
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Silakan saja Anda berpendapat demikian. Tulisan di atas selain ingin menjelaskan kedudukan ahlul-bait, juga ingin menjelaskan beberapa kontradiksi dari Syi'ah.
Anonim mengatakan...
@ayu khoiriyah,
justru bagi saya, artikel2 pak Abul Jauzaa cukup fokus dan mengenai sasaran, silahkan anda baca artikel-artikel yg lain di blog ini yg masih dalam topik ini, akan saling melengkapi dan membentuk hujjah yang kuat.

justru blog yg anda sebut di atas hujjahnya sangat rapuh, diantaranya yaitu mengkhususkan Al-Ahzab:33 hanya utk ahlul kisa'saja dan membuang begitu saja istri-istri Nabi yang juga merupakan ahlul bait beliau, padahal pembicaraan dari awal sampai akhir ayat2 tsb adalah mengenai istri Nabi SAW, yg ada dlm ayat sebelumnya adalah panggilan "wahai istri-istri Nabi" tidak ada tuch disebutkan "wahai saudara sepupu Nabi" atau "wahai puteri atau cucu Nabi". adalah suatu hal yg dipaksakan membuang istri2 Nabi dari pengertian ahlul bait dlm ayat tsb.
kedua, mengenai doktrin kema'shuman ahlul bait, jelas sangat rapuh, karena banyak riwayat yg menceritakan bahwa ahlul bait pun ternyata bisa juga berbuat keliru.
Anonim mengatakan...
Secondprince kok dijadiin hujjah? Banyak membelokkan penjelasan hadits2 dari para ulama bahkan memelintir ayat2 Qur'an dengan tafsirannya sendiri. Saya banyak melihat artikelnya malah tidak amanah dan muter2 begitu2 aja.
ibnu abi irfan mengatakan...
na'am...
ana pernah baca artikel soulmate-nya secondprince, yakni salafytobat yang berjudul "azar paman nabi ibrahim".
mereka sandarkan pendapat dari tafsir Ibnu Katsir. bukankah telah jelas bahwa dalam Al Quran disebutkan bahwa nabi ibrahim mendakwahi ayahnya yang berbuat syirik.
"Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, 'Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar; tidak melihat, dan tidak menolong kamu
sedikitpun. Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dan Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga jadilah kamu kawan syaitan.'" (QS, Maryam, 19:42-45)
1syahadat mengatakan...
Ya Ustadz,
Terima kasih atas penjelasannya. Saya mendapat banyak masukan berharga ttg (akar) ajaran syiah secara umum/global, khususnya tentang pemahaman siapakah "ahlul bayt". Saya melihat syiah lebih kaku dgn memandang ahlul bayt hanya sebatas Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu itrahnya adalah (yg dianggap) keturunannya, yg mereka sebut sebagai 12 imam. Dan inilah yg menurut mereka wajib diikuti, sesuai hadith tsaqalain (ada 8 hadith yg saya baca dari kitab riwayat Imam Nawawi). Sementara sunni melihat ahlul bayt dalam cakupan yg lebih luas, selain mereka yg disebut tadi, juga mencakup istri-istri Nabi saw, dan keluarga Nabi yg kemudian diharamkan menerima zakat.
Perbedaan menajam ketika membahas konsep ttg ma'shum, dimana syiah berpandangan bahwa ahlul bayt dan itrahnya (haruslah) ma'shum, karena mereka disandingkan dgn Al Quran, sebagai pedoman yg wajib diikuti. Jika tidak ma'shum, maka kedudukannya sebagai pedoman terancam batal, karena yg namanya pedoman haruslah ma'shum. Sunni menilai bahwa itrah tidak ma'shum, melainkan harus bersandar kepada kitabullah. Saya lebih meyakini ini, karena dalam hadith-hadith dalam kitab Nawawi tsb memang disebutkan bahwa yg satu (kitabullah) lebih utama dibanding yg lain (ahlul bayt & itrahnya). Dalam kesempatan ini saya juga ingin menyinggung pedoman yg diyakini oleh sunni, yaitu Al Quran dan hadith/sunnah (saya tdk membahas tsaqalain versi "sunnahku", karena sepengetahuan saya hadith tsb tidak benar). Bahwa hadith pun wajib disandarkan dgn Al Quran. Jika ada hal-hal yg disebutkan sebagai hadith, kemudian ternyata bertentangan dgn Al Quran, maka gugurlah ia shg tidak layak disebut sebagai hadith.
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih.
Anonim mengatakan...
Untuk Saudara 1syahadat, ada hal perlu digaris bawahi dari kalimat-kalimat terakhir komentar Anda. Wajib kita yakini bahwa tidak akan ada satu pun hadits shahih yang bertentangan dengan Al-Qur'an. Dan untuk menentukan shahih tidaknya sebuah hadits maka ahlusunnah telah memiliki metoda yang jelas yang telah disepakati oleh para ulama ahli hadits ummat ini. Lalu perlu diketahui pula bahwa kedudukan As-Sunnah adalah semisal dengan Al-Qur'an karena keduanya adalah wahyu Allah. Bahkan para ulama telah menjelaskan bahwa Al-Qur'an itu butuh kepada As-Sunnah karena As-Sunnah itu salah satu fungsinya adalah menjelaskan dan menafsirkan kandungan dari Al-Qur'an. Wallahu A'lam.
Anonim mengatakan...
kalau hadist ttng " kitabullah dan sunnah Rasul nya " itu dhoif ya ustad? mohon penjelasan
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Sependek pengetahuan saya, iya.
Anonim mengatakan...
Benarkah Rasulullah bermuka masam..??
asbabun nuzul surah Abasa bisa saja salah karena ada kerancuan..
dari jalur sanad yaitu Aisyah & Anas keduanya masih kecil & anas belum lahir tatkala itu..
bukankah ini ganjil...?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Itu kata Anda yang muncul di tahun 1431 H. Saya memaklumi, karena Anda mengatakannya tanpa adanya ilmu. Dan maaf, saya tidak memperdulikan perkataan Anda karenanya.
Adapun kata ulama, hadits tersebut shahih. Mursal shahabiy adalah diterima menurut pendapat yang shahih di kalangan muhadditsiin. Tentu saja, dan saya hampir yakin, Anda tidak mau menengok ilmu riwayat seperti ini.
Mengapa diterima ? Sebab, shahabat itu adalah 'adil. Seandainya 'Aaisyah dan Anas tidak melihat peristiwa tersebut, maka telah keduanya tidak masyhur meriwayatkan dari kalangan tabi'iy. Oleh karenanya, besar kemungkinan keduanya mendapatkan periwayatan itu dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, atau dari shahabat lain yang menyaksikannya.
Apalagi dengan adanya periwayatan keduanya secara bersamaan saling menguatkan. Dan harap Anda catat, jalur periwayatan sababun-nuzuul itu bukan hanya dari dua jalur 'Aaisyah dan Anas saja, namun ada jalur yang lain yang lemah, namun bisa menjadi syaahid atas kebenaran riwayat tersebut.
wallaahu a'lam.
Anonim mengatakan...
perlu diketahui bahwa ulama2 sunni pun berpendapat bahwa yg bermuka masam bukan Rasulullah. itu bisa dilihat di:

1. Imam Fakhruddin ar-Razi (606 H) dalam kitabnya ‘Ismah al-Anbiya

2. Al-Qadhi ‘Iyadl (544 H) dalam kitabnya Asy-Syifa Bita’rifi huquqi al-Musthafa

3. Az-Zarkasyi (794 H) dalam kitabnya al-Burhan Fi ‘Ulumi al-Quran, dan

4. Ash-Shalih asy-Syami (942 H) dalam kitabnya Subul al-Huda wa ar-Rosyad
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
saya lagi tidak ada waktu mengecek validitas perkataan Anda itu. seandainya betul yang Anda katakan dan bahkan jika Anda sebut lebih banyak lagi ulama, maka itu sama sekali tidak membatalkan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bermuka masam dan kemudian mendapat teguran dari Allah ta'ala karenanya.
saya kira Anda tidak terlalu asing bahwa Ahlus-Sunnah tidak mudah tertipu atas propaganda Syi'ah dengan menyebutkan perkataan ulama yang kebetulan mencocoki 'aqidah mereka untuk membatalkan nash.
Anonim mengatakan...
Good ustadz, waktu antum terlalu berharga untuk disia-siakan mengecek validitas perkataan si anonim 20 April 2011 13:42.
Kami, sahabat2 antum juga sependapat dengan antum untuk tidak mengambil pusing dengan perkataan org2 syi'ah yg mengambil perkataan para ulama yg mendukung hawa nafsu mereka. Bagi kami jelas kok, mau dibawakan perkataan berjuta2 ulama di dunia ini dari jaman salaf hingga khalaf klo bertentangan dengan qur'an dan sunnah2 shahih, jelas itu tertolak.
Maaf ya mas anonim, kami tidak akan mempedulikan komen anda. Sok atuh ustadz abul jauzaa, diselesaikan dulu pekerjaan antum lalu kita lanjut lg ta'limnya :)
Wassalamu'alaikum
elfizonanwar mengatakan...
APAKAH ADA KETURUNAN AHLUL BAIT?
Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.
1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".
2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?
3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".
Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait menjadi universal:
1. Kedua orang tua para nabi/rasul;.
2. Saudara kandung para nabi/rasul.
3. Isteri-isteri beliau.
4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki.

Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah bukan termasuk kelompok ahlul bait.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Tidak ada seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau bukan ayahnya), melainkan telah kufur (nikmat) kepada Allah. Orang yang mengaku-ngaku keturunan dari sebuah kaum, padahal bukan, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kesimpulan dari tulisan di atas, bahwa pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah. Berarti anaknya seperti Saidina Hasan dan Husein maupun yang perempuan bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.

BANTAHAN ATAS SYUBHAT HADIS TSAQALAIN

Apa itu hadits Tsaqalain? Hadits tsaqalain yang telah dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari Zaid bin Arqam bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Dan aku tinggalkan untuk kalian tsaqalain (dua perkara yang berat) yaitu kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan nur (cahaya), ambillah kitabullah ini dan berpegang teguhlah padanya.” Zaid berkata: “Beliau menganjurkan (berpegang teguh) pada kitabullah dan selalu memotivasi untuk (berpedoman) padanya, lantas beliau bersabda: “Dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul baitku.” [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya]. Demikian hadits pertama dalam pembahasan ini.

Lantas apa maknanya? Di dalamnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh aku tinggalkan untuk kalian tsaqalain (dua perkara yang berat)….” Perkara berat yang pertama ini adalah kitabullah sebagaimana pula yang disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika memerintahkan untuk mengambil pedoman darinya dan berpegang teguh terhadapnya. Adapun perkara kedua yang berat adalah ahlul baitnya, beliau bersabda: “Aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul baitku.”

Hadits ini secara dhahir menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk menjaga hak-hak ahlul baitnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi mereka (syiah) tidak berhenti memahami seperti dalam konteks hadits ini yakni hadits Zaid bin Arqam, bahkan mereka justru melampui batas pada hadits Umu Salamah, hadits dari Ali dan hadits Abu Sa’id Al-Khudri.

Adapun (hadits kedua) hadits dari Ali Radhiyallahu 'anhu berbunyi: “Sungguh aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian berpegang padanya pasti kalian tidak akan tersesat yaitu kitabullah, sebabnya berasal dari Allah dan sebab lain dari ulah tangan kalian, dan ahlul baitku.” Makna yang tampak (secara dhahir) dari hadits ini bahwa beliau memerintahkan berpegang teguh pada ahlul baitnya. Dan inilah yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah. Akan tetapi yang jadi masalah adalah bahwa hal ini tidak benar karena di dalam riwayatnya terdapat Safir bin Zaid yang didhaifkan (dinyatakan lemah) oleh Abu Hatim, An-Nasai, Abu Zur’ah, Ya’qub bin Syaibah dan Ibnul Madini. Jadi tidaklah mungkin kita berdalil dengan hadits semacam ini.

Oleh karenanya kita tinggalkan saja hadits tersebut dan mari kita pelajari hadits setelahnya (hadits ketiga) yaitu hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh aku tinggalkan dua perkara yang berat (tsaqalain), salah satunya lebih besar (urusannya) dari pada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah 'Azza wa Jalla, sebagai seutas tali yang menjuntai dari langit hingga bumi dan ‘itrati (keturunanku) ahlul baitku. Ingatlah bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah sampai keduanya menemuiku di Haudh (nama telaga di surga).” [Hadits ini dikeluarkan oleh imam Ahmad, At-Tirmidzi, Abu Ya’la dan Ibnu Abi ‘Ashim, akan tetapi di dalamnya juga terdapat ‘Athiyah Al-‘Aufi yang didhaifkan (dilemahkan) oleh imam Ahmad, Abu Hatim, An-Nasai dan yang lainnya, bahkan telah ada kesepakatan dari para ulama dalam melemahkan haditsnya ini. Jadi jelas ini tidak bisa kita terima juga.

Hadits keempat yaitu hadits Zaid bin Tsabit yang didalamnya disebutkan: “Sungguh aku tinggalkan untuk kalian khaliqatain (dua ciptaan) yaitu kitabullah, sebagai tali (Allah) yang menjuntai antara langit dan bumi atau dari langit hingga ke bumi dan ‘itrati (keturunanku) ahlul baitku. Sungguh keduannya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga haudh.” [hadits ini dikeluarkan oleh imam Ahmad, dan imam At-Thabrani, di dalamnya ada Al-Qasim bin Hassan yang dianggap tsiqah (kuat dan bisa dipercaya) oleh Ahmad bin Shalih Al-‘Ijli dan Ibnu Hibban menyebutkan dalam At-Tsiqaat, akan tetapi ia (Al-Qasim bin Hassan) didhaifkan (dianggap lemah) oleh imam Al-Bukhari, Ibnu Qaththan dan Adz-Dzahabi serta Ibnu Abi Hatim tidak berkomentar tentangnya. Ibnu Hajar berkata: “(Makna) Haditsnya dapat diterima, meski di dalamnya ada Syuraik bin Abdullah, ia jelek hafalannya.”].

Hadits kelima ialah hadits Jabir bin Abdullah, “Wahai manusia, sungguh aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian berpegang padanya niscaya kalian tidak akan tersesat yaitu kitabullah dan itrati (keturunanku) ahlul baitku.” [dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan At-Thabrani yang di dalamnya terdapat Zaid bin Al-Hasan Al-Anmathi. Abu Hatim berkata: “Dia munkarul hadits (periwayat hadits munkar).” Dan seperti itu pula yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi sementara Ibnu Hajar berkata: “Haditsnya dhaif.”].

Dari riwayat-riwayat ini jelaslah bagi kita bahwa hadits tsaqalain (dua perkara yang berat) yang benar (shahih) adalah riwayat yang bersumber dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu 'anhu, dan tidak ada sama sekali di dalamnya perintah untuk berpegang teguh pada ‘itrah (keturunan Nabi), karena perintah di dalamnya hanyalah perintah untuk menjaga hak-hak ‘itrah, dan perintah yang sesungguhnya adalah untuk berpegang teguh terhadap kitabullah. Oleh karenanya ada hadits Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu dalam shahih Muslim: “Dan sungguh aku telah tinggalkan untuk kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat selamanya jika kalian berpegang teguh kepadanya, yaitu kitabullah.” Disebutkan seperti itu saja dan tidak ada penyebutan ahlul bait ataupun ‘itrah. Inilah yang diriwayatkan oleh Ja’far Ash-Shadiq dari bapaknya Muhammad Al-Baqir dari Jabir bin Abdullah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan hadits yang memerintahkan untuk berpegang teguh pada ‘itrah telah didhaifkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah, ya walaupun ada sebagian ahli ilmu yang menshahihkannya seperti Al-Albani dan yang lainnya, akan tetapi ibrah (pelajaran) yang dapat dijadikan pembahasan ilmiyah adalah bahwa hadits ini tidak bisa dikatakan shahih secara ilmiah bila dilihat dari jalur sanad dan dilalah (penunjukkan dalil) nya. Dan inilah manhaj ahlus sunnah, yang tidak mau bertaklid terhadap seseorang pun dalam perkara-perkara yang semacam ini karena mereka mengikuti (berittiba’) sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan.

Dengan shahihnya hadits ini lantas apa urgensinya? Kami terima kebenarannya, lalu apa maksud darinya? Perintah berpegang pada tsaqalain, siapakah mereka yang disebut tsaqalain (dua perkara yang berat) itu? Kitabullah dan ‘itrah (keturunan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Atsir. Nabi menamakan tsaqalain karena berpegang pada keduanya dan mengamalkan berdasarkan keduanya adalah perkara yang berat, dan dikatakan untuk semua yang sangat penting dan berharga adalah tsaqal, maka beliau menyebutkan keduanya tsaqalain dalam rangka mengagungkan keduanya dan membesarkan urusan keduanya. [inilah yang dikatakan Ibnu Atsir dalam Gharibul Hadits, 1/216].

Dan makna hadits ini adalah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjaga hak-hak mereka (para ahlul bait), oleh karenanya para sahabat Radhiyallahu 'anhum telah memberikan hak-hak para tsaqalain tersebut. Ini dia Abu Bakar Ash-Shidiq semoga Allah meridhainya dan ia pun ridha terhadap-Nya berkata: “Takutlah kalian terhadap (wasiat) Muhammad tentang ahli baitnya.” [Ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya]. Dan dia berkata pula: “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh kerabat (keluarga dekat) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih aku cintai dari pada aku menyambung hubungan dengan kerabatku.” [Juga dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya]

Kemudian mari kita bantah syubhat mereka (dalam masalah) ini dari berbagai sisi:

Sisi pertama: ‘Itrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?

‘Itrah seseorang adalah mereka yang masuk dalam ahlul baitnya, dan ‘itrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah setiap mereka yang telah diharamkan baginya harta zakat; mereka itu ialah bani Hasyim, inilah yang menjadi ‘itrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan kita akan melihat siapakah orang-orang yang lebih utama untuk berpegang teguh kepada mereka ini, ahlus sunnah atau syiah?

Syiah tidak memiliki jalur sanad yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka mengakui bahwa memang mereka tidak memiliki jalur sanad dalam penukilan / penulisan kitab dan riwayat-riwayat mereka. Jadi kitab-kitab tersebut hanya mereka dapatkan begitu saja tanpa sumber yang jelas, sampai-sampai mereka berkata: “Riwayatkan (ceritakan) saja karena sesungguhnya itulah kebenaran.”

Adapun jalur sanad-sanad mereka sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hurri Al-Amili dan yang lainnya dari jajaran imam-imam syiah bahwa syiah tidak mempunyai jalur sanad sama sekali dan mereka tidak mungkin bisa sampai pada jalur-jalur sanad. Maka adakah yang mereka riwayatkan dalam kitab-kitab mereka itu yang tetap (tsabit) bersumber dari ‘itrah (keluarga) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?

Bahkan kita sebagai pengikut ‘itrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah berusaha memberikan kepada mereka hak-hak mereka tidak pernah melebih-lebihkan ataupun menguranginya sedikitpun sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian mengagung-agungkan (berlebihan dalam memuji) diriku seperti orang-orang Nasrani mengagung-agungkan Isa putra Maryam, akan tetapi katakanlah bahwa aku hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Sisi kedua: Imam ‘itrah yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, dan yang setelahnya adalah yang datang dengan banyak menguasai ilmu yaitu Abdullah bin Abbas, ia dikenal dengan sebutan pena umat ini (habru hadzihil ummah), ia pernah berkata tentang kepemimpinan (imamah) Abu Bakar dan Umar sebelum Ali Radhiyallahu 'anhu bahkan sungguh telah ditetapkan secara mutawatir dari Ali bin Abi Thalib bahwa ia berkata: “Seutama-utama manusia setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar dan Umar.”

Bahkan telah tetap juga dalam pandangan syiah bahwa dia (Ali bin Abi Thalib) pernah berkata: “Aku ini bagi kalian adalah seperti seorang menteri yang lebih baik bagi kalian dari pada aku menjadi pemimpin.” Maka dengan ini berarti Ali mengakui akan keutamaan syaikhain (Abu Bakar dan Umar) padahal ia adalah seorang imam al‘itrah.

Sisi ketiga: Hadits ini semisal dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Aku tinggalkan ditengah-tengah kalian sesuatu yang bila kalian berpegang teguh padanya niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya yaitu kitabullah dan sunnahku.”

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Berpegang teguhlah kalian terhadap sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin setelahku, gigitlah (peganglah) sunnah itu erat-erat.” Perintah beliau dalam hadits ini ialah menggigit kuat sunnah dan berpegang teguh padanya.

Beliau bersabda: “Ikutilah (contohlah) oleh kalian orang-orang setelahku yaitu Abu Bakar dan Umar.”

Beliau juga bersabda: “Ikutilah petunjuk sahabat Ammar dan pegang teguhlah pada keputusan Ibnu Mas’ud.” Hal ini sama sekali tidak menunjukkan pada urusan imamah (kepemimpinan), akan tetapi itu menunjukkan bahwa mereka berada pada petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan kita katakan bahwa ‘itrah (keluarga) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mungkin pernah bersepakat dalam kesesatan selamanya.

Sisi keempat: Sesungguhnya syiah selalu mencela Abbas, mencela Abdullah putranya dan mencela anak keturunan Hasan. Mereka ini pernah berkata: “Sesungguhnya syiah selalu berbuat hasad terhadap keturunan Husein dan mencela anak-anaknya selain dari yang telah menjadi imam yang mereka klaim itu seperti Zaid bin Ali, begitu juga dengan Ibrahim saudara Hasan Al-‘Askari atau yang lainnya, mereka ini (dalam pandangan syiah) tidak termasuk wali dan keluarga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka inilah orang-orang yang telah memuji dan memberikan kepada mereka hak-hak mereka serta tidak mengurang-nguranginya sedikitpun.

Sisi kelima: Pandangan syiah bukanlah seperti pandangan para pengikut syiah (awam), akan tetapi pandangan mereka yang sebenarnya adalah semangat nasionalime Persia. Maka pemikiran mereka bukanlah pemikiran tentang islam dan kufur, tapi sejatinya adalah pemikiran antara Persia dan Arab. Ini ditunjukkan oleh beberapa hal berikut, diantaranya:

1. Pengagungan mereka terhadap Salman Al-Farisi saja tanpa sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lainnya, bahkan mereka sampai berkata, “Sesungguhnya ia (Salman) adalah seorang yang diberi wahyu.” Mengapa bisa demikian?!! Ya karena ia berasal dari Negara Persia.

2. Pengagungan mereka terhadap anak keturunan Husein saja tanpa memberikan pengagungan terhadap anak keturunan Hasan… Mengapa?! Karena paman-paman (dari jalur ibu) bagi anak keturunan Husein berasal dari bangsa Persia. Bermula dari Syahrabanu binti Yazdajrid, ibu bagi Ali bin Husein Radhiyallahu 'anhum. Oleh karenanya mereka berpandangan bahwa silsilah keluarga bangsawan yang terhormat telah bersambung (bertemu) dengan silsilah keturunan Hasyimiyah.

3. Mereka berkata: “Kisra (gelar bagi raja-raja bangsa Persia) berada dalam neraka dan nereka telah diharamkan baginya.” Mengapa?! Cara pandang bangsa Persia ialah selalu berlebih-lebihan dalam mengagungkan kisra hingga sekalipun ia mati dalam kekafiran mereka tetap saja akan berkata: “Neraka telah diharamkan untuknya.”

4. Kemudian muncul yang terakhir dan mudah-mudahan dia bukanlah orang yang terakhir yaitu Al-Ihqaqi Al-Hairi yang telah berkata tentang sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mereka (para sahabat) berhasil menaklukkan negeri-negeri Persia: “Mereka itulah orang-orang arab badui, gerombolan rakyat jelata, para pengagung syahwat yang merasa haus akan kehormatan wanita-wanita Persia.”

Perhatikanlah bagaimana ia mensifati para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bagaimana ia mensifati wanita-wanita Persia pada saat itu, padahal ketika itu mereka (para wanita persia) beragama Majusi, ia berkata tentangnya: “Wanita-wanita yang menjaga kehormatannya”, lantas berkata tentang para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka orang-orang yang haus akan kehormatan wanita-wanita Persia?. Jadi benarlah bahwa pandangan mereka itu bukanlah pandangan yang berdasarkan pada islam atau kekafiran, bukan pula pandangan yang berdasarkan pada imamah (kepemimpinan) Ali dan meninggalkan kepemimpinan yang selainnya, bukan, akan tetapi sejatinya adalah pandangan yang berdasarkan pada semangat nasionalisme Persia semata.
Oleh Muhammad Anshary

Hadits Tsaqalain

Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah, washshalatu wassalamu ala rasulillah wa shahbihi wa man waalah, wa ba’du:
Banyak dari penganut syi’ah yang mendasarkan ajaran mereka dengan hadits tsaqalain dan mengatakan hadits ini menunjukkan pengangkatan Ahlul Bait Rasulillah sebagai imam atau khalifah, lalu bagaimanakah sebenarnya mendudukkan hadits tsaqolain?
Berikut ini rangkuman kami dari ceramah al Ustadz Abu Hamzah -hafidzahullah- semoga memberi manfaat bagi kita semua.
Sudah sangat terkenal hadits Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- yang berwasiat :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَا اِنْ تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا اَبَدَ كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِى
“Aku tinggalkan kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang dengan kedua-duanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku.”
Hadits ini shahih riwayat imam Hakim dan ibnu Abdil Barr dan yang lain. kita sangat paham sebagai muslim ahlussunnah bahwa untuk menjadi muslim yang baik harus rujuk kepada al Qur’an dan sunnah meninggalkan hal yang baru yang menyimpang yang menyalahi Rasulullah.
Akan tetapi kita mendapati hadits yang dengan redaksi lain yang jarang masuk ke telinga kita, yang harus kita sampaikan yaitu hadits ‘itrotiy / tsaqolain “keluargaku/dua perkara berat” – kitabku dan ahli baitku -, yang sangat perlu disampaikan agar kita tidak lemah dalam menghadapi subhat yang dimasukkan oleh orang syi’ah tentang hadits tsaqolain ini.
Diriwayatkan oleh banyak imam tentang hadits kitaballahi wa itrotiy ahli baity.
Hadits turmudzi diriwayatkan : waktu nabi haji wada’, hadits dari jabir : saya melihat Rasulullah -shalallahu alaihi wa salam- dalam hajinya hari arafah : ‘wahai manusia sesungguhnya aku tinggalkan di tengah kalian jika kalian mengambilnya kalian tidak akan sesat yaitu kitabullah dan itrotiy (ahli baitiy) “keluargaku”‘. para ulama banyak yang mendoifkan dan ada yang mensohihkan seperti syeikh albaniy -Rahimahullah-.
Hadits Imam Ahmad dari Abu Said al Hudriy : Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam bersabda “Sesungguhnya telah dekat bagiku untuk dipanggil (Tuhanku), aku pun akan memenuhi panggilan itu.
Dan sesungguhnya aku tinggalkan tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) kepada kalian, yaitu: Kitabullah ‘Azza wa Jalla dan keturunanku. Kitabullah adalah tali (Allah) yang terbentang dari langit ke bumi, dan keturunanku Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui telah memberi tahuku bahwa keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya berjumpa denganku di Telaga. Oleh karena itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. “
yamg kami tebalkan adalah riwayat yang dhoif.
yang shohih adalah yang diriwayatkan imam muslim dari zaid bin akrom :  “Dan aku tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang berharga), salah satunya adalah Kitabullah (al-Qur’an) yang dalamnya mengandung petunjuk dan cahaya. Ambillah kitabullah itu dan berpegang teguhlah kepadanya,” ia  menganjurkan dengan dorongan yang kuat agar umatnya berpegang teguh kepada Kitabullah. Kemudian ia bersabda, “Dan Ahlulbaitku, aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku.”
dari hadits di atas kita dapati bahwa ahli bait bukan untuk dipegangi tapi untuk dihormati, dicintai dan hati-hati jangan menyakiti mereka.
Bagaimana mendudukkan kedua hadits tersebut “kitabullah wa sunnatiy” dengan “kitabullah wa itrotiy”
Qu’an dan sunnah itu tetap (paten) hingga yaumil qiyamah.
Ahlul bait maka tidak konstan (tidak paten) : karena ahlul bait zaman nabi beda dengan ahlul bait nabi yang sekarang.
zaman rasulullah ahlul bait nabi adalah sahabat nabi, sedang ahlul bait nabi zaman sekarang berbeda-beda ada yang ahlussunnah ada yang syi’ah dan ada yang lainnya. Lantas ahlul bait nabi yang mana..?
Maka yang paling benar adalah apa yang dikatakan imam Muslim yaitu kita harus hati-hati dengan ahlul bait Rasulullah jangan mendzolimi mereka, jangan menyakiti mereka.
Syeikh Albaniy -Rahimahullah- menshohihkan hadits tsaqolain dan menjelaskan bahwa maknanya kembali kepada hadits pertama “kitabi wa sunnatiy” untuk berpegang kepada Kitab Allah dan Ahli bait Rasul yang mengikuti sunnah nabi.
Jadi Hadits tsaqolain adalah perintah Rasul agar kita menyempurnakan kecintaan kita kepada Rasul dengan mencintai ahli bait beliau jangan membenci apalagi mencaci, mendzolimi dan menyakiti keluarga Rasul, karena mereka adalah keluarga dari Rasul maka kita harus memenuhi hak-hak dari ahli bait Rasul, jika kita memiliki guru saja kita hormati keluarganya apalagi ini adalah keluarga Rasulillah -shalallahu alaihi wa salam-.
Syiah membawa berpegang kepada ahlul bait kepada makna imamah sehingga mereka menuntut kekhalifahan untuk ahlul bait. dan apa yang jadi aqidah dan rukun iman penganut syi’ah ini maka tidak ada korelasinya sama sekali dengan hadits tsaqolain tersebut karena hadits tersebut tidak membahas pengangkatan khalifah untuk ahlul bait akan tetapi untuk memberi hak-hak dari ahli bait Rasulullah. wa shalallahu alaihi wa ala ali baitihi wa ashabihi ajma’in.
Gensyiah.com, October 2, 2012

Siapakah Ahlul Bait Nabi Itu? sudahkah anda mengenalnya,..

MENGENAL AHLUL BAIT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Di antara bukti keimanan seseorang muslim adalah mencintai ahlul bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mencintai ahlul bait merupakan pilar kesempurnaan iman seorang muslim. Pernyataan cinta kepada ahlul bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekarang tidak hanya datang dari kalangan ahlus Sunnah semata, akan tetapi juga didengungkan oleh beberapa kelompok Ahlul bid’ah seperti Syiah dan yang sealiran dengan mereka, mereka lakukan hal itu dalam rangka mengelabui dan menipu umat Islam sehingga mereka bingung dan tidak mengenal kebejatan dan kebencian mereka terhadap Ahulul bait, khususnya Syiah yang tidak kalah hebatnya dalam mempropagandakan pernyataan cinta mereka kepada ahlul bait sehingga seakan-akan merekalah satu-satunya kelompok yang paling mencintai Ahlul bait.
Untuk menjawab kebingungan umat ini, maka perlu adanya pembahasan tuntas tentang perbedaan Ahlus sunnah dan Ahlul bidah di dalam menempatkan kedudukan Ahlul bait, serta siapakah yang sebenarnya yang benar-benar mencintai Ahlul bait dan siapakah yang justru membenci mereka ?
SIAPAKAH AHLUL BAIT ITU ?
Sebelum kita membahas tentang Ahlul bait secara detail dan yang memusuhi meraka, sepantasnyalah kita mengenal terlebih dahulu siapakah sebenarnya Ahlul bait itu ?
Secara bahasa, kata الأَهْل berasal dari أَهْلاً وَ أُهُوْلاً أَهِلَ – يَأهَلُ = seperti أَهْلُ المْكَاَن berarti menghuni di suatu tempat [1] . أَهْلُ jamaknya adalah أَهْلُوْنَ وَ أَهْلاَتُ وَ أَهَاِلي misal أَهْلُ الإِسْلاَم artinya pemeluk islam, أَهْلُ مَكَّة artinya penduduk Mekah. أَهْلُ الْبَيْت berarti penghuni rumah [2]. Dan أَهْلُ بَيْتِ النَّبي artinya keluarga Nabi yaitu para isrti, anak perempuan Nabi serta kerabatnya yaitu Ali dan istrinya.[3]
Sedangkan menurut istilah, para ulama Ahlus Sunnah telah sepakat tentang Ahlul Bait bahwa mereka adalah keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharamkan memakan shadaqah [4]. Mereka terdiri dari : keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil, keluarga Abbas [5], keluarga bani Harist bin Abdul Muthalib, serta para istri beliau dan anak anak mereka.[6]
Memang ada perselisihan, apakah para istri Nabi termasuk Ahlul Bait atau bukan ? Dan yang jelas bahwa arti Ahlu menurut bahasa (etimologi) tidak mengeluarkan para istri nabi untuk masuk ke Ahlul Bait, demikian juga penggunaan kata Ahlu di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak mengeluarkan mereka dari lingkup istilah tersebut, yaitu Ahlul Bait.
Allah berfirman :
وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Dan taatlah kalian kepada Allah dan rasulNya,sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan rijs dari kalian wahai ahlul bait dan memberbersihkan kalian sebersih-bersihnya. [Al-ahzab : 33]
Ayat ini menunjukan para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahlul Bait. Jika tidak, maka tak ada faidahnya mereka disebutkan dalam ucapan itu (ayat ini) dan karena semua istri Nabi adalah termasuk Ahlul Bait sesuai dengan nash Al Quran maka mereka mempunyai hak yang sama dengan hak-hak Ahlul Bait yang lain. [7]
Berkata Ibnu Katsir: “Orang yang memahami Al Quran tidak ragu lagi bahwa para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam Ahlul Bait [8]” dan ini merupakan pendapat Imam Al-Qurtuby, Ibnu Hajar, Ibnu Qayim dan yang lainnya. [9]
Ibnu Taimiyah berkata: “Yang benar (dalam masalah ini) bahwa para istri Nabi adalah termasuk Alul Bait. Karena telah ada dalam hadits yang diriwayatkan di shahihaini yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari lafadz bershalawat kepadanya dengan:
الَلَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ أَزْوَاجِهِ وَ ذُرِّيَتِهِ (صحيح البخارى)
Ya Allah berilah keselamatan atas muhammad dan istri-istrinya serta anak keturunannya. [Diriwayatkan Imam Bukhari]
Demikian juga istri Nabi Ibrahim adalah termasuk keluarganya (Ahlu Baitnya) dan istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Luth juga termasuk keluarganya sebagaimana yang telah di tunjukkan oleh Al Quran. Maka bagaimana istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [2] bukan termasuk keluarga beliau ? !
Ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa keluarga Nabi adalah para pengikutnya dan orang-orang yang bertaqwa dari umatnya, akan tetapi pendapat ini adalah pendapat yang lemah dan telah di bantah oleh Imam Ibnu Qoyyim dengan pernyataan beliau bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah mereka yang di haramkan shadaqah.
PERBEDAAN AHLUL BAIT DALAM ISTILAH SYAR’I DENGAN VERSI SYIAH ?
etelah kita mengetahui siapa sebenarnya Ahlul Bait itu, perlu kita pahami bahwa istilah Ahlu Bait merupakan istilah syar’i yang dipakai dalam Al Quran maupun As Sunnah dan bukan merupakan istilah bid’ah. 
Allah berfirman tentang para istri Nabi :
وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Dan taaitlah kalian kepada Allah dan RasulNya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan memberbersihkan kamu sebersih-bersihnya. [Al-Ahzab : 33]
Berkata syaikh Abdurrahman As Sa’di : Makna rijs adalah (Ahlul bait di jauhkan) segala macam gangguan, kejelekan dan perbutan keji.[13]
Allah berfirman memerintah para istri Nabi :
وَاذْكُرْنَ مَايُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ وَالْحِكْمَةِ
Dan ingatlah apa yang di bacakan di rumahmu dari ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu). [Al Ahzab : 34]
Ibnu Katsir berkata: “yaitu kerjakanlah dengan apa yang di turunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulnya berupa Al Quran dan As sunnah di rumah-rumah kalian.
Berkata Qotadah dan yang lainnya “dan ingatlah dengan nikmat yang di khususkan kepada kalian dari sekalian manusia yaitu berupa wahyu yang turun ke rumah-rumah kalian tanpa yang lain. [14]
Dalam sebuah hadis juga di jelaskan :
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قاَلَ قاَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلىالله عليه و سلم يَوْمًا خَطِيْبًا (فَقَالَ): أَذْكُرُكُمُ اللهَ فيِ أَهْلِ بَيْتيِ –ثلاثا- فَقَالَ حُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَْيدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ: إِنَّ نِسَاءَهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حَرُمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قاَلَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آَلُ عَلِيْ و آَلُ عُقَيْلٍ وَ آلُ الْعَبَاسِ قَالَ أَكُلُّ هَؤُلاَءِ حَرُمَ الصَّدَقَة ؟ قَالَ: نَعَمْ (صحيح مسلم 7/122-123)
Dari Zaid bin Arqom bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari berkhutbah: Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul Baitku (sampai tiga kali) maka Husain bin Sibroh (perawi hadits) bertanya kepada Zaid “Siapakah Ahlul Bait beliau wahai Zaid bukankah istri-istri beliau termasuk ahlil baitnya? Zaid menjawab para istri Nabi memang termasuk Ahlul Bait akan tetapi yang di maksud di sini, orang yang di haramkan sedekah setelah wafatnya beliau. Lalu Husain berkata: siapakah mereka beliau menjawab:“Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas ? Husain bertanya kembali Apakah mereka semuanya di haramkan zakat ? Zaid menjawab Ya… [Shahih muslim 7/122-123]
Dari sini jelas penggunaan istilah Ahlul Bait adalah istilah syari dan bermakna istri dan kerabat dekat beliau dari keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas yang merupakan keluarga bani Hasyim
Sedangkan Ahlul Bait menurut orang Syiah hanyalah sahabat Ali, kemudian anaknya, Hasan bin Ali dan putrinya yaitu Fatimah, mereka dengan terang-terangan mengatakan bahwa semua pemimpin kaum muslimin selain Ali dan Hasan adalah thogut walaupun mereka menyeruh kepada kebenaran. Orang Syiah menganggap bahwa Khulafaur rasyidin adalah para perampas kekuasaan Ahlul Bait sehingga mereka mengkafirkan semua Khalifah, bahkan semua pemimpin kaum muslimin [15]. Tidak di ragukan lagi, bahwa mereka telah menyimpang dari Aqidah yang lurus, yaitu Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Maka kita katakan bahwa membatasi Ahlul bait itu hanya terbatas pada Ali, Hasan bin Ali serta Fatimah, yang keduanya adalah anak Sahabat Ali adalah merupakan batasan yang tidak ada sandaran yang benar baik dari Al-Quran maupun As sunnah. Sesungguhnya pembatasan ini adalah merupakan perkara bid’ah yang tidak di kenal oleh ulama salaf sebelumnya.
Anggapan ini sebenarnya hanyalah muncul dari hawa nafsu orang-orang Syiah karena dendam kesumat serta kedengkian mereka terhadap Islam dan Ahlul Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga orang- orang Syiah sejak zaman sahabat tidak menginginkan kejayaan Islam dam kaum muslimin, dan di kenal sebagai firqoh yang ingin merongrong Islam dan ingin menghancurkannya dengan segala cara dan salah satu cara mereka adalah berlindung dibalik slogan cinta ahli bait Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun secara hakikat sebenarnya merekalah yang membenci dan memusuhi mereka.
SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Syiah Rafidlah menyatakan bahwa bahwa Ali dan keturunannya dari Ahlul Bait adalah orang-orang yang makshum dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنىِّ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتمُ ْبِهِ لَنْ تَضِلُّوْا كِتَابَ اللهِ وَ عِتْرَتيِ أَهْلَ بَيْتيِْ (رواه الترمذى 2/208 والطبراني رقم 2680 والحديث صحيح لشواهده أنظر الصحيحة 4/255 , 1761 وأنظر صحيح الجامع رقم 2748 )
Wahai para manusia! Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian suatu perkara, kalau kalian mengambilnya maka kalian tidak akan tersesat, (yaitu) kitabullah dan itrohku, ahli baitku. [Diriwayatkan Imam Tirmidzi 2/308 dan Thabroni 2680 dan hadis ini shahih dengan Syawahidnya. Lihat As Shahihah 4/355,1761].
Dalam hadis ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan penyebutan Kitabullah dan Ahlul Bait dengan menggunakan واو عطف sedangkan dalam kaidah ushul fiqh di katakan bahwa fungsi wawu ‘athfi adalah:
اشْتِرَاكُ المْتَعَاطِفَينِ ِفيْ اْلحُكْمِ وَلاَ تُنَافِيْهِ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
Berserikatnya dua hal yang di gandengkan dalam satu hukum, tidak dapat di tiadakan kecuali dengan dalil.
Hal ini berarti Ahlul Bait sama dengan Kitabullah dalam hal sebagai sumber yang terpelihara. Dan itu menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang ma’shum.
Maka kita jawab syubhat ini dengan ucapan Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albany. Beliau menjelaskan : “Bahwa yang di maksud Ahlul Bait di sini adalah para ulama, orang-orang shalih serta orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Kitab dan As Sunnah dari kalangan mereka (Ahlul Bait). Al-imam Abu Ja’far At Thahawy berkata: “Al-Itroh adalah Ahlul Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu orang yang beragama dan komitmen dalam berpegang teguh dengan perintah Nabi Shallallahu ‘laihi wa sallam.
Syaikh Ali Al Qary juga mengucapkan perkataan senada dengan beliau: “Sesungguhnya Ahlul Bait itu pada umumnya adalah orang yang paling mengerti tentang shahibul bait [16] dan yang paling tahu hal ihwalnya. Maka di maksud dengan Ahlul bait di sini adalah Ahlul Ilmi (ulama) di kalangan mereka yang mengerti tentang seluk beluk hidupnya dan orang-orang yang menempuh jalan hidupnya serta orang-orang yang mengetahui hukum dan hikmahnya. Dengan inilah, maka penyebutan Ahlu bait dapat di gandengkan dengan kitabullah, sebagaimana firmannya:
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ )

Dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. 
[Al-Jum’ah : 2]
.
Syaikh Al Albany mengatakan : “Dan yang semisalnya adalah firman Allah :
وَاذْكُرْنَ مَايُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ وَالْحِكْمَةِ
Dan ingatlah apa yang di bacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu)…… “ [Al-Ahzab : 34]
Maka jelaslah bahwa yang dimaksud Ahlul Bait adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan mereka (Ahlul Bait). Mereka itulah yang dimaksud dengan Ahlul Bait dalam hadis itrah ini. Dan oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikanya salah satu dari tsaqalain (dua hal yang berat) dalam hadis Zaid Bin Arqam (yang telah lalu disebutkan) dan di gandengkan dengan kitabullah.
Yang penting, penyebutan Ahlul Bait bergandengan dengan Kitabullah dalam hadits ini sama seperti penyebutan sunnah Khulafaurrasyidin beriringan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm dalam sabdanya : “Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin setelahku”.
Syaikh Ali Al-Qary berkata tentang hadist ini : “Hal tersebut karena mereka tidak beramal kecuali dengan sunahku (Rasul), maka penyebutan sunah ini dinisbatkan kepada mereka baik karena mereka mengamalkan sunnah Rasul atau karena istimbath mereka terhadap sunnah itu” [17]
Dari penjelasan Saikh Al Albany kita dapat mengambil dua kesimpulan yang mendasar yaitu:
1. Bahwa yang di maksud dengan Ahlul bait di sini adalah mereka yang mengerti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi was allam dan perjalanan hidup beliau dan orang-orang yang komitmen di dalam berpegang teguh dengan sunnahnya.
2. Setelah jelas bagi kita siapa yang di maksud dengan Ahlul di sini, maka penyaebutan merela bergandengan dengan penyebutan kitabullah itu kedudukannya seperti penyebutan sunnah khulafaurrosyidin beriringan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm, sedangkan kita mengetahui bahwa bahwa penyebutan sunnah mereka dengan sunnah Rasul adalah karena mereka tidak pernah beramal kecali dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sehingga penisbatan suannah kepda mereka tidak berarti individu-individu mereka itu ma’shumm.
KESIMPULAN
Di sebutkan oleh Ats-tsa’labi dan qodzi Iyadz bahwa mereka adalah bany Hasyim secara keseluruhan. Dan yang termasuk dalam kata gori Ahlul bait adalah sebagai berikut:
1. Keluarga Ali yaitu mencakup sahabat Ali sendiri, Fathimah (putrinya) Hasan dan Husain beserta Anak turunnya.
2. Keluarga Aqil Yaitu mencakup Aqil sendiri dan Anaknya yaitu muslim bin Aqil beserta Anak cucunya.
3. Keluarga Ja’far bin Abu Tholib yaitu mencakup Ja’far sendiri berikut anak-anaknya yaitu Abdullah, Aus dan Muhammad.
4. Keluarga Abbas bin Abdul Muttolib yaitu mencakup Abbas sendiri dan sepuluh putranya yaitu Abdullah, Abdurrahman, Qutsam, Al-harits, ma’bad, katsir, Aus, Tamam, dan puteri-puteri beliau juga termasuk di dalamnya.
5. Keluarga Hamzah bin Abdul Muttalib yaitu mencakup Hamzah sendiri dan tiga orang anaknya yaitu Ya’la, ‘Imaroh, dan Umamah
6. Para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm tanpa kecuali.
Inilah pembahasan sekilas tentang Ahlul Bait dan bagaimana sikap salaf terhadap mereka di tambah dengan bantahan-bantahan terhadap subhat yang di lontarkan olah rofidlah.untuk lebih lanjut mengetahui bantahan-bantahan para ulama terhadap subhat-subhat mereka dapat di lihat dalam kitab minhajus sunnah, karya Syaikhul islam taimiyah. Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan iman dan taqwa kepada kita sehinnga kita tetap istiqomah di dalam berpegang kepda manhaj nubuwah sampi akhir hayat kita. AMIN.
Oleh
Ahmad Hamidin As-Sidawy
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat kamus mu’jamul wasit hal : 31.
[2]. Lihat kamus lisanul arab 1/253.
[3]. Lihat kamus muhit : 1245
[4} Sebagaimana di riwayatkan oleh imam muslim dari zaid bin arqom ketika hushain bin sibrah bertanya kepadanya tentang Ahlul bait Nabi Shalal (lihat shahih muslim 7/122-223)
[5]. Lihat kitab taqrib baina Ahlus sunnah was syiah oleh Dr. Nashir bin Abdillah bin Ali Al-qafary 1/102 dan syarah Aqidah washitiyah oleh kholid bin Abdillah Al- muslikh hal. 189.Majmu’ fatawa 28/492
[6]. Lihat minhajus sunnah An-nabawiyah 7/395
[7]. Lihat majmu fatawa 17/506.
[8]. Lihat tafsir Al Qur ‘an Al-Adzim 3/506
[9]. Seperti di nukil oleh Dr. nashir bin Abdillah bin Ali Al-qofari dalam kitabnya masalatu taqrib bainas sunnah wa syiah.1/ 103-105.
[10] Lihat syarah fathhul bari 6/408
[11],Lihat Syarah Aqidah wasyityah oleh syeikh kholid bin Abdillah Al-muslikh hal : 190.
[12]. Lihat jala’ Al-afham hal : 126
[13]. Lihat tafsir karimir rahman .2/916
[14]. Lihat tafsir Al Quran Al-Adzim 3/635.
[15]. Lihat Ushul madhab Syiah karya Dr. nahir bin Abdillah bin Ali Al-qafary : 1/735-758
[16]. Yang di maksud adalah Rasulullah Shallallahu amji.
[17]. Lihat silsilah Al-ahadist As shahihah 4/360-361.
[18]. Lihat fathul bari (7/98)
[19]. Lihat minhajus sunnah An-nabawiyah hal : 7/76.