Wednesday, August 6, 2014

Penerbit Mizan Terbitkan Karya Ulama Penghujat Para Sahabat

Rabu, 18 Rabiul Awwal 1434 H / 30 Januari 2013 16:01
 (an-najah.net) – Mendengar nama Ahmad bin Farhan Al-Maliki, barangkali Anda akan langsung teringat Mubahalah antara Husein Alatas Vs Haidar Bawazier, Juni 2012 lalu. Pendapatnya memang dijadikan rujukan Husein Alatas untuk mencela Mu’awiyah.[1]
Buku karyanya yang diterjemahkan menjadi setebal 352 halaman yang diterbitkan oleh Noura Book (grup Mizan ini, akan menunjukkan kepada kita bagaimana sejatinya pemikiran Hasan Al-Maliki.
Secara keseluruhan, buku tersebut sarat dengan prasangka buruk dan hujatan yang tidak berdasar, terutama kepada para sahabat. Meskipun penulis mengaku bermazbah salafi sunni hambali, tampak bahwa tulisannya sendiri membantah pengakuannya.
Siapa pun memang boleh mengaku apa saja tetapi fakta akan membuktikan siapa dia sebenarnya. Kalau pengakuan tidak sesuai dengan kenyataan, maka itu tidak beda dengan maling yang mengaku kucing ketika ditanya oleh tuan rumah, siapa yang menjatuhkan gelas di ruang makan.
Pemikiran Al-Maliki semakin tampak jelas dalam tulisannya yang berjudul Ash-Shahabah baina Ash-Shuhbah Al-Lughawiyah wa Ash-Shuhbah Asy-Syar’iyyah. Di tulisan tersebut, ia mendefinisikan sahabat yang syar’i dalam arti memiliki hak dan keutamaan seperti disebutkan dalam banyak ayat Al-Qur’an hanyalah Muhajirin dan Anshar sampai pada masa Perjanjian Hudaibiyyah saja.
Dari definisi itu, ia tidak memasukkan semua anak-anak Muhajirin dan Anshar yang hidup bersama Nabi saw, orang-orang yang masuk Islam setelah perjanjian itu dan Fathu Mekkah dalam kelompok sahabat Nabi saw, termasuk Khalid bin Walid. Berangkat dari tesis ini maka wajar bila Al-Maliki menghujat para sahabat, terutama Muawiyah dan keluarga bani Umayyah.
Dengan demikian, pernyataan bahwa dirinya adalah Hambali Sunni hanyalah akal licik dan ilusi orang yang menyerukan keadilan dan persatuan.
Di awal bahasan, Al-Maliki menyatakan penggunaan akidah adalah istilah bid’ah yang tidak ada dalam Qu’ran, Sunah maupun perkataan para sahabat. (hal. 49-53).Tetapi, ia sendiri membuat istilah baru, yakni sahabat syar’iyah dan lughawiyah. Apakah ini bukan bid’ah yang sesat?
Pernyataannya bahwa istilah akidah tidak ada dalam hadits sahih, hasan atau bahkan maudhu’ adalah pernyataan yang kurang teliti. Sebab Rasulullah menyatakan itu dalam hadis hasan riwayat Ad-Darimi:
لاَ يَعْتَقِدُ قَلْبُ مُسْلِمٍ عَلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ  قَالَ قُلْتُ : مَا هُنَّ؟  قَالَ : إِخْلاَصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ ، وَالنَّصِيحَةُ لِوُلاَةِ الأَمْرِ ، وَلُزُومُ الْجَمَاعَةِ
“Tidaklah hati seorang muslim meyakini (memiliki akidah) tiga hal kecuali akan masuk ke surga.” Aku bertanya, “Apa saja itu?” Beliau menjawab, “Ikhlas dalam beramal hanya untuk Allah, memberi nasihat kepada para pemimpin, dan senantiasa bersama dengan jamaah.”
Tampaknya, hasil akhir yang diinginkan oleh Al-Maliki dengan tulisannya itu ialah mengajak umat Islam lebih toleran terhadap aliran sesat, tidak membid’ahkan maupun mengafirkan. Salah satu indikatornya tampak pada persembahan bukunya yang ditujukan kepada segenap penganut mazhab, baik ahli sunah, syiah, ibadhiyah, salafiyah, asy’ariyah, maupun shufiyah.
Tidak sebatas itu, penganut sekularisme, sosialisme, modernisme, dan liberalisme juga disebutnya agar semua menemukan koreksi terhadap Mazhab Hambali, menurut Al-Maliki.

Bagaimana seseorang dianggap mengajak kepada persatuan Islam, bila terhadap para sahabat ia mencela, sedangkan terhadap kelompok Murji’ah, Qadariyah, Jahmiyah, dan Mu’tazilah, justru membela? (hal. 160-182).
Tidak ada ahli sunah yang meragukan hak Abu Bakar dengan jabatan khalifahnya. Tetapi Al-Maliki meragukannya. Di halaman 80 Al-Maliki mengatakan, “Akan tetapi, mereka membaiat Abu Bakar dan meninggalkan Ali karena Ali tidak berada di Tsaqifah ketika terjadi diskusi dan perdebatan dengan Kaum Muhajirin. Barangkali jika Ali r.a. berada di sana, ia akan menjadi khalifah ….”
Al-Maliki menganggap Ali lebih berhak atas kekhilafahan daripada Abu Bakar. Baiatnya bagi kaum Muhajirin dan Anshar, menurut Al-Maliki, lebih mirip pemaksaan dan kesewenang-wenangan.
Bagaimana hak kekhilafahan Abu Bakar dan Umar diragukan, sedangkan Rasulullah saw bersabda, “Berpeganglah kepada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin setelahku?” Apakah ada ahli sunnah yang meragukan bahwa Khulafaur Rasyidin itu ada empat, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali? Bagaimana kita akan melaksanakan wasiat Rasul saw tersebut bila mereka justru diragukan keadilannya?
Al-Maliki Berburuk Sangka kepada Utsman
Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut ini:
“Akhirnya, Utsman dan Ali mendapatkan suara yang sama. Oleh karena itu, Abdurrahman bin Auf berinisiatif meminta pendapat kepada orang banyak setelah hasil votum menunjukkan suara imbang untuk Ali dan Utsman. Namun, kondisi saat itu berpihak kepada Utsman daripada Ali. Opsi pemilihan secara terbuka itu dilakukan di Madinah yang bertepatan dengan kedatangan tentara dari beberapa daerah dan pimpinannya menunaikan ibadah haji. Di antara mereka terdapat orang-orang yang menjadi empat konsultasi Abdurrahman bin Auf. Tentu saja, banyak dari mereka lebih suka gaya politik Utsman yang toleran daripada Ali yang tegas. Akibatnya, mayoritas memilih Utsman.” (hal. 90-91)
“Dengan demikian, pengangkatan kerabat oleh Utsman untuk membawahi wilayah-wilayah Islam sedang ia tidak mampu melakukan pengawasan terhadap mereka, padahal mayoritas mereka dari kalangan Thulaqa’ [2] atau keturunan Tulaqa’, atau setidaknya mereka baru masuk Islam, dan mereka pun masih rakus pada materi duniawi, mereka bukanlah orang-orang terbaik.” (hal. 97).
Bagaimana seorang ulama yang katanya menyeru kepada persatuan bisa menduga-duga seburuk itu terhadap Utsman bin Affan yang menginfakkan hartanya untuk Jaisyu Usrah[3]  dan banyak mendapatkan pujian dari Rasulullah?
Persoalan pengangkatan pejabat yang dianggap masih muda dan bukan yang terbaik, ia telah mencontoh Rasulullah. Bukanlah beliau mengangkat Usamah bin Zaid menjadi pemimpin pada saat Abu Bakar, Umar dan juga Ali ra ada di antara mereka?
Menuduh Imam Ahmad dan Ulama Terkemuka Lainnya Sebagai Nawashib
Setelah Al-Maliki berprasangka buruk kepada Abu Bakar, Umar, Utsman dan banyak lagi sahabat Nabi lainnya, ia beralih kepada tuduhan terhadap para ulama yang membela semua sahabat sesuai hak mereka, tidak berlebih-lebihan maupun meremehkan.
Al-Maliki berpendapat, hegemoni Dinasti Umayyah berimplikasi pada ketidakadilan sikap kaum muslimin, terhadap ahli bait. Daulah Umayyah disinyalir telah meninggalkan pengaruh menguatnya aliran Nawashib[4] di Syam. (hal. 148).
Menurutnya, sejarah mazhab Hanbali erat kaitannya dengan revolusi yang mereka lakukan untuk membela kaum Nawashib, akidah tasbih dan tajsim, serta penggunaan kekerasan dan fitnah. (hal. 191)
Al-Maliki menilai setiap aliran hanya fokus mengkritik aliran lain, dan melupakan diri sendiri. Karena itulah, ia yang mengaku bermazhab Sunni Hambali mengobok-obok Mazhab Hambali, termasuk Imam Ahmad sendiri, sebagai wujud autokritik terhadap mazhabnya sendiri, menurut pengakuannya. Dalam hal ini, ia membela kelompok-kelompok sesat yang telah dianggap sebagai ahli bid’ah oleh Imam Ahmad.
Pada akhirnya tuduhan Nawashib ini juga disematkan kepada Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Adz-Dzahabi, dan Ibnu Katsir. Padahal, Ibnu Taimiyah, di kitab Akidah Wasithiyah, mengatakan, “Mereka (ahli sunah wal jamaah) mencintai ahli bait Rasulullah. Mereka berwali dan menjaga wasiat beliau tentang ahli bait …. Mereka berlepas diri dari cara rafidhah yang membenci dan mencela sahabat. Mereka juga jauh dari cara kaum Nawashib yang menyakiti ahli bait dengan perkataan dan perbuatan.”
Di Minhajus Sunnah (VI/18), Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun Ali, maka ahli sunnah mencintai dan berwali kepadanya. Mereka mengakui bahwa ia adalah salah salah satu Khulafaur Rasyidin dan imam (kaum muslimin) yang mendapatkan petunjuk.”
Barang kali yang diinginkan Al-Maliki agar ulama jajaran Ibnu Taimiyyah tidak dikatakan Nawashib, mereka harus berlebih-lebihan mencintai Ali, Fahimah, Hasan, dan Husain, dan sebaliknya membenci sahabat selain ahli bait kecuali beberapa orang saja, seperti Ammar, Miqdad, Abu Dzar, dan Salman.
Walhasil, keberanian Noura Book (PT Mizan Publika)  menerbitkan buku Hasan bin Farhan Al-Maliki ini justru semakin memperjelas siapa sebenarnya Hasan Al-Maliki.
Editor: Agus
_________________________
[1] http://arrahmah.com/read/2012/06/28/21263-husein-bin-hamid-alattas-nyatakan-muawiyah-ra-bukan-sahabat-nabi-dalam-mubahalah.html#
[2] Istilah bagi orang-orang yang masuk Islam saat Fathu Mekkah.
[3] Pasukan pada perang Tabuk.
[4] Kelompok yang mencela Ali dan ahli bait.