Rabu, 18 Rabiul Awwal 1434 H / 30 Januari 2013 16:01
(an-najah.net)
– Mendengar nama Ahmad bin Farhan Al-Maliki, barangkali Anda akan langsung
teringat Mubahalah antara Husein Alatas Vs Haidar Bawazier, Juni 2012 lalu.
Pendapatnya memang dijadikan rujukan Husein Alatas untuk mencela Mu’awiyah.[1]
Buku karyanya yang diterjemahkan menjadi setebal
352 halaman yang diterbitkan oleh Noura Book (grup Mizan ini, akan menunjukkan
kepada kita bagaimana sejatinya pemikiran Hasan Al-Maliki.
Secara keseluruhan, buku tersebut sarat dengan
prasangka buruk dan hujatan yang tidak berdasar, terutama kepada para sahabat.
Meskipun penulis mengaku bermazbah salafi sunni hambali, tampak bahwa
tulisannya sendiri membantah pengakuannya.
Siapa pun memang boleh mengaku apa saja tetapi
fakta akan membuktikan siapa dia sebenarnya. Kalau pengakuan tidak sesuai
dengan kenyataan, maka itu tidak beda dengan maling yang mengaku kucing ketika
ditanya oleh tuan rumah, siapa yang menjatuhkan gelas di ruang makan.
Pemikiran Al-Maliki semakin tampak jelas dalam
tulisannya yang berjudul Ash-Shahabah baina Ash-Shuhbah Al-Lughawiyah
wa Ash-Shuhbah Asy-Syar’iyyah. Di tulisan tersebut, ia mendefinisikan
sahabat yang syar’i dalam arti memiliki hak dan keutamaan seperti disebutkan
dalam banyak ayat Al-Qur’an hanyalah Muhajirin dan Anshar sampai pada masa
Perjanjian Hudaibiyyah saja.
Dari definisi itu, ia tidak memasukkan semua
anak-anak Muhajirin dan Anshar yang hidup bersama Nabi saw, orang-orang yang
masuk Islam setelah perjanjian itu dan Fathu Mekkah dalam kelompok sahabat Nabi
saw, termasuk Khalid bin Walid. Berangkat dari tesis ini maka wajar bila
Al-Maliki menghujat para sahabat, terutama Muawiyah dan keluarga bani Umayyah.
Dengan demikian, pernyataan bahwa dirinya adalah
Hambali Sunni hanyalah akal licik dan ilusi orang yang menyerukan keadilan dan
persatuan.
Di awal bahasan, Al-Maliki menyatakan penggunaan
akidah adalah istilah bid’ah yang tidak ada dalam Qu’ran, Sunah maupun
perkataan para sahabat. (hal. 49-53).Tetapi, ia sendiri membuat istilah baru,
yakni sahabat syar’iyah dan lughawiyah. Apakah ini bukan bid’ah yang sesat?
Pernyataannya bahwa istilah akidah tidak ada
dalam hadits sahih, hasan atau bahkan maudhu’ adalah pernyataan yang kurang
teliti. Sebab Rasulullah menyatakan itu dalam hadis hasan riwayat Ad-Darimi:
لاَ يَعْتَقِدُ
قَلْبُ مُسْلِمٍ عَلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ قَالَ
قُلْتُ : مَا هُنَّ؟ قَالَ : إِخْلاَصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ ، وَالنَّصِيحَةُ
لِوُلاَةِ الأَمْرِ ، وَلُزُومُ الْجَمَاعَةِ
“Tidaklah hati seorang muslim meyakini (memiliki akidah) tiga hal
kecuali akan masuk ke surga.” Aku bertanya, “Apa saja itu?” Beliau
menjawab, “Ikhlas dalam beramal hanya untuk Allah, memberi nasihat
kepada para pemimpin, dan senantiasa bersama dengan jamaah.”
Tampaknya, hasil akhir yang diinginkan oleh Al-Maliki dengan tulisannya
itu ialah mengajak umat Islam lebih toleran terhadap aliran sesat, tidak membid’ahkan
maupun mengafirkan. Salah satu indikatornya tampak pada persembahan bukunya
yang ditujukan kepada segenap penganut mazhab, baik ahli sunah, syiah,
ibadhiyah, salafiyah, asy’ariyah, maupun shufiyah.
Tidak sebatas itu, penganut sekularisme, sosialisme, modernisme, dan
liberalisme juga disebutnya agar semua menemukan koreksi terhadap Mazhab
Hambali, menurut Al-Maliki.
Bagaimana seseorang dianggap mengajak kepada persatuan Islam, bila terhadap para sahabat ia mencela, sedangkan terhadap kelompok Murji’ah, Qadariyah, Jahmiyah, dan Mu’tazilah, justru membela? (hal. 160-182).
Bagaimana seseorang dianggap mengajak kepada persatuan Islam, bila terhadap para sahabat ia mencela, sedangkan terhadap kelompok Murji’ah, Qadariyah, Jahmiyah, dan Mu’tazilah, justru membela? (hal. 160-182).
Tidak ada ahli sunah yang meragukan hak Abu Bakar dengan jabatan
khalifahnya. Tetapi Al-Maliki meragukannya. Di halaman 80 Al-Maliki mengatakan,
“Akan tetapi, mereka membaiat Abu Bakar dan meninggalkan Ali karena Ali tidak
berada di Tsaqifah ketika terjadi diskusi dan perdebatan dengan Kaum Muhajirin.
Barangkali jika Ali r.a. berada di sana, ia akan
menjadi khalifah ….”
Al-Maliki menganggap Ali lebih berhak atas
kekhilafahan daripada Abu Bakar. Baiatnya bagi kaum Muhajirin dan Anshar,
menurut Al-Maliki, lebih mirip pemaksaan dan kesewenang-wenangan.
Bagaimana hak kekhilafahan Abu Bakar dan Umar
diragukan, sedangkan Rasulullah saw bersabda, “Berpeganglah kepada
sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin setelahku?” Apakah ada ahli sunnah
yang meragukan bahwa Khulafaur Rasyidin itu ada empat, Abu Bakar, Umar, Utsman,
dan Ali? Bagaimana kita akan melaksanakan wasiat Rasul saw tersebut bila mereka
justru diragukan keadilannya?
Al-Maliki Berburuk Sangka kepada Utsman
Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut ini:
“Akhirnya, Utsman dan Ali mendapatkan suara yang sama. Oleh karena itu, Abdurrahman bin Auf berinisiatif meminta pendapat kepada orang banyak setelah hasil votum menunjukkan suara imbang untuk Ali dan Utsman. Namun, kondisi saat itu berpihak kepada Utsman daripada Ali. Opsi pemilihan secara terbuka itu dilakukan di Madinah yang bertepatan dengan kedatangan tentara dari beberapa daerah dan pimpinannya menunaikan ibadah haji. Di antara mereka terdapat orang-orang yang menjadi empat konsultasi Abdurrahman bin Auf. Tentu saja, banyak dari mereka lebih suka gaya politik Utsman yang toleran daripada Ali yang tegas. Akibatnya, mayoritas memilih Utsman.” (hal. 90-91)
“Akhirnya, Utsman dan Ali mendapatkan suara yang sama. Oleh karena itu, Abdurrahman bin Auf berinisiatif meminta pendapat kepada orang banyak setelah hasil votum menunjukkan suara imbang untuk Ali dan Utsman. Namun, kondisi saat itu berpihak kepada Utsman daripada Ali. Opsi pemilihan secara terbuka itu dilakukan di Madinah yang bertepatan dengan kedatangan tentara dari beberapa daerah dan pimpinannya menunaikan ibadah haji. Di antara mereka terdapat orang-orang yang menjadi empat konsultasi Abdurrahman bin Auf. Tentu saja, banyak dari mereka lebih suka gaya politik Utsman yang toleran daripada Ali yang tegas. Akibatnya, mayoritas memilih Utsman.” (hal. 90-91)
“Dengan demikian, pengangkatan kerabat oleh
Utsman untuk membawahi wilayah-wilayah Islam sedang ia tidak mampu melakukan
pengawasan terhadap mereka, padahal mayoritas mereka dari kalangan Thulaqa’ [2]
atau keturunan Tulaqa’, atau setidaknya mereka baru masuk
Islam, dan mereka pun masih rakus pada materi duniawi, mereka bukanlah
orang-orang terbaik.” (hal. 97).
Bagaimana seorang ulama yang katanya menyeru
kepada persatuan bisa menduga-duga seburuk itu terhadap Utsman bin Affan yang
menginfakkan hartanya untuk Jaisyu Usrah[3] dan banyak mendapatkan pujian
dari Rasulullah?
Persoalan pengangkatan pejabat yang dianggap
masih muda dan bukan yang terbaik, ia telah mencontoh Rasulullah. Bukanlah
beliau mengangkat Usamah bin Zaid menjadi pemimpin pada saat Abu Bakar, Umar
dan juga Ali ra ada di antara mereka?
Menuduh Imam Ahmad dan Ulama Terkemuka Lainnya
Sebagai Nawashib
Setelah Al-Maliki berprasangka buruk kepada Abu
Bakar, Umar, Utsman dan banyak lagi sahabat Nabi lainnya, ia beralih kepada
tuduhan terhadap para ulama yang membela semua sahabat sesuai hak mereka, tidak
berlebih-lebihan maupun meremehkan.
Al-Maliki berpendapat, hegemoni Dinasti Umayyah
berimplikasi pada ketidakadilan sikap kaum muslimin, terhadap ahli bait. Daulah
Umayyah disinyalir telah meninggalkan pengaruh menguatnya aliran Nawashib[4] di
Syam. (hal. 148).
Menurutnya, sejarah mazhab Hanbali erat
kaitannya dengan revolusi yang mereka lakukan untuk membela kaum Nawashib,
akidah tasbih dan tajsim, serta penggunaan
kekerasan dan fitnah. (hal. 191)
Al-Maliki menilai setiap aliran hanya fokus
mengkritik aliran lain, dan melupakan diri sendiri. Karena itulah, ia yang
mengaku bermazhab Sunni Hambali mengobok-obok Mazhab Hambali, termasuk Imam
Ahmad sendiri, sebagai wujud autokritik terhadap mazhabnya sendiri, menurut
pengakuannya. Dalam hal ini, ia membela kelompok-kelompok sesat yang telah
dianggap sebagai ahli bid’ah oleh Imam Ahmad.
Pada akhirnya tuduhan Nawashib ini juga
disematkan kepada Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Adz-Dzahabi, dan Ibnu Katsir.
Padahal, Ibnu Taimiyah, di kitab Akidah Wasithiyah, mengatakan,
“Mereka (ahli sunah wal jamaah) mencintai ahli bait Rasulullah. Mereka berwali
dan menjaga wasiat beliau tentang ahli bait …. Mereka berlepas diri dari cara
rafidhah yang membenci dan mencela sahabat. Mereka juga jauh dari cara kaum
Nawashib yang menyakiti ahli bait dengan perkataan dan perbuatan.”
Di Minhajus Sunnah (VI/18), Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun Ali, maka ahli sunnah mencintai dan berwali kepadanya. Mereka mengakui bahwa ia adalah salah salah satu Khulafaur Rasyidin dan imam (kaum muslimin) yang mendapatkan petunjuk.”
Di Minhajus Sunnah (VI/18), Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun Ali, maka ahli sunnah mencintai dan berwali kepadanya. Mereka mengakui bahwa ia adalah salah salah satu Khulafaur Rasyidin dan imam (kaum muslimin) yang mendapatkan petunjuk.”
Barang kali yang diinginkan Al-Maliki agar ulama
jajaran Ibnu Taimiyyah tidak dikatakan Nawashib, mereka harus berlebih-lebihan
mencintai Ali, Fahimah, Hasan, dan Husain, dan sebaliknya membenci sahabat
selain ahli bait kecuali beberapa orang saja, seperti Ammar, Miqdad, Abu Dzar,
dan Salman.
Walhasil, keberanian Noura Book (PT Mizan Publika) menerbitkan buku
Hasan bin Farhan Al-Maliki ini justru semakin memperjelas siapa sebenarnya
Hasan Al-Maliki.
Editor: Agus
_________________________
[1] http://arrahmah.com/read/2012/06/28/21263-husein-bin-hamid-alattas-nyatakan-muawiyah-ra-bukan-sahabat-nabi-dalam-mubahalah.html#
[2] Istilah bagi orang-orang yang masuk Islam saat Fathu Mekkah.
[3] Pasukan pada perang Tabuk.
[4] Kelompok yang mencela Ali dan ahli bait.
_________________________
[1] http://arrahmah.com/read/2012/06/28/21263-husein-bin-hamid-alattas-nyatakan-muawiyah-ra-bukan-sahabat-nabi-dalam-mubahalah.html#
[2] Istilah bagi orang-orang yang masuk Islam saat Fathu Mekkah.
[3] Pasukan pada perang Tabuk.
[4] Kelompok yang mencela Ali dan ahli bait.