Posted on 22 November 2013 by abunamirahasna
http://abunamira.wordpress.com/2013/11/22/imam-jafar-ash-shadiq-rahimahullah-imam-ahli-sunnah-bukan-milik-syiah/
Imam Ja’far Ash-Shadiq Rahimahullah, Imam Ahli Sunnah,
Bukan Milik Syi’ah
Tokoh yang masih keturunan Ahli Bait ini,
termasuk yang dicatut oleh ahli bid’ah (baca: Syi’ah) sebagai tokohnya. Padahal
jauh panggang dari api. Aqidahnya sangat berbeda jauh dengan aqidah yang selama
ini diyakini orang-orang Syi’ah.
NASAB
DAN KEPRIBADIANNYA
Ia adalah Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin al Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah dan istri putri beliau Fathimah Radhiyallahu ‘anha. Terlahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun.
Ia adalah Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin al Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah dan istri putri beliau Fathimah Radhiyallahu ‘anha. Terlahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun.
Ash Shadiq merupakan gelar yang selalu menetap
tersemat padanya. Kata ash Shadiq itu, tidaklah disebutkan, kecuali mengarah
kepadanya. Karena ia terkenal dengan kejujuran dalam hadits, ucapan-ucapan dan
tindakan-tindakannya. Kedustaan tidak dikenal padanya. Gelar ini pun masyhur di
kalangan kaum Muslimin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah acapkali menyematkan
gelar ini padanya.
Laqab lainnya, ia mendapat gelar al Imam dan al
Faqih. Gelar ini pun pantas ia sandang. Meski demikian, ia bukan manusia yang
ma’shum seperti yang diyakini sebagian ahli bid’ah. Ini dibuktikan, ia sendiri
telah menepisnya, bahwa al ‘Ishmah (ma’shum) hanyalah milik Nabi.
Imam Ja’far ash Shadiq dikarunia beberapa anak.
Mereka adalah: Isma’il (putra tertua, meninggal pada tahun 138 H, saat ayahnya
masih hidup), ‘Abdullah (dengan namanya, kun-yah ayahnya dikenal), Musa yang
bergelar al Kazhim [1], Ishaq, Muhammad, ‘Ali dan Fathimah.
Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan
kemurahan hatinya yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi
keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang
dermawan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang
yang paling murah hati.
Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan
meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal ‘Abidin, yaitu bersedekah dengan
sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum,
daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, dan dibagikan kepada
orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah,
tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa
kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan.
Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang
terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan
kepada pihak yang dirugikan, untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslimin.
PERJALANAN
KEILMUANNYA
Imam Ja’far ash Shadiq, menempuh perjalanan ilmiyahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Sa’id as Sa’idi dan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhum. Dia juga berguru kepada Sayyidu Tabi’in ‘Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az Zuhri, ‘Urwah bin az Zubair, Muhammad bin al Munkadir dan ‘Abdullah bin Abi Rafi’ serta ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas. Dia pun meriwayatkan dari kakeknya, al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.
Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari
Madinah. Mereka t adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam
amanah dan kejujuran.
Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal,
yaitu Yahya bin Sa’id al Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub as Sakhtayani, Ibnu
Juraij dan Abu ‘Amr bin al ‘Ala`. Juga Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas al
Ashbahi, Sufyan ats Tsauri, Syu’bah bin al Hajjaj, Sufyan bin ‘Uyainah,
Muhammad bin Tsabit al Bunani, Abu Hanifah dan masih banyak lagi.
Para imam hadits -kecuali al Bukhari-
meriwayatkan hadits-haditsnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al
Bukhari meriwayatkan haditsnya di kitab lainnya, bukan di ash Shahih.
Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan
para ulama pun mengarah kepada Imam Ja’far ash Shadiq.
Abu Hanifah berkata,”Tidak ada orang yang lebih
faqih dari Ja’far bin Muhammad.”
Abu Hatim ar Razi di dalam al Jarh wa at Ta’dil
(2/487) berkata,”(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia.”
Ibnu Hibban berkomentar: “Dia termasuk tokoh
dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah dari kalangan atba’ Tabi’in dan ulama
Madinah”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memujinya dengan
ungkapan : “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan
kesepakatan Ahli Sunnah”. (Lihat Minhaju as Sunnah, 2/245).
Demikian sebagian kutipan pujian dari para
ulama kepada Imam Ja’far ash Shadiq.
JA’FAR ASH SHADIQ TIDAK MUNGKIN MENCELA ABU
BAKAR DAN ‘UMAR
Adapun Syi’ah, berbuat secara berlebihan kepada Imam Ja’far ash Shadiq. Golongan Syi’ah ini mendaulatnya sebagai imam keenam. Pengakuan mereka, sebenarnya hanya kamuflase. Pernyataan-pernyataan dan aqidah beliau berbeda 180 derajat dengan apa yang diyakini oleh kaum Syi’ah.
Adapun Syi’ah, berbuat secara berlebihan kepada Imam Ja’far ash Shadiq. Golongan Syi’ah ini mendaulatnya sebagai imam keenam. Pengakuan mereka, sebenarnya hanya kamuflase. Pernyataan-pernyataan dan aqidah beliau berbeda 180 derajat dengan apa yang diyakini oleh kaum Syi’ah.
Sebut saja, sikap Imam Ja’far ash Shadiq
terhadap Abu Bakr dan ‘Umar bin al Kaththab. Kecintaannya terhadap mereka
berdua tidak perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak, mereka berdua adalah teman
dekat kakek (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan sebagai
penggantinya.
‘Abdul Jabbar bin al ‘Abbas al Hamdani
berkata,”Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad menghampiri saat mereka akan meninggalkan
Madinah. Ia berkata,’Sesungguhnya kalian, Insya Allah termasuk orang-orang
shalih dari Madinah. Maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku,
barangsiapa yang menganggap diriku imam ma’shum yang wajib ditaati, maka aku
berlepas diri darinya. Barangsiapa menduga aku berlepas diri dari Abu Bakr dan
‘Umar, maka aku pun berlepas diri darinya’.”
Ad Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin
Sudair, ia berkata: “Aku mendengar Ja’far bin Muhammad, saat ditanya tentang
Abu Bakr dan ‘Umar, ia berkata,’Engkau bertanya tentang orang yang telah
menikmati buah dari surga’.”
Pernyataan beliau ini jelas sangat bertolak
belakang dengan keyakinan orang-orang Syi’ah yang menjadikan celaan dan makian
kepada Abu Bakr, ‘Umar, dan para sahabat pada umumnya sebagai sarana untuk
mendapatkan pahala dari Allah.
Imam Ja’far ash Shadiq, sangat tidak mungkin
mencela mereka berdua. Pasalnya, ibunya, Ummu Farwa adalah putri al Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakr ash Shiddiq. Sementara neneknya dari arah ibunya adalah,
Asma` bintu Abdir Rahman bin Abi Bakr. Apabila mereka adalah paman-pamannya,
dan Abu Bakr termasuk kakeknya dari dua sisi, maka sulit digambarkan, jika
Ja’far bin Muhammad -yang jelas berilmu, berpegah teguh dengan agamanya, dan
ketinggian martabatnya, serta memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi-
melontarkan cacian dan celaan terhadap kakeknya, Abu Bakr ash Shiddiq. Ja’far
sendiri berkata : “Abu Bakar melahirkan diriku dua kali”.
Apalagi, bila menengok kapasitas keilmuan dan
keteguhan agama dan ketinggian martabatnya, sudah tentu akan menghalanginya
untuk mencaci-maki orang yang tidak pantas menerimanya.
KLAIM
BOHONG SYIAH ATAS JA’FAR ASH SHADIQ
Pada masanya, bid’ah al Ja’d bin Dirham dan pengaruh al Jahm bin Shafwan telah menyebar. Sebagian kaum Muslimin sudah terpengaruh dengan aqidah al Qur`an sebagai makhluk. Akan tetapi, Ja’far bin Muhammad menyatakan: “Bukan Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tetapi Kalamullah”[2]. Aqidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan golongan Syi’ah yang mengamini Mu’tazilah, dengan pemahaman aqidahnya, al Qur`an adalah makhluk.
Pada masanya, bid’ah al Ja’d bin Dirham dan pengaruh al Jahm bin Shafwan telah menyebar. Sebagian kaum Muslimin sudah terpengaruh dengan aqidah al Qur`an sebagai makhluk. Akan tetapi, Ja’far bin Muhammad menyatakan: “Bukan Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tetapi Kalamullah”[2]. Aqidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan golongan Syi’ah yang mengamini Mu’tazilah, dengan pemahaman aqidahnya, al Qur`an adalah makhluk.
Artinya, prinsip aqidah yang dipegangi oleh
Imam Ja’far ash Shadiq merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para imam Ahli
Sunnah wal Jama’ah, dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat
kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya,
serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan RasulNya.
Ibnu Taimiyyah berkata,”Syi’ah Imamiyah, mereka
berselisih dengan Ahli Bait dalam kebanyakan pemahaman aqidah mereka. Dari
kalangan imam Ahli Bait, seperti ‘Ali bin al Husain Zainal ‘Abidin, Abu Ja’far
al Baqir, dan putranya, Ja’far bin Muhammad ash Shadiq, tidak ada yang
mengingkari ru`yah (melihat Allah di akhirat), dan tidak ada yang mengatakan al
Qur`an adalah makhluk, atau mengingkari takdir, atau menyatakan ‘Ali merupakan
khalifah resmi (sepeninggal Nabi n), tidak ada yang mengakui para imam dua
belas ma’shum, atau mencela Abu Bakr dan ‘Umar.”
Tokoh-tokoh Syi’ah tempo dulu mengakui, bahwa
aqidah tauhid dan takdir (yang mereka yakini) tidak mereka dapatkan, baik
melalui Kitabullah, Sunnah atau para imam Ahli Bait. Sebenarnya, mereka
mendapatkannya dari Mu’tazilah. Mereka (kaum Mu’tazilah) itulah guru-guru
mereka dalam tauhid dan al ‘adl”.
Klaim kaum Syi’ah yang menyatakan pemahaman
aqidah mereka berasal dari Ja’far ash Shadiq atau imam Ahli Bait lainnya,
hanyalah merupakan kedustaan, dan mengada-ada belaka. Sehingga tidak salah jika
dianggapnya sebagai dongeng-dongeng fiktif, dan bualan kosong yang mereka nisbatkan
kepada orang-orang yang mulia itu.
Contoh kedustaan yang dilekatkan kepada beliau,
yaitu ucapan “taqiyah adalah agamaku dan agama nenek-moyangku”. Orang Syiah
menjadikannya sebagai prinsip aqidah mereka.
Kedustaan lainnya, keyakinan mereka bahwa Ja’far
ash Shadiq akan kekal abadi, dan tidak meninggal. Ini juga merupakan kesalahan
yang parah. Kematian adalah milik setiap orang, dan pasti terjadi. Tidak ada
orang, baik dari kalangan Ahli Bait atau lainnya yang mendapatkan hak istimewa
hidup abadi di dunia ini.
Bentuk kedustaan mereka merambah buku dan
tulisan-tulisan yang diklaim telah ditulis oleh Ja’far ash Shadiq. Para ulama
telah menetapkan kedustaan itu. Ditambah lagi, eranya (80-148 H) termasuk masa
yang kering dengan karya tulis. Yang ada, perkataan-perkataan yang diriwayatkan
dari mereka saja, tidak sampai dibukukan.
Kaidah yang mesti kita pegangi dalam masalah
ini, tidak menerima satu perkataan pun dari ash Shadiq dan imam-imam lain, juga
dari orang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, berisikan orang-orang
yang tsiqah dan dikenal dari kalangan para perawi, atau bersesuaian dengan al
Haq dan didukung oleh dalil, maka baru bisa diterima. Selain dari yang itu,
tidak perlu dilihat.
Di antara kitab yang dinisbatkan kepadanya
dengan kedustaan, yaitu kitab Rasailu Ikhawni ash Shafa, al Jafr (kitab yang
memberitakan berbagai peristiwa yang akan terjadi), ‘Ilmu al Bithaqah,
Ikhtilaju al A’dha` (menjelaskan pergerakan-pergerakan yang ada di bawah
tanah), Qira`atu al Qur`an Fi al Manam, dan sebagainya.
Golongan Syi’ah memperkuat kedustaan mereka
tentang keotentikan kitab-kitab tersebut, dengan mengambil keterangan dari Abu
Musa Jabir bin Hayyan ash Shufi ath Tharthusi. Dia ini adalah pakar kimia yang
terkenal, meninggal tahun 200 H. Mereka berdalih, bahwa Abu Musa Jabir bin
Hayyan telah menyertai Ja’far ash Shadiq dan menulis berbagai risalah yang
berjumlah 500 buah dalam seribu lembar kertas. Namun, pernyataan ini masih
sangat diragukan. Sebab, Jabir ini termasuk muttaham (tertuduh, dipertanyakan)
dalam agama dan amanahnya, dan juga kesertaannya bersama Ja’far ash Shadiq yang
meninggal tahun 148 H. Menurut keterangan yang masyhur, Jabir bukan menyertai
Ja’far ash Shadiq, tetapi ia menyertai Ja’far bin Yahya al Barmaki. Dan lagi
yang pantas untuk meragukan pernyataan tersebut, karena Imam Ja’far ash Shadiq
berada di Madinah, sementara itu Jabir bermukim di Baghdad. Kedustaan tersebut
semakin jelas jika melihat kesibukan Jabir dengan ilmu-ilmu alamnya, yang tentu
sangat berbeda dengan yang ditekuni Imam Ja’far ash Shadiq.
Oleh karena itu, tulisan-tulisan di atas, tidak
bisa dibenarkan penisbatannya kepada Ja’far ash Shadiq. Ringkasnya, Syi’ah
berdiri di atas kedustaan dan kebohongan. Andaikan benar miliknya, sudah tentu
akan diketahui anak-anaknya dan para muridnya, dan kemudian akan menyebar ke
berbagai pelosok dunia. Wallahul Musta’an.
Fakta ini semakin membuktikan bahwa Syiah
berdiri di atas gulungan kedustaan dan kebohongan. Ibnu Taimiyah rahimahullah
menyimpulkan:
“Adapun syariat mereka, tumpuannya berasal dari
riwayat dari sebagian Ahli Bait seperti Abu Ja’far al Baqir, Ja’far bin
Muhammad ash Shadiq dan lainnya”.
Tidak diragukan lagi, bahwa mereka adalah
orang-orang pilihan milik kaum muslimin dan imam mereka. Ucapan-ucapan mereka
mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan orang-orang semacam
mereka. Tetapi, banyak nukilan dusta ditempelkan pada mereka. Kaum Syiah tidak
memiliki kemampuan penguasaan dalam aspek isnad dan penyeleksian antara perawi
yang tsiqah dan yang tidak. Dalam masalah ini, mereka laksana Ahli Kitab. Semua
yang mereka jumpai dalam kitab-kitab, berupa riwayat dari pendahu-pendahulu
mereka, langsung diterima. Berbeda dengan Ahli Sunnah, mereka mempunyai
kemampuan penguasaan isnad, sebagai piranti untuk membedakan antara kejujuran
dengan kedustaan. (Minhaju as Sunnah, 5/162).
(Diadaptasi dari muqaddimah tahqiq Kitab al
Munazharah (Munazharah Ja’far bin Muhammad ash Shadiq Ma’a ar Rafidhi fi at
Tafdhili Baina Abi Bakr wa ‘Ali), karya Imam al Hujjah Ja’far bin Muhammad ash
Shadiq, tahqiq ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz al ‘Ali Alu Syibl, Dar al Wathan Riyadh,
Cet. I, Th. 1417 H).
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun
X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Oleh Syi’ah Imamiyah, ia diangkat sebagai imam berikutnya. Dalam masalah ini, Syi’ah Imamiyah berseteru pendapat dengan Isma’iliyah tentang imam setelah Ja’far ash Shadiq, antara Musa yang bergelar al Kazhim dengan Isma’il yang sudah meninggal terlebih dahulu. Perbedaan memang menjadi ciri khas ahli bid’ah, bahkan pada masalah yang prinsip menurut mereka.
[2]. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, bahwa pernyataan itu termasuk sering diriwayatkan dari Ja’far ash Shadiq. (al Minhaj, 2/245).
_______
Footnote
[1]. Oleh Syi’ah Imamiyah, ia diangkat sebagai imam berikutnya. Dalam masalah ini, Syi’ah Imamiyah berseteru pendapat dengan Isma’iliyah tentang imam setelah Ja’far ash Shadiq, antara Musa yang bergelar al Kazhim dengan Isma’il yang sudah meninggal terlebih dahulu. Perbedaan memang menjadi ciri khas ahli bid’ah, bahkan pada masalah yang prinsip menurut mereka.
[2]. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, bahwa pernyataan itu termasuk sering diriwayatkan dari Ja’far ash Shadiq. (al Minhaj, 2/245).